B. Pengaturan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Islam.
1. Kategori tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.
Adapun tindak pidana jarimah yang diancam dengan pidana mati, baik dalam Al-qur’an maupun Hadis adalah sebagai berikut:
a. Pembunuhan sengaja al-gatl al-’amd.
Pembunuhan dengan sengaja dalam konteks ini adalah bahwa seseorang dengan sengaja menghilangkan nyawa korbannya. Indikasi kesengajaan itu adalah
bahwa tersangka menggunakan alat atau benda-benda yang dapat mematikan. Misalnya dengan pedang, pisau, atau sesuatu apa saja yang menurut kebiasaan
dapat mematikan. Misalnya, menenggelamkannya diair, memberinya racun dan sebagainya.
141
Pidana mati yang dijatuhkan terhadap tindak pidana pembunuhan sengaja itu disebut dengan qisas, yang berarti sebanding, setimpal, sebab sipelaku
akan dibunuh karena ia juga telah membunuh orang lain.
142
Pidana qisas yang dijatuhkan terhadap pelaku pembunuhan sengaja sebagaimana dikemukakan diatas adalah didasarkan pada Firman Tuhan dalam
Surat Al-Baqarah ayat 178, yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.”
143
141
Menurut Imam Hanafi, pembunuhan yang dapat divonis dengan pidana mati hanyalah pembunuhan yang dilakukan dengan senjata tajam, seperi pedang, pisau, dan sejenisnya.
142
Sesuai dengan namanya yaitu kisas yang berarti setimpal, maka pidana kisas itu terbagi kepada dua macam, yaitu: kisas terhadap nyawa sebagaimana dikemukakan diatas, dan kisas terhadap anggota
badan. Misalnya, seseorang yang mencungkil mata orang lain, maka hal yang sama harus dilakukan terhadap tersangka.
143
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 43.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian dalam surat Al-Maidah ayat 45, yang artinya: ”Dan Kami telah tetapkan kepada mereka didalamnya yaitu Taurat
bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada
qisasnya”.
144
Selain berdasarkan Al-Qur’an, pidana terberat itu juga didasarkan kepada
Hadis Rasulullah SAW, yang artinya: ”Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: tidak dibenarkan
membunuh seorang muslim kecuali dalam tiga hal, yaitu: seorang muhsan sudah pernah menikah yang melakukan perzinahan, seseorang yang
membunuh seorang muslim dengan sengaja, dan seorang muslim yang keluar dari Islam”.
145
b. Perampokan qat’u at-tariqal-hirabah.
Perampokanqa’u at-tariq ini sering juga disebut dengan pencurian besar sirqah al-kubra, sebab kejahatan ini dilakukan secara paksa dan mengancam
korbannya dengan senjata atau benda-benda lain yang dapat mengancam nyawa korbannya.
146
Perampokan yang diancam dengan pidana mati disini adalah perampokan yang mengakibatkan matinya korban.
Adapun dasar hukum dijatuhkannya pidana mati tersebut adalah Firman Tuhan dalam Surat Al-Maidah ayat 33, yang artinya:
”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dibumi, hanyalah mereka dibunuh, atau
disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan timbal balik, atau dibuang dari negeritempat kediamannya”.
147
144
Ibid, hlm.
145
Abu Bakar, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Semarang: Toha Putra, 1984, hlm. 199.
146
Muhammad Syarbaini AL-Khatib, Al-Iqna, Semarang: Toha Putra, 1983, hlm. 238.
147
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 164.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ayat diatas, para ulama mengkategorikan tindak pidana qat’u at-
tariqhirobah itu kedalam 4 empat bentuk, yaitu: 1.
Seseorang yang menciptakan suasana mencekam, rasa tidak aman, atau menakutkan ditengah jalan, sehingga orang lain merasa takut untuk melintasi
jalan tersebut. 2.
Seseorang yang secara paksa merampas harta benda korbannya ditengah jalan. 3.
Seseorang yang secara sengaja membunuh korbannya ditengah jalan. 4.
Seseorang yang secara paksa merampas harta benda korban dan sekaligus membunuhnya.
Dari keempat kategori hirobah diatas, maka urutan ketiga dan empat merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati. Dan khusus kejahatan
yang terakhir, maka sipelaku dibunuh kemudian disalib.
c. Pemberontakan al-bagyu.
Pemberontakan atau makar yang dimaksud disini adalah adanya gerakan sekelompok orang yang mengingkari atau menentang kepemimpinan yang sah.
