grasi kepada terpidana dan mengubah vonis mati itu menjadi pidana seumur hidup.
93
Adanya grasi oleh presiden itu tidak terlepas dari salah satu faktor yang meringankan terpidana seperti dikemukakan diatas, terutama faktor bahwa ia
masih memungkinkan untuk dibina atau diperbaiki.
B. Aspek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Islam.
Tujuan syari’ Tuhan dalam mensyariatkan hukumnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dan sekaligus menghindarkannya dari
mafsadat baik didunia maupun diakhirat.
94
Tujuan hukum seperti tersebut diatas oleh para pakar filsafat hukum Islam lazim juga disebut dengan at-tahsil wa al-
ibqa atau jalb al-masalih al-mafasid, yaitu mengambil maslahat dan sekaligus mencegah kerusakan.
95
Dalam kaitan inilah Yusuf Hamid Al-Alim menegaskan bahwa tujuan utama a’zam al-maqasid diutusnya para Rasul As, oleh Tuhan
adalah untuk menghilangkan kezaliman diantara manusia, sehingga terwujudlah ketentraman dan kedamaian diantara mereka.
96
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan didunia dan akhirat sebagaimana disebutkan diatas, maka bukan hanya para ulama Islam, bahkan seluruh
agamawan sepakat bahwa ada 7 tujuh unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Ketujuh unsur pokok dimaksud adalah:
93
Roeslan Salaeh, 1987, op.cit, hlm. 62.
94
Pada dasarnya, Tuhan menginginkan agar manusia selamat dari azab-Nya diakhirat. Karena itulah tujuan hukum bukan hanya untuk kemaslahatan didunia, melainkan juga diakhirat.
95
Juhaya S. Praja, loc.cit.
96
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1. Memelihara agama hifz ad-din.
2. Memelihara jiwa hifz an-nafs.
3. Memelihara akal hifz al-aql.
4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan hifz an-nasbal-ird.
5. Memelihara harta hifz al-mal.
6. Memelihara kesejahteraan umum.
7. Memelihara lingkungan
97
Untuk memelihara ketujuh unsur pokok itulah maka Tuhan menetapkan pidana uqubah terhadap pelaku tindak pidana al-jani yang dapat menggangu
atau menghambat terwujudnya tujuh kebutuhan dasar iad-daruriyat diatas. Karena itu ditetapkanlah pidana murtad hadd ar-riddah dalam rangka untuk
memelihara agama, ditetapkan pula pidana qisas uqubah al-qisas untuk memelihara jiwanyawa manusia, untuk memelihara akal, maka ditetapkanlah
pidana meminum minuman keras hadd asy-syarb, untuk memelihara keturunan dan atau kehormatan maka ditetapkan pidana zina hadd az-zina, kemudian
ditetapkan pula pidana pencurian hadd as-sirqah untuk memelihara harta.
98
Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah dipahami bahwa Tuhan dan Rasul- Nya lewat Al-Qur’an dan Hadis sengaja menetapkan sanksi hukum yang tegas
terhadap pelaku tindak pidana yang dapat merusakmengganggu al-kulliyat al- khams diatas, mengingat kelima unsur tersebut adalah merupakan kebutuhan yang
paling mendasar.
97
Fathurrahman Djamal, op.cit, hlm. 127.
98
Ibid, hlm. 129.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Asy-Syatibi sebagaimana dikutip oleh Khalid Mas’ud mendefenisikan Jinayat Hal-hal yang berkaitan dengan tindak
pidana adalah: Sebagai hukum-hukum yang memperhatikan kelima ad-daruriyat al-khams
diatas dengan cara preventif. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam jinayat itu adalah dimaksudkan untuk mengantisipasi dan membersihkan apa-apa
saja yang dapat menghalangi terwujudnya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.
99
Dengan diberlakukannya sanksi hukum yang tegas dan berat berupa pidana mati terhadap tindak-tindak pidana jarimah tersebut baik yang tergolong
kedalam jarimah qisas maupun hudud, maka diharapkan akan terpelihara dan terwujudlah kelima kebutuhan mendasar diatas. Sehingga dengan demikian
terwujud pulalah tujuan disyariatkannya hukum itu maqasid asy-syari’ah, yaitu kemaslahatan manusia itu sendiri dan sekaligus menghindarkannya dari mafsadat.
Hal tersebut diataslah yang menjadi dasar mengapa pidana mati itu diterapkan secara tegas, baik terhadap jarimah qisas maupun hudud. Sebab, dengan
diberlakukannya pidana terberat itu terhadap seorang penjahat yang melakukan kejahatan berat seperti yang tergolong dalam kedua jarimah diatas, maka hal itu
akan menjadi i’tibar atau pelajaran yang sangat berharga bagi calon-calon penjahat lainnya untuk tidak mengikuti jejak si terpidana mati tersebut. Dengan
demikian, pidana mati itu akan dapat berfungsi sebagai pencegahan bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama.
99
Yudian W. Asmin, op.cit, hlm. 230.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitan ini, Tuhan berfirman dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 179, yang artinya sebagai berikut:
”Dan dalam qisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang- orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”.
100
Dalam ayat diatas terdapat satu kalimat yang menurut para mufasir sangat
spektakuler, sekaligus menunjukkan esensi dan rasio pidana mati, yaitu fi al-qisas hayat dalam qisas itu terdapat kehidupan. Tanpa rasionalisasi yang matang,
maka hal itu sulit diterima. Bagaimana mungkin terdapat kehidupan dalam qisas, sedangkan qisas itu sendiri berarti menghilangkan nyawa orang lain.
Ali As-sais dalam tafsirnya menjelaskan bahwa: Pemberlakuan pidana mati qisas itu adalah dimaksudkan untuk menjaga
darahnyawa umat manusia itu sendiri, sebab dengan menjatuhkan vonis mati terhadap pelaku pembunuhan, maka akan menjadi pelajaran dalam arti
penjeraan bagi penjahat berpotensial lainnya untuk tidak melakukan kejahatan yang sama. Jadi, apanila eksekusi mati itu dijalankan sesuai dengan tuntutan
Al-qur’an, maka akan dapat menghindarkan atau memperkecil kejahatan pembunuhan, sebab penjahat lainnya menyadari bahwa jika ia membunuh
orang lain, maka iapun pasti akan dibunuh. Dengan demikian tercapailah kedamaian dan ketentraman bagi setiap individu dalam masyarakat luas.
101
Berkaitan dengan pidana qisas itu, Al-Jurjawi dalam tulisannya mengemukakan bahwa kemakmuran dunia ini sangat erat kaitannya dengan
keberadaan manusia itu sendiri. Apabila keturunan manusia itu sedikit atau mengalami kepunahan, maka dunia akan mengalami kekacauan, dan hal itu tidak
100
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 44.
101
Muhammad Ali As-Sabuni, Rawai’ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an, Suriah: Maktabah Al-Gazali, 1980, hlm. 184.
Universitas Sumatera Utara
dikehendaki oleh Tuhan.
102
Karena itulah, lanjutnya, Tuhan menetapkan sanksi hukum yang tegas berupa pidana mati qisas bagi orang yang melakukan
pembunuhan agar tidak menimbulkan permusuhan dan saling dendam diantara mereka.
103
Sebab apabila pembunuhan itu tidak dipidana mati, maka akan menyalakan api permusuhan dan dendam diantara kedua belah pihak sebagaimana
tersebut diatas. Hal itu akan mengakibatkan timbulnya kekacauan dan kerusuhan ditengah-tengah masyarakat, sehingga ketentraman dan kedamaian yang mereka
dambakan tidak akan terwujud.
