B.2.6. Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan Identitas Ke- Tionghoa-an

IV.B.2.6. Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan Identitas Ke- Tionghoa-an

Ibu Olga dan Shinta memiliki pengalaman yang berbeda dalam hal identitas ke-Tionghoan mereka. Ibu Olga pernah mengalami bersekolah di sekolah negeri di tingkat sekolah dasar. Saat itu, ia satu-satunya keturunan Tionghoa di sekolah.

Bahkan di antara kakak dan adiknya, ibu Olga merupakan satu-satunya anak yang pernah bersekolah di sekolah negeri.

Beliau mengakui pada awal mula masuk di sekolah negeri ia sering diledek dan dilempari barang oleh teman-temanya. Namun hal ini tidak membuat Ibu Olga gentar. Ia malah mendatangi teman yang melemparinya barang dan mengajaknya untuk berkonfrontasi langsung. Lama-kelamaan teman-teman yang sering meledeknya malah menjadi teman akrab Ibu Olga sampai sekarang. Menurut Ibu Olga, sampai sekarang ia memiliki teman-teman akrab dari berbagai latar belakang budaya dan suku.

Sementara Shinta merasa sebagai minoritas dengan identitas ke- Tionghoaannya. Waktu di sekolah dasar, ia sempat bersekolah di sekolah Katolik Strada yang mayoritas “pribumi”. Ia dan adiknya sering menjadi bahan ledekan.

Menurut Shinta ia merasa biasa saja diledek seperti itu. Namun ia merasa tidak nyaman ketika diledek dengan sebutan “Mei Mei” saat berjalan di trotoar

sepulang mengikuti bimbingan belajar di SMAN 8.

Trus apalagi waktu SMA, aku kan sempet ikut les-lesan yang UMPTN, BTA

yang di SMA 8. Trus lagi jalan, trus ada abang- abang manggil...”Waah, Mei Mei” yang ngatain Cina gitu...Sebenernya aku nggak seneng, tapi disautin

nggak perlu kan. Di dalam pergaulan sehari-hari, Shinta merasa ibunya tidak memberikan batasan atau larangan dalam berteman. Tetapi dalam memilih pasangan hidup, Ibu Olga mewanti-wanti Shinta agar jangan mendapatkan pasangan yang beragama Islam.

Mama nggak pernah ngelarang aku untuk temenan sama siapa aja. Cuma mungkin ya, emang dari sananya...setiap...bukan suku sih, tiap orang mungkin Mama nggak pernah ngelarang aku untuk temenan sama siapa aja. Cuma mungkin ya, emang dari sananya...setiap...bukan suku sih, tiap orang mungkin

Pengalaman Shinta berkuliah di Australia dan bertemu dengan teman-teman sesama keturunan Cina dari Indonesia memberikannya perspektif lain. Dari cerita teman-temannya ia mengetahui apa saja yang dialami teman-temannya saat Kerusuhan Mei 1998. Sementara di saat itu, Shinta tidak mengalami apa-apa karena ia tinggal di daerah Bekasi yang mayoritas adalah pribumi.

...waktu itu aku masih kelas 5 SD, jadi aku biasa aja, nggak ngerasa takut atau apa. Lagian di komplek rumah juga nggak ada rusuh-rusuh kan, tinggalnya di Bekasi. Temen-temen di Australi ada yang cerita gimana- gimana, sampe ngumpet di loteng, balik ke Indo masih ada rasa trauma. Tapi kalo aku sendiri nggak ada. Dia tinggal di daerah kota gitu, sampe lari-lari ngumpet di loteng rumahnya. Abis itu dia kabur masuk ke gang- gang, masuk ke rumah tetangga. Numpang duduk, nggak dikasih minum atau apa...Cuma untuk sekedar numpang singgah. Denger kayak gitu sih sedih...kenapa harus kayak gitu.

Ketika ditanya mengenai identitasnya, Shinta merasa ia berada di-antara ( in between) antara merasa sebagai orang Indonesia dan Australia.

Merasa in between, soalnya kalo bahasa Indonesia juga nggak bisa, apalagi kalo nulis email resmi banyak yg ga tau bahasanya. Tapi kalo dibilang kayak Australi, bahasa Inggrisnya juga nggak jago-jago amat. Jadi bingung sih...in between. Kalo dibilang nggak suka Indonesia, tapi aku hidup dan besar di sini. Kalo aku lebih suka tinggal di Australi tapi sebenernya hidupnya juga nggak enak-enak amat di sana, mesti berjuang juga.

Sementara Ibu Olga dapat dengan mantap dan yakin mengakui dirinya sebagai orang Indonesia. Sebab ia lahir dan besar di Indonesia. Sampai mati pun akan tetap menjadi orang Indonesia.

Merasa sebagai orang Indonesia karena saya tinggal di Indonesia, besar di Indonesia, saya tau segala sesuatu tentang Indonesia dan akan meninggal di sini. Jadi, saya orang Indonesia.