Mekanisme eksekusi mati dalam hukum pidana Islam.

kaum Luth homoseksual, maka bunuhlah al-fail dan al-maf ’ul bi kedua- duanya”. 174

2. Mekanisme eksekusi mati dalam hukum pidana Islam.

Berbeda halnya dengan hukum pidana nasional , maka dalam hukum pidana Islam, mekanisme eksekusi mati itu dilakukan dengan beragam cara sesuai dengan jenis tindak pidana jarimah yang dilakukan oleh pelaku kejahatan itu sendiri. Mekanisme eksekusi dimaksud adalah sebagai berikut: a. Eksekusi terhadap pelaku pembunuhan sengaja. Para ulama sepakat bahwa pelaksanaan eksekusi mati itu harus dilakukan oleh pemerintah ulil amri. Sebab perintah Tuhan dan RasulNya untuk menjalankan pidana mati baik dalam tindak pidana qisas maupun hudud terhadap hambaNya tidak mungkin terlaksana kecuali diserahkan kepada pemerintah. Oleh karena itu, kepada pemerintahan sultan merupakan wakil mereka maqam anfusihim dalam melakukan eksekusi tersebut. 175 Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti eksekusi itu harus dilakukan langsung oleh Sultan. Atas perintah Sultan, maka eksekusi itu dilakukan oleh seorang yang diberi wewenang algojo, sehingga tidak menimbulkan kezaliman bagi terpidana yang menjalani eksekusi. 176 174 http:homseks.blogspot.com201008sejarah-homoseksual.html. 175 Dengan demikian, eksekusi mati itu tidak dibenarkan dilakukan oleh ahliwaris korban tanpa melalui prosedur hukum, sebab hal tersebut akan menimbulkan aksi balas dendam. Lihat Al-Jaziri, op.cit, hlm. 13. 176 Ibid, hlm. 263. Universitas Sumatera Utara Disamping itu, para ahli waris korban harus hadir ketika eksekusi itu dijalankan, sebab apabila mereka tidak hadir, akan menimbulkan indikasi bahwa mereka memaafkan siterpidana. Selain itu, dengan hadirnya mereka diharapkan berkenan memaafkan terpidana disaat-saat eksekusi itu dijalankan. Oleh karena itu, kehadiran mereka tidak boleh diwakilkan. 177 Menurut Jumhur Ulama, eksekusi itu harus dihadiri oleh Sultan, dan dianjurkan mustahab pula dihadiri oleh dua orang saksi. Kemudian kepada terpidana dipersilahkan untuk menyampaikan wasiat, dan sebelumnya diperintahkan untuk bertaubat, mengqada shalatnya yang tertinggal. Lalu matanya ditutup dengan sehelai kain, dan dengan aurat yang tertutup, maka eksekusi itupun dilakukan. 178 Dalam hal alat yang digunakan untuk mengeksekusi terpidana dalam kasus pembunuhan sengaja ini, terdapat keragaman pandangan dikalangan ulama. Menurut Mahzab Hanafi dan hambali, alat yang dipergnakan untuk mengeksekusi terpidana adalah pedang, walaupun seandainya siterpidana ketika menghabisi korbannya didahului oleh penganiayaan berat. Dengan demikian, pembunuhan yang dilakukan dengan memukul korbannya menggunakan besi, batu, balok dan sebagainya tetap dieksekusi dengan pedang, yaitu dengan cara memenggal kepala terpidana. 179 177 Ibid. 178 Ibid, hlm. 265. 179 Ibid. Universitas Sumatera Utara Sedangkan Mazhab malik dan Syafi’i berpendapat, bahwa alat yang digunakan untuk melakukan eksekusi itu adalah dengan alat yang dipakai oleh pelaku ketika membunuh korbannya. Dengan demikian apabila terpidana membunuh korbannya dengan menggunakan benda-benda berat sebagaimana diatas, maka ia harus dieksekusi dengan menggunakan benda-benda berat itu juga. Bahkan apabila terpidana membunuh korbannya dengan cara membakarnya, menenggelamkannya diair dan sebagainya, maka ia juga harus dieksekusi dengan cara itu. 180 Akan tetapi, menurut mahzab ini, apabila ahli warisnya menginginkan agar terpidana dieksekusi dengan pedang saja, maka hal itu dibenarkan bahkan merupakan sikap yang bijaksana. Dan dalam hal-hal tertentu yang sifatnya dapat menambah penderitaan atau menzalimi siterpidana, maka menurut kedua mazhab ini eksekusinya dilakukan dengan pedang, misalnya pembunuhan yang dilakukan dengan menyihirmenyantet korban dan sebagainya. 