14
1. Penerapan prinsip transparansi pada perseroan terbuka sebagai implementasi
good corporate governance di pasar modal. 2.
Ketentuan sanksi atas pelanggaran prinsip transparansi di pasar modal. Dan skripsi ini ditulis dengan permasalahan dan pembahasan yang berbeda
sehingga bisa dipandang sebagai tulisan yang asli. Apabila dikemudian hari, ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk
skripsi sebelum skripsi ini dibuat maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban dikemudian hari.
E. Tinjauan Kepustakaan
Pasal 64 Ayat 1 Huruf c UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menyebutkan bahwa profesi penunjang pasar modal antara lain terdiri dari penilai.
Profesi penilai sesungguhnya memiliki peran sangat strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, baik sektor publik maupun privat.
25
Penilai adalah pihak yang menerbitkan dan menandatangani laporan penilaian atas nilai aktiva, yang disusun
berdasarkan pemeriksaan menurut keahlian dari penilai.
26
25
Doli D. Siregar, Breakthrough Profesionalisme Penilai Indonesia, Jakarta: Masyarakat Profesi Penilai Indonesia, 2013, hal. 51.
26
Sarwidji Widoatmodjo, 2, Op.cit., hal. 78.
Penilai yang melakukan kegiatan di bidang pasar modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam
Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal untuk Penilai. Peranan perusahaan penilai sebagai salah
satu profesi penunjang pasar modal cukup menentukan di pasar modal karena lembaga ini berperan dalam menentukan nilai wajar dari harta milik perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
15
Nilai ini diperlukan sebagai bahan informasi bagi para investor di dalam mengambil keputusan investasi.
27
Ditinjau dari berbagai sisi, usaha jasa penilai serta profesi penilai di Indonesia memang masih menyimpan banyak problematikanya sendiri. Pertama,
dari segi jumlah saja, misalnya ketersediaan tenaga penilai masih jauh jika dibandingkan dengan kebutuhan dan tuntutan pasar yang cenderung terus
meningkat dan berkembang. Ketua umum MAPPI Hamid Yusuf memiliki perkiraan, tahun 2011 jumlah tenaga penilai hanya sekitar 2000 orang, padahal
dengan wilayah yang demikian luas dan perkembangan ekonomi yang sangat pesat, Indonesia sedikitnya membutuhkan sekitar 10 ribu tenaga penilai.
28
Kondisi tersebut tidak bisa dilepaskan dari permasalahan kedua yang masih melilit industri
jasa dan profesi penilai di Indonesia, yaitu soal pendidikan. Dengan intensitas pendidikan dan tingkat kelulusan peserta pendidikan jasa penilai yang tidak
melampaui angka 50 persen, sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan jasa penilai sesuai permintaan dan tuntutan pasar yang kian besar.
29
Pendek kata, dengan kondisi ketersediaan dan penyelenggaraan pendidikan yang masih terbatas,
pertumbuhan jumlah penilai, baik dalam pengertian tenaga penilai atau penilai publik, akan terbatas pula.
30
Masalah ketiga adalah persoalan kompetensi profesionalitas, dan integritas dari profesi penilai. Diakui atau tidak, masih adanya persoalan tentang
kompetensi, profesionalitas, dan integritas dari profesi penilai tersebut terbaca
27
Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 30.
28
Kompas, 30 September 2010.
29
Media Penilai, Edisi MaretTH.VII2012, hal. 26.
30
Doli D. Siregar, Op.cit., hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
16
pada diterbitkannya aturan mengenai standar imbalan jasa fee minimum yang dikeluarkan oleh Pengurus Pusat MAPPI. Keluarnya kebijakan ini
dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya praktek persaingan yang tidak sehat di kalangan penilai. Tentu saja, persaingan tidak sehat ini muncul lantaran para
penilai telah mempertaruhkan kompetensi, profesionalitas, dan integritas mereka. Artinya, dalam praktek kegiatan penilaian, banyak terjadi pengabaian terhadap
Standar Penilaian Indonesia SPI dan Kode Etik Penilai Indonesia KEPI, yang secara gambling mewujud dalam “perang tarif” guna berebut klien atau pasar.
Praktek yang demikian tentu saja semakin menjauhkan peran profesi penilai dari misi awalnya guna turut serta membangun perekonomian nasional yang
transparan, efisien, akuntabel, berkeadilan, dan kokoh. Dan, ironisnya, hal itu bukan terjadi belakangan ini. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh seorang
dosen dari Universitas Jayabaya Jakarta, RA Thajibah KY pada 2007 menunjukkan bahwa praktek penilaian di Indonesia belum mendukung
terbangunnya Good Corporate Governance GCG
31
Salah satu temuan dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa banyak penilai publik yang dengan sadar bertindak tidak independen alias mau disetir
oleh klien atau pemberi tugas demi mendapatkan imbalan jasa yang tak sepantasnya. Jika ini terjadi, sudah dapat dipastikan bahwa hasil kegiatan
penilaiannya tidak akan sesuai dengan standar profesionalitas dan standar kompetensi. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa, selain karena
faktor integritas pribadi-pribadi para penilai, juga disebabkan oleh belum adanya
31
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
17
regulasi yang mampu menjamin terbangunnya sistem dan praktek penilaian yang mengacu pada penerapan prinsip-prinsip GCG. Dan memang itulah salah satu
persoalan mendasar yang dihadapi profesi penilai hingga saat ini. Inilah masalah keempat bagi profesi penilai di Indonesia : belum ada payung hukum setingkat
undang-undang UU yang secara khusus mengatur usaha jasa penilai dan profesi penilai di Indonesia. Jika dibandingkan dengan profesi penunjang kegiatan
ekonomi lainnya, seperti akuntan, notaris, advokat, hanya penilai yang belum memiliki UU sendiri. Sejak pertama kali profesi ini diatur, hingga saat ini regulasi
yang mengatur penilai hanyalah produk hukum setingkat peraturan menteri. Karena itu, dalam konteks bernegara, peraturan menteri yang mengatur profesi
penilai ini tidak bisa mengikat para pihak di luar kewenangan kementerian yang menerbitkan peraturan tersebut. Lebih jauh lagi, dengan demikian, seluruh hasil
kegiatan penilaian yang dilakukan penilai berupa opini nilai sesungguhnya tidak memiliki kekuatan hukum di depan tata peradilan nasional.
32
Seperti dilaporkan Majalah Media Penilai, sebagai Ketua Umum MAPPI, Hamid Yusuf menyadari akan pentingnya payung UU bagi profesi penilai. Sebab,
jika belum dipayungi peraturan perundang-undangan setingkat UU, segala upaya dan terobosan yang dilakukan guna mengembangkan profesi penilai di Tanah Air
akan lebih sering membentur tembok.
33
32
Ibid., hal. 46-47.
33
Media Penilai, Edisi September TH.VI2011, hal. 16.
Namun sesungguhnya problematika tersebut tidak bisa dijadikan alasan atau pembenar bagi seorang penilai untuk abai
pada masalah profesionalitas, kompetensi, dan integritas sebagai seorang yang
Universitas Sumatera Utara
18
menyandang profesi penilai. Sebab tugas dan tanggung jawab penilai sebagai profesi melekat pada pribadi.
34
F. Metode Penulisan