BAB II ASPEK FILOSOFIS PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Aspek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia.
Apabila dipandang dari sudut filosofis, maka mempersoalkan hukuman mati berarti mempertanyakan, apakah adanya hukuman mati dapat dibenarkan atau
dipertanggungjawabkan? Pertanyaan ini dapat dikemukakan dengan cara lain, yakni apakah hukuman mati mempunyai tempat di dalam gagasan tentang hukum itu
sendiri? Jadi, dalam menentukan dapat atau tidak dapat dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia.
Oleh karena itu, bila dicermati, apa yang menjadi motif penggunaan pidana mati di Indonesia tentunya berbeda-beda dari tiap masa atau konteks munculnya peraturan
yang memberikan hukuman mati tersebut. Namun untuk memberikan gambaran yang sederhana maka akan dipaparkan beberapa motif utama dari penggunaan pidana mati
tersebut. Di masa Daendeles, motif melakukan konsolidasi hukum pidana dan menerapkan
kebijakan hukuman mati ini tak lain disamping karena ia sekedar menyesuaikan
Universitas Sumatera Utara
hukuman dalam hukum pidana tertulis dengan sistem hukum lokal.
50
Dimana menurutnya, banyak hukum lokal yang masih menerapkan hukuman mati dan
hukuman badan hukuman kejam. Daendeles mungkin juga tidak mengetahui alternatif lain selain menggunakan kebijakan tersebut.
51
Selain ia tidak memiliki pengalaman sedikitpun mengenai urusan di tanah jajahan. Kemungkinan lainnya
mengapa Daendeles bertindak ganas dengan melakukan konsolidasi menerapkan hukuman mati dan hukuman kejam lainnya karena ia bertugas untuk
mempertahankan pulau jawa dari serangan angkatan perang Inggris dan oleh sebab itu sangat takut akan kemungknan timbulnya pemberontakan rakyat jajahan.
52
Dimasa pembentukan kodifikasi hukum pidana WvSI dengan melakukan unifikasi hukum pidana. Pemerintah Kolonial belanda tetap mempertahankan
hukuman mati tersebut di daerah jajahannya termasuk Indonesia. Berbeda dengan perkembangan kodifikasi Hukum Pidana di Belanda dimana pada tahun 1870
hukuman mati di Belanda justru dihapuskan. Motif pemerintahan Kolonial Belanda masih mempertahankan hukuman mati tersebut sangatlah beragam, namun pada
intinya pencantuman hukuman mati tersebut memiliki: motif rasial, alasan karena faktor ketertiban umum dan konteks hukum pidana dan kriminologi pada masa itu.
53
50
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1950, hlm. 77.
51
Supomo dan Djokosutono, Sejarah politik Hukum Adat, Jakarta: Pradya Paramita, 1982, hlm. 35
52
E. Utrecht, op.cit.
53
JE. Sahetapy, op.cit, hlm. 152.
Universitas Sumatera Utara
Prasangka rasial yang diskriminatif tersebut pada intinya menganggap bahwa orang-orang pribumi tidak bisa dipercayai.
54
Bahwa pribumi suka berbohong di pengadilan dengan memberikan kesaksian palsu.
55
Orangorang pribumi mudah percaya dan menerima kebohongan sebagai kebenaran dan banyak orang pribumi
bersifat buruk.
56
Pandangan yang diskriminatif tersebut karena para sarjana hukum belanda sudah memiliki perasaan yang superior sebagai bangsa penjajah.
57
Sedangkan alasan faktor-faktor ketertiban umum ini mencakup beberapa aspek lain misalnya. Adanya anggapan bahwa karena negara memiliki segala kewenangan
untuk menjaga ketertiban umum oleh karena itu maka hukuman mati adalah sebuah keharusan dalam menjaga ketertiban umum tersebut.
58
Disamping itu karena Hindia Belanda adalah jajahan yang luas yang penduduknya terdiri dari berbagai suku
54
Ibid.
