Fitrah Sebagai Dimensi Asasi Pendidikan Islam
44
sejenis. Kalau pun ada perselisihan, itu hanya pada penjelasan dan penafsiran makna dan maksud hadits ini, dan sampai sejauh mana cakupan hadits ini.
Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu. Sebagaimana Muthahhari, maka al-Ghazâlî pun memberikan tempat yang
terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian khusus, sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan kekuatan bawaan manusia. Menurutnya, puncak
kesempurnaan manusia ialah terseimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak
manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah swt dan hadits di bawah ini:
Artinya: “Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung
”. QS. Al-Qalam: 4 ”Sesungguhnya aku Muhammad diutus untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlaq”. HR. Bukhari Muslim.
Kewajiban menuntut ilmu tidak memiliki pengkhususan, hanya untuk wanita
atau lelaki saja, sebagaimana jihad dan shalat Jum’at hanya untuk kaum mukminin. Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu,
sebagaimana hadis Nabi SAW, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke liang kubur”.
Bukhari Muslim. Pada setiap zaman manusia haruslah menggunakan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban menuntut ilmu
juga digambarkan dalam hadis, “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. Artinya
bahwa mencari ilmu tidak memiliki batasan tempat tertentu, sebagaimana juga tidak memiliki waktu tertentu seperti ibadah haji umrah di Mekah.
Muthahhari menyebutkan bahwa akal dan ilmu merupakan saudara kembar. Kembarnya akal dan ilmu adalah suatu keniscayaan dan merupakan
perkara yang sangat penting. Orang yang memiliki kemampuan berpikir tetapi
45
informasi ilmu yang dimilikinya sangat sedikit dan lemah, ibarat sebuah pabrik yang tidak memiliki bahan baku yang akan diolah atau bahan bakunya sangat
sedikit, sehingga produksinya akan sangat sedikit pula. Karena, banyaknya produksi tergantung banyaknya bahan baku yang diolah. Sebaliknya, pabrik yang
memiliki banyak bahan baku tetapi mesin pengolahnya tidak difungsikan, maka pabrik itu akan lumpuh tak berproduksi.
29
Muthahhari mengutip perkataan Imam Musa al-Kazhim, Ya Hisyam, ketahuilah dengan jelas, sesungguhnya akal sejalan dengan ilmu. Ungkapan ini
sekaligus menegaskan hubungan timbal balik antara akal dan ilmu. Ilmu merupakan proses mengambil, ibarat mendapatkan bahan baku mentah.
Sedangkan akal merupakan proses berpikir, ibarat pabriknya. Maka pabriklah yang mengolah dan memproduksinya menjadi barang jadi, sekaligus sebagai
wadah proses analisa dan pemilahan.
30
Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil salah satu hadis Rasulullah SAW
, “Seandainya engkau mengetahui apa yang terkandung di dalam mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun sampai
harus mengalirkan darah dan menyelami lautan”. Dalam mengambil ilmu sebagai
hikmah, Muthahhari juga tidak membatasi pada satu golongan tertentu. Hal ini berdasarkan hadis Rasul SAW,
“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, yang akan diambil di mana saja
mereka menemukannya”. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali kw juga menyatakan,
“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah hikmah itu
meskipun dari orang munafik”. Muthahhari mencoba memberikan gambaran mengenai ketidaksesuaian
antara hal yang seharusnya hal yang idealis sesuai dengan tuntunan ajaran Islam dengan realitas yang ada dalam masyakat Islam mengenai adanya kemunduran
dalam tradisi keilmuan Islam.
29
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari Tarbiyatul Islam, Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005, h. 38.
30
Muthahhari, loc.cit., 38.
46
Menurut Muthahhari, bahwa salah satu sebabnya adalah kejadian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Muslimin. Bermula muncul dengan
perantaraan alat-alat kekhalifahan, lalu kemudian diikuti dengan munculnya friksi-friksi di dalam kehidupan Muslimin, yaitu terciptanya masyarakat yang
“berkasta”, yang sama sekali tidak sejalan dengan maksud ajaran Islam. Masyarakat terbagi kepada dua kasta:
“kasta orang miskin dan malang”, yaitu mereka yang untuk memperoleh makanan pokok saja harus bekerja keras; dan
“kasta orang yang bermewah-mewahan dan sombong”. Mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dengan harta yang ada di tanggannya. Keadaan
kehidupan seperti ini tidak lagi memberikan kesempatan untuk memperhatikan dan melaksanakan perintah-perintah Islam, dan bahkan muncul faktor-faktor yang
mendorong tidak dilaksanakannya perintah-perintah Islam. Sebab yang lain dari mundurnya umat Islam dalam bidang ilmu
pengetahuan, menurut Muthahhari, adalah adanya kesalahan persepsi dari masyarakat Islam sendiri terhadap ajaran Islam itu sendiri. Gejala yang ada dalam
masyarakat saat ini adalah bukan berlomba-lomba untuk menjadikan diri mereka dan anak-anak mereka sebagai orang yang berilmu, malah tertarik kepada
bagaimana memperoleh ganjaran dan keutamaan dengan cara menghormati dan bersikap
khudu’ kepada orang yangberilmu. Penghargaan masyarakat dengan sendirinya telah beralih dari yang seharusnya kepada ilmu pengetahuan tetapi
berbalik dengan mengambil bentuk yang salah arah, yaitu memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berilmu, meskipun hal itu bukan sesuatu
yang salah.
31
Al-Ghazâlî, secara lugas membahas tentang ilmu. Menurutnya, karena ilmudan amallah diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.
32
31
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari Tarbiyatul Islam, Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005, h.168-169.
32
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, Bandung: Mizan, 1998, h. 231-240.