104
Demikian juga dengan ancaman pidana mati yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana yang tergolong kedalam jarimah hudud. Tuhan melalui Al-qur’an
dan Hadis sengaja menetapkan pidana tersebut, agar orang lain merasa takut untuk melakukan kejahatan yang sama. Syariat Islam menginginkan agar manusia
itu tidak terjebak kedalam perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan atau membinasakan dirinya sendiri dan orang lain. Dengan demikian, pidana mati itu
dimaksudkan agar memiliki daya pencegahan preventionmawani bagi orang lain. Para ulama mendefenisikan uqubah pidana itu sebagai balasanganjaran
yang ditetapkan oleh Tuhan syar’i untuk mencegah agar mereka tidak melakukan hal yang dilarang Tuhan dan meninggalkan yang diperintahkanNya.
105
102
Ibid, hlm. 185.
103
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazhi Al-Qur’an Al-Karim, Beirut: Dar Al-Fikr, 1987, hlm. 367.
104
Ibid, hlm. 369.
105
Karena itu, pelaksanaan eksekusi mati dalam hukum pidana Islam dilakukan didepan umum agar diketahui oleh masyarakat luas, sehingga dengan demikian pidana mati itu benar-benar dapat
berfungsi sebagai general deterrence.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitan ini,Wahbah Az-zuhaili menegaskan bahwa: Hakikat adanya sanksi pidana dalam syariat Islam adalah agar ia pelaku
kejahatan dan calon penjahat lainnya menjadi jera, sehingga mereka tidak melakukan tindakan-tindakan pidana jarimah yang sama. Disamping itu,
pidana tersebut juga dimaksudkan untuk tindakan-tindakan pidana berat lainnya jaraim, dan untuk menghindarkan masyarakat dari kebinasaan al-
fasad, serta kehancuran al-fasad, serta membersihkan mereka dari dosa- dosa.
106
Karena itu, orientasi atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam, khususnya pidana mati adalah sebagai pencegahan mawaniprevention pada satu
sisi sebelum tindak pidana itu dilakukan. Pada sisi yang lain sebagai penjeraan zawajirdeterrence bagi orang lain yang mengetahui atau menyaksikan
pelaksanaan eksekusi mati itu. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pada
hakikatnya pemberlakuan pidana mati dalam hukum pidana Islam adalah untuk mewujudkan cita-cita hukumsyariat itu sendiri, yaitu menciptakan kemaslahatan
ditengah-tengah masyarakat.
107
Maslahat berarti terpenuhinya kelima unsur pokok yang merupakan kebutuhan dasar ad-daruriyat al-khams manusia itu,
yaitu: memelihara agama hifz ad-din, memelihara jiwa hifz an-nafal, memelihara akal hifz al-aql, memelihara keturunan hifz an-nasal, dan
memelihara harta hifz al-mal.
106
Muhammad Fuad Abdul Baqi, op.cit, hlm. 370.
107
Sebab, dengan diterapkannya pidana mati secara tegas dan konsekuen, maka ia dapat berfungsi preventif atas kejahatan-kejahatan yang dapat mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat.
Apabila kedamaian dan ketentraman itu terwujud, maka terwujud pulalah diciptakannya syariat itu, yaitu keselamatan bagi seluruh umat manusia baik didunia maupun diakhirat.
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, berbeda halnya dengan hukum pidana nasional , dalam hukum pidana Islam, tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati itu ada yang mengandung dimensi hukum publik dan ada pula yang mengandung dimensi hukum publik dan privat sekaligus.
108
Dari keenam tindak pidana yang dapat divonis pidana mati sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
maka tindak pidana pembunuhan dengan sengaja al-qatl al-’amd merupakan satu-satunya kejahatan yang tergolong kedalam dimensi hukum publik dan privat.