55
Lihat pendapat Simons dalam J.E Sahetapy. Menururt Sahetapy sikap dan penilaian yang subjektif ini dapat dijelaskan. Karena para sarjana hukum Belanda yang bertugas di lembagalembaga
penegak hukum belum menguasai bahasa melayu dan bahasa daerah setempat, ketergantungan pada penerjemah dapat memperbesar kecurigaan adanya kesaksian palsu. Di samping itu mereka juga belum
memahami dan meresapi nilai-nilai sosial masyarakat pribumi pada waktu itu. Di tambah pula dengan kurang memadainya suatu hukum acara pidana dan tanpa adanya pembela atau penasihat hukum
pribumi maka tidaklah mengherankan adanya anggapan da gambaran yang keliru yakni para saksi pribumi yang suka memberikan kesaksian palsu.
56
Lihat pendapat Kruseman dalam J.E Sahetapy. Kruseman selanjutnya membandingbandingkan sifat – sifat orang Belanda dengan orang Indo Belanda dan orang pribumi dan berpendapat bahwa
orang belanda mempunyai sifat yang tenang. Diakui pula oleh Kruseman bahwa meskipun orang indo belanda memiliki darah pribumi lebih banyak dalam tubuh mereka jelas mereka tidak sama dengan
orangorang pribumi. Kruseman juga menyatakan bahwa di samping dapat dibelinya dan oleh karena itu tidak dapat di percayainya para saksi pribumi, orangorang pribumi seringkali juga tidak
berpendidikan dan dengan demikian tidak mempunyai pendirian
57
Lihat juga hipotesa yang dilakukan oleh Winckel dalam J.E Sahetapy, menurut Winckel orang eropa terhitung dalam kasta yang istimewa dan oleh karena itu perasaan hokum mereka yang dijajah
tidak akan di kejutkan sekalipun pidana mati tidak diberlakukan bagi orang Eropa. Klientjes juga menyatakan bahwa orang pribumi memiliki pandangan yang berbeda sekali mengenai hidup orang
Eropa. Ia mencontohkan bahwa apabila orang probumi dipidana mati maka mereka tidak akan mengajukan permohonan grasi.
58
J.E Sahetapy, op.cit.
Universitas Sumatera Utara
bangsa dan kondisi Hindia Belanda yang demikian ini sangat berbeda dengan kondisi di Belanda, di Hindia belanda tertib hukum sangat mudah terganggu dan karena itu
keadaannya mudah mengalami krisis dan berbahaya di bandingkan dengan Belanda disamping itu juga adanya anggapan bahwa susunan pemrintahan dan saranasarana
untuk mempertahankan kekuasaan di Hindia Belanda sulit untuk berkerja dengan dibandingkan dengan kondisi di belanda.
59
Di pertahankannya Hukuman mati di Hindia belanda jika dikaitkan dengan konteks permasalahan hukum pidana dan kriminologi pada masa itu bukanlah
merupakan faktor yang terpenting. Faktor yang paling penting adalah tetaplah pada prasangka yang diskrimininatif dan alasan ketertiban umum. Hal ini mungkin wajar
karena pada masa itu pidana mati sebagai sebuah unsur yang wajar dalam hukum pidana dan oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan. Pidana mati dianggap inherent
dengan hukum pidana. Oleh karena itu maka wajarlah pilihan menetapkan digunakannya pidana mati pada saat ini karena besarnya kepentingan politik dan
ekonomi Belanda sebagai negara kolonial di Hindia Belanda. Beberapa pemikiran sarjana hukum Belanda yang mencerminkan hal tersebut
dapat dilihat dari beberapa pernyataan yang di kutip oleh J.E Sehatapy yakni: bahwa pidana mati dapat menjamin bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi sehingga
masyarakat tidak akan diganggu lagi oleh pelaku, pidana mati merupakan sebuah alat represi yang kuat bagi pemerintah Hindia Belanda dengan alat tersebut maka
kepentingan masyarakat dapat dijamin sehingga dengan demikian ketertiban hukum
59
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dapat di lindungi, alat represi yang kuat ini sekaligus juga berfungsi sebagai prevensi umum sehingga diharapkan para calon akan mengurungkan niatnya mereka untuk
melakukan kejahatan sehingga kejahatan akan berkurang, dengan dijatuhkannya pidana mati diharapkan adanya seleksi buatan sehingga masyarakat dapat dibersihkan
dari unsurunsur yang jahat dan buruk dan seterusnya.
