Politik aliran dalam pemilu 2009 : studi atas perubahan platform partai keadilan sejahtera pada pemilu 2009

(1)

POLITIK ALIRAN DALAM PEMILU 2009

(Studi Atas Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera

pada Pemilu 2009)

Skripsi diajukan untuk Persyaratan dalam menyelesaikan Program Strata 1 Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

Muhammad Alatas NIM : 104033201135

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KATA PENGANTAR

Assamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir akademis pada jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat teriring salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan cahaya kebenaran dan petunjuk kepada umat manusia dengan akhlak dan budi pekertinya menuju peradaban yang lebih baik, serta para keluarga dan sahabatnya.

Pada akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Politik Aliran Dalam Pemilu 2009 (Studi atas Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera Pada Pemilu 2009) pada saat yang tepat. Hal ini tidak lepas dari bantuan semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini. Sudilah kiranya Penulis memberikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta yaitu Al-Walid Al-Habib Umar bin Al-Habib Muhammad Al-Athas (Aba) dan Assyarifah Zahra binti Al-Habib Mukhsin Al-Athas (Umi) yang dalam proses penyusunan Skripsi ini Aba dan Umi telah dipanggil oleh Allah SWT Ke Rahmatullah. Semoga rahmat dan kasih sayang Allah selalu menyertai mereka berdua. Amin. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada kakak-kakak, Hamid Al-Athas, Lc., Ustadzah Hikmah Al-Athas, S. Pd., Al-Habib Hasan bin


(3)

Umar Al-Athas, Nur Jehan Al-Athas, S. Ag., Intan Al-Athas, Anisah Alatas, S. Pd., Gamar Athas, Habib Shaleh bin Umar Athas, Salim bin Umar Al-Athas, S. Sos., M. Si., dr. Sofia Al-Athas dan seluruh kakak ipar tercinta, semoga Allah menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada kakak-kakak sekalian.

Selanjutnya Penulis meminta maaf dan mengucapkan terima kasih, permintaan maaf Penulis sampaikan karena skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung skripsi ini, antara lain:

1. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Dr. Hendro Prasetyo, MA., selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Drs. Idris Thaha, M. Si., Dra. Hj. Wiwi Siti Sajaroh, M. Ag., selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, M. Zaki Mubarok, M. Si., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik. Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih serta do’a Penulis agar Allah SWT kiranya menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan Ibu. 2. Dra. Haniah Hanafie, M. Si., selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing dan memberikan motivasi, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih serta do’a Penulis agar Allah SWT kiranya menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada Ibu dan keluarga.

3. Seluruh Guru dan Dosen-dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajar dan mendidik Penulis. Penulis haturkan rasa hormat dan


(4)

terima kasih serta do’a Penulis agar Allah SWT kiranya menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan Ibu.

4. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan Pusat Informasi PT. Kompas Gramedia. Terima kasih atas pinjaman buku dan referensinya.

5. Teman-teman Program Studi Pemikiran Politik Islam Angkatan 2003, Angkatan 2004, Angkatan 2005.

6. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa Jakarta.

7. Sahabat-sahabatku, Ustadz H. Muhammad Arfan & MT. Asshofa, Muhammad Syarif, Galeh Subroto & Teman-teman Paskibra-24 Jakarta. 8. Special tahnks for Kakak tercinta Hasan Al-Athas beserta istri (Fatimah

binti Zein Al-kaff) yang telah memberikan support dan perhatiannya selama proses penulisan skripsi ini.

9. Special tahnks for Kakak tercinta Salim Al-Athas, S. Sos., M. Si., yang telah memberikan support dan perhatiannya selama proses penulisan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terkait, lembaga maupun perorangan, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang secara langsung atau tidak langsung telah memberikan semangat dan membantu Penulis dalam kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT membalasnya. Amin.


(5)

Penulis Sangat menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang perlu disempurnakan, untuk itu dengan segala kerendahan hati Penulis mengharapakan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, April 2010


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……….. i

Daftar Isi ………... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masasalah ………..………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Metodologi Penelitian ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Politik Aliran ... 13

B. Islam Tradisionalis ... 20

C. Islam Modernis ... 23

BAB III BIOGRAFI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA A. Sejarah Perkembangan Partai Keadilan Sejahtera .. 27

B. Tokoh-tokoh PKS ... 35


(7)

BAB IV PERUBAHAN DAN IMPLIKASI PLATFORM PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

A. Politik Aliran dalam Pemilu 2009 ………. 48

B. Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera ... 53

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera … 61 D. Implikasi Perubahan Platform PKS pada Pemilu 2009 64 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 69

B. Saran ... 68

Daftar Pustaka ………... 72


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Partai Keadilan Sejahtera (PK-Sejahtera) merupakan pelanjut perjuangan Partai Keadilan (PK) yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta suara (7 kursi DPR, 26 kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD Kota/Kabupaten)1. Pada 20 Juli 1998 PKS berdiri dengan nama awal Partai Keadilan (disingkat PK) dalam sebuah konferensi pers di Aula Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Presiden (ketua) partai ini adalah Nurmahmudi Isma'il.

Pada 20 Oktober 1999 PK menerima tawaran kursi kementerian Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun) dalam kabinet pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, dan menunjuk Nurmahmudi Isma'il (saat itu presiden partai) sebagai calon menteri. Nurmahmudi kemudian mengundurkan diri sebagai presiden partai dan digantikan oleh Hidayat Nur Wahid yang terpilih pada 21 Mei 2000. Pada 3 Agustus 2000 Delapan partai Islam (PPP, PBB, PK, Masyumi, PKU, PNU, PUI, PSII 1905) menggelar acara sarasehan dan silaturahmi partai-partai Islam di Masjid Al Azhar dan meminta Piagam Jakarta masuk dalam Amandemen UUD 1945.

Akibat UU Pemilu Nomor 3 Tahun 1999 tentang syarat berlakunya batas minimum keikut sertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral threshold) dua

1

Navis, ”Sejarah PK Sejahtera,” artikel diakses tanggal 21 Januari 2010, dari http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=rub&idrub=1105&sel=0,


(9)

persen, maka PK harus merubah namanya untuk dapat ikut kembali di Pemilu berikutnya. Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyelesaikan seluruh proses verifikasi Departemen Kehakiman dan HAM (Depkehham) di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah (setingkat Propinsi) dan Dewan Pimpinan Daerah (setingkat Kabupaten/Kota). Sehari kemudian, PK bergabung dengan PKS dan dengan penggabungan ini, seluruh hak milik PK menjadi milik PKS, termasuk anggota dewan dan para kadernya. Dengan penggabungan ini maka PK (Partai Keadilan) resmi berubah nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

Setelah Pemilu 2004, Hidayat Nur Wahid (Presiden PKS yang sedang menjabat) kemudian terpilih sebagai ketua MPR masa bakti 2004-2009 dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden PK Sejahtera. Pada Sidang Majelis Syuro I PKS pada 26 - 29 Mei 2005 di Jakarta, Tifatul Sembiring terpilih menjadi Presiden PK Sejahtera periode 2005-2010.

R. William Liddle, seorang guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State University, dalam bukunya Revolusi dari Luar; Demokatisasi di Indonesia (2005), menyatakan bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, telah terjadi pertarungan ideologi yang kemudian menjelma dengan kekuatan politik. PKS adalah salah satu partai yang muncul dari ideologi Islam modernis yang dianut oleh para elit-elit partai, dan menjadikan ideologi ini sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara.. Inilah kemudian yang membuat sebagian orang menyebut PKS juga partai-partai lain yang mengandalkan religio-ideological cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara dengan sebutan “politik aliran”.


(10)

Konsep aliran pertama kali diciptakan oleh antropolog Clifford Geertz dalam tulisan The Javanese Village (1959), untuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah Jawa pada awal zaman kemerdekaan. Dua tahun (1952-1954) Geertz tinggal di Pare Jawa Timur, sebelum dia akhirnya mengenalkan konsep ini kepada dunia ilmiah2.

Pola pembentukan aliran dalam politik Indonesia merupakan ekses dari pengaruh politik etis kolonial Belanda3. Penelitian Geertz4 bahkan mengamati bahwa kebijakan agraria pemerintah Belanda, khusunya apa yang dinamakan Cultuur Stelsel,

sistem pertanian tanam paksa, berusaha melindungi atau melestarikan struktur sosial dan politik tradisional orang Jawa. Penjajah Belanda juga berusaha untuk mengisolasi masyarakat Jawa dari dunia luar, atau dalam bahasa Geertz “hasil pertanian Jawa, tetapi bukan rakyatnya, mau dimasukkkan ke dunia modern”.

Yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang menjelma sebagai organisasi politik. Pada tahun 1950-an, Clifford Geertz menemukan empat aliran besar dalam masyarakat Jawa yaitu : PNI yang mewakili golongan priyayi, PKI yang mewakili golongan abangan, Masyumi sebagai wakil dari santri modernis, serta NU yang merupakan wakil santri tradisionalis. Dengan demikian pembentukan partai politik pada awal kemerdekaan mengikuti garis-garis

2

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia (Jakarta: Nalar, 2005), h. 105.

3

Daniel S. Lev. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik (Tiara Wacvana Yogya, 1996), h. 131.

4


(11)

pengelompokkan yang sudah ada, baik menurut kelompok-kelompok suku bangsa, etnik ataupun agama dan kepercayaan5.

Dari berbagai aliran pemikiran itu, nampaknya partai politik Islam memainkan peranan yang cukup penting pada masa kemerdekaan dan masa demokrasi parlementer. Pada masa kemerdekaan, Masyumi, misalnya, pandai dalam melihat suasa politik. Ia tak segan-segan berkoalisi dengan partai sekuler dalam suatu kabinet. Atau, ketika koalisi tidak terjadi, beberapa orang masyumi tetap menjadi anggota kabinet meski mengatasnamakan pribadi. Ini seperti yang terjadi pada kabinet Syahrir I, II dan III beberapa orang Masyumi masih dipercaya untuk menjadi menteri6.

Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pasca orde baru realitas politik yang didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian menonjol. R. William Liddle, guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State University, dalam bukunya Revolusi dari Luar; Demokatisasi di Indonesia (2005) menyatakan bahwa pola aliran masih berlaku, dan dalam pemilu 1999 semua partai yang meraih

5

Daniel S. Lev Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik, h. 132.

6

Ulfi Fauzi. “Konflik Politik Islam; Studi Kasus hubungan Masyumi dan NU pada Masa Sebelum dan Sesudah Demokrasi Terpimpin (1950-1956),” (Skripsi S1 Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 2.


(12)

suara terbanyak, kecuali Golkar merupakan perwujudan baru dari sistem aliran yang dilukiskan oleh Geertz.

PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan PNI yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan kelanjutan dari partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar, antara PAN melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi. PPP juga tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971 bersama partai-partai santri, berdifusi menjadi PPP.

Sejarah terulang kembali dalam pemilu 2004. Ketika politik aliran mulai menemukan bentuknya lewat kemenangan partai-partai yang mengikuti pola aliran yang dirumuskan Geertz pada 1950-an, dengan beberapa pengecualian, yaitu suksesnya Partai Demokrat meraih sekitar 7,5 % suara meski afiliasi alirannya samar-samar.

Dalam konteks demikian penulis melihat bahwa politik aliran tengah bekerja di dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Ia berperan sebagai instrumen untuk mobilisasi dan maksimalisasi dukungan7.

Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya ketika setiap partai mlekatkan dirinya pada ideologi ataupun aliran. Pada pemilu 2009 kita dapat mengamati bahwa partai-partai politik telah mencanangkan keterbukaan partai mereka. Dalam artian

7

Bahtiar Effendy. Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?. (Bandung: Mizan, 2000), h. 202.


(13)

mereka mencari dukungan dari semua warga negara Indonesia, tanpa memandang agama, ideologi, ataupun etnis.

Begitu pula dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang selama ini dicitrakan sebagai partai ideologis yang berafiliasi kepada golongan abangan yang mulai merapat kepada kelompok-kelompok muslim. Salah satunya dengan membentuk Baitul Muslimin Indonesia yang merupakan organisasi sayap PDI-P yang didirikan untuk mendulang suara dari kelompok muslim. Disamping itu, Hidayat Nur Wahid, seorang yang memiliki basis massa muslim yang kuat, menjadi kandidat calon wakil presiden mendampingi Megawati dan menurut polling Pusat Kebijakan dan Pembangunan Strategies (Desember 2008) pasangan Mega-Hidayat menembus angka 40,21 %.

Kedekatan PDI-P dengan kelompok muslim ini sungguh diluar dugaan, mengingat pada tahun 1999 sempat terjadi ketegangan antara parpol-parpol Islam dengan PDI-P, ditambah lagi dengan seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam untuk tidak memilih PDI-P yang menampilkan banyak caleg non-muslim. Oleh banyak kalangan ketegangan antara parpol dan ormas Islam disatu sisi dengan PDI-P pada sisi lainnya seringkali digambarkan sebagai ketegangan antara kelompok santri dan abangan.

Demikian halnya dengan partai-partai lain yang mulai menyadari bahwa dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, tampak ganjil jika hanya mengandalkan religio-ideological cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara. Karena dengan membuka diri, setiap partai dapat meraih


(14)

dukungan sebanyak mungkin dari beragam entitas, ras, agama dan golongan agar bisa memerintah negeri ini.

Partai Keadilan Sejahtera adalah salah satu partai yang dilahirkan oleh rahim reformasi 1998. Awalnya, partai ini menjadikan Islam sebagai platform dan menjadikan penegakan syariat Islam sebagai tujuan partai dan bersama-sama partai Islam lain berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam piagam Jakarta.8 Dengan mengikuti pola aliran Geertz, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berfiliasi kepada santri modernis9.

Dalam rangka pencapaian target 20 % suara dalam pemilu 2009 mulai mengubah citra sebagai partai terbuka bagi semua kalangan, termasuk menerima pencalonan anggota legislatif dari kalangan non-muslim. Cara lain yang dilakukan PKS untuk merubah citra sebagai muslim eksklusif, dengan melakukan political marketing untuk merekayasa citra sebagai partai terbuka. Salah satunya iklan politik yang ditayangkan di stasiun televisi swasta nasional 9-11 November 2008, yang menampilkan delapan tokoh nasional dengan afiliasi aliran serta ideologi yang berbeda; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, Sukarno, Muhammad Natsir, dan Soeharto.

Anis Matta, Sekjen PKS10, mengatakan bahwa era politik aliran di Indonesia dinilai sudah berakhir. Konstituen dalam Pemilu 2009 diprediksi akan lebih

8

Saiful Mujani. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi Politik di Indonesia Pasca –Ordebaru (Jakarta : Gramedia, 2007), h. 71-72.

9

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi diIndonesia, h. 106. 10

Anis Matta, “Era Politik Aliran Sudah Berakhir,” artikel diakses tanggal 26 Januari 2010, dari http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=6757.


(15)

terpengaruh pada kinerja kader dan kredibilitas partai, ketimbang karena sentimen agama atau kelompok tertentu. Uniknya pernyataan ini disampaikan Sekretaris dalam acara temu muka Tim Delapan PKS dengan sejumlah tokoh nonmuslim Makassar di Hotel Clarion, Makassar. Oleh karena itu, menurut Anis, PKS berhasrat merangkul semua suku maupun agama yang ada di Indonesia untuk memenuhi target perolehan suara 20 persen dalam Pemilu 2009. Saat ini sudah waktunya bagi PKS untuk membuka diri, mengusung isu kemanusiaan tanpa dominasi agama. Selain itu, agenda PKS untuk mengusung isu kemanusiaan tanpa sekat apapun dalam persatuan bangsa adalah dengan menghapuskan anggapan awam bahwa partai selalu berorientasi tempat, tokoh, dan warna.

Meski pada awalnya PKS ingin mencoba bermanuver dengan strategi lintas ideologi, tetapi dukungan terhadap PKS masih cenderung didominasi oleh kader-kader militannya. PKS tidak mampu menembus lintas batas ideologis politik aliran, dan kurang berhasil menyedot swing voters dan pemilih rasional. Ini terbukti dengan suara PKS yang relative stabil (stagnan) pada pemilu 2009 lalu11.

Skripsi ini membahas pola aliran yang terjadi pada pemilu 2009 dengan menjadikan Partai Keadilan Sejahtera sebagai sampel. Pemilihan Partai Keadilan sejahtera didasarkan atas konsistensinya memmperjuangkan syariat Islam dan aktifitas dakwah yang dilakukan melalui partai politik. Tulisan ini juga relevan untuk melihat ketegangan-ketegangan yang terjadi antara (meminjam istilah Geertz) santri

11

Moch. Nurhasim, ”Hasil Pemilu 2009 dan Perubahan Peta Politik,” artikel diakses tanggal 26 Januari 2010, dari http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/42-hasil-pemilu-2009-dan-perubahan-peta-politik.


(16)

modernis dan tradisional. Dengan melihat pola-pola aliran yang terjadi pada partai-partai Islam, kita juga akan melihat peta-peta politik umat Islam pada pemilu 2009.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Tulisan ini secara spesifik ingin mendeskripsikan tentang dinamika politik Islam Indonesia yang terjadi pada pemilihan umum (pemilu) 2009. Mengingat, bahwa Sejak digulirkannya reformasi 1998 seolah membuka kembali lembaran sejarah tentang pola aliran yang terbentuk pada awal-awal kemerdekaan. Berbeda dengan dua pemilu sebelumnya, dimana nuansa aliran sangat kental terasa, pada pemilu 2009 mulai timbulnya kesadaran setiap partai politik bahwa dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, tampak ganjil jika hanya mengandalkan

religio-ideological cleavages sebagai ikonuntuk mobilisasi dan maksimalisasi suara. Karena dengan membuka diri, setiap partai dapat meraih dukungan sebanyak mungkin dari beragam entitas, ras, agama dan golongan agar bisa memerintah negeri ini. Dan tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran yang lebih komprehensif dari pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut :

Mengapa terjadi Perubahan pada platform Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilu 2009?


(17)

C. Metodologi Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan penelusuran literatur yang berbentuk buku, makalah, surat kabar, artikel-artikel yang terkait dengan tulisan yang dibahas pada skripsi ini.

Untuk melengkapi bahan tulisan ini secara komprehensif, penulis melakukan wawancara mendalam (depth interview), dengan tehnik yang dipergunakan adalah

Purposive Sampling12 yaitu sampel dipilih dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, sedangkan pertimbangan yang diambil itu berdasarkan tujuan penelitian. Dan sebagai narasumbernya ialah anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dan Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera dan juga salah satu pendiri Partai Keadilan Sejahtera.

Semua data-data, baik literatur ataupun hasil wawancara, kemudian dianalisis secara deskriptif.

Sebagai referensi pedoman penulisan ini, penulis menggunakan buku terbitan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi” dan buku pedoman akademik tahun 2003/2004 Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

12

Masri Singarimbun dan Sofyan Effendy, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3iS, 1983 Cet. Ke-3. h. 122


(18)

Secara umum penelitian ini bertujuan melihat pola politik aliran yang terjadi pada pemilu 2009; studi atas perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera pada Pemilu 2009.

2. Manfaat

Untuk memperluas khazanah keilmuan ilmu politik khususnya bagi Penulis dan Mahasiswa Ilmu Politik pada umunya.

E. Sisematika Penulisan

Guna memudahkan pembahasan dan penulisan serta lebih sisematis, maka penulis menyususun skripsi ini menjadi lima bab, yaitu :

Bab I : Pendahuluan, merupakan gambaran umum tentang latar belakang masalah

Bab II : Menjelaskan definisi operasional “politik aliran”. Dalam bab ini juga diuraikan perkembangan partai politik Islam, serta pola pemikiran Islam tradisionalis dan dan modernis, dua tipologi pemikiran Islam ini merupakan entry point terbentuknya diskursus politik Islam Idonesia

Bab III : Biografi Partai Keadilan Sejahtera

Bab IV : Menggambarkan Politik Aliran dalam Pemilu 2009, mendeskripsikan perubahan yang terjadi pada platform Partai Keadilan Sejahtera pada Pemilu 2009, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya


(19)

perubahan-perubahan tersebut serta implikasi perubahan tersebut pada perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilu 2009 Bab V : PENUTUP yang berisi kesimpulan dan saran-saran


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Politik Aliran

Konsep aliran pertama kali diciptakan oleh antropolog Clifford Geertz untuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah Jawa pada awal zaman kemerdekaan.Geertz tinggal di pare, Jawa Timur selama dua tahun 1952-1954. Istilah aliran diperkenalkan kepada dunia ilmiah pada 1959 dalam The Javanese Village, yang diterbitkan dalam sebuah buku, Local ethnic, and National Loyalties in Village Indonesia1.

Dalam penelitiannya itu, Geertz mencoba menghubungkan bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan integrasi disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu. Sehingga, perbedaan-perbedaan yang nampak antara struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut hanyalah bersifat komplementer2.