Tindak pidana yang tergolong kedalam dimensi hukum publik haqq li Allah itu tidak mempunyai peluang untuk bebasnya si terdakwa dari ancaman pidana
mati. Sebab sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa tindak pidana yang tergolong kedalam hudud merupakan hak Tuhan. Dengan demikian, pihak
manapun termasuk eksekutif tidak berhak memberikan maafampunan terhadapnya. Hal ini berarti pihak eksekutif tidak boleh melakukan hal-hal yang
sifatnya merubah atau bahkan membebaskan terdakwa dari ancaman pidana mati itu sebagaimana dalam hukum pidana nasional .
Sebaliknya, tindak pidana yang tergolong kedalam dimensi publik dan privat tersebut sangat terbuka peluang untuk bebasnya terdakwa dari ancaman pidana
mati seperti yang dikehendaki oleh Al-qur’an dalam surat Al-baqarah ayat 178,
108
Dimensi yang dimaksud disini adalah tindak-tindak pidana yang tergolong kedalam hudud yang merupakan hak Tuhan haqq li Allah, sehingga tidak ada seorangpun yang dibolehkan untuk
memaafkanmembebaskan tersangka dari tuntutan pidana yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Sebaliknya, hukum privat disini berarti tindak pidana yang tergolong kedalam kisasdiyat yang
merupakan hak perorangan haqq al-afrad al-adami. Sehingga tersangka dapat bebas dari hukuman mati apabila dimaafkan oleh keluarga korban.
Universitas Sumatera Utara
dan ini merupakan kebijakan dalam hukum pidana Islam dalam rangka menghindarkan seseorang dari pidana mati, yang artinya sebagai berikut:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas yang berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan itu mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”.
109
Ibnu al-arabi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makna ayat yang berbunyi kutiba diwajibkan diatas adalah: furida wa ulzima iza aradtum istifa’
difardukan dan diwajibkan atas kamu qisas itu apabila kamu ingin melaksanakannya. Hal ini karena menurutnya pelaksanaan eksekusi mati itu
sangat tergantung pada keluarga korban. Keluarga korban dalam hal ini mempunyai hak memilih apakah qisas pidana mati itu dijalankan atau mereka
memberikan maaf kepada tersangka pembunuhan, sehingga qisas itu tidak perlu dilakukan.
110
Senada dengan Ibnu Al-Arabi diatas, Al-qurtubi juga menerangkan dalam tafsirnya bahwa makna ayat faman ufiya dan seterusnya adalah bahwa dalam
kasus pembunuhan itu, keluarga korban diberi kebebasan seluas-luasnya, apakah menuntut qisas sebagai balasannya atau menuntut diyat sebagai kompensasi, atau
memaafkannya dalam arti membebaskan tersangka dari segala tuntutan.
111
109
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 43.
110
Ibn Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1988, hlm. 89.
111
Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1988, hlm. 171.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ayat dan penafsiran seperti tersebut diatas, maka para Fuqaha menegaskan dalam kitab-kitab fikihnya bahwa pidana mati berupa qisas itu
merupakan suatu pidana yang harus dijalankan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pidana mati tidak boleh dijalankan. Faktor-faktor tersebut
adalah:
112
1. Tersangka pembunuhan itu meninggal dunia maut al-qotil
2. Tercapainya suatu perdamaian as-sulh dalam kasus qisas antara kedua belah
pihak yang berperkara. 3.
Adanya kemaafan al-afw dari pihak keluarga korban. Beranjak dari uraian diatas, maka dapatlah dipahami bahwa kebijakan yang
ditawarkan dalam hukum pidana Islam untuk menghindari pidana mati itu adalah adanya anjuran kepada keluarga korban untuk memaafkan pelaku tindak pidana.
Kebijakan lain adalah diupayakannya perdamaian antara kedua belah pihak yang ditandai dengan pembayaran diyat kompensasi kepada keluarga korban.
Berdasarkan uraian diatas, kebijakan yang ditawarkan oleh hukum pidana Islam selain pidana mati adalah pembayaran diyat. Selain pidana pembayaran
diyat, maka kebijakan yang lain adalah dengan memaafkan pelaku pembunuhan membebaskan dari segala tuntutan. Hal yang perlu ditegaskan disini adalah
bahwa dalam hukum pidana Islam, bentuk vonis yang dijatuhkan oleh Hakim sangat tergantung pada sikap atau tuntutan keluarga korban. Ini berbeda dengan
112
Ibid, hlm. 91.
Universitas Sumatera Utara
ketentuan yang berlaku dalam hukum pidana nasional . Karena itu, dalam hukum pidana Islam pidana mati bukan hanya mengandung dimensi hukum publik
melainkan juga dimensi hukum privat. Oleh karena itu, baik dilihat dari aspek filosofis pidana mati dalam hukum
pidana Indonesia maupun aspek filosofis pidana mati dalam hukum pidana Islam, maka semuanya tidak terlepas dari tujuan hukum yang paling hakiki, yaitu demi
terciptanya keadilan. Dalam ulasannya mengenai tujuan hukum, Aristoteles mengatakan bahwa
tujuan hukum hanya dapat dicapai jika hukumnya mengandung keadilan, maksudnya adalah peraturan yang mampu memelihara keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bahagiannya sesuai dengan pengertian
keadilan yang terdiri dari 2 dua macam, yaitu: 1.
Keadilan distributif, adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang
sama banyaknya.
2. Keadilan kommulatif, adalah keadilan yang memberikan kepada setiap
orang sama banyaknya tanpa mengingat jasa-jasa perorangan.
113
Selanjutnya Aristoteles dalam Lili Rasjidi dan Arief Sidharta menyebutkan: Bila orang berbicara tentang keadilan, yang mereka anggap secara pasti
adalah adanya suatu keadaan pikiran yang mendorong mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang adil, untuk bersikap adil, dan untuk
tidak menginginkan hal yang tidak adil, karena keadilan adalah persoalan kita semua dan dalam suatu masyarakat setiap anggota berkewajiban untuk
melaksanakan keadilan itu, orang tidak boleh netral apabila terjadi sesuatu yang tidak adil.
114
113
M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, Medan: Pasca Sarjana USU, hlm. 22.
114
Lili Rasjidi dan Arief Sidharta, Flsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Bandung: Remaja Karya CV, 1989, hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
Perlu dipahami bahwa ada 4 empat syarat minimum agar keadilan mendapat pernyataannya, yaitu:
115
1. Yang adil itu adalah sekaligus tengah-tengah dan kesebandingan.
2. Dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, ia harus mempunyai 2 dua ujung,
dan diantara kedua ujung itu ia berada. 3.
Dalam sifatnya sebagai yang sebanding, kesebandingan itu harus dinyatakan dalam 2 dua bagian yang sebanding dari apa yang dibagi.
4. Dalam sifatnya sebagai yang adil, harus ada orang-orang tertentu untuk
siapa hal itu adil. Dalam hal ini, dapat diungkapkan bahwa keterkaitan makna keadilan sebagai
landasan filosofis pidana mati adalah sebagai berikut:
116
1. Keadilan merupakan satu atau sehimpunan kaidah yang diturunkan oleh
Tuhan untuk mengatur tindakan manusia. 2.
Keadilan sebagai suatu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat diterima dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh ditempuh manusia
dengan amannya.
3. Keadilan sebagai kebijaksanaan yang dicatat dari para budiman dimasa
lalu. 4.
Keadilan sebagai suatu himpunan persetujuan yang dibuat manusia didalam masyarakat yang diatur secara politik.
5. Keadilan dipikirkan sebagai satu pencerminan dari Illahi yang menguasai
alam semesta, yaitu satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang
berkesusilaan.
6. Keadilan dipahamkan sebagai suatu perintah dari penguasa yang berdaulat
didalam suatu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan. 7.
Keadilan merupakan satu gagasan sebagai perintah dari Undang-Undang yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia didalam masyarakat.
115
Ibid, hlm. 26.
116
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENGATURAN PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA