BAB II LANDASAN TEORI
A. Politik Aliran
Konsep aliran pertama kali diciptakan oleh antropolog Clifford Geertz untuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah Jawa pada awal
zaman kemerdekaan.Geertz tinggal di pare, Jawa Timur selama dua tahun 1952- 1954. Istilah aliran diperkenalkan kepada dunia ilmiah pada 1959 dalam The
Javanese Village, yang diterbitkan dalam sebuah buku, Local ethnic, and National Loyalties in Village Indonesia
1
. Dalam penelitiannya itu, Geertz mencoba menghubungkan bagaimana
hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota
masyarakat mewujudkan integrasi disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu. Sehingga, perbedaan-perbedaan yang
nampak antara struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut hanyalah bersifat komplementer
2
. Penemuan utama Geertz adalah bahwa masyarakat Jawa sudah lama
kehilangan kemampuan untuk menyusun kehidupan bersama. Dia membandingkan citra desa yang romantik-komunal, organis, tata tentrem dengan
kenyataan yang diamatinya : “ketidakmampuan untuk bekerja sama atau untuk mengorganisasikan segala hal; suatu keengganan yang bermula pada
1
R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 105.
2
Abudin Nata. Metodologi studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2000, h. 347
13
ketidakpastian tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menjalani berbagai usaha yang kompleks dan berjangka panjang, dan suatu kemandekan”.
3
Masyarakat Jawa oleh Geertz dilihat sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkretik, yang terdiri atas
sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang berlawanan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan yang intinya
berpusat di pedesaan, Santri yang intinya berpusat di pedesaan, dan Priyayi yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota
4
. Pembentukan aliran pada zaman kemerdekaan, menurut R. William
Liddle
5
, terjadi dalam konteks Cultuur Stelsel, sistem pertanian tanam paksa. Ketika sejak awal abad ke-19 Belanda memaksa para petani di Jawa menanam
tebu, tembakau dan kopi yang akan di ekspor ke luar Hindia Belanda. Namun, penjajah itu berusaha sekaligus melindungi atau melestarikan struktur dan politik
tradisional orang Jawa, atau dalam bahasa Geertz “Hasil pertanian Jawa, tetapi bukan rakyatnya, mau dimasukkan ke dunia modern”.
Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa, yang ditarik dari mikrokosmosnya di Mojokuto, kedalam tiga varian sosiokultural : abangan, santri
dan priyayi. Ketika memaparkan perbedaan-perbedaan umum antara ketiga varian tersebut dalam bukunya Religion of Java, ia menulis :
“Abangan mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek animistis dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur
petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek Islam dari sinkretisme diatas dan pada umumnya berkaitan
dengan unsur dagang juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok
3
R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 105.
4
Abudin Nata. Metodologi studi Islam, h. 347-348
5
R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di Indonesia, h. 106.
14
petani; dan priyayi menekankan pada aspek-aspek Hinduistis dan berkaitan dengan unsur birokrasi.”
6
Dengan demikian penyebab terjadi tipologi yang berbeda tersebut salah satunya berkaitan dengan lingkungan yang berbeda yaitu pedesaan, pasar dan
kantor pemerintahan dibarengi dengan latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan
Islam di Jawa telah mewujudkan adanya ketiga varian sosial keagamaan tersebut. Disamping itu menurut Daniel S. Lev
7
, pengelompokkan tersebut makin diperkuat oleh perbedaan-perbedaan ekonomis. Kelompok santri lebih cenderung pada
aktivitas perdagangan daripada kelompok abangan yang tipikal ideal sebagai petani, dan kelompok priyayi urban sebagai birokrat.
Hasil penelitian Geertz ini bukan tanpa kekurangan, telah banyak kritik dikemukakan ahli dan pengamat khususnya Harsja W. Bahtiar dan
Koentjaraningrat, terhadap tipologi atau varian “keagamaan” masyarakat Jawa.
