Isalam pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya korban digolongkan kedalam jarimah hudud.
Adapun yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana mati terhadap pelaku al-hirobah itu adalah Firman Tuhan dalm Surat Al-Maidah ayat 33, yang artinya:
”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dibumi, hanyalah mereka dibunuh, atau
disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan timbal balik, atau dibuang dari negeritempat kediamannya”.
211
Berdasarkan ayat tersebut diatas, para ulama melakukan interpretasi bahwa
setidaknya ada 4 empat bentuk aktivitas yang dilakukan seseorang ia dapat disebut sebagai pelaku al-hirobah. Salah satu diantaranya adalah seseorang yang secara paksa
merampas harta benda korban dan sekaligus membunuhnya. Dalam kasus seperti ini, pelaku harus divonis mati, dimana eksekusinya dilakukan dengan menusuknya
dengan tombak, kemudian disalib dipersimpangan jalan selama tiga hari. Hal tersebut dimaksudkan agar berdaya preventif dan represif bagi orang lain sehingga mereka
tidak akan melakukan kejahatan serupa.
C. Perspektif Pidana Mati Kedepan.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, karena ia merupakan makhluk yang paling bagus bentuknya jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Demikian bagusnya penciptaan manusia itu, sehingga ia dianggap sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat dan martabat yang sangat tinggi. Dalam Al-qur’an
211
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
Tuhan ada menginformasikan tentang martabat manusia itu seperti firmannya dalam QS, 17:70 dan QS, 95:4.
212
Ketinggian harkat dan martabat manusia yang luhur itu pulalah yang menyebabkan sebahagian kalangan menolak penerapan pidana mati, sehingga banyak
negara yang mencabut keberadaan pidana mati tersebut dari Undang-Undang Hukum Pidananya. Sebab pelaksanaan pidana mati yang nyata-nyata menghilangkan nyawa
terpidana dianggap oleh mereka sebagai pelecehan terhadap derajat manusia yang tinggi tersebut. Namun, oleh kalangan atau negara yang berbeda pandangan dengan
diatas, tetap mencantumkan pidana mati itu sebagai salah satu jenis pidana dalam hukum pidananya.
213
Dalam kaitan ini Djoko Prakoso pernah berkomentar, bahwa pidana mati itu merupakan suatu jenis pidana yang tua dalam usia, tetapi muda dalam berita, sebab
sampai saat ini pidana terberat itu terus menimbulkan kontoversi dikalangan ahli hukum.
214
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sampai saat ini pidana mati masih diberlakukan dalam hukum pidana nasional yang didasarkan pada Pasal 10 KUHP
meskipun senantiasa menimbulkan perdebatan serius antara yang pro dan yang kontra dengan pidana mati tersebut. Menurut kalangan yang pro, pidana terberat itu
diberlakukan, karena memang belum ditemukan alternatif lain yang efektif sebagai
212
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 435.
213
Negara-negara yang mencabut pidana mati dari hukum pidananya karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia HAM mengingat ia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki martabat
yang sangat tinggi, memiliki hak untuk hidup. Dapat dilihat dalam Yong Ohitimur, op.cit, hlm. 74.
214
Djoko Prakoso dan Nurwachid, op.cit, hlm. 129.
Universitas Sumatera Utara
penggantinya.
215
Dalam praktiknya dilapangan, para Hakim tidak jarang menjatuhkan vonis mati itu terhadap pelaku kejahatan. Pidana mati yang berlaku secara yuridis
formal ditanah air adalah dimaksudkan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan umum yang bersifat kemasyarakatan yang dibahayakan oleh penjahat yang sudah
tidak dapat diperbaiki lagi. Menurut penulis, meskipun terdapat 3 tiga teori dalam stelses hukum pidana
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, namun pada dasarnya ketiga teori tersebut membenarkan berlakunya pidana mati. Dalam teori yang pertama
absolutpembalasan misalnya, ditegaskan bahwa penjatuhan pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan sesuatu yang perlu dijatuhkan, tetapi suatu keharusan. Jadi,
seseorang dipidana semata-mata karena terbukti bersalah. Hal itu dimaksudkan untuk menciptakan keadilan ditengah-tengah masyarakat. Dalam kasus pembunuhan
berencana misalnya, Kant penganut teori absolut berpendapat bahwa tidak mungkin terdapat ganti rugi yang memuaskan secara adil kecuali pidana mati.
Selanjutnya dalam teori yang kedua relatiftujuan, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa pada dasarnya tujuan pemidanaan itu adalah untuk memperbaiki
siterpidana. Akan tetapi, pada sisi lain teori relatif itu juga menganut paham bahwa salah satu wujud pemidanaan itu adalah membinasakan terpidana yang tidak mungkin
diperbaik lagi onschadelijkmaking.
216
215
Bambang Poernomo, op.cit, hlm. 9.
216
Dalam kaitan inilah para ahli hukum seperti Lambroso dan Garofalo menegaskan bahwa pidana mati itu adalah media yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak
mungkin dapat diperbaiki lagi. Lihat Andi Hamzah dan Sumangelipu, op.cit, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan teori yang terakhir, yaitu teori gabungan memiliki tiga variasi, dimana salah satu variasinya adalah sebagaimana dikemukakan oleh Grotius yaitu
menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dan dasar tiap-tiap pidana menurutnya adalah penderitaan
yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Hal ini mengindikasikan bahwa pidana mati itu merupakan suatu pidana yang boleh
bahkan harus diterapkan dalam rangka mewujudkan keadilan dan ketentraman masyarakat.
Sebagaimana dalam hukum pidana nasional Indonesia, pidana mati itu juga berlaku dalam hukum pidana Islam. Kedua sistem hukum ini sama-sama menerapkan
pidana mati adalah untuk mewujudkan cita-cita hukum itu sendiri, yaitu secara lahiriah berarti mewujudkan keamanan, ketertiban dan keadilan. Secara bathiniyah
berarti mewujudkan ketentraman dan kedamaian dalam hukum pidana nasional.
217
Dan untuk mewujudkan kemaslahatan baik didunia maupun diakhirat dalam hukum pidana Islam.
Apabila pidana mati itu dijalankan secara tegas dan konsekuen, maka akan terwujudlah apa yang menjadi dambaan atau cita-cita hukum itu sendiri, yaitu
ketentraman dan kedamaian kemaslahatan sebagaimana disebut diatas. Sebab, penerapan eksekusi mati akan menjadikan calon penjahat berpotensial dimasyarakat
merasa takut untuk melakukan kejahatan yang sama atau kejahatan-kejahatan lain
217
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum dalam hukum pidana nasional Indonesia dapat dikategorikan kepada dua kategori, yaitu: lahiriah dan bathiniyah. Lihat Lili Rasjidi, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
yang diancam dengan pidana mati. Penerapan pidana mati dalam hukum pidana nasional adalah didasarkan pada nilai-nilai keadilan. Demikian juga dalam hukum
pidana Islam. Hal ini sesuai dengan teori-teori pemidanaan itu sendiri. Baik hukum pidana nasional Indonesia maupun hukum pidana Islam sangat
memperhatikan rasa keadilan sebagaimana disebutkan diatas. Karena itulah, keduanya sama-sama menerapkan pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan
dan tindak-tindak pidana berat lainnya yang mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat, meskipun terdapat sedikit perbedaan tentang konsep keadilan itu sendiri
dalam kedua sistem hukum tersebut.
218
Penulis melihat tidak ada ganjaran yang dapat menyeimbangi kejahatan pembunuhan dan kejahatan berat lainnya yang dilakukan
oleh terpidana kecuali menjatuhkan vonis mati. Karena itu, penulis sependapat dengan pendapat Kant yang menyatakan bahwa: andaikata besok adalah hari kiamat,
maka penjahat yang terakhir harus tetap dieksekusi pada hari ini.
219
Penjatuhan vonis mati menurut hemat penulis sangat memenuhi prinsip proporsional berdasarkan keadilan, peradaban dan kemanusiaan. Karena itu ia harus
tetap dipertahankan sebagai salah satu jenis pidana dalam KUHP. Dan apabila grasinya telah ditolak oleh Presiden, maka harus segera dijalankan tanpa
mempertimbangkan komentar-komentar kalangan yang kontra dengan pidana mati tersebut. Para ahli hukum yang kontra dengan pidana mati selalu berargumentasi
218
Dalam hukum pidana nasional Indonesia, keadilan merupakan salah satu tujuan diciptakannya hukum, bahkan oleh sebahagian pilosof mengatakan bahwa keadilan merupakan tujuan yang tertinggi.
Lihat Juhaya S. Praja, op.cit, hlm. 72.
219
JE. Sahetapy, op.cit, hlm. 154.
Universitas Sumatera Utara
bahwa manusia memiliki hak untuk hidup, memiliki martabat, nilai-nilai luhur yang tinggi, sehingga pencabutan nyawa terpidana melalui eksekusi mati itu dianggap
sebagai pelecehan dan pelanggaran terhadap hak-hak mendasar yang dimiliki manusia itu Hak Asasi Manusia.
220
Persepsi seperti ini menurut penulis tidaklah tepat, justeru karena manusia itu memiliki harkat dan martabat yang sangat tinggi,
maka pidana yang seberat-beratnya pidana mati harus dijatuhkan terhadap siapa saja yang menghilangkan nyawa manusia yang sangat berharga itu.
Penulis juga tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan bahwa pidana mati merupakan aksi balas dendam. Sebab balas dendam tidaklah identik dengan
vonis mati yang nota bene dijatuhkan oleh Hakim, dan penjatuhan vonis mati itu adalah dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan. Apalagi penjatuhan vonis mati itu
dilakukan melalui proses hukum oleh lembaga yang diberi wewenang dan diatur oleh perundang-undangan. Sedangkan balas dendam adalah tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang untuk menghabisi nyawa korban dimana tindakan tersebut cenderung dilakukan secara brutalkekerasan. Dalam hal ini penulis
berkeyakinan bahwa tidak ada sanksi yang paling tepat dan adil terhadap seorang pembunuh kecuali ia juga harus dibunuh. Dan jika ia dibiarkan tetap hidup, maka
semakin terbuka peluang untuk ia kembali melakukan kejahatan yang sama. Selain
220
Hak Asasi Manusia HAM yang senantiasa dijadikan tameng oleh kalangan yang kontra dengan pidana mati itu diatur oleh Pasal 3 The Universal Declaration of Human Rights yang menjamin
hak hidup, hak kebebasan dan keamanan bagi setiap orang. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 77.
Universitas Sumatera Utara
itu, penjahat berpotensial lainnya yang ada dalam masyarakat akan mencoba untuk mengikuti jejak-jejak siterpidana.
Selain itu, penulis juga cenderung tidak sependapat dengan yang mengatakan bahwa tidak boleh seseorang itu dijadikan sebagai sarana atau alat agar orang lain
tidak melakukan kejahatan yang sama. Justeru dengan dieksekusinya terpidana, maka hal itu diharapkan benar-benar dapat berfungsi sebagai pencegahan atau penjeraan
bagi orang lain, sehingga terwujudlah ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat. Selain itu, eksekusi mati bukan semata-mata dijadikan sebagai sarana atau tindakan
preventif bagi orang lain agar mereka takut melakukan kejahatan yang sama, melainkan juga dimaksudkan agar setimpal, sepadan dengan kejahatan yang
dilakukannya, sehingga terwujudlah keadilan ditengah-tengah masyarakat, dimana keadilan memang merupakan salah satu tujuan dibuatnya hukum.
221
Demikian juga dengan kejahatan-kejahatan berat lainnya yang dapat diancam dengan pidana mati sebagaimana diatur baik didalam maupun diluar KUHP yang
sifatnya dapat mengancam atau mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat, kesemuanya itu adalah dimaksudkan semata-mata agar terwujud rasa
keadilan. Sebab, sebuah hukum yang tidak dapat diwujudkan keadilan bukanlah hukum dan tidak akan mampu bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki
akar substansial pada keadilan pada akhirnya akan terpental. Menurut penulis, apabila makna keadilan dicermati dengan baik, maka tampak
semakin jelas eksistensi pidana mati itu dalam hukum pidana nasional Indonesia.
221
Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
Artinya, penerapan pidana dapat dipahami sebagai suatu pidana yang pantas bahkan harus dijalankan dalam rangka mewujudkan keadilan, dimana keadilan pada
hakikatnya dapat ditinjau dari 2 dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang awam, dan dari sudut pandang hukum.
Dari sudut pandang awam pandangan umum orang banyak, keadilan adalah suatu nilai yang tampak sebagai keamanan dan ketertiban seseorang dalam
menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum. Jadi, keadaan itu dikatakan adil apabila keadaan tersebut
adalah suatu kebijaksanaan wisdom yang dihasilkan oleh suatu keleluasaan policy yang pada hakikatnya menjamin kebebasan setiap orang untuk menggunakan hak dan
melaksanakan kewajibannya, tetapi juga sekalugus mengawasi dan bila perlu juga membatasi kebebasan tersebut agar tidak mengganggu kebebasan dan kepentingan
orang lain.
222
Sedangkan dari sudut hukum, keadilan adalah suatu nilai yang merupakan titik keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum.
223
Jadi, disinilah letaknya keadilan itu dalam hukum pidana bahwa setiap pelaku siapa saja orangnya harus dihukum atau dapat dihukum kepastian hukum, tetapi
apakah jenis hukumannya, seberapa berat atau ringannya, tergantung pada kesalahannya dan latar belakang penyebab terjadinya tindak pidana itu
kesebandingan hukum.
224
222
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hlm. 5.
223
Ibid, hlm. 6.
224
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis berpandangan bahwa pidana mati merupakan jenis pidana yang harus tetap diberlakukan dalam hukum pidana nasional
Indonesia. Apalagi dalam penjelasan KUHP ditegaskan bahwa pidana terberat itu masih diperlukan mengingat adanya keadaan khusus, dimana bahwa gangguan atas
ketertiban hukum disini tanah air lebih besar dari pada Nederland. Faktor lain adalah karena wilayah sangat luas dan penduduknya terdiri dari berbagai macam
golongan heterogen yang sangat mudah menimbulkan bentrokan, sedangkan aparat kepolisian tidak begitu kuat.
225
Menurut penulis, kedua faktor tersebut diatas yang dijadikan sebagai alasan oleh pemerintah kolonial untuk tetap mempertahankan
pidana mati didaerah koloni Indonesia masih sangat relevan dengan kondisi dewasa ini. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya kejahatan-kejahatan yang
sangat mengganggu dan membahayakan ketentraman dan kedamaian masyarakat dewasa ini.
Untuk menegakkan prinsip keadilan, maka dalam hukum pidana Islam juga diterapkan pidana mati. Syari’at Islam mengajarkan bahwa dalam hidup
bermasyarakat harus menegakkan prinsip keadilan. Salah satu keadilan yang harus ditegakkan adalah keadilan hukum. Hukum harus ditegakkan kepada semua orang
atas dasar kesamaan, tanpa adanya perbedaan. Sesuai dengan namanya yaitu qisas yang berarti adil atau sama, maka pidana mati
berupa qisas itu dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, dan menghilangkan
225
Andi Hamzah dan Sumangelipu, op.cit, hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
kezaliman ditengah-tengah masyarakat.
226
Selain itu, pidana mati juga dimaksudkan untuk melanggengkan kehidupan masyarakat itu sendiri sebagaimana informasi Al-
qur’an dalam QS, 2:179 dan dalam qisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang berakal, supaya kamu bertaqwa.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam ayat diatas terdapat satu kalimat yang menurut banyak ahli tafsir sangat spektakuler, sekaligus menunjukkan
esensi dan rasio pidana mati itu, yaitu fi al-qisas hayat dalam qisas itu terdapat kehidupan. Untuk dapat memahami nas Al-qur’an tersebut, maka harus melalui
penalaran yang rasional dan memadai. Tanpa rasionalisasi yang matang sulit diterima, bagaimana mungkin terdapat kehidupan dalam qisas yang nota bene adalah
pembalasan berupa penghilangan nyawa.
227
Dalam banyak tafsir, diinterpretasikan bahwa maksud statemen tersebut adalah bahwa dengan pidana qisas dapat dipertahankan kehidupan masyarakat baik dilihat
dari sisi pelaku maupun sisi masyarakat luas yang akan menjadi korban pembunuhan. Dalam tafsir Abi Su’ud misalnya, dikemukakan bahwa
Pidana mati berupa qisas itu merupakan jalan untuk memperoleh kehidupan yang cukup luas, karena jika calon pelaku pembunuhan mengetahui apabila membunuh
pasti iapun dibunuh, maka ia akan mengurungkan niatnya. Dengan demikian akan terpeliharalah kelangsungan hidup mereka baik calon pelaku maupun calon
korbannya.
228
226
Abu Bakar, op.cit, hlm. 109.
227
Ibid, hlm. 111.
228
Abi As-Su’ud Muhammad bin Muhammad Al-Ummari, tafsir Abi As-Su’ud, Beirut: Dar Ihya At-Turas Al-Arabi, 1990, hlm. 196.
Universitas Sumatera Utara
Imam Al-qurtubi dalam tafsirnya menegaskan bahwa ayat diatas merupakan kalam yang balig dan wajiz, artinya meskipun ayat tersebut singkat, namun memiliki
makna yang sangat luas. Makna dimaksud adalah bahwa jika pidana qisas itu dijalankan secara tegas dan konsekuen, maka orang lain menjadi takutjera untuk
melakukan kejahatan yang sama. Implikasi lebih lanjut adalah bahwa keduanya akan dapat mempertahankan kehidupan mereka.
229
Karena itu, sangat keliru jika pidana mati dalam hukum pidana Islam dipersepsikan sebagai suatu hukum yang kejam, sadis, tidak berprikemanusiaan, dan
melanggar HAM. Justeru penerapan pidana mati dalam hukum pidana Islam itu dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. HAM
sangat dihargai dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Manusia sepakat bahwa ia merupakan makhluk Tuhan yang memiliki harkat dan martabat yang sangat tinggi,
karenanya dalam hukum pidana Islam ditegaskan siapa saja yang menghilangkan nyawa manusia yang sangat berharga itu harus ditindak tegas dengan pidana mati.
Dengan penerapan pidana mati yang tegas dan konsekuen, maka diharapkan dapat berfungsi sebagai pencegahan mawani atau penjeraan zawajir bagi para penjahat
berpotensial lainnya, sehingga terpeliharalah nyawa manusia yang sangat dihargai dan dijunjung tinggi oleh manusia itu sendiri. Penerapan pidana mati itu tentu saja
tidak berarti menghilangkan atau menapikan adanya pembunuhan dan kejahatan yang berbahaya lainnya secara total. Sebab sepanjang manusia itu masih hidup diatas dunia
229
Al-Qurtubi, op.cit, hlm. 172.
Universitas Sumatera Utara
ini, maka masih terbuka peluang untuk melakukan kejahatan. Hal ini sesuai dengan informasi QS, 2:30 dan QS, 12:53.
Dalam kaitan ini, bahwa salah satu tujuan utama diutusnya Rasul As keatas dunia adalah untuk menghilangkanmenghapuskan kezaliman diantara sesama manusia.
230
Dengan demikian, selain dimaksudkan sebagai general detterence penjeraanpencegahan bagi masyarakat luas, pidana mati berupa qisas itu dalam
pembunuhan sengaja juga dimaksudkan untuk menghapuskan kezaliman dan menegakkan keadilan terhadap sesama manusia keluarga korban. Hal ini
membuktikan bahwa pidana mati itu bukan merupakan hukum balas dendam, hukum karma, sebagaimana dipersepsikan oleh banyak kalangan.
Dalam kaitan ini, Abu Zahrah menegaskan bahwa: Pidana mati itu tidaklah identik dengan balas dendam, setidaknya ada 2 dua
perbedaan mendasar antara qisas dengan balas dendam. Balas dendam biasanya sanksi hukum atas perlakuan keluarga korban terhadap pelaku kejahatan sangat
berlebihan, sedangkan qisas dijalankan harus adil, atau balasannya benar-benar seimabng dengan kejahatan mereka. Perbedaan kedua adalah balas dendam
biasanya dilakukan oleh orang yang lebih kuat kepada orang yang labih lemah, sedangkan qisas dapat dilakukandituntut oleh siapa saja melalui proses peradilan
dalam rangka menegakkan keadilan.
231
Demikian juga dengan tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana mati,
semuanya itu dimaksudkan agar terwujudnya kemaslahatan ditengah-tengah masyarakat dan terhindar dari kezaliman.
Sehubungan dengan salah satu tujuan diterapkannya pidana mati yaitu agar dapat berfungsi sebagai penjeraanpencegahan bagi calon penjahat berpotensial lainnya,
230
Ibid.
231
Abu Bakar, op.cit, hlm. 246.