Penemuan utama Geertz adalah bahwa masyarakat Jawa sudah lama kehilangan kemampuan untuk menyusun kehidupan bersama. Dia membandingkan citra desa yang romantik-komunal, organis, tata tentrem dengan kenyataan yang diamatinya : “ketidakmampuan untuk bekerja sama atau untuk mengorganisasikan segala hal; suatu keengganan yang bermula pada

1

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 105. 2


(21)

ketidakpastian tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menjalani berbagai usaha yang kompleks dan berjangka panjang, dan suatu kemandekan”.3

Masyarakat Jawa oleh Geertz dilihat sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkretik, yang terdiri atas sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang berlawanan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di pedesaan), dan Priyayi

(yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota)4.

Pembentukan aliran pada zaman kemerdekaan, menurut R. William Liddle5, terjadi dalam konteks Cultuur Stelsel, sistem pertanian tanam paksa. Ketika sejak awal abad ke-19 Belanda memaksa para petani di Jawa menanam tebu, tembakau dan kopi yang akan di ekspor ke luar Hindia Belanda. Namun, penjajah itu berusaha sekaligus melindungi atau melestarikan struktur dan politik tradisional orang Jawa, atau dalam bahasa Geertz “Hasil pertanian Jawa, tetapi bukan rakyatnya, mau dimasukkan ke dunia modern”.

Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa, yang ditarik dari mikrokosmosnya di Mojokuto, kedalam tiga varian sosiokultural : abangan, santri dan priyayi. Ketika memaparkan perbedaan-perbedaan umum antara ketiga varian tersebut dalam bukunya Religion of Java, ia menulis :

“Abangan mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek animistis dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek Islam dari sinkretisme diatas dan pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang (juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok

3

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 105. 4

Abudin Nata. Metodologi studi Islam, h. 347-348 5


(22)

petani); dan priyayi menekankan pada aspek-aspek Hinduistis dan berkaitan dengan unsur birokrasi).”6

Dengan demikian penyebab terjadi tipologi yang berbeda tersebut salah satunya berkaitan dengan lingkungan yang berbeda (yaitu pedesaan, pasar dan kantor pemerintahan) dibarengi dengan latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda (yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa) telah mewujudkan adanya ketiga varian sosial keagamaan tersebut. Disamping itu menurut Daniel S. Lev7, pengelompokkan tersebut makin diperkuat oleh perbedaan-perbedaan ekonomis. Kelompok santri lebih cenderung pada aktivitas perdagangan daripada kelompok abangan yang tipikal ideal sebagai petani, dan kelompok priyayi urban sebagai birokrat.

Hasil penelitian Geertz ini bukan tanpa kekurangan, telah banyak kritik dikemukakan ahli dan pengamat khususnya Harsja W. Bahtiar dan Koentjaraningrat, terhadap tipologi atau varian “keagamaan” masyarakat Jawa.8 Harsja W. Bachtiar9, misalkan, mengatakan bahwa yang disebut kaum abangan tidaklah harus mengacu kepada tradisi rakyat yang pokok yang terdiri dari tradisi kebudayaan rakyat biasa, wong cilik (orang kecil). Dengan kata lain kelirulah untuk menganggap tradisi kebudayaan kaum tani sebagai tradisi abangan. Demikian pula, mengenai varian kaum santri bisa saja berasal dari golongan rendahan dan karena banyak priyayi telah diasuh oleh pelayan-pelayan dari

6

Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 37

7

Daniel S. Lev. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik, h. 134.

8

Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 185

9


(23)

golongan rendahan yang berada dalam kedudukan uuntuk mempengaruhi mereka, maka apa yang disini disebut “kepercayaan rakyat” atau kepercayaan animistik, merupakan suatu yang lazim di kalangan orang-orang yang oleh Geertz disebut sebagai santri dan priyayi, meskipun wajarlah apabila mereka tidak mengakuinya

Dengan kata lain Bachtiar ingin mengatakan, bahwa penggunaan istilah

abangan, santri dan priyayi untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan-golongan agama tidaklah tepat, karena ketiga golongan yang disebutkan tadi tidak bersumber dari satu sistem klasifikasi yang sama.

Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah santri-abangan sudah ada jauh sebelum Geertz mengemukakan hasil penelitiannya. Bahkan Azyumardi Azra10 menyatakan bahwa pada dasarnya Geertz hanyalah merumuskan dan menteorisasikan kategori yang telah ada; bukan menciptakan. Yang diciptakan Geertz adalah kerumitan tambahan, dengan memasukkan kategori “priyayi” sehingga menciptakan “trikotomi” santri-abangan-priyayi. Padahal jelas, priyayi adalah kategori sosiologis, bukan kategori keagamaan. Karena itu kategorisasi “santri-abangan” sebenarnya tidak kedap air (watertight) dan, karena itu terdapat banyak persilangan dan tumpang tindih.

Terlepas dari semua ini, yang jelas “trikotomi” Geertz, atau lebih tepat lagi “dikhotomi” santri-abangan terlanjur populer, bukan hanya dalam dunia keilmuan, khususnya antropologi, tetapi juga digunakan untuk menjelaskan pemilahan politik dalam masyarakat Jawa khususnya. Demikian, pertarungan dan pergulatan politik Indonesia, khususnya tahun-tahun 1950-an (menjelang dan pasca-pemilu

10

Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, h. 185


(24)

1955) di antara Masyumi, PNI dan PKI dijelaskan banyak pihak dalam kerangka Geertz, yang populer sebagai “politik aliran”, persisnya pertarungan antara santri pada satu pihak dan abangan pada pihak lain.

Dengan demikian dalam kasus ini, Geertz menjelaskan, “proses manuver politik yang digerakkan oleh sistem aliran ini segera membuat persekutuan orientasi abangan dan priyayi dalam satu kesatuan yang berhadapan dengan orientasi santri. Proses persekutuan politik antara kedua varian ini, untuk satu hal, didorong oleh “terlembagakannya politik massa dan hak politik universal yang mendekatkan kelompok priyayi dengan abangan”. Hal itu juga disebabkan oleh kenyataan yang kuat diterima bahwa kedua kelompok tersebut “tidak menyukai eksklusivisme kelompok santri”11

Yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang menjelma sebagai organisasi politik12. Menurut Bahtiar Effendi13, Geertz memaparkan aliran sebagai “suatu partai politik yang dikelilingi oleh satuan organisasi-organisasi sukarela yang formal maupun tidak formal berkaitan dengannya….[aliran] adalah pengelompokan organisasi secara nasional….yang menganut arah dan posisi ideologis yang sama.” Terlepas dari penekannya pada partai politik sebagai unsur pokok dalam konsep ini, penting dicatat bahwa “suatu aliran lebih dari sekedar partai politik, jelas juga lebih dari sekedar ideologi; ia adalah suatu pola integrasi sosial yang komprehensif,” dan ia diidentifikasi kurang-lebih oleh “oposisi suatu kelompok kepada yang lain”

11

Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 39

12

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 108. 13

Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 36


(25)

Setidaknya ada dua unsur utama yang inheren dalam konsep aliran.

Pertama, pentingnya pembilahan religio-kultural dalam tradisi masyarakat Jawa.

Kedua, cara dimana pembilahan semacam itu mentransformasikan diri secara agak mudah kedalam pola pengelompokan-pengelompokan sosial-politik14.

Politik aliran terbentuk, untuk pertama kalinya pada pemilu 1955. Ketika masyarakat Jawa untuk kali pertamanya selama satu setengah abad diberi kebebasan untuk membuat organisasi-organisasi sosial dan politik baru. Yang mereka ciptakan kemudian adalah aliran, yaitu partai-partai politik nasional, yang diimpor dari Jakarta, lengkap dengan ideologi masing-masing dan organisasi-organisasi sosial untuk petani, buruh, wanita, pemuda dan lain-lain15.

Pada pemilu tahun 1950-an pola pembentukan partai politik dipengaruhi oleh konsep aliran. Kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik mereka ke partai-partai politik Islam, misalnya Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), dua partai Islam terbesar pada 1950-an. Pada sisi lainnya, kelompok abangan dan priyayi lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengan partai “nasionalis” (PNI atau PKI).

Tumbangnya pemerintahan orde lama setelah gagalnya pemberontakan PKI pada 1965 tidak serta merta menghapuskan trikhotomi abangan, santri dan priyayi. Bahkan perkembangan politik Indonesia umumnya pada masa orde baru tetap masih bisa dijelaskan banyak pengamat dalam kerangka Geertzian. Bahkan banyak pemimpin militer Indonesia yang sebagian besar berasal dari etnis Jawa, dan karena itu abangan menentang Islam dan kaum santri. Militer abangan yang

14

Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 38

15


(26)

hostile terhadap Islam dan golongan santri inilah yang kemudian mendukung dan memenangkan Golkar sejak pemilu 1977, 1982 dan 1987, yang juga didominasi oleh kaum abangan dan non-muslim. Singkatnya, polarisasi antara santri dan abangan terus berlanjut dalam masa orde baru16.

Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pasca orde baru realitas politik yang didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian menonjol.

PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan PNI yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan kelanjutan dari partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar, antara PAN melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi. PPP juga tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971 bersama partai-partai santri, berdifusi menjadi PPP.

Pada Pemilu tahun 2004 ternyata tidak ada lompatan ideologis (ideological leapfrogging) yang ekstrim, namun dua partai Islam, PPP dan PBB, bergerak lebih jauh ke kanan, sementara PKS lebih mendekat ke tengah. Partai-partai sekuler, meski tetap dalam posisi semula, menjalankan strategi yang berbeda guna

16

Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, h. 186


(27)

memperluas jangkauan pada segmen-segmen komunitas Islam tanpa mengubah sikap dasar ideologinya.17

Arti penting teori aliran Geertz adalah bahwa teori ini mencoba menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari pengelompokan-pengelompokan sosial-politik yang berkembang dalam realitas politik di Indonesia.

B. Islam Tradisionalis

Sebenarnya apa yang sering disebut sebagai tradisionalis-modernis dalam gerakan Islam Indonesia merupakan suatu istilah yang bisa diperdebatkan dan dipertukarkan dengan istilah-istilah lain. Pemakaian istilah modernis, misalkan, dalam banyak literatur gerakan Islam Indonesia teramat sering bertukar dengan istilah “reformis”. R. William Liddle18 bahkan menggunakan istilah “Skripturalis-Substansialis” untuk menggantikan istilah “tradisionalis-modernis”, Deliar Noer19 menggunakan istilah “kaum tua” kelompok tradisional dan “kaum muda” untuk kelompok modernis. Meskipun demikian pada tulisan ini akan tetap digunakan istilah “tradisionalis-modernis” yang dalam banyak hal maknanya paralalel dengan “skripturalis-substansialis” dan “kaum tua-kaum muda”.

Sarjana Indonesia yang paling bertanggung jawab dalam menyebarluaskan distingsi – yang selanjutnya menjadi dikotomi – antara “Islam tradisionalis” dan

17

Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di Indoensia Era reformasi (Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h. 239

18

R. William Liddle. Skripturalisme Media Dakwah: sebuah Bentuk Pemikian dan Aksi Politik Islam Indonesia pada Masa Orde Baru. Dalam Idy Subandi Ibrahim (editor). Media dan Citra Muslim: Dari Spiritualitas untuk berperang menuju Spiritualitas untuk Berdialog. (Yogyakarta: Jalasutra, 2005), h. 406

19


(28)

“Islam modernis” dalam kajian tentang Islam di Indonesia adalah Deliar Noer dalam karyanya yang kini sudah menjadi klasik. Dalam karyanya ini, Deliar Noer secara tegas membuat semacam watertight distinction antara Islam tradionalis dan Islam modernis20.

Pembedaan awal dari kedua golongan ini pada mulanya hanya menyangkut gerakan sosial dan keagamaan, akan tetapi selanjutnya meluas ke bidang lainnya termasuk politik. Golongan tradisional adalah mereka yang berpegang teguh pada pemikiran tradisional, sedangkan golongan modern adalah mereka yang menghendaki perubahan.

Dalam konteks studi sosial-politik Islam Indonesia, islam “muslim tradisionalis” memiliki dua arti: yang satu bersifat pejorative sementara yang lain bersifat netral. Pertama, istilah tradisionalis berkonotasi pejorative jika dipakai dengan merujuk kepada muslim model lama yang berasal dari kampung yang tradisional dalam agama, kolot secara intelektual, oportunistik secara politik dan sinkretik secara kultural. Kedua, pemahaman yang lebih umum mengenai muslim tradisionalis menunjukkan bahwa mereka merupakan orang yang percaya bahwa umat Muslim yang tidak memiliki keahlian memadai untuk berijtihad harus mengikuti salah satu dari empat mazhab hukum yang ada dan memakai pendekatan bertahap dan toleran dalam berdakwah ketika mereka berhadapan dengan tradisi lokal. Kenyataan bahwa praktik-praktik Islam adakalanya

20

Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, h. 145


(29)

tercampur aduk dengan tradisi lokal tidak berarti bahwa mereka menganggap tradisi lokal bersifat islami; sebaliknya, ini hanya soal pendekatan saja21.

Golongan Islam tradisional diwadahi oleh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan kendaraan politik yang mereka pergunakan pada awal kemerdekaan adalah Masyumi hingga NU menyatakan keluar dan membentuk partai sendiri, tahun 1952. Selanjutnya pada pemilu 1955 dan 1971 NU tampil sebagai partai politik yang mewadahi golongan tradisional. Namun sebagaimana golongan Islam lainnya, sejak tahun 1973 NU memperoleh perlakuan yang tidak manusiawi dari pemerintah dan dipaksa berfusi ke PPP. Kondisi perpolitikan yang tidak kondusif ini baru berakhir ketika rezim otoriter Orde Baru tumbang dan beralih ke era reformasi, dimana setiap kelompok dan juga individu memiliki kebebasan dan berpolitik.

Akhirnya pada forum Munas Alim Ulama NU pada 1983 di Situbondo, NU memproklamirkan kembali ke “khittah 1926”. Digulirkannya gagasan ”kembali ke khitah 1926” ini merupakan upaya pemulihan untuk mengatasi persoalan aliran atau eksklusivisme politik yang ada pada the body of politics

organisasi sosial keagamaan ini. Dengan pernyatan ini, NU melakukan reposisi ulang: mengembalikan jati dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan seperti ketika lahir dulu (1926). Dan itu berarti NU tak lagi berfungsi sebagai organisasi sosial-politik22.

21

Suadi Asyari. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 76-77 22

Bahtiar Effedi. Repolitisasi Islam: Pernahkah islam Berhenti Berpolitik? (Bandung : Mizan, 2000), h. 179


(30)

C. Islam Modernis

Pemikiran Islam di Indonesia berkembang dengan tumbuhnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme ialah gerakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ajaran ini bersifat prinsip, garis besar, dan dipercayai berlaku untuk segala tempat dan zaman, sehingga ia senantiasa modern. Ia perlu ditimbulkan lagi karena tertutup oleh tradisi, adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran pokok (bagi gerakan modernis adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan ajaran pokok dapat diterima), dengan faham kebekuan (jumud) dan sifat ketertutupan23.

Awalnya modernisasi Islam di Indonesia merupakan reaksi terhadap berbaurnya praktik-praktik Islam dengan tradisi lokal. Gerakan modernisasi dalam Islam seringkali dirujuk kepada gerakan Islam puritan, yaitu kelompok Muslim yang cenderung mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling benar atau menganut Islam murni dan karenanya merasa bertanggung jawab untuk memurnikan Muslim lainnya yang tidak berpegang pada paham teologi Islam dan cara ibadah yang sama seperti mereka24.

Berdasarkan catatan sejarah, golongan modernis Islam di Indonesia pada umumnya masuk kedalam organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis) dan organisasi keagamaan lain yang senapas dengan organisasi-organisasi tersebut. Sejauh menyangkut Muhammadiyah, paling tidak sudah menjadi hal yang bisa diperdebatkan jika organisasi ini hanya

23

Deliar Noer. Memposisikan Harun Nasution dalam pemikiran Islam di Indonesia. Dalam Abdul Halim (editor). Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution (Jakarta : Ciputat Pres, 2001), h. 142

24


(31)

dilabeli sebagai gerakan modernis, lantaran teologinya mengandung unsur-unsur puritan, yakni teologi yang didasarkan atas ideologi pemurnian akidah Muslim, yang pada mulanya di propagandakan oleh gerakan Wahabi.

Sementara itu terkait dengan isu-isu penting dalam gerakan politik ‘tradisional-modernis” menurut Deliar Noer25 berkaitan dengan ini pertama, soal khilafiyah. Gerakan modern Islam di negeri kita, seperti juga di negera Islam lainnya, bermula dengan soal-soal ubudiyah. Dalam rangka ini, paham gerakan tersebut berusaha mengubah paham-paham tradisional. Kedalamnya termasuk apa yang disebut takhayul, khurafat, ada pula yang disebut masalah khilafiyah dalam kalangan Islam. Kedua, sifat fragmentasi kepartaian. Sifat ini dimasa 1920-1942, sangat menonjol baik pada kalangan Islam maupun pada kalangan kebangsaan.

Ketiga, Kepemimpinan yang bersifat pribadi. Dizaman merdeka kecenderungan seperti itu terjadi, yaitu pemimpin, dengan alasan-alasannya sendiri, membawa pengikutnya keluar organisasi semula membangun partai baru ataupun mengubah sifat organisasinya menjadi partai politik. Keempat, perbedaan dan pertentangan paham yang berhubungan dengan pemerintah.

Sementara kelompok modernis secara kelembagaan diwadahi oleh organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan gerakan politik yang dominan diberikan kepada Partai Amanat Nasional.

Uniknya pilihan ideologis PKB dan PAN mungkin akan memunculkan masalah dalam merumuskan strategi elektoral yang bisa mengakomodasi berbagai

25


(32)

kepentingan konstituen tradisional dan konstituen baru yang ingin dirangkul. Meskipun berasal dari basis massa organisasi Muslim terbesar, PKB dan PAN tidak serta merta mengidentifikasikan dirinya dengan politik Islam. PAN dan PKB hanya menyebut diri mereka sebagai partai berbasis massa Muslim. Tetapi menolak disebut sebagai partai Islam. Sementara pada sisi lainnya, PPP sebagai partai Islam dengan basis massa tradisional yang sama dengan PKB, mengingat secara genealogi PPP dilahirkan dari rahim partai-partai Islam pada tahun 1971. Sedangkan PBB dan PKS adalah representasi, pada sisi lainnya, sebagai santri modernis yang secara genealogis dan ideologis sangat berkaitan dengan Muhammadiah dan organisasi-organisasi modernis lainnya.

Adapun acuan keagamaan PKS adalah Ikhwanul Muslimin, dikarenakan diantara para pendiri PKS yang menuntut ilmu di Timur Tengah, dan Ikhwanul Muslimin adalah sebuah organisasi yang lahir dan tumbuh di Timur Tengah. PKS tidak memiliki persambungan keagamaan dengan jaringan ulama dan kiai pesantren serta lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga-lembaga dakwah yang bernaung di bawahnya yang telah mengakar di masyarakat dan tumbuh bersama tradisi yang ada. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang berkembang di PKS seakan berjarak dengan pemahaman keagamaan yang dianut masyarakat negeri ini sehingga tidaklah heran jika pada awal-awal tumbuhnya LDK dan Tarbiyah, para aktivisnya menarik diri (uzlah) dari aktivitas keagamaan


(33)

masyarakat umum. Bahkan tidak jarang sebagian mereka menganggap masyarakat telah menyimpang dari Islam yang benar.26

26

M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 150


(34)

BAB III

BIOGRAFI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

A. Sejarah Perkembangan Partai Keadilan Sejahtera

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai yang diprakarsai oleh para aktivis dakwah kampus. Para aktivis yang sebagian besar berusia muda tersebut bergerak dari dalam kampus (pada umumnya kampus-kampus umum) dan dalam skala terbatas di sekolah-sekolah. Di kampus mereka mendirikan dan mengelola pengajian yang di wadahi dalam bentuk Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Lembaga inilah yang menyelenggarakan berbagai aktivitas keagamaan, baik berupa pengajian-pengajian untuk mahasiswa, maupun pengajaran Islam bagi para anggotanya. Di sekolah-sekolah, para aktivis ini berkiprah melalui lembaga kesiswaan yang sering disebut Rohani Islam (ROHIS). Kegiatan yang dilakukan di ROHIS sama dengan LDK, yakni memberikan pemahaman dasar-dasar keislaman dengan penekanan pdaa penanaman semangat (ghirah) keislaman1.

Pada masa-masa awal (era pertengahan 1970-an hingga 1980-an), kegiatan para aktivis tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi; dalam arti, berbagai kegiatan lebih sering dilakukan dengan diam-diam dan jika menyelenggarakan pengajian untuk banyak orang, mereka berkamuflase dengan mengatasnamakan kegiatan mahasiswa atau siswa. Kegiatan diam-diam ini dikenal sebagai kegiatan

“usroh”. Para aktivisnya disebut “anak usroh”. Usroh berarti keluarga. Maksudnya,

1


(35)

para anggota pengajian ini dibagi ke dalam satuan-satuan kecil (6-10 orang) dengan seorang mentor (murabbi) dalam sistem stelsel.

