Mekanisme eksekusi mati dalam hukum pidana Indonesia .

menghamburkan gas-gas yang merusak kesehatan dan sebagainya. Adapun bahan peledak adalah semua benda yang dapat meledak, misalnya: bom, granat, ranjau, dan sebagainya. 6. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal ini berbunyi: ”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun”. 135 Dari semua Undang-Undang tersebut diatas, baik yang tercantum didalam maupun diluar KUHP dapat diketahui bahwa tindak pidana yang memungkinkan untuk dipidana mati adalah terbatas pada kejahatan-kejahatan yang tergolong berat saja.

2. Mekanisme eksekusi mati dalam hukum pidana Indonesia .

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 PnPs Tahun 1964 Tentang tata Cara atau Mekanisme Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan dalam lingkungan 135 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bandung: Fokusmedia, 2003, hlm. 13. Universitas Sumatera Utara Peradilan Umum dan Peradilan Militer, maka eksekusi tersebut dilakukan dengan menembak terpidana sampai mati. 136 Menurut konsiderans Undang-Undang Nomor 2 PnPs Tahun 1964 itu, bahwa ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi mekanisme pelaksanaan pidana mati bagi orang-orang yang divonis mati oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum dan peradilan militer, baik militer maupun bukan militer tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan jiwa revolusi . 137 Adapun mekanisme eksekusi mati sebagaimana dikehendaki oleh Undang- Undang tersbeut diatas diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 15 bagi Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, dan Pasal 17 bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. Ketentuan-ketentuan eksekusi mati yang diatur oleh Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai berikut: a. Pidana mati dilaksanakan disuatu tempat, dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, kecuali Menteri Kehakiman menentukan lain. b. Pidana dijatuhkan atas diri beberapa orang didalam suatu putusan dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan yang demikian itu. 136 Sebelum lahirnya Undang-Undang diatas, maka eksekusi mati itu dilakukan oleh seorang algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terpidana dan mengikatkan penjeratan itu ditiang gantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Hal tersebut mirip dengan mekanisme eksekusi mati pada zaman kerajaan majapahit. 137 Prakoso dan Nurwachid, op.cit, hlm. 135. Universitas Sumatera Utara c. Kepala Polisi Daerah Kapolda menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati setelah mendengar saran dari Jaksa TinggiJaksa, dan dengan catatan Kapolda bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati, dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu. d. Kapolda atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa TinggiJaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya. e. Tiap kali 24 dua puluh empat jam sebelum pelaksanaan pidana mati, Jaksa TinggiJaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut, dan apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa TinggiJaksa tersebut. f. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. g. Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati. h. Pidana mati tidak dilaksanakan dimuka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh presiden. i. Untuk pelaksanaan pidana mati, kapolda membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang bintara, dua belas orang tamtama, dibawah pimpinan seorng perwira, semuanya dari Brigade Mobile Brimob. Khusus terhadap pelaksanaan tugas tersebut, regu penembak tidak mempergunakan senjata Universitas Sumatera Utara organiknya, dan regu penembak berada dibawah perintah Jaksa TinggiJaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati. j. Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, dan setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, komando pengawal menutup mata siterpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. k. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu Jaksa TinggiJaksa dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. l. Setelah terpidana siap ditembak dimana dia akan menjalani pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ketempat yang ditentukan oleh Jaksa TinggiJaksa. Jarak antara titik dimana terpidana berada dengan regu penembak tidak boleh melebihi 10 sepuluh meter, dan tidak boleh kurang dari 5 lima meter. m. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa TinggiJaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. Kemudian dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. Selanjutnya dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, komandan regu penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya keatas ia memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung Universitas Sumatera Utara terpidana, dan dengan menggerakkan pedangnya kebawah secara cepat ia memberikan perintah untuk menembak. Apabila setelah penembakan itu terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka komandan regu segera memerintahkan kepada bintara regu penembak melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat diatas telinganya. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana, dapat meminta bantuan seorang dokter. n. Untuk menguburkan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana terkecuali berdasarkan kepentingan umum Jaksa TinggiJaksa tersebut memutuskan lain. Dalam hal terakhir ini, dan juga tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana, maka penguburan itu diselenggarakan oleh negara dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agamakepercayaan yang dianut oleh terpidana. o. Jaksa TinggiJaksa harus membuat berita acara dari pelaksanaan pidana mati itu. Isi dari berita acara itu disalin kedalam surat putusan pengadilan yang telah mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara telah disalin kedalam surat putusan pengadilan bersangkutan. Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya. 138 138 Ibid, hlm. 139. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya Pasal 17 Undang-Undang tersebut diatas menetapkan bahwa pidana mati yang berlaku dilingkungan peradilan militer dilakukan menurut ketentuan termasuk dalam Bab I dan II 139 , dengan ketentuan bahwa: a. Kata-kata ”Menteri Kehakiman” harus dibaca ”MenteriPanglima Angkatan yang bersangkutan”. b. Kata-kata ”Kepala Polisi Daerah” harus dibaca ”PanglimaKomandan Daerah Militer”. c. Kata-kata Jaksa TinggiJaksa harus dibaca ”Jaksa TentaraOditur Militer”. d. Kata-kata ”Brigade Mobile” dan ”Polisi” harus dibaca ”Militer”. e. Jika dalam penentuan tempat dan waktu itu tersangkut wewenang PanglimaKomandan Daerah Militer dari Angkatan lain, maka Panglima atau Komandan Daerah tempat kedudukan Pengadilan Militer yang menjatuhkan putusan pengadilan dalam tingkat pertama merundingkan dengan Panglima atau Komandan dari angkatan yang bersangkutan. f. Terpidana, jika seorang militer maka ia berpakaian dinas harian tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain. 140 Demikian eksekusi pidana mati dalam hukum pidana nasional , dimana secara sederhana dapat disimpulkan bahwa eksekusi tersebut dilakukan dengan cara menembak siterpidana sampai mati. 139 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1964 terdiri dari tiga bab. Bab Pertama merupakan ketentuan umum. Bab dua mengenai mekanisme eksekusi mati dilingkungan peradilan umum, dan bab tiga adalah mekanisme eksekusi mati dilingkungan peradilan militer. 140 Prakoso dan Nurwachid, op.cit, hlm. 140. Universitas Sumatera Utara

B. Pengaturan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Islam.

1. Kategori tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.

Adapun tindak pidana jarimah yang diancam dengan pidana mati, baik dalam Al-qur’an maupun Hadis adalah sebagai berikut: a. Pembunuhan sengaja al-gatl al-’amd. Pembunuhan dengan sengaja dalam konteks ini adalah bahwa seseorang dengan sengaja menghilangkan nyawa korbannya. Indikasi kesengajaan itu adalah bahwa tersangka menggunakan alat atau benda-benda yang dapat mematikan. Misalnya dengan pedang, pisau, atau sesuatu apa saja yang menurut kebiasaan dapat mematikan. Misalnya, menenggelamkannya diair, memberinya racun dan sebagainya. 141 Pidana mati yang dijatuhkan terhadap tindak pidana pembunuhan sengaja itu disebut dengan qisas, yang berarti sebanding, setimpal, sebab sipelaku akan dibunuh karena ia juga telah membunuh orang lain. 142 Pidana qisas yang dijatuhkan terhadap pelaku pembunuhan sengaja sebagaimana dikemukakan diatas adalah didasarkan pada Firman Tuhan dalam Surat Al-Baqarah ayat 178, yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.” 143 141 Menurut Imam Hanafi, pembunuhan yang dapat divonis dengan pidana mati hanyalah pembunuhan yang dilakukan dengan senjata tajam, seperi pedang, pisau, dan sejenisnya. 142 Sesuai dengan namanya yaitu kisas yang berarti setimpal, maka pidana kisas itu terbagi kepada dua macam, yaitu: kisas terhadap nyawa sebagaimana dikemukakan diatas, dan kisas terhadap anggota badan. Misalnya, seseorang yang mencungkil mata orang lain, maka hal yang sama harus dilakukan terhadap tersangka. 143 Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 43. Universitas Sumatera Utara