60
Setelah Indonesia merdeka sampai dengan saat ini motif maupun tujuan penghukuman mati dalam berbagai peraturan yang ada juga menunjukkan pola yang
konsisten. Walaupun studi terhadap aspek ini sangatlah sedikti sekali namun dari berbagai bahan yang ada tersebut dapatlah di paparkan secara ringkas beberapa
argumentasi mengapa pidana mati masih digunakan baik dalam peraturan maupun dalam prakteknya sampai saat ini.
Ada beberapa Motif yang paling populer dalam menggunakan hukuman mati di Indonesia yakni: hukuman mati memiliki tingkat efektif yang lebih tinggi dari
ancaman hukuman lainnya karena memiliki efek yang menakutkan shock therapi disamping juga lebih hemat.
61
Hukuman mati digunakan agar tidak ada eigenrichting dalam masyarakat.
62
Secara teoritis hukuman mati ini juga akan menimbulkan efek jera detterent effect yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang
mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana, sehingga bisa dijadikan
60
Ibid.
61
Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta: Aksara persada, 1985, hlm 127.
62
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi khusus.
63
Disamping itu masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan
retributive, dan utamanya masih dipertahankannya.
64
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka untuk mengetahui lebih lanjut berkaitan dengan aspek filosofis pidana mati dalam hukum pidana, maka harus dimulai dengan
mengemukakan teori-teori pemidanaan itu sendiri. Dalam hukum pidana setidaknya ada 3 tiga teori tentang pemidanaan tersebut, dan teori-teori tersebut lahir
didasarkan kepada persoalan mengapa suatu kejahatan harus dikenai sanksi pidana. Ketiga teori dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Teori absolut atau pembalasan vergeldings theorien.
Teori absolut ini lahir pada abad ke 18, yang dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Leo Polak, dan beberapa sarjana yang mendasarkan
teorinya pada filsafat katolik dan sudah tentu juga sarjana hukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran qisas dalam Al-Qur’an.
65
Teori absolut atau teori retributif atau dikenal dengan teori pembalasan vergerldingstheori tujuan pemidanaan didasarkan pada alasan bahwa
pemidanaan merupakan morally justified pembalasan secara moral karena
63
Menurut prevensi khusus maka tujuan pemidanaan ialah menahan pelanggaran mengulangi perbuatannya atau menahan calon pelanggara melakukan perbuatan jahat yang telah direncnakannya.
Contoh Pemidanaan yang bersifat prevensi khusus yang digambarkan leh Van Hamel sebagai berikut: 1 pemidaana haruslah memuat sebuah anasir yang menakutkan agar sipelaku tidak melakukan niat
yang buruk. 2 Pemidanaan juga harus memuat anasir yang memperbaki terpidana. 3 Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi. 4
Tujuan satusatunya dari pemidanaan ialah mempertahankan tata tertib hukum. Lihat Djoko Parkoso Nurwahid, Studi tentang penapatpendapat mengenai efektifitas hukuman mati, op.cit.
64
Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, op.cit.
65
Andi Hamzah, op.cit, hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima atas kejahatan yang dilakukannya.
66
Menurut teori ini, bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Artinya teori absolut memandang, pidana
dimaksudkan untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. Menurut teori diatas, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh
tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari dijatuhkannya
pidana. Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa depan.
67
Dari uraian diatas, maka suatu pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-
unsur untuk dijatuhkannya pidana. Jadi, pidana secara mutlak harus ada karena dilakukannya suatu kejahatan. Karena itulah maka teori ini disebut dengan teori
absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan, akan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah
pembalasan.
68
b. Teori relatif atau tujuan doel theorien.
Menurut teori ini, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah
menghindarkan atau mencegah prevensi agar kejahatan itu tidak terulang lagi.
66
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy, Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 68.
67
Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm. 21.
68
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena telah dilakukannya kejahatan, melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana itu dimasa depan, baik
bagi si penjahat maupun masyarakat. Oleh karena itu teori yang kedua ini disebut dengan teori tujuan.
69
Adapun wujud pidana menurut teori ini berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya, yaitu memperbaiki, menakutkan dan membinasakan. Kemudian
hakikat pidana itu sendiri dibedakan kepada prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum general bertujuan agar masyarakat pada umumnya menjadi
takut, sehingga mereka tidak melakukan tindak pidana yang sama pada masa yang akan datang.
70
Sedangkan prevensi khusus special seperti yang dianut oleh Van Hamel Belanda dan Von Liszt Jerman adalah bertujua untuk mencegah niat buruk
pelaku kejahatan, juga agar sipelaku tidak mengulangi kejahatannya. Secara lebih terperinci Van Hamel mengemukakan bahwa prevensi khusus
suatu pidana dalam teori relatif itu adalah: 1.
Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya.
2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.
3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin
diperbaiki. 4.
Tujuan satu-satunya suatu pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum.
71
E. Utrecht menyebutkan bahwa:
69
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Di Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1987, hlm. 34.
70
Andi Hamzah, op.cit, hlm. 34.
71
Djoko Prakoso dan Nurwachid, op.cit, hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
Teori relatif atau tujuan menitikberatkan pada tujuan hukum. Ancaman hukuman dan hukuman perlu supaya manusia tidak berdosa ne peccetur,
supaya manusia tidak melanggar. Menurut teori ini maka tujuan hukuman ialah menakutkan manusia melakukan pelanggaran, yaitu pada ancaman
hukuman ada pengaruh menakutkan orang melakukan pelanggaran, dan juga untuk memperbaiki dan mendidik manusia ia oleh masyarakat dapat diterima
lagi sebagai anggota yang baik.
72
c. Teori gabungan veriniging theorien
Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain untuk pembalasan kepada sipelaku
juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.
73
Dalam teori gabungan veriniging theorien dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi disamping
itu juga yang menjadi dasar adalah tujuan daripada hukuman. Teori gabungan diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut atau pembalasan
vergeldings theorien maupun teori relatif atau tujuan doel theorien dianggap berat sebelah, sempit dan sepihak..
74
Adapun keberatan teori gabungan veriniging theorien terhadap teori absolut atau pembalasan vergeldings theorien adalah:
75
1. Dalam menentukan balasan sulit sekali menetapkan batasan-batasannya
atau sulit untuk menentukan beratnya hukuman.
72
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesembilan, Jakarta: 1966, hlm. 366.
73
Mahmud Mulyadi, dan Feri Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi ,Jakarta: PT. SOFMEDIA, 2010, hlm. 98.
74
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 64.
75
Ibid, hlm. 65.
Universitas Sumatera Utara
2. Apa dasar untuk memberi hak kepada negara untuk menjatuhkan hukuman
sebagai pembalasan. 3.
Hukuman sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. 4.
Singkatnya dalam teori ini dasar pembalasan sama sekali tidak memberi kepuasan hukum bagi kepentingan masyarakat, sedang hukum pidana
diadakan untuk kepentingan masyarakat.
Sedangkan keberatan teori gabungan veriniging theorien terhadap teori relatif atau tujuan doel theorien adalah:
1. Dalam teori relatif hukum dipakai sebagai cara untuk mencegah kejahatan,
yaitu: baik yang dimaksud untuk menakut-nakuti umum, maupun yang ditujukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan.
2. Hukuman yang berat itu dirasa tidak memenuhi rasa perikeadilan, apabila
ternyata bahwa kejahatannya ringan. 3.
Keberadaan hukum daripada masyarakat membutuhkan kepuasan, oleh karenanya hukum tidak dapat semata-mata didasarkan pada tujuan untuk
mencegah kejahatan atau membinasakan penjahat.
76
Dengan demikian, teori yang ketiga ini mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan
ketertiban masyarakat. Teori gabungan antara pembalasan dan prevensi ini kemudian bervariasi menjadi 3 tiga bentuk, yaitu:
1. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan. Akan tetapi membalas itu
tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. Variasi yang pertama ini dianut oleh
Pompe. Pompe mengatakan sebagaimana dikutip Andi hamzah, ”bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang lanjutnya, pidana dapat
76
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap tidak dapat dipungkiri bahwa pidana berarti suatu pembalasan”.
77
Grotius sebagai penganut teori ini kemudian mengembangkan teori gabungan tersebut dengan menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam
pembalasan, akan tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana menurutnya adalah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.
78
2. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi
tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Teori ini dianut oleh
Thomas Aquino yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum diciptakannya sebuah Undang-Undang. Ia juga berpendapat bahwa
tindak pidana, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela oleh pelaku, karena itu ia pantas dijatuhi pidana sesuai dengan perbuatannya. Masih
menurut Aquino, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Sebab tujuan pidana adalah untuk melindungi kesejahteraan masyarakat.
Senada dengan pendapat Aquino tersebut diatas, Vos berpendapat bahwa suatu pidana adalah dimaksudkan sebagai prevensi umum, bukan semata-mata
77
Andi Hamzah, op.cit, hlm. 36.
78
Ibid, hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
ditujukan kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara, maka ia tidak terlalu takut lagi karena sudah berpengalaman.
79
3. Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus dititikberatkan
sama. Beranjak dari ketiga teori pidana tersebut diatas, maka dapatlah diketahui
mengapa pidana mati itu berlaku dalam hukum pidana . Untuk menemukan jawabannya, maka harus dikembalikan kepada persoalan apa sebenarnya
tujuan diciptakannya hukum itu. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan diciptakannya hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban, keamanan dan
keadilan ditengah-tengah masyarakat.
80
Untuk mewujudkan tujuan itu pulalah, pemerintah selalu mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku kejahatan yang mencoba mengganggu ketentraman
masyarakat tersebut. Tindakan tegas yang diambil pemerintah dalam rangka melindungi, mengayomi masyarakatnya adalah dengan menjatuhkan pidana
terhadap pelaku kejahatan tersebut. Dan dalam hal kejahatan tertentu kejahatan berat yang dapat mengganggu dan menbahayakan ketentraman masyarakat
tersebut, maka pemerintah menetapkan pidana mati sebagai ganjarannya. Memang diakui, bahwa dalam teori relatif sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, pada dasarnya tujuan pemidanaan itu adalah untuk memperbaiki si terpidana. Akan tetapi, pada sisi lain teori relatif itu juga menganut paham bahwa
79
Ibid, hlm. 37.
80
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Bandung: Remaja Karya, 1985, hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
salah satu wujud pemidanaan itu adalah untuk membinasakan terpidana. Hal ini kemudian diuraikan lebih jauh oleh Van Hamel yang berpendapat bahwa
setidaknya ada 4 empat prevensi khusus suatu pidana, satu diantaranya adalah pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. Sedangkan yang kedua
adalah pidana harus mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.
81
Karena itu para ahli hukum pidana Indonesia berpendapat bahwa pidana tersebut pidana mati dimaksudkan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan
umum yang bersifat kemasyarakatan yang dibahayakan oleh kejahatan yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Dan dengan dijatuhkannya pidana mati terhadap
pelaku kejahatan tersebut, maka ketentraman masyarakat umumpun akan terwujud, sebab hal itu akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka, sehingga
penjahat potensial lainnya akan takut untuk melakukan kejahatan yang sama.
82
Dengan demikian penjatuhan pidana mati dimaksudkan sebagai pembalasan vergelding terhadap pelaku kejahatan berat pada satu sisi, dan pada sisi lain
dimaksudkan sebagai pencegahan atau prevensi bagi orang lain. Senada dengan hal diatas, ditegaskan pula bahwa sejak hukum pidana di
Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetbook Van Strafrecht Voor Nederlansch Indie, tujuan diadakan dan dijatuhkannya pidana mati adalah supaya
masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya
81
Andi Hamzah, op.cit, hlm. 35.
82
J.E. Sahetapy, op.cit, hlm. 149.
Universitas Sumatera Utara
gangguan terhadap ketentraman yang sangat ditakuti oleh masyarakat umum. Dengan suatu putusan yang kemudian harus dijalankan, pidana mati yang
dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan berat lainnya, maka diharapkan masyarakat menjadi takut sehingga mereka tidak
sampai melakukan tindakan-tindakan pidana yang dapat diancam dengan pidana mati tersebut.
83
Disamping itu, suatu pendirian dalam mepertahankan tata tertib hukum dengan mempidana mati seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap
membahayakan ada ditangan pemerintah. Karena itu, pidana mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya.
84
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ohoitimur, dimana ia mengemukakan bahwa:
Para ahli hukum yang pro dengan pidana mati berpendapat bahwa pidana mati itu erat sekali kaitannya dengan kepentingan masyarakat untuk
dilindungi keselamatannya, hukum merupakan sarana perlindungan tersebut. Dan karena hukum itu dilanggar, maka sipelanggar harus dijatuhi pidana
sebagai penjeraan. Dalam kasus pidana mati, tentu bukan siterpidana yang dijerakan, melainkan penjahat-penjahat potensial yang ada didalam
masyarakat.
85
Kemudian Hamzah dan Sumangelipu dengan menguti pendapat HG. Rambonnet, mengemukakan bahwa:
Adalah tugas pemerintah untuk mempertahankan ketertiban hukum. Seperti yang kita lihat, untuk mempertahankan ketertiban hukum tiu diwujudkan
83
Ibid, hlm. 161.
84
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 61.
85
Yong Ohoitimur, op.cit, hlm. 99.
Universitas Sumatera Utara
melalui pemidanaan. Berdasarkan hal ini, maka pemerintah mempunyai hak untuk memidana, artinya membalas kejahatan, karena hak pemerintah untuk
memidana itu adalah akibat yang logis dari haknya untuk membalas dengan pidana. Karena kejahatan itu menyebabkan terganggunya ketertiban hukum
tersebut dalam suatu bahagian tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dapat dipulihkan kembali dengan mengeluarkan atau tidak mengikutsertakan
penjahat itu dalam pergaulan masyarakat. Hal itu dapat direalisasikan dengan merampas kemerdekaannya dipenjara, mengambil harta bendanya dan
sebagainya.
86
Apabila kejahatan tersebut tidak hanya menggangu ketertiban pada suatu hal tertentu, tetapi meluas, misalnya pengkhianatan terhadap negara, maka menurut
Rambonnet tujuan pidana mati itu telah terjawab dengan melenyapkan penjahat itu dari turut sertanya dalam kesejahteraan umum. Dan menurutnya, satu-satunya
cara untuk mengucilkan penjahat itu dari pergaulan masyarakat adalah dengan menjatuhkan pidana mati terhadapnya.
87
Prodjodikoro mengungkapkan bahwa Pidana mati itu masih diperlukan sebagai alat pencegahan prevention bagi orang-orang agar tidak melakukan
kejahatan-kejahatan berat. Kemudian pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Seorang ahli hukum Belanda, van hattum, menurutnya, pidana mati
merupakan sebuah pidana yang mutlak diperlukan sebagai tindakan dalam keadaan khusus pada taraf kemajuan zaman sekarang.
88
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa hakikat pemberlakuan pidana mati itu adalah untuk mewujudkan cita-cita hukum itu
sendiri yaitu menciptakan ketenteraman dan kedamaian ditengah-tengah
86
Andi hamzah dan Sumangelipu, op.cit, hlm. 27.
87
Ibid.
88
Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm. 165.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Hal ini tidak akan terwujud bila dimana-mana terjadi kejahatan yang mengakibatkan terganggunya ketertiban masyarakat luas, terganggunya hak-hak
mendasar hak hidup, dan jatuhnya kewibawaan negara dalam arti banyak upaya menggulingkan pemerintahan yang sah. Ketentraman dan kedamaian ditengah-
tengah masyarakat itu merupakan dambaan semua pihak, baik pemerintah sebagai lembaga yang menetapkan hukum, maupun masyarakat yang melaksanakannya.
Dengan dijatuhkannya pidana mati terhadap terpidana yang tidak memungkinkan untuk diperbaiki lagi, maka terhindarlah masyarakat dari gangguan kejahatannya.
Pada sisi lain, dengan dieksekusinya terpidana, maka hal itu sekaligus sebagai penjeraan atau pencegahan dari orang lain, sehingga mereka tidak melakukan
kejahatan yang sama. Dengan demikian terwujudlah ketentraman dan kedamaian masyarakat sebagaimana dikemukakan diatas.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, bahwa pidana mati merupakan pidana yang terberat dari semua jenis pidana yang berlaku dalam hukum pidana
Nasional. Karena itulah, ancaman pidana terberat itu hanya dijatuhkan terhadap tindakan-tindakan pidana berat saja seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Mengingat demikian beratnya pidana mati itulah sehingga pidana tersebut dijadikan sebagai alternatif terakhir terhadap penjahat-penjahat yang menurut
pertimbangan hakim tidak mungkin lagi untuk diperbaiki.
89
Untuk itulah negara
89
Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasannya, Jakarta: Aksara Baru, 1987, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah sebagai pengambil kebijakan melakukan upaya-upaya dalam rangka mengantisipasi penjatuhan pidana mati tersebut.
Upaya-upaya dimaksud antara lain adalah bahwa dalam Pasal-Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang tindak pidana yang
diancam pidana mati selalu diiringi dengan pidana lain sebagai alternatifnya, yaitu pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara selama 20 tahun. Jadi, hakim
dalam hal ini dapat memilih antara 3 tiga kemungkinan tersebut. Pilihan hakim terhadap salah satu dari tiga kemungkinan tersebut didasarkan pada keadaan
siterdakwa. Hakim pada umumnya tidak akan menjatuhkan pidana mati apabila ia melihat bahwa masih ada kemungkinan terdakwa dapat diperbaiki. Karena itu
Hakim selalu melihat dan mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan teradakwa.
90
Apabila ternyata hakim menjatuhkan vonsi mati terhadap terpidana, maka masih ada upaya atau kebijakan lain yang dapat dilakukan oleh pihak eksekutif.
Upaya itu adalah berupa pemberian grasi atau ampunan oleh presiden. Karena itu, pelaksanaan eksekusi mati itu belum dapat dijalankan sebelum adanya
persetujuan dari presiden flat executie.
91
Pemberian grasi itu dapat saja diberikan oleh presiden, walaupun terpidana tidak menggunakan hak grasi yang
ada padanya dalam waktu yang telah ditentukan.
92
Roeslan Saleh dalam suatu tulisannya mengatakan: bahwa sering terjadi kepala negara presiden memberi
90
Andi Hamzah, 1985, op.cit, hlm. 35.
91
Djoko Prakoso dan Nurwachid, op.cit, hlm. 9.
92
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
grasi kepada terpidana dan mengubah vonis mati itu menjadi pidana seumur hidup.
93
Adanya grasi oleh presiden itu tidak terlepas dari salah satu faktor yang meringankan terpidana seperti dikemukakan diatas, terutama faktor bahwa ia
masih memungkinkan untuk dibina atau diperbaiki.
B. Aspek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Islam.