8
Harsja W. Bachtiar
9
, misalkan, mengatakan bahwa yang disebut kaum abangan tidaklah harus mengacu kepada tradisi rakyat yang pokok yang terdiri dari tradisi
kebudayaan rakyat biasa, wong cilik orang kecil. Dengan kata lain kelirulah untuk menganggap tradisi kebudayaan kaum tani sebagai tradisi abangan.
Demikian pula, mengenai varian kaum santri bisa saja berasal dari golongan rendahan dan karena banyak priyayi telah diasuh oleh pelayan-pelayan dari
6
Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia Jakarta: Paramadina, 1998, h. 37
7
Daniel S. Lev. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer 1950- 1957 Dan Demokrasi Terpimpin 1957-1965. Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai
Politik, h. 134.
8
Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, h. 185
9
Abudin Nata. Metodologi studi Islam, h. 348
15
golongan rendahan yang berada dalam kedudukan uuntuk mempengaruhi mereka, maka apa yang disini disebut “kepercayaan rakyat” atau kepercayaan animistik,
merupakan suatu yang lazim di kalangan orang-orang yang oleh Geertz disebut sebagai santri dan priyayi, meskipun wajarlah apabila mereka tidak mengakuinya
Dengan kata lain Bachtiar ingin mengatakan, bahwa penggunaan istilah abangan, santri dan priyayi untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam
golongan-golongan agama tidaklah tepat, karena ketiga golongan yang disebutkan tadi tidak bersumber dari satu sistem klasifikasi yang sama.
Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah santri-abangan sudah ada jauh sebelum Geertz mengemukakan hasil penelitiannya. Bahkan Azyumardi Azra
10
menyatakan bahwa pada dasarnya Geertz hanyalah merumuskan dan menteorisasikan kategori yang telah ada; bukan menciptakan. Yang diciptakan
Geertz adalah kerumitan tambahan, dengan memasukkan kategori “priyayi” sehingga menciptakan “trikotomi” santri-abangan-priyayi. Padahal jelas, priyayi
adalah kategori sosiologis, bukan kategori keagamaan. Karena itu kategorisasi “santri-abangan” sebenarnya tidak kedap air watertight dan, karena itu terdapat
banyak persilangan dan tumpang tindih. Terlepas dari semua ini, yang jelas “trikotomi” Geertz, atau lebih tepat lagi
“dikhotomi” santri-abangan terlanjur populer, bukan hanya dalam dunia keilmuan, khususnya antropologi, tetapi juga digunakan untuk menjelaskan pemilahan
politik dalam masyarakat Jawa khususnya. Demikian, pertarungan dan pergulatan politik Indonesia, khususnya tahun-tahun 1950-an menjelang dan pasca-pemilu
10
Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, h. 185
16
1955 di antara Masyumi, PNI dan PKI dijelaskan banyak pihak dalam kerangka Geertz, yang populer sebagai “politik aliran”, persisnya pertarungan antara santri
pada satu pihak dan abangan pada pihak lain. Dengan demikian dalam kasus ini, Geertz menjelaskan, “proses manuver
politik yang digerakkan oleh sistem aliran ini segera membuat persekutuan orientasi abangan dan priyayi dalam satu kesatuan yang berhadapan dengan
orientasi santri. Proses persekutuan politik antara kedua varian ini, untuk satu hal, didorong oleh “terlembagakannya politik massa dan hak politik universal yang
mendekatkan kelompok priyayi dengan abangan”. Hal itu juga disebabkan oleh kenyataan yang kuat diterima bahwa kedua kelompok tersebut “tidak menyukai
eksklusivisme kelompok santri”
11
Yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang menjelma sebagai organisasi politik
12
. Menurut Bahtiar Effendi
13
, Geertz memaparkan aliran sebagai “suatu partai politik yang dikelilingi oleh satuan
organisasi-organisasi sukarela yang formal maupun tidak formal berkaitan dengannya….[aliran] adalah pengelompokan organisasi secara nasional….yang
menganut arah dan posisi ideologis yang sama.” Terlepas dari penekannya pada partai politik sebagai unsur pokok dalam konsep ini, penting dicatat bahwa “suatu
aliran lebih dari sekedar partai politik, jelas juga lebih dari sekedar ideologi; ia adalah suatu pola integrasi sosial yang komprehensif,” dan ia diidentifikasi
kurang-lebih oleh “oposisi suatu kelompok kepada yang lain”
11
Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 39
12
R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 108.
13
Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 36
17
Setidaknya ada dua unsur utama yang inheren dalam konsep aliran. Pertama, pentingnya pembilahan religio-kultural dalam tradisi masyarakat Jawa.
Kedua, cara dimana pembilahan semacam itu mentransformasikan diri secara agak mudah kedalam pola pengelompokan-pengelompokan sosial-politik
14
. Politik aliran terbentuk, untuk pertama kalinya pada pemilu 1955. Ketika
masyarakat Jawa untuk kali pertamanya selama satu setengah abad diberi kebebasan untuk membuat organisasi-organisasi sosial dan politik baru. Yang
mereka ciptakan kemudian adalah aliran, yaitu partai-partai politik nasional, yang diimpor dari Jakarta, lengkap dengan ideologi masing-masing dan organisasi-
organisasi sosial untuk petani, buruh, wanita, pemuda dan lain-lain
15
. Pada pemilu tahun 1950-an pola pembentukan partai politik dipengaruhi
oleh konsep aliran. Kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik mereka ke partai-partai politik Islam, misalnya Masyumi dan Nahdlatul Ulama
NU, dua partai Islam terbesar pada 1950-an. Pada sisi lainnya, kelompok abangan dan priyayi lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengan
partai “nasionalis” PNI atau PKI. Tumbangnya pemerintahan orde lama setelah gagalnya pemberontakan
PKI pada 1965 tidak serta merta menghapuskan trikhotomi abangan, santri dan priyayi. Bahkan perkembangan politik Indonesia umumnya pada masa orde baru
tetap masih bisa dijelaskan banyak pengamat dalam kerangka Geertzian. Bahkan banyak pemimpin militer Indonesia yang sebagian besar berasal dari etnis Jawa,
dan karena itu abangan menentang Islam dan kaum santri. Militer abangan yang
14
Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 38
15
R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 108
18
hostile terhadap Islam dan golongan santri inilah yang kemudian mendukung dan memenangkan Golkar sejak pemilu 1977, 1982 dan 1987, yang juga didominasi
oleh kaum abangan dan non-muslim. Singkatnya, polarisasi antara santri dan abangan terus berlanjut dalam masa orde baru
16
. Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat
Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan Pembangunan PPP, dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi
menjadi Partai Demokrasi Indonesia PDI. Pasca orde baru realitas politik yang didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian
menonjol. PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan
PNI yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan kelanjutan dari partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar,
antara PAN melalui Muhamadiyah sebagai santri modernis dengan Masyumi. PPP juga tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971
bersama partai-partai santri, berdifusi menjadi PPP. Pada Pemilu tahun 2004 ternyata tidak ada lompatan ideologis ideological
leapfrogging yang ekstrim, namun dua partai Islam, PPP dan PBB, bergerak lebih jauh ke kanan, sementara PKS lebih mendekat ke tengah. Partai-partai
sekuler, meski tetap dalam posisi semula, menjalankan strategi yang berbeda guna
16
Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, h. 186
19
memperluas jangkauan pada segmen-segmen komunitas Islam tanpa mengubah sikap dasar ideologinya.
17
Arti penting teori aliran Geertz adalah bahwa teori ini mencoba menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari pengelompokan-
pengelompokan sosial-politik yang berkembang dalam realitas politik di Indonesia.
B. Islam Tradisionalis