Karya-karya Murtadha Muthahhari Biografi Murtadha Muthahhari

39     Artinya: “Apabila langit terbelah”. QS. Al-Infithar: 1         Artinya: “Langit pun menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana ”. QS. Al-Muzammil: 18 Lafal fithrah yang berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama, yakni yang disebutkan dalam ayat, “Fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu” QS. Ar-rum: 30 mengandung arti keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya, Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya. 21 Ibn Atsir, dalam kitab an-Nihayah, ketika mengemukakan hadits yang berbunyi: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah”. Kitab tersebut memberikan komentar sebagai berikut: 22 Al-Fathr berarti menciptakan dan menjadikan al- ibtida’ wa al- ikhtira’, dan fithrah merupakan keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Yakni, menciptakan sesuatu dalam wujud yang baru, yang merupakan kebalikan dari “membuat sesuatu dengan mengikuti contoh sebe lumnya.” Allah adalah al-Fathir. Dia adalah al- Mukhtari’ yang menciptakan tanpa contoh, sedangkan manusia adalah at-taqlidi membua tsesuatu dengan mengikuti contoh. Manusia hanyalah mengikuti, bahkan di saat dia membuat sesuatu 21 Ibid.,h.7. 22 Ibid., h.7-8. 40 yang baru sekalipun. Sebab, hasil dari kreasinya pasti mengandung unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Ibnu Atsir mengatakan, “Al-Fithrah adalah keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu, seperti halnya al-jilsah dan ar-rikhbah, yakni fitrah merupakan sejenis ciptaan khusus yang memiliki keadaan tertentu. Berdasarkan pengertian tentang fitrah dari para ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwasanya fitrah adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia yang berhubungan dengan awal diciptakannya, yang langsung diciptakan oleh Allah Swt dengan tanpa meniru dari contoh yang lain.

2. Fitrah Sebagai Dimensi Asasi Pendidikan Islam

Pembahasan mengenai pendidikan Islam, khususnya dalam pemikiran Murtadha Muthahhari, biasanya diawali dengan awal terciptanya manusia. Dari awal penciptaan manusia ini akan diperoleh sejumlah informasi yang akan menjelaskan mengenai landasan utama pendidikan Islam yang sesungguhnya. Pembahasan pemikiran Muthahhari dalam masalah fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan Islam ini lebih bernuansa filosofis. Beliau mengutarakan hal-halyang terkait dengan awal penciptaan manusia hingga dilahirkan ke dunia lalu membahas masalah mengenai: Manusia dan Pengetahuan. Pembahasan Manusia dan Pengetahuan ini adalah untuk mengetahui sifat dari fitrah manusia, dan apakah pengetahuan yang didapat oleh manusia bersifat fitri ataukah murni hasil dari pencarian manusia sendiri. Di dalam Al- Qur’an dan sunnah Rasul, persoalan fitrah memperoleh perhatian yang sangat besar. Sebab, kedua sumber tersebut memiliki perspektif tersendiri tentang manusia ketika keduanya mengatakan bahwa manusia mempunyai fitrah. Dengan demikian, harus dikaji sejarah kosakata fitrah dan maknanya, termasuk menjawab pertanyaan apakah di dalam diri 41 manusia benar-benar terdapat masalah-masalah yang bersifat fitrah, ataukah tidak. 23 Menurut Muthahhari sendiri, bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah. Hal itu pun akan terlihat sama dalam pandangan al-Ghazâlî, yang menurutnya pondasi pendidikan manusia adalah pada nilai-nilai Ilahiyah, yang disebut oleh al-Ghazâlî sebagai khulq sebagai persamaan istilah dari fitrah. 24 Di tengah-tengah kajian tentang fitrahkhulq ini nantinya akan muncul beberapa cabang, antara lain masalah “pendidikan” dan “pengajaran”, suatu tema yang amat luas dan merentang panjang. Bahkan, istil ah “pendidikan” al-tarbiyah yang digunakan, disadari atau tidak, juga terbentuk atas asasfitrah tersebut. Sebab yang dimaksud dengan pendidikan ialah rekayasa dan usaha untuk menyempurnakan kecerdasan al-rusyd dan pertumbuhannya. Semua itu disandarkan pada sekumpulan sarana. Atau, jika digunakan istilah modern, semua itu membutuhkan sejumlah kekhususan yang mencukupi dalam diri manusia, yang dimensi asasinya adalah fitrah. 25 Dari pendapat di atas, sangat jelas terlihat bahwa dimensi dasar pembentukan manusia melalui pendidikan adalah terletak pada fitrah manusia. Fitrah manusialah yang selalu membawa manusia untuk selalu condong kepada kebenaran dan membenci kejahatan, sebagaimana juga sifat pendidikan yang mengajarkan manusia kepada pencapaian kebenaran dan mencegah kejahatan. Dengan demikian, tugas pendidikan yang utama adalah memberikan informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Dan, dengan adanya fitrah 23 Ibid., h. 1-2. 24 Jalaluddin Rahmat, et. al, “Kuliah-kuliah Tasawuf”, dalam Husein Shahab, Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Etika, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000, cet. Ke-1, h. 42. 25 Muthahhari, Fitrah, op. cit., h. 2. 42 dalam diri manusia, maka informasi itu berguna sebagai bekal dalam pencarian kebenarannya. Hal itu lebih disebabkan adanya sifat fitrah yang cinta kebenaran. Manusia, menurut Muthahhari, adalah makhluk pencari kebenaran

C. Kewajiban Mencari Ilmu

Berikut ini adalah pembahasan yang dikemukakan oleh Muthahhari mengenai “Kewajiban Mencari Ilmu”. Tema tentang kewajiban mencari ilmu ini berlandaskan atas firman Allah SWT: 26                            Artinya: “Katakanlah, „Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang- orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang- orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran ”. QS. Az-Zumar: 9 “Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap Muslim dan Muslimat dari buaian hingga liang lahat” HR. Bukhori Muslim. Hadits tersebut adalah salah satu dari sekian banyak hadits-hadits yang diriwayatkan baik oleh ulama hadits dari mazhab Sunni maupun Syi’ah. Masing-masing dari mereka menukilnya dari Rasulullah SAW melalui sanad-sanad mereka. Kata faridhah dalam hadits di atas berarti „wajib’. Kata ini berasal dari akar kata fardhu, yang berarti pasti dan wajib. Sesuatu yang sekarang kita nyatakan dengan ungkapan wajib dan mustahab, pada masa awal mereka menyatakannya dengan ungkapan mafrudh dan masnun. Kata wujub dan wajib pada masa awal Islam pun juga digunakan, namun yang lebih banyak digunakan 26 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999, h. 156.