B.2. 3. Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan di Keluarga Tionghoa
IV.B.2. 3. Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan di Keluarga Tionghoa
Ibu Olga menjalani rutinitas keseharian yang padat dari pukul lima pagi sampai malam hari untuk bersekolah, membantu orang tua dan mengurus rumah. Interaksi sehari-hari dengan orang tuanya terbilang minim karena orang tua lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
“Sebetulnya mama tuh hampir nggak ngurus anak karena kita tuh dikenain aturan, yang besar harus ngerawat yang kecil...Tapi kita belum
sempet besar pun udah bisa ngurus diri sendiri. Jadi sebenernya orang tua lebih konsentrasi untuk cari uang, untuk uang sekolah, untuk menghidupi anak-anaknya, untuk kasih kita.
Momen duduk bersama dengan orang tua pun hampir tidak ada. Sebab semua sibuk menjalankan tugas masing-masing demi tercukupinya kebutuhan rumah tangga.
Nggak pernah...kita hampir nggak pernah duduk berbicara. Karena ee...masing-masing sibuk dengan pekerjaannya sendiri, trus orang tua saya kalo malem pulang mereka sudah lelah, karena mereka kan kerjanya lebih berat dari kita. Kita kan bangun jam lima, tapi orang tua jam dua jam tiga, mereka udah bangun. Gitu...
Berbagai hal dipelajari ibu Olga dengan melihat bagaimana orang tuanya berperilaku. Menurutnya orang zaman dulu dapat membuat anak melakukan apa yang harus dilakukan tanpa banyak berdialog atau berdiskusi dengan anak. Tanpa perlu diberitahu secara eksplisit, ibu Olga menyadari perannya sebagai anak perempuan di dalam keluarga.
Jadi kalo perempuan di keluarga Tionghoa yang jelas tuh harus bisa pekerjaan rumah, harus bisa masak. Ee...nggak boleh banyak pergi-pergi kayak sekarang.
Ibu Olga tidak memiliki banyak waktu luang untuk dirinya sendiri. Setelah pulang sekolah, ia harus segera pulang untuk menyelesaikan semua keperluan rumah tangga dan hal-hal lain yang perlu dikerjakannya. Namun ia merasa kehidupan seperti ini bukanlah suatu beban baginya. Sebab pada masa kecilnya, ia merasa semua orang juga mengalami hal yang sama seperti dirinya. Selain itu, tidak banyak kegiatan di luar rumah yang dapat dilakukan pada masa itu. Dengan demikian, mengerjakan pekerjaan rumah tangga menjadi kegiatan keseharian ibu Olga selain bersekolah.
Kondisi keuangan keluarga yang terbatas juga membuat ibu Olga tidak dapat sering pergi berekreasi bersama keluarga. Bahkan ia tidak diberikan uang saku sehari-hari oleh orang tuanya sehingga setiap hari ia selalu berjalan kaki dari rumah ke sekolah sebab tidak memiliki uang untuk menggunakan kendaraan umum. Pengalaman hidupnya membuat ibu Olga menyadari tugasnya sebagai anak adalah menuruti perintah orang tua sehingga kehidupannya bisa lebih baik dari orang tua.
Kita cuma punya tugas, apa yang ditugasin sama orang tua di rumah, sekolah yang baik, udah...pulang ke rumah, cari jodoh yang baik supaya kehidupan bisa lebih maju ke depannya.
Komunikasi yang minim dengan orang tua, membuat ibu Olga tidak memiliki ruang untuk mengeluarkan pendapat maupun perasaannya. Apapun yang dikatakan orang tua harus dituruti dan diterima tanpa ada kesempatan untuk bertanya apalagi memprotes.
Kalo dulu, kita nggak boleh terbuka... Terus, banyak hal yang tabu. Ee...apa namanya, kalo ngomong sama orang tua juga mesti diatur omongannya. Trus, nggak boleh argue...Ya kalo orang tua bilang item ya harus item...Kita nggak boleh nanya, kenapa harus item? Kenapa harus putih? Nggak boleh...pokoknya kalo orang tua bilang A, ya A. Semua harus A.
Pada interaksi di dalam keluarga, ibu Olga juga merasakan perbedaan perlakuan antara dirinya dengan kakak laki-laki tertuanya yang berprestasi di sekolah. Kakak laki-lakinya yang dinilai pintar dalam pelajaran di sekolah diberikan keistimewaan untuk menggunakan waktunya hanya untuk belajar. Sementara adik-adiknya yang biasa saja dalam pelajaran diharuskan tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ibu Olga menilai hal ini sebagai perbedaan perlakuan karena tingkat intelegensi, bukan karena perbedaan gender,
Nah, ada kakak saya tuh yang satu, sangat pandai. Sekolahnya bagus, jadi dia diistimewakan di rumah. Dia boleh nggak kerja. Dia boleh belajar terus, sedangkan kita yang lainnya, yang sekolahnya biasa-biasa harus meng-cover. Jadi yang sekolahnya biasa tuh punya beban yang lebih berat dari yang sekolahnya luar biasa.
Secara garis besar, rutinitas hidup ibu Olga setiap harinya dari hari Senin sampai Jum’at memiliki ritme yang sudah terprogram dan sistematis. Ia juga Secara garis besar, rutinitas hidup ibu Olga setiap harinya dari hari Senin sampai Jum’at memiliki ritme yang sudah terprogram dan sistematis. Ia juga
...jam lima pagi, bangun masak air, bantu-bantu bawa sayur ke pasar, deket kan sama rumah...trus balik ke rumah, mandi, berangkat sekolah...Pulang sekolah kan harus langsung. Dulu sekolah ga kayak jaman sekarang, pulang jam dua-jam tiga ya. Dulu jam dua belasan udah pulang. Jam dua belas pulang sekolah, balik lagi ke pasar, ke tempat orang tua saya dagang, saya bantuin lagi ngangkat barang, ee...nyuci, ngepel, gitu...
Di malam minggu dan di hari Minggu, ibu Olga tetap bekerja membantu orang tuanya. Bahkan di hari libur pekerjaannya jauh lebih berat sebab seluruh waktu dihabiskan untuk membantu orang tua dan mengurus rumah.
Biarpun hari Minggu, saya nggak boleh punya ekstra bangun siang. Jam lima harus jam lima, tetep. Malam minggu lebih berat karena nggak sekolah kan. Jadi sepanjang hari bantu di tempat dagang.
Kebiasaan ibu Olga membantu orang tua ini membuatnya sejak kecil sudah mahir memasak, membuat sambal dan mengurus rumah tangga. Selain itu, ia juga sudah terbiasa melakukan tugas berat untuk anak seusianya seperti mencuci kain lap yang terkena minyak babi dan sangat lengket, menjemur kulit babi di atas genteng untuk dijadikan kerupuk, menggoreng kulit babi di atas wajan panas dan menimba air untuk seluruh anggota keluarga. Menurut ibu Olga, hampir semua pekerjaan kasar sudah pernah ia lakukan semasa kecilnya.