Universitas Sumatera Utara
maka menurut penulis seyogyanya mekanisme eksekusinya dilakukan sama seperti yang berlaku dalam hukum pidana Islam didepan umum. Seperti diketahui bahwa
dalam hukum pidana nasional Indonesia eksekusi tersebut dilakukan secara sesederhana mungkin dan tidak didepan umum. Karena, menurut hemat penulis
apabila eksekusinya dilakukan didepan umum, maka penerapan pidana itu dapat berfungsi sesuai dengan yang diharapkan yaitu generale deterrence penjeraan bagi
masyarakat luas. Sebaliknya, apabila pelaksanaannya dilakukan sesederhana mungkin, tidak didepan umum, maka fungsinya sebagai penjeraan atau pencegahan
kurang efektif. Sebab eksekusi yang tidak disaksikan langsung oleh penjahat berpotensial lainnya secara psikologis kurang memberi kesan yang dalam bagi
mereka. Uraian-uraian tersebut diatas, menunjukkan bahwa pidana mati yang berlaku
dalam hukum pidana Islam itu tidaklah kejam atau sadis seperti yang dipersepsikan oleh banyak kalangan. Bahkan dalam hukum pidana Islam, hak-hak keluarga korban
sangat diperhatikan. Hal ini dapat diperhatikan adanya hak menerima diyat bagi keluarga korban apabila mereka bersedia berdamai dengan terpidana. Ketentuan ini
berbeda dengan yang berlaku dalam hukum pidana nasional . Adanya ketentuan bahwa divonis mati atau tidaknya terdakwa tergantung tuntutan keluarga korban, juga
menunjukkan bahwa hukum pidana Islam lebih memperhatikan nilai kemanusiaan sekaligus keadilan.
Penerapan pidana mati dalam hukum pidana Islam ternyata lebih banyak diserahkan kepada jalan perdamaian as-sulh sebagaimana anjuran Al-qur’an yaitu
Universitas Sumatera Utara
QS, 2:178 dan QS, 4:92. hal ini merupakan bukti bahwa hukum pidana Islam bukanlah hukum yang bengis, kejam, dan sadis. Praktik yang sering terjadi ditengah-
tengah masyarakat dewasa ini yang menghabisi nyawa seseorang dengan brutal dan kekerasan karena dianggap sebagai penjahat justeru merupakan hukum yang kejam,
dimana syariat Islam sangat menentang perbuatan seperti itu. Selanjutnya, penerapan pidana mati yang dilakukan dengan selektifketat juga
merupakan jawaban terhadap kekhawatiran para ahli hukum positifmodern yang keberatan dengan pidana mati itu, dengan alasan bahwa jika dikemudian hari terjadi
kekeliruan, pidana tersebut tidak dapat ditarik kembali. Indikasi selektifnya penerapan pidana terberat itu dapat dibuktikan dengan adanya prinsip kaedah dalam
hukum pidana Islam yang menyebutkan bahwa pidana hudud dan qisas tidak dapat dijalankan apabila terdapat syubhat keragu-raguan. Kaedah dimaksud berbuyi:
Pidana hudud harus dibatalkan apabila terdapat keraguan. Berkaitan dengan hal ini pula Rasulullah SAW menegaskan dalam Hadisnya, yang artinya:
”Dari Aisyah berkata, telah bersabda Rasulullah: Hindarkanlah pidana hudud terhadap seorang muslim semaksimal mungkin, dan jika kamu menemukan jalan
untuk membebaskannya, maka bebaskanlah ia. Sesungguhnya seorang imam atau hakim lebih baik salah salam memaafkan daripada salah dalam menjatuhkan
pidana”.
232
Berdasarkan Hadis dan kaedah hukum Islam tersebut diatas, maka dapat diketahui
bahwa penjatuhan vonis mati tersebut dilakukan dengan sangat selektif karena hal tersebut menyangkut nyawa manusia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
232
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Al-jami’ As-Sahih Sunan At-Tirmizi, Mesir, Mustafa Al-Baby Al-Halaby Wa Auladih, 1975, hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
selektifnya penjatuhan vonis itu adalah dimaksudkan agar jangan sampai terjadi kekeliruan dalam menjatuhkan vonis mati itu. Akhirnya, penulis berkesimpulan
bahwa untuk kondisi saat sekarang ini, maka pidana mati itu masih sangat relevan untuk diterapkan, agar dapat berfungsi sebagai edukatif, preventif, dan sekaligus
berdaya represif dalam mengantisipasi dalam tindak-tindak pidana yang semakin merajalela dewasa ini. Apalagi penerapan pidana mati secara tegas itu dalam kasus
pembunuhan sengaja menurut hukum pidana Islam merupakan jaminan untuk langgengnya sebuah kehidupan bermasyarakat QS, 2:179, rasionalisasinya adalah
bahwa seseorang yang bermaksud melakukan tindak pidana berat akan berpikir panjang karena pada akhirnya ia akan dibunuh.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN