Politik Aliran dalam Pemilu 2009

BAB IV PERUBAHAN DAN IMPLIKASI PLATFORM

PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

A. Politik Aliran dalam Pemilu 2009

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang menjelma sebagai organisasi politik. Clifford Geertz menemukan empat aliran besar dalam masyarakat Jawa yaitu PNI yang mewakili golongan priyayi, PKI yang mewakili golongan abangan, Masyumi sebagai wakil dari santri modernis, serta NU yang merupakan wakil santri tradisionalis. Dengan demikian pembentukan partai politik pada awal kemerdekaan mengikuti garis-garis pengelompokkan yang sudah ada, baik menurut kelompok- kelompok suku bangsa, etnik ataupun agama dan kepercayaan 1 . Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan Pembangunan PPP, dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia PDI. Pasca orde baru realitas politik yang didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian menonjol. R. William Liddle, guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State University, dalam bukunya Revolusi dari Luar; Demokatisasi di Indonesia 2005 menyatakan 1 Daniel S. Lev Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer 1950- 1957 Dan Demokrasi Terpimpin 1957-1965. Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik, h. 132. 48 bahwa pola aliran masih berlaku, dan dalam pemilu 1999 semua partai yang meraih suara terbanyak, kecuali Golkar merupakan perwujudan baru dari sistem aliran yang dilukiskan oleh Geertz. PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan PNI yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan kelanjutan dari partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar, antara PAN melalui Muhamadiyah sebagai santri modernis dengan Masyumi. PPP juga tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971 bersama partai-partai santri, berdifusi menjadi PPP. Sejarah terulang kembali dalam pemilu 2004. Ketika politik aliran mulai menemukan bentuknya lewat kemenangan partai-partai yang mengikuti pola aliran yang dirumuskan Geertz pada 1950-an, dengan beberapa pengecualian, yaitu suksesnya Partai Demokrat meraih sekitar 7,5 suara meski afiliasi alirannya samar- samar. Dalam konteks demikian kita melihat bahwa politik aliran tengah bekerja di dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Ia berperan sebagai instrumen untuk mobilisasi dan maksimalisasi dukungan 2 . Lalu apa yang terjadi pada pemilu 2009, apakah pola-pola aliran masih berulang seperti dua pemilu sebelumnya sejak awal reformasi? Pemilihan Umum Pemilu 2009 diikuti oleh 38 parpol, sebanyak 18 parpol peserta adalah parpol baru. Sementara itu, dua parpol baru Hati Nurani Rakyat 2 Bahtiar Effendy. Repolitisasi Islam: Pernahkah islam Berhenti Berpolitik?, h. 202. 49 Hanura yang dipimpin oleh Mantan MenhankamPangab pada masa Orde Baru, Wiranto, dan Gerakan Indonesia Raya Gerindra yang dipimpin oleh mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto, lolos parlementary threshold dan meraih kursi DPR. 3 Fenomena yang paling menarik dalam Pemilu 2009 ini adalah munculnya partai Demokrat sebagai pemenang. Pada Pemilu 2004, partai ini mencatat sejarah sebagai parpol baru yang langsung menggebrak peta perpolitikan nasional dengan keberhasilannya meraup 8,46 juta suara 7,5 persen dan berhasil mendudukkan kadernya di Senayan. Fenomena kemenangan partai Demokrat dalam Pemilu 2009 ini telah mendudukkannya sebagai Partai “papan atas” dengan menggeser kedudukan PDI-P dan Golkar, yang telah mendominasi sejak Pemilu 1999. Fenomena Demokrat ini sangat menarik perhatian mengingat Partai Demokrat adalah salah satu Partai yang Pola alirannya sama-samar 4 . Keberhasilan Partai Demokrat dalam dua Pemilu tak terpisahkan dari popularitas tokoh Susilo bambang Yudhoyono. Begitu juga dengan PAN Amien Rais dan PKB Abdurrahman Wahid. Munculnya Gerindra dan Hanura pada Pemilu 2009 juga sangat berkaitan dengan popularitas Prabowo Subianto dan Wiranto 5 Fenomena ini bisa dijadkan sebuah titik awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai beralihnya “politik aliran” ke “politik ketokohan”. R. William Liddle dalam sebuah wawancara di harian Kompas 07 Juli 2009 menyatakan bahwa berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, khususnya pada 3 Kompas, 01 Juli 2009 4 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 106 5 R. William Liddle. Kompas, 07 Juli 2009 50 pemilu Orde Baru, Pemilu 2009 ini tidak lagi dimeriahkan oleh pertarungan ideologi atau aliran. Pertarungan dalam pemilu lebih banyak diwarnai pencitraan dan jualan pesona para tokoh popular 6 . Menurut Arya Fernandes 7 , trend politik kini bergerak meninggalkan ruang- ruang ideologis, hal yang selama ini dianggap tabu. Itu pun sudah terbantahkan. Rivalitas Islamisme dan nasionalisme tidak lagi berada dalam wilayah ideologis. Simbol-simbol agama juga tak lagi menjadi pemikat untuk menarik simpati pemilih. Pembentukan Baitul Muslim Indonesia BMI oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP dan deklarasi Partai Keadilan Sejahtera PKS menjadi partai yang terbuka semakin memperkuat sinyalemen runtuhnya aliranisasi politik. Imam Prihadiyoko 8 secara lebih ekstrim mengatakan bahwa politik Indonesia kini kian memperlihatkan politik yang tak ideologis. Bahkan menurutnya, tidak ada lagi perdebatan ideologi yang melelahkan. Polarisasi ideologi seperti masa lalu sangat sulit ditemukan, apalagi jika yang berhadapan Islam dan Nasionalis. Pergeseran ini, menurut Prihadiyoko, makin memperlihatkan adanya ketidakjelasan dalam berpolitik. Pasalnya, gaya politik yang muncul seperti si buta yang diserang lebah. Langkah dan tindakannya seperti tidak beraturan, yang dinginkan hanyalah hasil akhir. Eep Saefulloh Fatah 9 , mengemukakan bahwa gejala penting yang terlihat di balik pengajuan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 mereka lebih cenderung 6 R. William Liddle. Kompas, 07 Juli 2009 7 Arya Fernandes. Suara Karya, 25 Maret 2008 8 Imam Prhadiyoko, Kompas. 02 Desember 2008 9 Eep Saefulloh Fatah, ”Ideologisasi Versus Idolisasi,” Kompas, 16 September 2008 51 mengambil “idolisasi” sebagai jalan pintas ketimbang “ideologisasi”. Dalam Pemilu 2009, menurut Eep, alih-alih melakukan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan dengan tekun, partai lebih senang melakukan cara instan mencari figur publik, khusunya kalangan pesohor yang sudah populer. Suara digalang tak melalui proses pembentukan hubungan pertukaran, tetapi melalui ikatan keterpesonaan dan kultus pemilih terhadap idola mereka. Berekembangnya idolisasi sekaligus menggarisbawahi bahwa umumnya partai politik tak menguat dan mendewasa setelah tumbuh selama satu dekade. Partai tumbuh hampir tanpa pembeda, nyaris tanpa karakter dan semua partai sama adanya. Kecenderungan idolisasi merata pada semua partai 10 . Apa yang dimaksud Eep sebagai Idolisasi sesungguhnya adalah representasi dari politik ketokohan. Kuskridho Ambardi 11 bahkan telah mensinyalir bahwa ideologi partai-partai di Indonesia telah lama pudar. Dengan mengamati perilaku partai-artai pada Pemilu 1999 dan 2004, Ambardi berkesimpulan bahwa partai-partai politik telah mengembangkan suatu pola kerja sama yang serupa sistem kepartaian yang terkartelisasi 12 . Faktor penyebab kartelisasi ini adalah kepentingan kolektif partai- partai dalam menjaga sumber-sumber rente di lembaga eksekutif dan legislatif demi kelangsungan hidup mereka sebagai suatu kelompok. 10 Eep Saefulloh Fatah, ”Ideologisasi Versus Idolisasi,” Kompas, 16 September 2008 11 Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di Indoensia Era reformasi, h. 347 12 Kartelisasi disini didefinisikan sebagai situasi di mana partai-partai politik secara kolektif mengabaikan komitmen ideologis atau programatis mereka demi kelangsungan hidup mereka sebagai satu kelompok. Lihat Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel. h. 347 52 Disamping itu penelitian Ambardi 13 juga menemukan bahwa partai-partai bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok, dan secara kolektif pula meninggalkan komitmen program mereka sebagaimaa ditunjukkan oleh fenomena migrasi ideologis dalam kasus subsidi Negara. Dalam kasus ini mereka bergeser dari komitmen yang bersifat populis ke kemitmen yang pro-pasar. Rentang jarak antara komitmen ideologis dan program elektoral mereka dengan kompromi yang dilakukan di lapangan melampaui batas yang lazim diterima sebagai batas minimal ciri persaingan antar partai. Dengan melihat fenomena yang terjadi pada Pemilu 2009 kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa politik aliran sudah mulai memudar dan beralih menjadi politik ketokohan. Pernyataan R. William Liddle 14 , membenarkan argumentasi pudarnya politik aliran ini, dia menyatakan bahwa saat ini Indonesia sedang menciptakan sebuah sistem politik yang memberikan peran besar kepada politisi dan sebagai individu. Hal ini, menurut Liddle, berbeda sekali Orde Lama ketika partai dan pemimpin partai memainkan peran yang jauh lebih besar. Pudarnya politik aliran pada Pemilu 2009 ini juga ditandai dengan memudarnya ideologi partai-partai yang menjadi basis perjuangan mereka. Arya Fernandes 15 misalkan menyatakan bahwa Islamisme sebagai ideologi politik juga sudah tidak lagi mendapatkan tempat yang signifikan di hati para pemilih. Jadi, tidak seperti Pemilu 1955, ketika aliranisasi politik masih menguat dan rivalitas ideologis 13 Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; h. 234 14 R. William Liddle. Kompas, 07 Juli 2009 15 Arya Fernandes. Suara Karya, 25 Maret 2008 53 antara partai Islam dan sekuler menjadi sangat kentara. Kini, politik aliran telah kehilangan makna, apalagi setelah perubahan citra PKS menjadi partai pluralis dan terbuka. Menjadi sulit kemudian membedakan antara partai Islam dan partai sekuler. Sepertinya, sudah tidak ada lagi perbedaan yang kentara antara partai Islam dan sekuler, baik pada ranah ideologi maupun program. Apa yang selama ini dianggap tabu bagi partai sekuler, kini sudah terbantahkan. Partai sekuler seperti PDIP berhasil mewadahi kepentingan kelompok Islam melalui pembentukan BMI, sesuatu yang sangat tabu pada dekade 1950-an. Tifatul Sembiring, Presiden PKS menyatakan bahwa PKS membuka diri untuk berkoalisi dengan partai manapun, termasuk PDI-P, yang tidak memiliki komitmen keislaman yang jelas. Bahkan menurutnya, dari sejumlah riset, koalisi PKS dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-P adalah yang dianggap bias mendatangkan pemilih dalam jumlah paling besar. Menurut Sembiring, sangat mungkin PKS menggandeng Megawati Soekarnoputri, ketua umum sekaligus calon Presiden PDI-P, pada pemilihan Presiden 2009. 16 Pernyataan tifatul ini bisa dijadikan sebuah argumentasi, bagaimana pola-pola aliran tidak lagi menjadi instrumen utama dalam politik. Dan sepertinya mereka beranggapan bahwa tampak ganjil jika hanya mengandalkan religio-ideological cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara. Karena dengan membuka diri, setiap partai dapat meraih dukungan sebanyak mungkin dari beragam entitas, ras, agama dan golongan agar bisa memerintah negeri ini. 16 Kompas, 15 September 2008 54 Seolah menguatkan pernyataan Tifatul Sembiring, Anis Matta, Sekjen PKS 17 , mengatakan bahwa era politik aliran di Indonesia dinilai sudah berakhir. Oleh karena itu, menurut Anis, PKS berhasrat merangkul semua suku maupun agama yang ada di Indonesia untuk memenuhi target perolehan suara 20 persen dalam Pemilu 2009. Saat ini sudah waktunya bagi PKS untuk membuka diri, mengusung isu kemanusiaan tanpa dominasi agama. Selain itu, lanjut Anis, agenda PKS untuk mengusung isu kemanusiaan tanpa sekat apapun dalam persatuan bangsa adalah dengan menghapuskan anggapan awam bahwa partai selalu berorientasi tempat, tokoh, dan warna.

B. Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera.