Dunia Pendidikan dalam Menyikapi Perubahan Zaman

65 Akhlak, moral atau etika, khusus bagi manusia. Akhlak mengandung makna kesucian dan kemuliaan. Pendidikan secara terminologi berkaitan dengan usaha pengembangan dalam bentuk apapun yang diarahkan kepada tujuan dari pengembangan dalam bentuk apapun yang diarahkan kepada tujuan dari pengembangan itu sendiri. Sedangkan ilmu akhlak atau etika berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang berdasarkan kepada etika atau moral, yang standarnya adalah kesucian atau keutamaan. Karena itulah, perbuatan yang dilakukan secara alami bukan perbuatan yang berlandaskan etika, bukan perbuatan yang berlandaskan akhlak, namun tidak berati antara yang alami dan yang etis keduanya bertentangan, melainkan saling berkaitan khususnya dalam kehidupan manusia. 52 Akhlak yang mulia memegang peranan yang sangat besar dalam kehidupan seseorang. Orang yang memiliki akhlak mulia juga akan mampu menghadapi rintangan-rintangan hidup dengan cara yang baik, berbeda dengan mereka yang tidak memiliki akhlak yang mulia, berbeda dengan mereka yang tidak memiliki akhlak yang mulia, mereka ini tak ubahnya dengan memelihara binatang di dalam dirinya yang selalu menggigit dan menyakitinya dan itulah beban derita yang sangat berkepanjangan. 53 Muncul teori baru di kalangan ilmuwan Barat di bidang pendidikan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah pengembangan. Mereka melihat pendidikan moralitas pendidikan dipandang dengan kacamata rasio bukan dari sisi agama atau keindahan. Menurut mereka, pendidikan merupakan pengembangan potensi rasional dan keinginan moralitas saja. Manusia tidak boleh dibiasakan dalam bentuk apapun, baik itu perkara yang baik ataupun yang jelek. Karena pembiasaan itu sendiri jelek dan karena manusia apabila terbiasakan sesuatu maka ia akan tunduk pada peraturannya, dan tidak mungkin akan ditinggalkannya. Jika dia melakukan sesuatu maka bukan berdasarkan rasio bukan pula dorongan moralitas, 52 Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, op. cit., h. 67-68. 53 Ibrahim Amini, Asupan Ilahi 2, Jakarta: Al-Huda, 2011, h. 20 66 bukan karena baik atau buruknya, tetapi ia melakukan hanya berdasarkan adat kebiasaan. Jika dia tinggalkan, dia akan merasa terguncang. 54 Muncul pemikiran kritis, “Apakah teori Barat ini benar? Bolehkah manusia tidak membiasakan diri meskipun terhadap tindakan- tindakan baik?” Dengan demikian, jelas dalam keyakinan kita bahwa teori Barat ini seratus persen tidak benar dan tidak dapat dipedomani. Akal dan ilmu menjadi acuan ketika mengerjakan sesuatu, sehingga seseorang dapat terlepas dari kendali kebiasaan ataupun pengaruh tabiatnya. 55 Dalam pandangan al- Qur’an, ditemui metode pendidikan yang diangkat dalam bentuk keteladanan. Untuk meniru hal-hal positif, al- Qur’an menunjuk keteladanan yang dapat dipelajari, apabila seseorang mau belajar dan meneladaninya. Teladan itu adalah pribadi Rasulullah saw, seperti firman-Nya:                   Artinya: “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan yang banyak dzikir kepada Allah ” QS. Al- Ahzab : 21 Jika seorang individu mau dikatakan mempunyai kepribadian yang bagus, ia harus menampilkan tindakan-tindakan yang bagus sebagai manifestasi dari sifat-sifat kepribadiannya yang positif. Sebaliknya, perilaku dan perbuatan individu yang buruk lahir dari sifat kepribadian yang buruk pula. Ciri-ciri kepribadian yang buruk menunjukkan struktur kepribadian yang buruk, alias tidak kokoh. 56 54 Muthahhari. Loc. cit., h. 55 55 Ibid., h. 57. 56 Rif’at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur’ani, Jakarta: AMZAH, 2011, h. 109-110