181 b. Eksekusi terhadap pelaku zina muhsan. Sebagaimana diketahui, bahwa apabila seseorang telah terbukti melakukan tindak pidana zina, maka hakim wajib menjatuhkan pidana mati berupa rajam kepadanya. Adapun mekanismenya adalah bahwa siterpidana harus ditanam sebatas dadanya apabila ia seorang wanita. Hal ini dimaksudkan agar auratnya tidak terlihat oleh masyarakat jamaah yang menyaksikan atau melakukan 180 Ibid, hlm. 267. 181 Ibid. Universitas Sumatera Utara eksekusi itu. Sebaliknya apabila terpidananya seorang pria, maka badannya tidak perlu ditanam sebagaimana wanita. 182 Pelaksanaan eksekusi tersebut diatas harus terbuka, artinya harus dihadiri oleh sekelompok masyarakat jamaah. 183 Hal ini dimaksudkan agar pidana rajam tersebut memiliki daya represif bagi orang lain. Keharusan dihadiri oleh masyarakat itu adalah didasarkan kepada Firman Tuhan dalm Surat An-nur ayat 2, yang artinya: ”Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. 184 Disamping itu, pelaksanaan eksekusi tersebut dianjurkan mustahab dihadiri oleh imamsultan kepala pemerintahan dan para saksi dalam tindak pidana zina tersebut. Sesuai dengan jenis pidananya yaitu rajam yang berarti melempar dengan batu, maka terpidana harus dilempari dengan batu sampai mati. Batu yang digunakan adalah ukuran sedang al-hijarah al-mu’tadilah, yaitu seukuran telapak tangan, artinya batu tersebut dapat dipegang dengan sebelah tangan, dan 182 Ketentuan bahwa terpidana wanita ditanam badannya, sedangkan pria tidak adalah didasarkan kepada riwayat bahwa pelaksanaan eksekusi rajam terhadap seorang wanita dari suku gamid yang ditanam badannya sebatas dada oleh sahabat. Tetapi ketika mengeksekusi Ma’iz bin Malik Al-Aslami, mereka tidak menanamnya. Kedua riwayat ini dapat dilihat dalam Al-Baihaqi, op.cit, hlm. 120. 183 Mengenai jumlah masyarakat yang menghadirinya, terdapat keragaman pandangan ulama. Sebahagian berpendapat, minimal harus dihadiri oleh empat orang, dan ada yang berpendapat dihadiri sepuluh orang, dan ada yang mengharuskan tiga orang, bahkan satu orang selain orang yang melakukan eksekusi. Lihat Ibid. 184 Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 543. Universitas Sumatera Utara batu tersebut sebelumnya harus dikumpulkan dalam jumlah banyak agar mempermudah dalam pelaksanaan eksekusi tersebut. 185 Apabila terpidana sedang hamil, maka eksekusinya ditunda sampai anaknya lahir dan telah mampu makan, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW terhadap seorang wanita yang berzina dari suku gamid. 186 Hal ini dimaksudkan agar si anak tersebut selamat dari kematian. Sebab dalam Islam berlaku pinsip bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain. 187 Tetapi penundaan itu tidak berlaku terhadap terpidana yang sedang sakit. c. Eksekusi terhadap pelaku homoseksual. Adapun prosedur atau mekanisme eksekusi mati yang dilakukan terhadap pelaku homoseksual adalah sebagaimana mekanisme eksekusi terhadap pelaku zina. Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan tentang alat yang digunakan untuk mengeksekusinya. Menurut praktik yang dilakukan oleh Sahabat Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar As-siddik, Ali Bin Abi Thalib, Abdullah Bin Zubair, maka kedua pelakunya dibakar setelah terlebih dahulu dipancung dengan pedang. 185 Tujuan ditetapkannya batu ukuran sedang tersebut adalah karena apabila batu itu terlalu besar, maka akan terlalu mempercepat kematian terpidana, dan hal tersebut berarti menghilangkan salah satu tujuan eksekusi tersebut yaitu agar disaksikan oleh masyarakat luas. Sebaliknya, apabila terlalu kecil, akan memperlambat kematiannya dan itu akan mengakibatkannya sangat tersiksa. Lihat Al-Jaziri, op.cit, hlm. 57. 186 Ibid, hlm. 58. 187 Prinsip diatas didasarkan kepada firman Tuhan dalam Surat Al-An’am ayat 164, yang artinya: Dan seseorang yang berbuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain. Lihat Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahan, op.cit, hlm. 217. Universitas Sumatera Utara Dipancungnya kedua pelaku adalah dimaksudkan sebagai balasanhukuman atas perbuatan mereka, sedangkan pembakaran dimaksudkan agardapat memiliki daya represifrasa takut takhwif bagi orang lain. 188 Menurut Ibnu Abbas ra, eksekusi itu dilakukan dengan cara meletakkan keduanya ditempat yang lebih tinggi, kemudian dilempari dengan batu sampai mati. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa mereka diperlakukan sebagaimana pelaku zina muhsan yaitu di rajam, dan pendapat lain mengatakan cukup dipancung saja. 189 d. Eksekusi terhadap pelaku perampokan. Tindak pidana perampokan al-hirabah yang dapat diancam mati disini adalah pelaku kejahatan yang merampas hartakekayaan seseorang dan sekaligus membunuh korbannya itu. Terhadap kejahatan perampokan ini, maka pelakunya dieksekusi dengan cara membunuh, dan kemudian menyalibnya disebuah balok atau kayu yang telah disipakan selama tiga hari. Dalam hal penyaliban ini, terdapat keragaman pandangan dikalangan ulama. Menurut mazhab Syafi’i dan Ahmad, terpidana disalib kaki dan tangan diikat ke balok yang telah disiapkan dalam kondisi tidak bernyawa lagi. Artinya, ia lebih dahulu dieksekusi dengan cara menusuk perutnya dengan tombak. 190 Sedangkan 188 Al-Jazairi, op.cit, hlm. 127. 189 Ibid, hlm. 462. 190 An-Nawawi Majmu’ Syarh Muahazzab Li As-Syairazi, Jeddah: Maktabah Al-Irsyad, hlm. 238. Universitas Sumatera Utara menurut mazhab Hanafi dan Malik, terpidana disalib dalam keadaan hidup, lalu kemudian perutnya ditusuk dengan tombak sampai mati. 191 e. Eksekusi terhadap pelaku murtad. Dalam pelaksanaan eksekusi mati terhadap pelaku tindak pidana murtad ini, secara terperinci tidak ditemuka dalam literatur fikih klasik maupun kontemporer. 192 Akan tetapi, Rasulullah SAW dlam sabdanya menegaskan bahwa siterpidana akan dipidana mati dengan cara memenggal lehernya. Sedangkan alat yang digunakan untuk melaksanakan eksekusi tersebut adalah pedang agar mempermudah kematiannya. Keterangan Rasulullah SAW tersebut diperoleh ketika beliau memberikan amanah kepada Muaz tatkala akan mengutusnya ke Yaman. Hadis dimaksud artinya adalah: ”Bahwasanya Rasulullah SAW, ketika mengutusnya Muaz ke Yaman, Beliau bersabda kepadanya, siapa saja laki-laki yang keluar dari Islam maka berilah ia bimbingan jika ia kembali kepada Islam, dan jika ia tidak kembali maka penggallah lehernya, demikian juga seorang wanita yang keluar dari Islam, berilah bimbingan jika ia kembali kepada Islam, dan jika tidak maka penggallah lehernya”. 193 191 Ibid, hlm. 240. 192 Demikian juga dengan pelaksanaan eksekusi terhadap pelaku makar bugat. Hanya saja dalam Al-qur’an Tuhan menjelaskan bahwa mereka harus diperangi. Hal ini didasarkan kepada QS, 49:9. menurut Al-Mawardi eksekusinya dilakukan dengan pedang. Hal ini dimaksudkan agar terpidana tidak tersiksa dalam menghadapi kematiannya. Dan Rasulullah sendiri pernah memberikan petunjuk tentang hal ini, dimana Beliau bersabda, yang artinya: Apabila kamu membunuh, maka lakukanlah dengan baik, dan apabila kamu penyembelih maka sembelih dengan baik pula, Lihat Al-Baihaqi, op.cit, hlm. 60. 193 Al-Jazairi, op.cit, hlm. 140. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat diketahui bahwa dalam hukum pidana nasional Indonesia pidana mati dijatuhkan terhadap tindak pidana yang tergolong berat saja, seperti makar, pembunuhan berencana, kepemilikan senjata api, bahan peledak, narkotika, dan sebagainya. Demikian juga dalam hukum pidana Islam, pidana mati itu dijatuhkan terhadap pembunuhan sengaja, makar, pengacau keamanan dan sebagainya. Dalam hukum pidana nasional , eksekusi terhadap terpidana mati dilakukan dengan cara menembak terpidana sampai mati, sedangkan dalam hukum pidana Islam, eksekusi tersebut dilakukan dengan beragam cara sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Berikut ini akan diuraikan tabel perbandingan jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati dan mekanisme pelaksanaan eksekusi mati dalam hukum pidana nasional Indonesia dan hukum pidana Islam. TABEL PERBANDINGAN JENIS TINDAK PIDANA YANG DIANCAM DENGAN HUKUMAN MATI DAN MEKANISME PELAKSANAAN EKSEKUSI MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM No Dalam Hukum Pidana Indonesia No Dalam Hukum Pidana Islam Jenis Tindak Pidana Mekanisme Eksekusi Jenis Tindak Pidana Mekanisme Eksekusi Tindak pidana yang diancam Tata cara pelaksanaan 1 Pembunuhan sengaja al-gatl Dalam hukum pidana Islam, Universitas Sumatera Utara 1 2 3 4 5 dengan hukuman mati diatur dalam KUHP : Makar terhadap Presiden atau Wakil Presiden Pasal 104 Membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang Pasal 111 ayat 2 Membantu musuh dalam berperang Pasal 124 ayat 3 Menyebabkan atau menganjurkan huru hara Pasal 124 bis Makar terhadap raja atau kepala negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut Pasal 140 ayat 3 eksekusi mati dalam hukum pidana nasional Indonesia diatur dalam UU No. 2 PnPs Tahun 1964 Tentang Tata Cara Atau Mekanisme Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Dalam hukum pidana nasional Indonesia, eksekusi mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati didalam daerah hukum yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama dan dilakukan tidak dimuka umum. Eksekusi dilakukan oleh regu penembak yang terdiri 2 3 4 5 6 al-’amd Surat Al-Baqarah ayat 178. Perampokan qat’u at-tariq al-hirabah Surat Al- Maidah ayat 33. Pemberontakan al-bagyu Surat Al- Hujarat ayat 9. Keluar dari agama Islam ar-riddah Sabda Rasulullah SAW. Melakukan perzinahan az- zina Sabda Rasulullah SAW. Melakukan homo seksual al-liwat Sabda Rasulullah SAW. mekanisme eksekusi mati dilakukan dengan beragam cara bervariasi, sesuai dengan jenis tindak pidana yang dilakukan, yaitu : Terhadap Pelaku pembunuhan sengaja: Eksekusi harus dihadiri oleh Sultan, dan dianjurkan mustahab pula dihadiri oleh dua orang saksi. Kemudian kepada terpidana dipersilahkan untuk menyampaikan wasiat, dan sebelumnya diperintahkan untuk bertaubat, mengqada shalatnya yang tertinggal. Lalu matanya ditutup dengan sehelai kain, dan dengan aurat yang tertutup, maka eksekusi itupun dilakukan dengan memncung leher Universitas Sumatera Utara 6 7 8 9 1 Pembunuhan berencana Pasal 340 Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati Pasal 365 ayat 4 Pembajakan dilaut pesisir, dan disungai yang mengakibatkan kematian Pasal 444 Pembajakan diudara yang mengakibatkan matinya orang atau hancurnya pesawat udara Pasal 479 ayat 2 Tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati diatur diluar KUHP : Pasal 2 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 dari seorang bintara, dua belas orang tamtama, dibawah pimpinan seorang perwira dan semuanya berasal dari Brimob. Artinya adalah bahwa tata cara pelaksanaan eksekusi mati dalam hukum pidana nasional Indonesia dilakukan dengan satu cara, yaitu ditembak sampai mati, tanpa memperhatikan jenis tindak pidana yang dilakukan. terpidana menggunakan sebilah pedang. Terhadap pelaku zina muhsan : Apabila seseorang telah terbukti melakukan tindak pidana zina, maka hakim wajib menjatuhkan pidana mati berupa rajam kepadanya. Adapun mekanismenya adalah bahwa siterpidana harus ditanam sebatas dadanya apabila ia seorang wanita. Hal ini dimaksudkan agar auratnya tidak terlihat oleh masyarakat jamaah yang menyaksikan atau melakukan eksekusi itu. Sebaliknya apabila terpidananya seorang pria, maka badannya tidak perlu ditanam sebagaimana wanita. Pelaksanaan Universitas Sumatera Utara 2 3 4 5 6 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 113 ayat 2 bagian a UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pasal 59 ayat 1 dan 2 UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom. Pasal 1 ayat 1 UU drt No. 12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api, Amunisi, dan Bahan Peledak. eksekusi tersebut diatas harus terbuka, artinya harus dihadiri oleh sekelompok masyarakat jamaah. Terhadap pelaku homoseksual: Adapun prosedur atau mekanisme eksekusi mati yang dilakukan terhadap pelaku homoseksual adalah sebagaimana mekanisme eksekusi terhadap pelaku zina. Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan tentang alat yang digunakan untuk mengeksekusinya. Menurut praktik yang dilakukan oleh Sahabat Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar As-siddik, Ali Bin Abi Thalib, Abdullah Bin Zubair, maka kedua pelakunya dibakar setelah terlebih dahulu dipancung dengan pedang. Universitas Sumatera Utara Terhadap pelaku murtad: siterpidana akan dipidana mati dengan cara memenggal lehernya. Sedangkan alat yang digunakan untuk melaksanakan eksekusi tersebut adalah pedang agar mempermudah kematiannya. Berkaitan dengan salah satu tujuan diterapkannya pidana mati yaitu agar dapat berfungsi sebagai penjeraanpencegahan bagi calon penjahat berpotensial lainnya sebagaimanan dipaparkan sebelumnya, maka menurut penulis seyogyanya mekanisme eksekusinya dilakukan sama seperti yang berlaku dalam hukum pidana Islam didepan umum. Seperti diketahui bahwa dalam hukum pidana nasional Indonesia eksekusi tersebut dilakukan secara sesederhana mungkin dan tidak didepan umum. Karena, menurut hemat penulis apabila eksekusinya dilakukan didepan umum, maka penerapan pidana itu dapat berfungsi sesuai dengan yang diharapkan yaitu generale deterrence penjeraan bagi masyarakat luas. Sebaliknya, apabila pelaksanaannya dilakukan sesederhana mungkin, tidak didepan umum, maka fungsinya sebagai penjeraan atau pencegahan kurang efektif. Sebab eksekusi yang Universitas Sumatera Utara tidak disaksikan langsung oleh penjahat berpotensial lainnya secara psikologis kurang memberi kesan yang dalam bagi mereka. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PERSPEKTIF PENGATURAN PIDANA MATI KEDEPAN

A. Argumentasi Pro dan Kontra Terhadap Pidana Mati Di Indonesia .

Pelaksanaan pidana mati adalah merupakan salah satu yang mendatangkan perdebatan dan banyak reaksi. Baik di maupun dinegara-negara lainnya, sejak dahulu permasalahan ini telah membangkitkan respon dari setiap lapisan masyarakat. Hampir 130 negara didunia telah menghapuskan hukuman mati dari sudut pandang sosial, hukum, dan agama. Oleh karenanya, permasalahan ini telah meningkatkan suhu perdebatan hampir diseluruh negara, sehingga menjadi amatlah penting untuk menghadirkan berbagai dimensi signifikan sesungguhnya dari perspektif keadilan sosial dan hukum. Kebutuhan untuk menghadirkan permasalahan yang klasik ini, dalam rangka perpaduan yurisprudensi yang progresif dan realisme yang ada, merupakan salah satu yang harus dilakukan jika semangat masyarakat umum, khususnya para pemerhati hukum, terhadap permasalahan sosial memang ingin dilayani dengan sungguh-sungguh. 194 Perdebatan mengenai pidana mati sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya memang sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana diberbagai belahan dunia. Dari pendekatan historik dan teoritik, pidana mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini mengajarkan 194 HM. Nasruddin Anshoriy, Jihad Melawan Korupsi, http:www.ombudsman- asahan.orgindex.php?option=com_contenttask=viewid=399itemid=74 diakses tanggal 13 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara