Argumentasi Pro dan Kontra Terhadap Pidana Mati Di Indonesia .

BAB IV PERSPEKTIF PENGATURAN PIDANA MATI KEDEPAN

A. Argumentasi Pro dan Kontra Terhadap Pidana Mati Di Indonesia .

Pelaksanaan pidana mati adalah merupakan salah satu yang mendatangkan perdebatan dan banyak reaksi. Baik di maupun dinegara-negara lainnya, sejak dahulu permasalahan ini telah membangkitkan respon dari setiap lapisan masyarakat. Hampir 130 negara didunia telah menghapuskan hukuman mati dari sudut pandang sosial, hukum, dan agama. Oleh karenanya, permasalahan ini telah meningkatkan suhu perdebatan hampir diseluruh negara, sehingga menjadi amatlah penting untuk menghadirkan berbagai dimensi signifikan sesungguhnya dari perspektif keadilan sosial dan hukum. Kebutuhan untuk menghadirkan permasalahan yang klasik ini, dalam rangka perpaduan yurisprudensi yang progresif dan realisme yang ada, merupakan salah satu yang harus dilakukan jika semangat masyarakat umum, khususnya para pemerhati hukum, terhadap permasalahan sosial memang ingin dilayani dengan sungguh-sungguh. 194 Perdebatan mengenai pidana mati sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya memang sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana diberbagai belahan dunia. Dari pendekatan historik dan teoritik, pidana mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini mengajarkan 194 HM. Nasruddin Anshoriy, Jihad Melawan Korupsi, http:www.ombudsman- asahan.orgindex.php?option=com_contenttask=viewid=399itemid=74 diakses tanggal 13 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara tentang pentingnya efek jera detterence effect dalam pemidanaan. Dalam perkembangannya teori ini mengalami perubahan yang signifikan. Pemidanaan tidak lagi ditujukan pada efek jera, akan tetapi lebih kepada rehabilitasi terhadap terpidana, yakni dengan mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima oleh masyarakat. Terhadap pertanyaan pidana mati terdapat 2 dua arus pemikiran utama, pertama: adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang ingin menghapuskan secara keseluruhan. Akhir-akhir ini, pertanyaan mengenai konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia untuk pertama kali dimajukan kehadapan Mahkamah Konstitusi MK, dimana ketentuan pidana mati dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pengertian bahwa hukuman tersebut bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945. Perdebatan tentang pidana mati di Indonesia mengemuka menjadi bagian dari diskursus sosial, terutama dibidang ilmu hukum, dengan adanya pengujian konstitusional pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika 195 , serta pengujian Undang-Undang Nomor 2PnPs1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. 196 195 Putusan Nomor 2-3PUU-V2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Narkotika. Putusan Diucapkan Dalam Sidang Terbuka Untuk Umum Pada Tanggal 23 Oktober 2007. 196 Putusan Nomor 21PUU-VI2008 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2PnPs1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Putusan Diucapkan Dalam Sidang Terbuka Untuk Umum Pada Tanggal 15 Oktober 2008. Universitas Sumatera Utara Namun sesungguhnya perdebatan tersebut telah lama ada sebagai bahagian dari perkembangan perdebatan umat manusia, bersamaan dengan dipraktikkannya pidana mati itu sendiri. Di era modern gerakan menghapus pidana mati menguat pada abad ke-18. gerakan ini mengkritik pidana mati sebagai bentuk pidana yang tidak manusiawi dan tidak efektif. 197 Di Indonesia, perdebatan mengenai pidana mati memiliki makna tersendiri mengingat posisi sebagai negara demokrasi muslim terbesar. Perubahan hukum yang terjadi di akan mempengaruhi negara-negara berpenduduk muslim lainnya. Jika saja Mahkamah Konstitusi memutus bahwa pidana mati bertentangan dengan konstitusi, yang berarti penghapusan pidana mati, maka hal tersebut akan menjadi momentum penting turning point bagi penghapusan pidana mati dinegara-negara berpenduduk muslim lainnya yang pada umumnya masih menerapkan pidana mati. Dalam penjatuhan pidana mati terhadap seseorang sangat memungkinkan terjadi kesalahan oleh hakim, terlebih dalam penegakan hukum di yang masih perlu dipertanyakan. Kita tidak bisa berharap sebuah keputusan yang adil dalam dunia peradilan yang masih korup. 198 Tampaknya tidak arif apabila kita menyerahkan wewenang yang begitu besar yang menyangkut nyawa seseorang terhadap lembaga peradilan yang masih korup. Perlu dicatat, sepanjang masih ada instrumen hukum yang memberikan ancaman pidana mati dan potensi penolakan grasi oleh Presiden 197 Efektifitas pidana mati terkait dengan efek penjeraan detterence sebagai salah satu tujuan penghukuman. 198 Korupnya peradilan dapat dilihat dari berbagai pemberitaan, baik pemberitaan media cetak maupun media elektronik yang berkaitan dengan ditangkapnya berbagai penegak hukum sehubungan dengan perkara yang ditanganinya. Universitas Sumatera Utara sangat terbuka. Oleh sebab itu sebaiknya perjuangan untuk menghapuskan pidana mati harus dibarengi dengan upaya melakukan review terhadap seluruh instrumen hukum yang mencantumkan klausula ancaman pidana mati. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana RUU KUHP yang baru, mengandung reformasi pemikiran tentang pidana mati yang menetapkan sebagai: 1 pidana khusus, 2 pidana mati percobaan, dan 3 kalau 10 tahun tidak dilaksanakan, maka otomatis menjadi seumur hidup. Rumusan RUU KUHP ini sudah cukup mengakomodir perdebatan tentang pidana mati, ada baiknya hal ini ditiru oleh peraturan perundang-undangan yang lain yang mencantumkan ancaman pidana mati. Tampaknya mustahil kita menentang pidana mati sementara peraturan perundang- undangan kita termasuk yang lahir pada era reformasi masih mencantumkan ancaman pidana mati. Perdebatan menganai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun UUD 1945 masuk kedalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun non derogable rights. Namun demikian instrumen hukum internasional tidak sama sekali melarang pidana mati melainkan membatasi penerapannya. Hal tersebut dalam konteks hukum di Indonesia dikukuhkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3PUU-V2007 yang menyatakan bahwa dimasa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan 4 hal penting, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. 2. Pidana mati dapat dijatuhkan pada masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. 3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. 4. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. 199 Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa argumentasi yang menyatakan bahwa belum diterimanya penghapusan pidana mati di Indonesia. Hal ini harus dipahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat belum dapat menerima penghapusan pidana mati. Pidana mati masih dipahami sebagai sesuatu yang sah secara hukum maupun moral. Kalaupun pidana mati dianggap melanggar hak hidup, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidana tertentu. Namun, kesadaran sejarah tentu akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat dan munculnya pemikiran-pemikiran baru yang mendasari upaya penghapusan pidana mati. Pada saat terjadi perubahan kesadaran sejarah masyarakat tentu pidana mati dapat dihapuskan, yang dapat terjadi melalui pembentuk Undang- Undang maupun Hakim karena keduanya dipengaruhi bahkan merupakan refleksi dari kesadaran sejarah masyarakatnya. 200 Pada tahap perkembangan selanjutnya, kontroversi pidana mati di Indonesia mengemuka terkait dengan dikeluarkannya beberapa Keputusan Presiden ditahun 199 Putusan Nomor 2-3PUU-V2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Narkotika. Putusan Diucapkan Dalam Sidang Terbuka Untuk Umum Pada Tanggal 23 Oktober 2007. 200 HM. Nasruddin Anshoriy, Jihad Melawan Korupsi, http:www.ombudsman- asahan.orgindex.php?option=com_contenttask=viewid=399itemid=74 diakses tanggal 13 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara 2003 yang menolak permohonan grasi terhadap para terpidana mati yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan. Ada 2 dua wacana yang saling bertentangan dalam perdebatan tersebut, yakni yang setuju terhadap pidana mati dan yang tidak setuju terhadap pidana mati tersebut. Secara singkat, pihak yang setuju berargumentasi bahwa pidana mati masih relevan diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum positif . Sedangkan pihak yang tidak setuju beralasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dengan mengacu pada UUD 1945 yang mengutip Pasal 28 A yang berbunyi: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, dengan demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 201 Secara filosofis, penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kejahatan telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah kehidupan. Perdebatan ini berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh hukum pidana melalui penerapan pemidanaan. Ide penghapusan pidana mati dikembangkan oleh paham abolisionis yang menganggap pidana mati adalah bentuk pemidanaan yang kejam, tidak manusiawi dan bersumber dari teori retributif yang melegitimasi pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan. Gerakan yang diusung oleh kaum abolisionis bertujuan tidak hanya untuk menghapus pidana mati, melainkan bertujuan untuk menghapus segala bentuk pemidanaan. Gerakan ini lahir dari pemikiran aliran positif dengan menggagas metode treatment sebagai tujuan 201 Ibid. Universitas Sumatera Utara pemidanaan. Aliran positif kemudian diteruskan oleh aliran socio defence radikal yang dikembangkan oleh Filippo Gramatica. 202 Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengonfirmasi fakta-fakta dilapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu, pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberi perlakuan treatment untuk resosialisasi dan perbaikan sipelaku. 203 Selanjutnya, metode treatment sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritik, yaitu: 204 1. Pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki treatment atas nama penahanan. 2. Adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. 3. Program rehabilitasi dihadapkan pada kritikan bahwa semua ilmu pengetahuan didunia ini pada kenyataannya tidak dapat merehabilitasi seseorang yang mempunyai sikap antisosial. 202 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, Jakarta: Kompas, 2009, hlm. 272. 203 Ibid, hlm. 274. 204 Ibid, hlm. 279. Universitas Sumatera Utara Kemudian, apabila pidana mati dianggap bersumber dan filsafat pembalasan, yaitu aliran retributif, maka perlu diingat makna pembalasan pada aliran retributif tidak bermakna sebagai balas dendam, melainkan pembalasan yang sesuai proporsional dengan kesalahan pelaku kejahatan. Pemidanaan ini menurut teori retributif merupakan pembenaran secara moral karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respons terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dan tanggungjawab moral dan kesalahan hukum sipelaku. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila didalam masyarakat oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. 205 Oleh karena itu, ide penghapusan semua bentuk pemidanaan termasuk pidana mati yang dipelopori oleh aliran dengan metode treatment dan juga diadopsi oleh aliran social defence radikal merupakan ide yang telah gagal, kegagalan aliran ini membuat para sarjana menoleh kembali kepada falsafah retributif dan deterrence yang sebelumnya juga telah dianggap gagal. Usaha melihat kembali falsafah tujuan pemidanaan ke retributif dan deterrence ini didasarkan pada beberapa alasan, yaitu: 206 1. Secara alami terdapat kecenderungan pada manusia untuk melakukan pembalasan terhadap orang yang telah menderitakannya dan hal ini 205 Ibid, hlm. 283. 206 Ibid, hlm. 297. Universitas Sumatera Utara seharusnya mendapat dukungan untuk diekspresikan dalam hukum pidana secara resmi. 2. Penjatuhan pidana sesuai dengan kualitas moral dari perbuatan pidana seseorang, yaitu maksud intent pelaku untuk menyerang atau melukai orang lain.

B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pidana Mati.