Metode pengajian yang cenderung rahasia ini tidak terlepas dari kebijakan politik pemerintahan Orde Baru yang sangat represif terhadap gerakan keagamaan. Situasi sedikit berubah ketika memasuki era 1990-an di mana mulai muncul pergeseran politik ketika Soeharto mulai menempatkan para aktivis Islam sebagai sekutu. Meskipun demikian, para aktivis LDK belum menempuh strategi gerakan yang terbuka. Dalam kondisi yang agak kondusif, para aktivis LDK lebih leluasa melakukan dakwahnya dan mendapatkan sambutan lebih luas. Pada era ini, mereka tidak lagi menggunakan sebutan Usroh, tetapi mengubahnya menjadi Ikhwan dan menamai aktivitas mereka dengan sebutan tarbiyah (pendidikan)2

Seiring waktu, kelompok ini semakin lama semakin besar. Kedisiplinan mereka dalam mengamalkan ajaran Islam yang mereka tahu dan kajian buku tentang keilmuan dari para tokoh Al-Ikhwan Al-Muslimun, terutama dalam konsep tarbiyah, membuat mereka secara sadar sering menyebut bahwa konsep tarbiyah merupakan landasan bagi sebuah pembinaan. Dengan kata lain, semua marhalah tarbiyah seperti

tabligh, ta’lim, takwin dan tanfidz harus dilalui dalam sebuah pembinaan. Lama kelamaan penggunaan istilah tarbiyah ini menjadi “latah” digunakan semua orang,

2


(36)

karena itu yang melakukan pengajian-pengajian dalam kelompok kecil kemudian menyebutnya sebagai kelompok tarbiyah3.

Perkembangan kelompok tarbiyah ini bisa dikatakan sangat cepat, tak sampai 10 tahun jaringannya sudah ada hampir di semua universitas maupun kantor-kantor pemerintahan. Mereka menggunakan sistem Multi Level Marketing (MLM). Seorang kader, membina paling tidak 5 orang kader baru dalam pengajian. Dan itu terjadi di hampir semua universitas, untuk menopang kader-kader baru di daerah4.

Gerakan Tarbiyah terdiri atas lima elemen penting, yaitu5 :

1. Dewan Dakwah Islam Indonesia dengan tokoh utama M. Natsir. DDII berperan menjadi inisiator awal berdakwah melalui kampus dan sekaligus peletak dasar-dasar strategi dakwah kampus serta menyiapkan jaringan para pendamping LDK yang terdiri dari tokoh-tokoh senior seangkatan M. Natsir sendiri hingga para penerusnya, seperti Abu Ridho, Husein Umar dan Masyhadi.

2. Elemen Jaringan LDK sebagai tulang punggung tarbiyah dan sekolah (ROHIS). LDK merupakan pelaku utama dakwah kampus dan menyediakan wahana dan mekanisme rekruitmen kader di kampus dan sekolah. LDK sendiri bermula dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Masjid Salman ITB di bawah mentoring Imaduddin

3

Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera; Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer. (Jakarta: Teraju, 2004), h. 124

4

Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 132 5


(37)

Abdurrahim. Berbagai kegiatan ini, selain diikuti oleh para mahasiswa di sekitar Bandung, juga diikuti oleh mahasiswa dari kota-kota lain seperti UI, UGM dan IPB. Mereka inilah yang kemudian menjadi dai-dai di kampus masing-masing dan juga kampus-kampus lain.

3. Elemen para alumnus perguruan tinggi luar negeri, khusunya Timur Tengah. Mereka berperan sebagai tenaga-tenaga murabbi (pendidik) yang mengisi ceramah-ceramah dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Para alumni Timur Tengah yang memiliki kelebihan dalam pendalaman keislaman serta penguasaan akan pikiran-pikiran Ikhwanul Muslimin menjadi ideolog-ideolog yang handal. Mereka dihadirkan dalam pengajian-pengajian dan menjadi tempat untuk bertanya dan berkonsultasi dalam berbagai masalah. Selain itu, mereka juga berperan dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin di kalangan publik yang lebih luas. Mereka menjadi penceramah di radio, televisi, menulis buku, mengelola penerbitan dan menjadi narasumber di seminar-seminar yang diikuti oleh kalangan luas.

4. Para aktivis ormas Islam maupun kepemudaan Islam. Dikalangan aktivis Tarbiyah juga terdapat tokoh-tokoh yang selain aktif di Tarbiyah, juga aktif di ormas-ormas kepemudaan Islam, seperti PII, GPI, IMM, HMI dan PMII. Para kader yang memiliki kemampuan kepemimpinan dan pengorganisasian ini juga turut berperan dalam mengisi kepemimpinan dan menggerakkan roda organisasi di Tarbiyah.


(38)

5. Para da’i lulusan pesantren. Mereka menjadi pengajar materi keislaman dan menjadi mentor pengamalan ajaran Islam sekaligus menyumbangkan pengalaman berdakwah dimasyarakat.

Kombinasi yang kompak dari lima elemen utama tarbiyah yang sebagian besar didukung oleh orang-orang berkultur modernis (Masyumi) dan mahasiswa perguruan tinggi umum ini menghasilkan pertumbuhan jaringan dakwah yang makin lama makin banyak anggotanya. Dilihat dari pertumbuhan jaringan dakwah kampus, perkembangan anggota dan persebarannya, menunjukkan tingkat akselerasi yang mengagumkan.

Pada 1998 jaringan ini telah menyebar ke enam puluh empat perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Di sebagian besar perguruan tinggi tersebut, para aktivis dakwah Tarbiyah ini bahkan menjadi kekuatan yang dominan dalam dunia kemahasiswaan dan memgang posisi penting dalam organisasi intra kampus.

Pada 1998, mereka ikut merespon perkembangan politik Indonesia dengan membentuk organisasi formal bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Kesatuan mahasiswa yang didukung para kader Tarbiyah ini menjadi salah satu kekuatan mahasiswa yang cukup diperhitungkan saat gerakan mahasiswa menggulingkan rezim Soeharto. Selain jumlah mereka yang besar, para pemimpin kesatuan ini juga merupakan kader kampus yang menonjol sehingga mampu memerankan komunikasi publik yang efektif. Pola aksi mahasiswa yang simpatik


(39)

juga menambah daya tarik dan daya gebrak KAMMI guna meraih dukungan masyarakat untuk bersama-sama menggulingkan rezim Orde Baru6.

Pada bulan Agustus 1998, para kader Tarbiyah membentuk partai politik bernama Partai Keadilan (PK). Kelahiran PK didahului dengan pro dan kontra di kalangan internal mereka. Persoalan mendirikan partai ini menjadi agenda penting dibicarakan: sebagian mengatakan perlu mendirikan partai politik, sementara sebagian yang lain menyatakan tidak perlu. Persoalan ini kemudian menjadi pembahasan yang cukup panjang. Sebagian berpendapat bahwa era reformasi yang membuka keran kebebasan utuk berekspresi merupakan peluang yang baik untuk meningkatkan tahap perjuangan pada mihwar siyasi. Akan tetapi, sebagian menyatakan bahwa capaian yang diraih belum cukup untuk mewujudkan partai politik7.

Kemudian diadakanlah musyawarah untuk menampung aspirasi dari kedua pihak yang berbeda tersebut. Musyawarah untuk membentuk partai pada jamaah Tarbiyah terjadi setelah Dewan Dakwah ‘gagal’ membuat satu partai politik yang berazaskan Islam. Lahirnya Partai Bulan Bintang dengan azas Pancasila membuat sebagian anggota Dewan Dakwah yang terlibat merumuskan partai Islam merasa kecewa. Pada saat itu, menurut Abu Ridho, jamaah yang kini menjadi Partai Keadilan sesungguhnya sedang menunggu dan meperhatikan Dewan Dakwah yang akan

6

M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 34 7


(40)

membidani lahirnya partai politik Islam. Namun, ketika lahir tidak dengan azas Islam, maka mereka kemudian mengadakan musyawarah tersendiri8.

Dengan demikian, bukan kebetulan jika kedua partai ini mendeklarasikan diri di tempat yang sama, masjid Al-Azhar. Tempat ini umum dikenal sebagai benteng aktivis Muslim modernis. PBB dideklarasikan lebih awal pada 26 Juli 1998. Embrio partai ini dapat dilacak dalam pembentukan BKUI (Barisan Kebangkitan Ulama Indonesia) pada 12 Mei 1998, dimana tokoh kunci DDII terlibat aktif dalam proses pembentukan organisasi tersebut, sementara PK dideklarasikan lebih belakangan di hadapan ribuan pendukungnya pada 9 Agustus 19989.

Dalam deklarasi Partai Keadilan 9 Agustus 1998 Hidayat Nur Wahid sebagai Ketua Dewan Pendiri membacakan pernyataan, yang dikenal dengan Piagam Deklarasi bahwa :

“Partai Keadilan didirikan bukan atas inisiatif seorang atau beberapa orang aktivisnya, namun merupakan perwujudan dari kesepakatan yang diambil musyawarah yang aspiratif dan demokratis. Sebuah survei yang melingkupi cakupan luas dari para aktivis dakwah, terutama yang tersebar dimasjid-masjid kampus di Indonesia dilakukan beberapa bulan sebelumnya untuk melihat respon umum dari kondisi politik yang berkembang di Indonesia. Survei ini menujukkan bahwa sebagian besar mereka menyatakan bahwasanya inilah waktu yang tepat untuk meneguhkan aktivitas dakwah dalam bentuk kepartaian dalam konteks formalitas politik yang ada sekarang. Survei ini mecerminkan tumbuhnya kesamaan sikap dikalangan sebagian besar aktivis dakwah yang dapat menjadi sebuah pola dinamis bagi pengendalian partai di kemudian hari. Terbukti setelah tekad mendirikan sebuah partai diputuskan maka kesatuan sikap secara menyeluruh”.10

8

Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 150 9

Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di Indoensia Era reformasi, h. 140

10


(41)

Jika diperhatikan Piagam Deklarasi diatas mempunyai makna bahwa Partai Keadilan tidak didirikan oleh orang-orang tapi didirikan secara bersama-sama. Piagam deklarasi juga merupakan indikasi dari “amal jama’i” di mana seluruh komponen yang terlibat dalam pendirian mempunyai tanggung jawab dan visi yang sama tentang urgensi partai sebagai kendaraan untuk dakwah. Hal ini berimplikasi pada sikap mental bahwa kegagalan mengurus partai bisa berarti kegagalan dalam mengelola dakwah. Dengan demikian, profesionalitas dan keberhasilan mengaplikasikan nilai-nilai dakwah menjadi sesuatu yang dipertaruhkan.

Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi berdiri pada 20 April 2002, sebagai langkah strategis dalam menjawab hambatan menyangkut elektoral treshol. Dengan demikian maka visi dan misi partai tidak bergeser dari khittah PK dan kalaupun ada perbedaan hanya dalam bentuk redaksional dan teknis semata. Atas dasar kesamaan visi dan misi tersebut, musyawarah Majelis Syura Partai Keadilan XIII yang berlangsung di Wisma Haji, Bekasi, Jawa Barat, pada 17 April 2003, memutuskan Partai Keadilan menggabungkan diri dengan Partai Keadilan Sejahtera. Pada saat deklarasi, Partai Keadilan Sejahtera memiliki pengurus di 30 DPW, 312 DPD, dan 2155 DPC di seluruh Indonesia. Selain itu, PKS juga memiliki 13 perwakilan di luar negeri dengan Pusat Informasi Partai Keadilan Sejahtera (PIPKS)11.

Dengan demikian, kita dapat meliihat bahwa perubahan PK ke PKS hanyalah semata-mata perubahan nama untuk menyiasati agar bisa mengikuti Pemilu 2004.

11


(42)

Oleh karena itu, suprastruktur (ideologi, pemikiran dan konsep-konsep partai), maupun infrastruktur PKS (baik berupa jaringan kader, kepengurusan hingga aset-aset partai) adalah pelimpahan dari PK.

Belajar dari “kegagalan” pada Pemilu 1999, PKS menempuh upaya perekrutan kader dan simpatisan dengan ekstra keras. Selain itu, PKS juga mengubah strategi dengan menampilkan citra yang lebih inklusif dengan mengangkat isu-isu yang relevan bagi seluruh elemen masyarakat. Ini ditempuh dengan harapan PKS mampu menjaring pemilih seluas-luasnya, tidak terbatas hanya pada kalangan kader Tarbiyah.

B. Tokoh-tokoh PKS

Dalam piagam deklarasi12 yang di bacakan pada musyawarah Majelis Syura Partai Keadilan XIII yang berlangsung di Wisma Haji, Bekasi, jawa Barat, pada 17 April 2003, tercantumlah beberapa nama tokoh-tokoh pendiri Partai Keadilan Sejahtera, sebagian dari mereka kemudian menduduki posisi penting pada jajaran MPP ataupun DPP, sebagian lagi menjadi anggota legislatif di DPR RI.

Para tokoh-tokoh yang tercantum dalam piagam deklarasi tersebut berasal ari beberapa elemen penting yang turut berkontribusi dalam jaringan tarbiyah hingga akhirnya membentuk sebuah kekuatan politik, elemen-elemen yang dimaksud adalah Dewan Dakwah Islam Indonesia, elemen jaringan Lembaga Dakwah Kampus (LDK),

12

Lihat http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=109, artikel diakses tanggal 20 Maret 2010.


(43)

elemen alumnus Timur tengah, para aktivis ormas maupun kepemudaan Islam, serta para dai-dai lulusan pesantren.

Para tokoh pendiri PKS yang tercantum dalam piagam deklarasi adalah : 1. Abdullah Baharmus, Lc., MA.

2. Achyar Eldine, SE 3. Ahmad Yani, Drs.

4. Ahmadi Sukarno, Lc., MAg 5. Ahzami Samiun Jazuli, MA, DR 6. Ali Akhmadi, MA

7. Arlin Salim, Ir 8. Bali Pranowo, Drs 9. Budi Setiadi, SKH 10.Bukhori Yusuf , MA 11.Eddy Zanur, Ir, MSAE 12.Eman Sukirman, SE 13.Ferry Noor, SSi

14.H. Abdul Jabbar Madjid MA 15.H.M Ridwan

16.H.M. Nasir Zein, MA 17.Harjani Hefni, Lc 18.Haryo Setyoko, Drs 19.Herawati Noor, Dra 20.Herlini Amran, MA 21.Imron Zabidi, Mphil 22.Kaliman Iman Sasmitha 23.M. Iskan Qolba Lubis, MA 24.M. Martri Agoeng

25.Muttaqin

26.Mahfudz Abdurrahman 27.Martarizal, DR

28.Mohammad Idris Abdus Somad, MA, DR 29.Muhammad Aniq S, Lc

30.Muhammad Budi Setiawan, Drs 31.Muslim Abdullah, MA

32.Musoli, MSc, Drs

33.Musyafa Ahmad Rahim, Lc 34.Nizamuddin Hasan, Lc 35.P. Edy Kuncoro, SE. Ak 36.Ruly Tisnayuliansyah, Ir 37.Rusdi Muchtar


(44)

38.Sarah Handayani, SKM 39.Susanti

40.Suswono, Ir 41.Syamsu Hilal, Ir

42.Umar Salim Basalamah, SIP 43.Usman Effendi, Drs

44.Wahidah R Bulan, Dra 45.Wirianingsih, Dra 46.Yusuf Dardiri, Ir 47.Zaenal Arifin 48.Zufar Bawazier, Lc 49.Zulkieflimansyah, DR.

Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya, para tokoh-tokoh pendiri PKS yang tercantum dalam piagam deklarasi berasal dari elemen-elemen kelompok tarbiyah. Elemen-elemen gerakan tersebut adalah13 :

1. Dewan Dakwah Islam Indonesia dengan tokoh utama M. Natsir. Mereka yang masuk dari Dewan Dakwah Islam Indonesia adalah Abu Ridho, Husein Umar dan Masyhadi.

2. Elemen Jaringan LDK sebagai tulang punggung tarbiyah dan sekolah (ROHIS). Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah : Achyar Eldine, SE; Ir. Arlin Salim; Ir. Eddy Zanur, MSAE; Eman Sukirman, SE; Ir. Ruly Tisnayuliansyah; Drs. Musoli, MSc; Ir. Suswono; Ir. Yusuf Dardiri; Sarah Handayani, SKM; Ir. Syamsu Hilal; Ferry Noor, SSi; Drs. Bali Pranowo; Drs. Haryo Setyoko, Dra. Herawati Noor; Imron Zabidi,

13

M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. (Yogyakarta: LkiS), h. 24


(45)

Mphil; Drs. Muhammad Budi Setiawan; P. Edy Kuncoro, SE. Ak; Ir. Syamsu Hilal; Umar Salim Basalamah, SIP; Dr. Zulkieflimansyah.

3. Elemen para alumnus perguruan tinggi luar negeri, khusunya Timur Tengah. Diantaranya adalah : Abdullah Baharmus, MA; Ahmadi Sukarno, Lc., MAg; Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA; Ali Akhmadi, MA; Bukhori Yusuf , MA; H. Abdul Jabbar Madjid MA; H.M. Nasir Zein, MA; Harjani Hefni, Lc; M. Iskan Qolba Lubis, MA; Mohammad Idris Abdus Somad, MA, DR; Muhammad Aniq S, Lc; Muslim Abdullah, MA; Musyafa Ahmad Rahim, Lc; Nizamuddin Hasan, Lc; Zufar Bawazier, Lc

4. Para dai lulusan pesantren. Diantara mereka adalah : H.M Ridwan; Kaliman Iman Sasmitha; M. Martri Agoeng; Muttaqin; Mahfudz Abdurrahman; Rusdi Muchtar; Zaenal Arifin.

C. Paradigma dan Ideologi PKS

Sebagai partai politik, PKS memiliki tujuan yang hampir sama dengan partai lain, yakni mewujudkan demokratisasi, memperjuangkan kejayaan negara, membela kepentingan rakyat, menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki birokrasi dan yang penting mewujudkan agenda-agenda reformasi. Akan tetapi, berbeda dengan partai lain, PKS adalah partai dakwah, dengan demikian memiliki agenda-agenda Islami yang berbeda dengan agenda partai lain, lebih-lebih partai yang berideologi kebangsaan.


(46)

Sebagaimana tercantum dalam visi dan misi Partai Keadilan Sejahtera14, disebutkan bahwa visi umum PKS adalah “Sebagai partai dakwah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan ummat dan bangsa”. Lebih jauh visi ini akan mengarahkan Partai Keadilan Sejahtera sebagai :

1. Partai dakwah yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses pembangunan kembali umat dan bangsa di berbagai bidang.

3. Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan sistem Islam yang

rahmatan lil ‘alamin.

4. Akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia. Sementara itu misi Partai Keadilan Sejahtera adalah :

1. Menyebarluaskan da'wah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai anashir taghyir.

2. Mengembangkan institusi-institusi kemasyarakatan yang Islami di berbagai bidang sebagai markaz taghyir dan pusat solusi.

3. Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat.

14

Untuk visi dan misi PKS Lihat http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=110, artikel diakses tanggal 20 Maret 2010.


(47)

4. Membangun kesadaran politik masyarakat, melakukan pembelaan, pelayanan dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraannya.

5. Menegakkan amar ma'ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten dan terus-menerus dalam bingkai hukum dan etika Islam.

6. Secara aktif melakukan komunikasi, silaturahmi, kerjasama dan ishlah dengan berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan wihdatul-ummah, dan dengan berbagai komponen bangsa lainnya untuk memperkokoh kebersamaan dalam merealisir agenda reformasi. 7. Ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak

kezaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang tertindas.

Dengan berdasar pada visi-misi tersebut dapat kita simpulkan bahwa : PKS adalah murni partai dakwah yang berjuang melalui parlemen untuk menegakkan nilai-nilai Islam yang berdasar pada al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun, dalam berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh partai menyatakan bahwa PKS berasaskan pancasila, namun secara praktis-implementatif baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, PKS selalu mengedepankan nilai-nilai Islam dalam konteks bernegara.

Kemudian, dengan mendasarkan pada visi-misi, tujuan utama berdirinya PKS adalah menegakkan nilai dan sistem Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Poin ini akan menjadi kontrakdiktif jika kita melihat realitas bahwa PKS hidup dan dibesarkan dalam sistem demokrasi. Kontradiksi ini hanya dapat dipahami apabila kita mengaitkan PKS sebagai bagian tidak terpisahkan dari demorasi. Karena pada


(48)

akhirnya PKS harus menegakkan nilai-nilai demorasi yang mengharuskan adanya keterbukaan, pluralisme dan inklusivisme. Bertolak belakang dengan hal ini, PKS harus pula menegakkan nilai-nilai Islam yang seringkali bersifat ekskluif dibanding inklusif.

Berkaitan dengan politik luar negeri PKS – sebagaimana tercantum dalam visi-misi – dikatakan bahwa “ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak kedhaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang tertindas”. Secara praktis misi ini merupakan perwujudan dari solidaritas sesama muslim atau lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa ini adalah merupakan perwujudan dari “pan islamisme”, persatuan Islam yang dahulu pernah digagas oleh Jamaluddin al-Afghani pada abad ke-19. Dapat dikatakan bahwa PKS adalah satu-satunya partai yang secara tegas menyatakan perhatian mereka terhadap politik luar negeri, meski hanya spesifik kepada Negara Islam. Ini dibuktikan oleh PKS dengan pembelaan mereka terhadap situasi konflik Israel-Palestina, dalam bebrapa pernyataan resmi mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk secara aktif terlibat dalam konflik ini, tekanan ini juga di tujukan kepada PBB melalui parlemen untuk berdiri di tengah dalam konflik ini. Disamping itu, mereka juga kerap kali melakukan demonstrasi dengan mengerahkan ratusan ribu kader mereka untuk turun kejalan menyuarakan aspirasi, tujuannya agar suara umat Islam Indonesia dapat terdengar oleh dunia Internasional terkait dengan konflik antara Israel-Palestina yang kian tak berujung.

Demi menjabarkan visi dan misi tersebut maka disusunlah strategi, sebagai mana dicantumkan dalam buku Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan


(49)

Sejahtera yang diterbitkan oleh Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (2007) bahwa Strategi PKS sebagai partai dakwah (khuthuth ‘aridhah)

dalam transformasi berbangsa, adalah gerakan kultural (strategi mobilisasi horizontal/tabi’ah al-afaqiyah) dan gerakan struktural (strategi mobilitas vertikal/tabi’ah al-amudiyah). Mobilitas vertikal adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai lembaga yang menjadi mashadirul qarar (pusat-pusat kebijakan), agar mereka dapat menterjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan-kebijakan publik. Sedangkan mobilisasi horizontal adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat untuk menyiapkan masyarakat agar mereka menerima manhaj Islam serta produk kebijakan yang Islami. 15

Paradigma Partai Dakwah yang melekat pada PKS ini kemudian memberikan pengaruh terhadap sikap mereka di parlemen. Menurut M. Imdadun Rahmat, masuknya kader PKS dalam jajaran legislatif di pusat maupun di daerah memunculkan suatu warna baru. Para anggota legislatif yang merupakan santri jebolan pengajian tarbiyah ini menyuarakan gerakan moral di DPR. Mereka mempraktikkan gaya hidup shaleh dengan ketaatan beribadah, kesantunan akhlak serta menjauhi kemaksiatan yang melekat dengan dunia glamour kepartaian. Salah satu bentuk gerakan moral ini adalah gebrakan politik parlementer melawan korupsi16.

15

Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera. Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera. (Jakarta: MPP Partai Keadilan Sejahtera, 2007), h. 17

16


(50)

Pada sisi lainnya, PKS adalah partai kader. Sebagaimana keyakinan PKS17 bahwa jawaban untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah dengan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara moral, intelektual, dan profesional. Sebagai partai kader PKS memiliki sistem kaderisasi kepartaian yang sistematis dan metodik. Kaderisasi ini memiliki fungsi rekrutmen calon anggota dan fungsi pembinaan untuk seluruh anggota, kader dan fungsionaris partai. Fungsi-fungsi ini dijalankan secara terbuka melalui infrastruktur kelembagaan partai yang tersebar dari tingkat pusat sampai tingkat ranting. Fungsionalisasi berjalan sepanjang waktu selaras dengan tujuan dan sasaran umum partai, khususnya dalam bidang penyiapan sumber daya manusia partai18.

Dalam konteks pengkaderan, PKS mempunyai dasar pemikiran bahwa untuk mendapatkan kader yang tangguh maka diperlukan suatu pembinaan yang secara khusus dengan cara bertahap. Adapun pentahapan tersebut yakni dengan membangun kekuatan pribadi yang baik dapat melahirkan keluarga yang baik. Keluarga yang baik dapat pula melahirkan masyarakat yang baik. Keluarga dan masyarakat yang baik akan menciptakan lingkungan yang baik juga. Mengingat pembangunan sebuah negara memerlukan pribadi dan masyarakat yang shaleh, yang layak memikul amanah yang dibebankan kepadanya, maka pembangunan pribadi juga sesuatu yang niscaya. Sebab, setiap individu bertanggung jawab karena ia adalah alat masyarakat

17

http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=110, artikel diakses tanggal 20 Maret 2010.

18

Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera; Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, h. 204


(51)

dan negara yang terpenting dalam melaksanakan tugas sosial dan politik demi kepentingan dan tujuan bersama19.

tetapi menurut Aay Muhamad Furqon20, PKS bukan murni partai kader melainkan kombinasi antara partai kader dan partai massa. Asumsi dari pernyataan ini menurut Furqon, diakui pula oleh Sekjen PKS, bahwa Partai Keadilan Sejahtera adalah gabungan antara apa yang kita sebut dengan Nukhbawiyah Jamahiriyyah, jadi gerakan elit dan massa. Pijakan yang melandasi Nukhbawiyah Jamahiriyyah adalah proses kebangkitan umat Islam kembali memerlukan kualifikasi kepemimpinan kolektif dalam umat itu.

Kelompok kecil inilah yang mempunyai fungsi sebagai tulang punggung yang memikul sebagian besar beban-beban umat itu. Dalam pengertian yang disebut Rasulullah SAW. Annasu kal ibili miah, manusia itu seperti seratus ekor unta

latakaadu minhum rihlah, hampir-hampir kamu tidak menemukan seekor pun diantaranya yang dapat memikul beban berat. Jadi masyarakat juga seperti itu, yang memimpin mereka itu sedikit, karena itu kalau suatu partai politik tidak menyiapkan kader-kader yang akan memimpin negeri dimana partai itu berpartisipasi, maka kelak partai itu akan jadi bencana bagi negerinya.

Menurut M. Imdadun Rahmat21, paradigma PKS sebagai partai dakwah terpengaruh oleh gerakan Ikwanul Muslimin, yang didirikan oleh Syaikh Hasan Al-Bana di Mesir pada bulan April 1928. Organisasi ini menyeru untuk kembali kepada

19

Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 208 20

Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 204 21


(52)

Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, mengajak untuk menerapkan syari’at Islam dalam realitas kehidupan, mengembalikan kejayaan Islam dan berdiri menentang arus sekularisasi di kawasan Arab dan dunia Islam.

Dalam anggaran dasar Ikhwanul Muslimin disebutkan bahwa tujuan organisasi ini adalah melakukan dakwah Islam yang benar, menyatukan umat Islam, menjaga kekayaan negara untuk mensejahterakan rakyat, meningkatkan keadilan sosial dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Tujuan Ikhwanul Muslimin yang lain adalah membebaskan seluruh negeri Arab dan Islam dari kekuasaan asing, mendorong Liga Arab dan Pan Islamisme (Khilafah Islamiyyah), membentuk negara yang melaksanakan semua hukum dan ajaran Islam seutuhnya dan mendukung kerjasama internasional untuk melindungi hak dan kebebasan serta berpartisipasi dalam menciptakan perdamaian dan mengembangkan peradaban kemanusiaan yang baru.

Sedangkan gerakan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin meliputi gerakan dakwah melalui media massa, mempersiapkan delegasi dan utusan ke dalam dan luar negeri, mendidik anggota sesuai dengan sistem dan prinsip Ikhwanul Muslimin (metode Usroh/Tarbiyah), mengupayakan terwujudnya aturan-aturan publik yang lebih Islami, mendirikan lembaga-lembaga sosial, ekonomi, keagamaan, kesehatan, pendidikan dan lembaga-lembaga amar ma’ruf nahi munkar22.

PKS merupakan partai yang menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai acuan utama dalam gerakan politiknya. Partai ini banyak mengadopsi pemikiran Ikhwnaul

22


(53)

Muslimin, baik dalam ideologi politik, manhaj dakwah, maupun pemahaman keislamannya. Oleh karena itu banyak kader PKS yang menyebut partainya sebagai “anak ideologis” Ikhwnaul Muslimin. Para aktivis PKS dengan penuh kesadaran menyebut diri mereka sebagai kader Ikhwanul Muslimin. Di kalangan kader Tarbiyah, PKS diakui sebagai IM-nya Indonesia. Bahkan PKS ditengarai pernah merencakan menjadikan Indoesia sebagai sentrum perjuangan Ikhwanul Muslimin Internasional23.

Itulah sebabnya PKS memiliki hubungan yang dekat dengan berbagai kelompok di Timur tengah, baik ormas maupun partai politik yang menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai acuan ideologinya. Kedekatan yang paling menonjol adalah dengan faksi Hamas Palestina. Hamas adalah partai politik dan sekaligus faksi mujahidin kemerdekaan Palestina yang berideologi Ikhwanul Muslimin24. Dukungan nyata PKS terhadap Hamas adalah sumbangan dana “one man one dollar” sejumlah enam miliar rupiah. Pengumpulan donasi bagi Hamas ini terus berlanjut dan menjadi kegiatan rutin kader-kader PKS. Dukungan lain adalah sikap-sikap PKS yang tegas terhadap Amerika Serikat dan Israel serta komunikasi intensif antara para anggota parlemen hamas dengan anggota legislatif PKS. Dalam konflk internasional antara Hamas dengan Fatah, PKS terlihat mendukung Hamas25.

23

M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS;, h. 97 24

Berbeda dengan Hamas yang ekstrim dan radikal dan seringkali menggunakan cara kekerasan dalam setiap gerakannya. PKS meskipun sama-sama berideologi Ikhwanul Muslimin meninggalkan cara-cara kekerasan dan menjadi demokrasi sebagai alat perjuangan untuk mencapai tujuannya.

25


(54)

Produk-produk tertulis resmi Ikhwanul Muslimin, baik Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, produ-produk Munas Ikhwanul Muslimin, maupun risalah-risalah Syaikh hasan al-Banna serta pemikiran para tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang lain banyak dpelajari oleh kader PKS, dan sangat berpengaruh pada pembentukan pandangan-pandangan politik maupun keagamaan mereka. Banyak unsur-unsur dasar pemikiran Ikhwanul Muslimin yang diadopsi menjadi bangunan pemikiran yang membentuk jati diri PKS. Ini tidak mengherankan karena pengaruh Ikhwanul Muslimin terhadap kader PKS terjadi sejak awal terbinanya gerakan dakwah kampus era 1970-an sebagai embrio PKS.

Disamping itu, bentuk-bentuk keorganisasian Ikhwanul Muslimin juga mengilhami bentuk-bentuk organisasi yang dipakai PKS. Pemikiran Ikhwanul Muslimin juga sangat mempengaruhi keputusan-keputusan resmi partai ini, disamping itu juga sangat mewarnai materi model, serta pola-pola pendidikan dan pengkaderan di PKS. Hasilnya, pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin menjadi acuan utama, baik secara resmi oleh partai maupun para kadernya.


(55)

BAB IV

PERUBAHAN DAN IMPLIKASI PLATFORM

PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

A. Politik Aliran dalam Pemilu 2009

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang menjelma sebagai organisasi politik. Clifford Geertz menemukan empat aliran besar dalam masyarakat Jawa yaitu PNI yang mewakili golongan priyayi, PKI yang mewakili golongan abangan, Masyumi sebagai wakil dari santri modernis, serta NU yang merupakan wakil santri tradisionalis. Dengan demikian pembentukan partai politik pada awal kemerdekaan mengikuti garis-garis pengelompokkan yang sudah ada, baik menurut kelompok-kelompok suku bangsa, etnik ataupun agama dan kepercayaan1.

Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pasca orde baru realitas politik yang didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian menonjol. R. William Liddle, guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State University, dalam bukunya Revolusi dari Luar; Demokatisasi di Indonesia (2005) menyatakan

1

Daniel S. Lev Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik, h. 132.


(56)

bahwa pola aliran masih berlaku, dan dalam pemilu 1999 semua partai yang meraih suara terbanyak, kecuali Golkar merupakan perwujudan baru dari sistem aliran yang dilukiskan oleh Geertz.

PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan PNI yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan kelanjutan dari partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar, antara PAN melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi. PPP juga tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971 bersama partai-partai santri, berdifusi menjadi PPP.

Sejarah terulang kembali dalam pemilu 2004. Ketika politik aliran mulai menemukan bentuknya lewat kemenangan partai-partai yang mengikuti pola aliran yang dirumuskan Geertz pada 1950-an, dengan beberapa pengecualian, yaitu suksesnya Partai Demokrat meraih sekitar 7,5 % suara meski afiliasi alirannya samar-samar.

Dalam konteks demikian kita melihat bahwa politik aliran tengah bekerja di dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Ia berperan sebagai instrumen untuk mobilisasi dan maksimalisasi dukungan2.

Lalu apa yang terjadi pada pemilu 2009, apakah pola-pola aliran masih berulang seperti dua pemilu sebelumnya sejak awal reformasi?

Pemilihan Umum (Pemilu 2009) diikuti oleh 38 parpol, sebanyak 18 parpol peserta adalah parpol baru. Sementara itu, dua parpol baru Hati Nurani Rakyat

2


(57)

(Hanura) yang dipimpin oleh Mantan Menhankam/Pangab pada masa Orde Baru, Wiranto, dan Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dipimpin oleh mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto, lolos parlementary threshold dan meraih kursi DPR.3

Fenomena yang paling menarik dalam Pemilu 2009 ini adalah munculnya partai Demokrat sebagai pemenang. Pada Pemilu 2004, partai ini mencatat sejarah sebagai parpol baru yang langsung menggebrak peta perpolitikan nasional dengan keberhasilannya meraup 8,46 juta suara (7,5 persen) dan berhasil mendudukkan kadernya di Senayan. Fenomena kemenangan partai Demokrat dalam Pemilu 2009 ini telah mendudukkannya sebagai Partai “papan atas” dengan menggeser kedudukan PDI-P dan Golkar, yang telah mendominasi sejak Pemilu 1999.

Fenomena Demokrat ini sangat menarik perhatian mengingat Partai Demokrat adalah salah satu Partai yang Pola alirannya sama-samar4. Keberhasilan Partai Demokrat dalam dua Pemilu tak terpisahkan dari popularitas tokoh Susilo bambang Yudhoyono. Begitu juga dengan PAN (Amien Rais) dan PKB (Abdurrahman Wahid). Munculnya Gerindra dan Hanura pada Pemilu 2009 juga sangat berkaitan dengan popularitas Prabowo Subianto dan Wiranto5 Fenomena ini bisa dijadkan sebuah titik awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai beralihnya “politik aliran” ke “politik ketokohan”.

R. William Liddle dalam sebuah wawancara di harian Kompas (07 Juli 2009) menyatakan bahwa berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, khususnya pada

3

Kompas, 01 Juli 2009 4

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 106 5


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Secara umum Pemilu 2009 tidak lagi dimeriahkan oleh pertarungan ideologi atau aliran. Pertarungan dalam pemilu lebih banyak diwarnai pencitraan dan jualan pesona para tokoh. Trend politik kini bergerak meninggalkan ruang-ruang ideologis, hal yang selama ini dianggap tabu. Itu pun sudah terbantahkan. Rivalitas Islamisme dan nasionalisme tidak lagi berada dalam wilayah ideologis. Simbol-simbol agama juga tak lagi menjadi pemikat untuk menarik simpati pemilih. Pembentukan Baitul Muslim Indonesia (BMI) oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan deklarasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi partai yang terbuka semakin memperkuat sinyalemen runtuhnya aliranisasi politik.

2. Pudarnya politik aliran pada Pemilu 2009 ini juga ditandai dengan memudarnya ideologi partai-partai yang menjadi basis perjuangan mereka. Islamisme sebagai ideologi politik juga sudah tidak lagi mendapatkan tempat yang signifikan di hati para pemilih. Jadi, tidak seperti Pemilu 1955, ketika aliranisasi politik masih menguat dan rivalitas ideologis antara partai Islam dan sekuler menjadi sangat kentara. Kini, politik aliran telah kehilangan makna, apalagi setelah perubahan citra PKS menjadi partai pluralis dan


(2)

terbuka. Menjadi sulit kemudian membedakan antara partai Islam dan partai sekuler. Sepertinya, sudah tidak ada lagi perbedaan yang kentara antara partai Islam dan sekuler, baik pada ranah ideologi maupun program. Apa yang selama ini dianggap tabu bagi partai sekuler, kini sudah terbantahkan. Partai sekuler seperti PDIP berhasil mewadahi kepentingan kelompok Islam melalui pembentukan BMI, sesuatu yang sangat tabu pada dekade 1950-an.

3. Platform kebijakan pembangunan PK Sejahtera, merupakan dokumen yang merefleksikan visi, misi, program dan sikap partai terhadap berbagai persoalan Indonesia.

4. Dengan mengamati keseluruhan platfrom di bidang politik yang tercantum dalam “Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera”, sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan yang dapat menggolongkan PK Sejahtera sebagai partai terbuka.

B. Saran-saran

Perubahan citra yang kini telah dilakukan oleh PKS telah menimbulkan banyak reaksi baik dari internal maupun eksternal partai. Hal ini harusnya menjadi pertimbangan elit partai untuk meninjau kebijakan tersebut. Disamping itu, kebijakan ini merupakan suatu hal yang dilematis, pada satu sisi PKS adalah partai Islam sementara perubahan citra ini mengharuskan PKS menjadi partai terbuka dan menerima pluralitas, ini yang harus dicermati oleh PKS yang sejak awal


(3)

71 mendeklarasikan diri sebagai “partai dakwah” yang sarat dengan ideologi yang melekat pada dirinya.

Hal ini harus dipikirkan secara cermat, jangan sampai PKS yang memiliki kader-kader militan akan “lari” kepartai lain yang bisa menampung militansi mereka. Jangan dilupakan, PKS besar oleh kader-kader militan ini. Sebagaimana dikatakan oleh Fachry Ali, apa yang dilakukan PKS dengan citra perubahan ini layaknya orang yang “berjudi”, dengan demikian kebijakan ini dapat membawa dampak yang negatif jika tidak didasarkan pada pemikiran yang cermat. Kemudian, PKS sebagai partai dakwah harus lebih memperkuat ideologi mereka dan juga memperkuat basis kader mereka, karena pada dasarnya PKS adalah partai kader yang besar oleh dan untuk kader.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amal, Ichlasul (Editor). Teori-teori Politik Mutakhir. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996

Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. Asyari, Suadi. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. Yogyakarta: LKiS, 2009.

Azra, Azyumardi. Menggapai Solidaritas; Tensi antara Demokrasi,

Fundamentalisme dan Humanisme. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002

---. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002

Effendy, Bahtiar. Repolitisasi Islam: Pernahkah islam Berhenti Berpolitik?. Bandung: Mizan, 2000.

---. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.

Fanani, Ahmad Fuad. Islam Mazhab Kritis; Menganggagas Keberagaman Liberatif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.

Fauzi, Ulfi. Konflik Politik Islam; Studi Kasus hubungan Masyumi dan NU pada

Masa Sebelum dan Sesudah Demokrasi Terpimpin (1950-1956). Skripsi S1

Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Furkon, Aay Muhammad. Partai Keadilan sejahtera; Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer. Jakarta: Teraju, 2004.

Karim, M. Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesi; sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Pres, 2002.


(5)

Lev, Daniel S. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer

(1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal.

Teori-teori Mutakhir partai Politik. Yogya: Tiara Wacvana Yogya, 1996. Liddle, R. William. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia. Jakarta: Nalar,

2005.

Mahendra, Yusril Ihza. Islam dan Masalah Kenegaraan. Dalam Abdul Halim (editor). Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. Jakarta: Ciputat Pres, 2001.

Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera. Platform Kebijakan

Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera. Jakarta: MPP Partai Keadilan

Sejahtera, 2007.

Mallarangeng, Rizal. Dari Langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008

Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi Politik di Indonesia Pasca –Ordebaru. Jakarta: Gramedia, 2007.

Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2000.

Noer, Deliar. Memposisikan Harun Nasution dalam pemikiran Islam di Indonesia. Dalam Abdul Halim (editor). Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. Jakarta: Ciputat Pres, 2001.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2008.

Rahmat, M. Imdadun. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: LkiS, 2008.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendy, Metiode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1983.

Yasmadi. Modernisasi Pesantren; Kriktik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis wacana Media. Yogyakarta: LKiS, 2004.


(6)

74

Artikel Koran dan Majalah

Prihadiyoko, Imam. “Wajah Baru PKS, Pluralitaskah...?”. Kompas. 12 Februari 2008

Fernandes, Arya. “Runtuhnya Politik Aliran”. Suara Karya, 25 Maret 2008 Fatah, Eep Saefulloh, Ideologisasi Versus Idolisasi. Kompas. 16 September 2008 ---. “Tampilkan Pahlawan, PKS Ingin Memperluas pasar”, 12 November 2008 ---. “Tampilkan pahlawan, PKS Ingin Perluas Pasar”. 12 November 2008 Tempo, Iklan Pahlawan Partai Dakwah. 23 November 2008

---, “Manuver Politik Faksi Sejahtera”, 30 November 2008

Prihadiyoko, Imam. “Jelasnya Kekuasaan dalam Ketidakjelasan Politik”. Kompas. 02 Desember 2008

Fatah, Eep Saefulloh. Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS. Tempo, 14 Desember 2008.

Suwardiman. “Parpol Baru, yang Bertahan dan yang Tersingkir”. Kompas, 01 Juli 2009

Liddle, R. William, ”Saat ini Merupakan Era Politik Ketokohan”. Kompas, 07 Juli 2009

Kompas, “Dapatkah PKS BErtahan Sebagai partai Dakwah?”. 20 September 2010 ---, “Dapatkah PKS BErtahan Sebagai partai Dakwah?”. 20 September 2010 Website

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera, artikel diakses tanggal 21 Januari 2010.