Bentuk penentangan itu dapat berupa keengganan mereka dalam melaksanakan kewajibannya, seperti pembayaran zakat, pajak, dan sebagainya. Gerakan ini
dapat dinyatakan sebagai pemberontak apabila telah memiliki kekuatan, basiswilayah tertentu, dan pemimpin. Selain itu mereka telah memulai
Universitas Sumatera Utara
penyerangan. Apabila kriteria itu telah terpenuhi, maka mereka wajib diperangidipidana mati setelah diberi peringatan.
Dalam hal ini, Al-Qur’an menjelaskan dalam Surat Al-Hujarat ayat 9, yang artinya:
”Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang membuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah”.
148
Dalam kasus pemberontakan seperti ini, ada kasus yang menarik untuk diulas,
yaitu pemberontakan al-bagyu Gerakan Aceh Merdeka GAM terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI yang pada saat sekarang ini telah diberikan
otonomi khusus untuk menjalankan Syariat Islam berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Pertanyaan yang muncul
adalah: apakah pemberontakan yang dilakukan GAM dapat dikenakan pidana mati?
Dalam hal ini, penulis dapat mengemukakan analisis sebagai berikut: Bahwa pada saat GAM melakukan pemberontakan terhadap NKRI, secara legalitas
Propinsi Aceh belum menganut Syariat Islam dalam menjalankan roda Pemerintahan Aceh, artinya adalah pemberontakan yang dilakukan tersebut
masuk dalam kategori tindak pidana yang diancam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, atau dengan perkataan lain, di Propisni Aceh masih diterapkan
hukum pidana dan terhadap GAM dikenakan sanksi hukum pidana nasional
148
Ibid, hlm. 846.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. Akan tetapi setelah penandatanganan MoU Memorandum of Understanding di Helsinky antara Pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka
GAM pada tanggal 15 Agustus 2005. Kemudian ditindaklanjuti pengesahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh oleh DPR RI pada tanggal 11 Juli 2006,
maka di daerah Propinsi Aceh berlakulah Syariat Islam dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun, yang perlu diketahui adalah bahwa dengan berlakunya Syariat Islam di Propinsi Aceh tidak secara otomatis dapat menjatuhkan pidana mati terhadap
pemberontakan GAM yang dilakukan sebelumnya, alasannya adalah bahwa selain adanya perdamaian yang dilakukan antara pemerintah dengan GAM melalui
penandatanganan MoU di Helsinky, selain itu juga adanya asas tidak berlaku surut yang dianut dalam hukum pidana Islam.
Para ahli fikih modern menyatakan bahwa asas tidak berlaku surut adalah salah satu dari prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu: Tidak ada hukum untuk
perbuatan-perbuatan sebelum adanya suatu nas. Karena itu tidak ada kejahatan dan pidana, kecuali ada hukumnya lebih dahulu. Ada beberapa perbuatan yang
biasa dilakukan dijaman Jahiliah, tetapi dihapuskan oleh Allah. Perbuatan yang kini dilarang oleh Islam tetapi pernah dikerjakan dimasa jahiliah, tidak
menjadikan pelakunya dijatuhi hukuman pidana.
149
149
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
Contoh dari pemberlakuan asas ini adalah sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 22, yang artinya:
”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawin oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan yang ditempuh”.
150
Para pemuda arab pada masa jahliah memiliki kebiasaan mengawini wanita-
wanita yang pernah menjadi isteri ayahnya. Hal ini tidak diperkenankan oleh Islam, karena itu perbuatan inipun dilarang keras. Akan tetapi, bagi pemuda yang
sudah terlanjur menikahi bekas ibu tirinya wanita yang pernah dinikahi ayahnya mereka tidak dikenai sanksi pidana. Berbagai masalah lain juga berlaku demikian,
perkara riba misalnya, dimana riba yang telah dilakukan semasa jahiliah tidak harus dikembalikan, tetapi yang tersisa setelah turunnya wahyu tidak boleh
dibayarkan.
151
d. Keluar dari agama Islam ar-riddah.
Murtad mengandung beberapa makna. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa murtad adalah berbalik ke belakang, berbalik kafir, membuang
iman, berganti menjadi ingkar
.
152
Tidak jauh berbeda dengan rumusan di atas, di dalam Ensiklopedi Islam dinyatakan bahwa murtad adalah keluar dari agama
Islam dalam bentuk niat, perkataan dan perbuatan yang menyebabkan seseorang
150
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 64.
151
Asadulloh Al Faruk, op.cit, hlm. 11.
152
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke. 2 Cetakan Ke IX, Jakarta, Balai Pustaka, 1997, hlm. 675.
Universitas Sumatera Utara
menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali.
153
Senada dengan definisi di atas, di dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikatakan bahwa murtad adalah keluar dari
iman dan kembali kepada kekafiran.
154
Mengacu pada defenisi diatas, secara terminologi dapat disimpulkan bahwa Murtad adalah seseorang yang meninggalkan agama Islam dan pindah keagama
lain, misalnya nasrani, yahudi, dan sebagainya. Keluarnya seseorang dari Islam disini dapat berupa niat, perkataan, dan perbuatan yang bersangkutan. Dan
tindakannya itu dilakukan bukan karena paksaan.
155
Untuk dapat dikualifikasi sebagai murtad, maka pelakunya harus memenuhi syarat-syarat berikut, yakni: pertama: Balig berakal. Ini syarat utama, sebab orang
yang belum balig berakal belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum sehingga segala perbuatannya belum menimbulkan efek hukum. Kedua,
dilakukan atas kemauan dan kesadaran sendiri. Apabila murtad dilakukan dibawah ancaman yang membahayakan, maka tidak dikualifikasi sebagai murtad,
sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nahlu 106 yang artinya sebagai berikut: “Siapa yang kafir kepada Allah sesudah beriman akan mendapat kemurkaan
Allah, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap dalam beriman maka dia tidak berdosa”.
156
Menurut Jumhur mayoritas ulama, orang murtad yang akan dipidana mati
itu harus terlebih dahulu dianjurkan untuk bertaubat. Batas waktu bertaubat itu
153
Kafrawi Ridwan dkk, Ed, Ensiklopedi Islam, Cetakan Ke. III, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hlm. 304.
154
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ed, Ensiklopedi Hukum Islam, Cetakan Ke. V, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001, hlm. 1233.
155
Abu Bakar Al-Jaza’iri , Minaj Al-Muslim, Dar Al-Irsyad, hlm. 467.
156
Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 264.
Universitas Sumatera Utara
diberikan selama tiga hari.
157
Apabila dalam tempo tersebut ia tetap pada pendiriannya, maka ia wajib dieksekusi mati tanpa membedakan jenis kelamin,
usia dan sebagainya. Menurut Imam Hanafi, pidana mati itu tidak diberlakukan terhadap seorang wanita. Menurutnya, wanita itu cukup dipenjarakan saja, dan
setiap hari ia diberi nasehat untuk bertaubat. Demikianlah seterusnya sampai ia bertaubat atau mati didalam penjara itu.
158
Selanjutnya, pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku murtad dapat diperhatikan pada berbagai kebijakan hukum pidana yang dilakukan oleh
beberapa khalifah, salah satunya adalah Kebijakan Hukum Pidana yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar al-Siddiq, yaitu:
a. Khalîfah Abu Bakar al-Siddiq mengambil kebijakan hukum bahwa orang
murtad yang bersikukuh dengan kemurtadannya harus divonis dengan hukuman mati. Dalam hal ini, Khalîfah berlandaskan pada Q.s At-Taubah ayat
5.
159
b. Khalifah Abu Bakar al-Siddiq mengambil kebijakan hukum bahwa hukuman
atas pelaku riddah tersebut berlaku bagi, baik laki-laki maupun perempuan. Karena itu, Khalifah pernah memvonis hukuman mati atas seorang perempuan
yang murtad, yang bersikukuh dengan kemurtadannya, yang bernama Ummu Furqah, di mana perempuan tua ini punya 30 anak laki-laki, yang kesemuanya
157
Ibid, hlm. 468.
158
Alau Ad-Din Abi Bakar bin Mas’ud Al-Kasani, Bada’I As-sana’I, Beirut: Dar Al-kutub Al- Ilmiyah, hlm. 245.
159
Subhi Mahmasani, Turats al-Khulafa’ al-Rasyidin fi al-Fiqh wa al-Qada’, hlm. 248.
Universitas Sumatera Utara
dimotivasi dan diprovokasi olehnya untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang Islam. Kebijakan ini jelas mengacu pada dasar pertimbangan
realisasi maslahah dalam bingkai siyasah syar‘iyyah.
160
Selain Q.s At-Taubah ayat 5, dasar pemberlakuan pidana mati terhadap tindak pidana murtad itu adalah Sabda Rasulullah SAW, yang artinya:
”Dari Ibnu Umar bahwasanya Usma ra berkata: Aku mendengar Rasul bersabda: Tidak halal darah seorang muslim kecuali dalam tiga hal, yaitu
seorang yang berzina sedang ia sudah menikah, maka kepadanya diberlakukan pidana rajam, seseorang yang membunuh orang lain dengan sengaja,
kepadanya diberlakukan pidana qisas, dan seorang yang keluar dari agama Islam, kepadanya diberlakukan pidana mati”.
161
Dalam Hadis lain Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda, barang siapa menukar
Islam sebagai agamanya, maka bunuhlah ia.
162
Berdasarkan uraian tersebut diatas, secara filosofis disyari’atkan hukuman
mati bagi orang murtad adalah untuk memelihara agama yang merupakan salah satu tujuan syari’ Tuhan dalam mensyariatkan hukumnya, orang yang keluar
dari agama Islam dianggap melecehkan dan menghina agama Islam.
e. Melakukan perzinahan az-zina.
Perbuatan zina yang diancam dengan pidana mati disini adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh seseorang yang telah atau pernah menikah muhsan. Pidana
160
Muhammad Ibn Idris al-Syafi‘i, al-’Umm, Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1980, hlm. 163.
161
Abu Bakar, op.cit, hlm. 215.
162
Ibid, hlm. 216.
Universitas Sumatera Utara
mati yang dijatuhkan terhadap pelaku zina itu disebut rajam, dimana kedua pelaku akan dilempari dengan batu sampai mati.
163
Selain harus muhsan, syarat lain yang harus terpenuhi untuk menjatuhkan pidana rajam itu adalah bahwa ia seseorang yang merdeka bukan budak,
baligcakap hukum, sehat rohani, dan telah melakukan hubungan suami isteri dari pernikahannya tersebut.
164
Adapun dasar hukum pidana rajam itu adalah sebuah ayat Al-qur’an yang secara tilawah bacaannaskah telah dinasakhkandihapuskan, tetapi secara
hukum masih berlaku, ayat dimaksud adalah, yang artinya: ”Laki-laki dan perempuan yang tuatelah menikah, apabila mereka melakukan
zina, maka rajamlah keduanya selama-lamanya sebagai balasan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi bijaksana”.
165
Selain ayat diatas, pidana tersebut juga didasarkan kepada Sabda Rasulullah
SAW, yang artinya: ”Dari Usman berkata ia, aku mendengar Rasul SAW mengatakan, tidak halal
darah seorang muslim kecuali dalam tiga hal, yaitu: kafir setelah beriman, berzina setelah muhsan, dan membunuh orang lain bukan karena haq”.
166
Disamping itu Rasulullah SAW juga pernah menerapkan pidana rajam
tersebut terhadap Ma’iz dan seorang wanita dari suku Gamid yang terbukti
163
Alau Ad-Din Abi Bakar bin Mas’ud Al-Kasani, op.cit, hlm. 247.
164
Ibid.
165
Abu Bakar, op.cit, hlm. 219.
166
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
melakukan tindak pidana zina. Kemudian praktik sunnah fi’liyah Rasulullah SAW. Itu dilanjutkan oleh para sahabatnya.
167
f. Melakukan homo seksual al-liwat.
Islam memandang bahwa tindak pidana homoseksual yang pada awalnya banyak dilakukan oleh kaum Nabi Luth As, itu sebagai perbuatan yang sangat
keji. Bahkan lebih keji daripada perbuatan zina, sebab hal itu telah menyimpang jauh dari fitrahnaluri kemanusiaan.
168
Oleh karena itu, mayoritas ulama mazhab Malik, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa pelakunya wajib dipidana mati tanpa
memandang apakah ia telah menikah muhsan atau belum gair al-muhsan.
169
Dampak negatif yang ditimbulkan perbuatan al-liwath homoseksual, sebagaimana perkataan jumhur ulama dari para shahabat mengatakan: “Tidak ada
satu perbuatan maksiat pun yang kerusakannya lebih besar dibanding perbuatan homoseksual. Bahkan dosanya berada persis di bawah tingkatan kekufuran
bahkan lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan tindakan pembunuhan.” Allah SWT tidak pernah menguji dengan ujian yang seberat ini kepada siapa pun
167
Di Indonesia, pidana rajam pernah diberlakukan oleh Panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib terhadap anak buahnya Abdullah. Abdullah dieksekusi mati karena mengaku telah berbuat zina,
dan statusnya adalah muhsan. Eksekusi yang dilaksanakan didesa Ahuru, Ambon pada 27 Maret 2001 itu akhirnya menimbulkan pro dan kontra ditanah air, bahkan Umar Thalib sempat ditahan atas
perintah Bimantoro Kapolri saat itu.
168
Al-Jazairi, Kitab Al-fiqh Al-Mazahib Al-Arabaah, Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 1990, hlm. 125.
169
Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa pelaku homoseksual tidak dipidana mati, melainkan idita’zir. Artinya, jenis pidananya diserahkan kepada kebijakan hakim. Sedangkan di mazhab Syafi’I
sendiri ada satu pendapat yang mengatakan bahwa pidananya harus disesuaikan dengan status pelaku sebagaimana dalam tindak pidana zina. Artinya, jika ia muhsan maka dipidana mati rajam, dan jika
qair al-muhsan, maka hanya dicambuk dan diasingkan.
Universitas Sumatera Utara
umat di muka bumi ini selain umat Nabi Luth. Dia memberikan siksaan kepada mereka dengan siksaan yang belum pernah dirasakan oleh umat manapun. Hal ini
terlihat dari beraneka ragamnya adzab yang menimpa mereka, mulai dari kebinasaan, dibolak-balikkannya tempat tinggal mereka, dijerembabkannya
mereka ke dalam perut bumi dan dihujani bebatuan dari langit. Ini tak lain karena demikian besarnya dosa perbuatan tersebut.
170
Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana liwat homoseksual itu adalah didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW, yang artinya:
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang menemuimengetahui orang yang melakukan perbuatan kaum nabi Luth, maka
bunuhlah mereka keduanya.
171
Menurut mayoritas ulama, sebagaimana dikutip oleh Asshiddieqy bahwa
selain tindak-tindak pidana diatas, pidana mati itu dapat juga dijatuhkan terhadap tindak pidana yang tergolong kepada ta’zir, sebab tidak tertutup kemungkinan
adanya tindak-tindak pidana yang lebih berbahaya daripada tindak pidana qisas dan hudud.
172
Selanjutnya, pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku homoseksual dapat diperhatikan pada kebijakan hukum pidana yang dilakukan oleh beberapa
khalifah, salah satunya adalah Kebijakan Hukum Pidana yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar al-Siddiq, yaitu:
170
Abu Bakar, op.cit, hlm. 230.
171
Ibid, hlm. 249.
172
Al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, Istambul: Dar Sahnun: 1992, hlm. 856.
Universitas Sumatera Utara
Terjadi peristiwa di mana dua orang lelaki secara bersama-sama berbuat laku homoseksual di wilayah kekuasaan Gubernur Khâlid ibn al-Walîd. Maka,
Gubernur menulis surat kepada Khalîfah Abû Bakar al-Siddîq meminta putusan hukum tentang pelaku homoseksual. Khalîfah akhirnya bermusyawarah dengan
‘Ali ibn Abî Tâlib, Sahabat yang ahli hukum; dan ‘Ali ibn Abî Tâlib berpandangan keharusan eksekusi hukuman mati. Pandangan ini diamini oleh
Khalîfah, dan kemudian diinformasikan kepada Gubernur Khâlid ibn al-Walîd.
173
Disamping itu juga, adapun yang menjadi filosofis penjatuhan pidana mati terhadap pelaku homoseksual al-liwat adalah didasarkan pada pendapat-
pendapat ulama fiqhi sebagai berikut: 1.
Fuqaha madzhab Hambali: Mereka sepakat bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual sama persis dengan hukuman bagi pelaku perzinaan.. Adapun
dalil yang mereka pergunakan adalah qiyas. Karena definisi homoseksual liwath menurut mereka adalah menyetubuhi sesuatu yang telah diharamkan
oleh Allah. Maka mereka menyimpulkan bahwa hukuman bagi pelakunya adalah sama persis dengan hukuman bagi pelaku perzinaan. Tetapi qiyas yang
mereka lakukan adalah qiyas ma’a al-fariq mengqiyaskan sesuatu yang berbeda karena liwath homoseksual jauh lebih menjijikkan dari pada
perzinahan. 2.
Syekh Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa seluruh sahabat Rasulullah SAW sepakat bahwa hukuman bagi keduanya adalah hukuman mati, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa kamu temui melakukan perbuatan
173
Subhi Mahmasani, Turats al-Khulafa’ al-Rasyidin fi al-Fiqh wa al-Qada’, Beirut: Dâr al- Malâyîn, 1984, hlm. 223.
Universitas Sumatera Utara
kaum Luth homoseksual, maka bunuhlah al-fail dan al-maf ’ul bi kedua- duanya”.
174
2. Mekanisme eksekusi mati dalam hukum pidana Islam.