Islam Tradisionalis LANDASAN TEORI

memperluas jangkauan pada segmen-segmen komunitas Islam tanpa mengubah sikap dasar ideologinya. 17 Arti penting teori aliran Geertz adalah bahwa teori ini mencoba menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari pengelompokan- pengelompokan sosial-politik yang berkembang dalam realitas politik di Indonesia.

B. Islam Tradisionalis

Sebenarnya apa yang sering disebut sebagai tradisionalis-modernis dalam gerakan Islam Indonesia merupakan suatu istilah yang bisa diperdebatkan dan dipertukarkan dengan istilah-istilah lain. Pemakaian istilah modernis, misalkan, dalam banyak literatur gerakan Islam Indonesia teramat sering bertukar dengan istilah “reformis”. R. William Liddle 18 bahkan menggunakan istilah “Skripturalis- Substansialis” untuk menggantikan istilah “tradisionalis-modernis”, Deliar Noer 19 menggunakan istilah “kaum tua” kelompok tradisional dan “kaum muda” untuk kelompok modernis. Meskipun demikian pada tulisan ini akan tetap digunakan istilah “tradisionalis-modernis” yang dalam banyak hal maknanya paralalel dengan “skripturalis-substansialis” dan “kaum tua-kaum muda”. Sarjana Indonesia yang paling bertanggung jawab dalam menyebarluaskan distingsi – yang selanjutnya menjadi dikotomi – antara “Islam tradisionalis” dan 17 Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di Indoensia Era reformasi Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, h. 239 18 R. William Liddle. Skripturalisme Media Dakwah: sebuah Bentuk Pemikian dan Aksi Politik Islam Indonesia pada Masa Orde Baru. Dalam Idy Subandi Ibrahim editor. Media dan Citra Muslim: Dari Spiritualitas untuk berperang menuju Spiritualitas untuk Berdialog. Yogyakarta: Jalasutra, 2005, h. 406 19 Fathurin zen. NU Politik: Analisis wacana Media. Yogyakarta : LKiS, 2004. 20 “Islam modernis” dalam kajian tentang Islam di Indonesia adalah Deliar Noer dalam karyanya yang kini sudah menjadi klasik. Dalam karyanya ini, Deliar Noer secara tegas membuat semacam watertight distinction antara Islam tradionalis dan Islam modernis 20 . Pembedaan awal dari kedua golongan ini pada mulanya hanya menyangkut gerakan sosial dan keagamaan, akan tetapi selanjutnya meluas ke bidang lainnya termasuk politik. Golongan tradisional adalah mereka yang berpegang teguh pada pemikiran tradisional, sedangkan golongan modern adalah mereka yang menghendaki perubahan. Dalam konteks studi sosial-politik Islam Indonesia, islam “muslim tradisionalis” memiliki dua arti: yang satu bersifat pejorative sementara yang lain bersifat netral. Pertama, istilah tradisionalis berkonotasi pejorative jika dipakai dengan merujuk kepada muslim model lama yang berasal dari kampung yang tradisional dalam agama, kolot secara intelektual, oportunistik secara politik dan sinkretik secara kultural. Kedua, pemahaman yang lebih umum mengenai muslim tradisionalis menunjukkan bahwa mereka merupakan orang yang percaya bahwa umat Muslim yang tidak memiliki keahlian memadai untuk berijtihad harus mengikuti salah satu dari empat mazhab hukum yang ada dan memakai pendekatan bertahap dan toleran dalam berdakwah ketika mereka berhadapan dengan tradisi lokal. Kenyataan bahwa praktik-praktik Islam adakalanya 20 Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, h. 145 21 tercampur aduk dengan tradisi lokal tidak berarti bahwa mereka menganggap tradisi lokal bersifat islami; sebaliknya, ini hanya soal pendekatan saja 21 . Golongan Islam tradisional diwadahi oleh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama NU. Sedangkan kendaraan politik yang mereka pergunakan pada awal kemerdekaan adalah Masyumi hingga NU menyatakan keluar dan membentuk partai sendiri, tahun 1952. Selanjutnya pada pemilu 1955 dan 1971 NU tampil sebagai partai politik yang mewadahi golongan tradisional. Namun sebagaimana golongan Islam lainnya, sejak tahun 1973 NU memperoleh perlakuan yang tidak manusiawi dari pemerintah dan dipaksa berfusi ke PPP. Kondisi perpolitikan yang tidak kondusif ini baru berakhir ketika rezim otoriter Orde Baru tumbang dan beralih ke era reformasi, dimana setiap kelompok dan juga individu memiliki kebebasan dan berpolitik. Akhirnya pada forum Munas Alim Ulama NU pada 1983 di Situbondo, NU memproklamirkan kembali ke “khittah 1926”. Digulirkannya gagasan ”kembali ke khitah 1926” ini merupakan upaya pemulihan untuk mengatasi persoalan aliran atau eksklusivisme politik yang ada pada the body of politics organisasi sosial keagamaan ini. Dengan pernyatan ini, NU melakukan reposisi ulang: mengembalikan jati dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan seperti ketika lahir dulu 1926. Dan itu berarti NU tak lagi berfungsi sebagai organisasi sosial-politik 22 . 21 Suadi Asyari. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. Yogyakarta: LKiS, 2009, h. 76-77 22 Bahtiar Effedi. Repolitisasi Islam: Pernahkah islam Berhenti Berpolitik? Bandung : Mizan, 2000, h. 179 22

C. Islam Modernis