Mencari Ilmu: Wajib Tahayyu’i Siap Sedia

51 politeknik, atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pada zaman sekarang, kebanyakan pekerjaan memerlukan orang-orang yang ahli. Dapat dikatakan, dari penjelasan yang luas maka kewajiban mencari ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang mempunyai tujuan mulia dan sangat sesuai dengan tuntutan zaman. Kewajiban mencari ilmu adalah kunci dari semua kewajiban. Sebab tanpa adanya ilmu, maka kewajiban yang mesti dilakukan oleh seseorang tidak akan di ketahuinya yang dengannya tidak terpenuhi.

2. Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama

Muthahhari menjelaskan bahwasanya telah menjadi sebuah istilah, di mana kita menamakan sebagian ilmu pengetahuan dengan nama “ilmu agama”, dan sebagian ilmu pengetahuan lain dengan nama “ilmu bukan agama”. Ilmu-ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang secara langsung terkait dengan masalah-masalah keyakinan, akhlak, atau amal perbuatan agama, atau ilmu-ilmu yang menjadi mukadimah bagi pengetahuan, perintah-perintah, dan hukum-hukum agama, seperti ilmu gramatika bahasa Arab dan ilmu logika. 36 Muthahhari melanjutkan, bahwa mungkin sebagian orang menyangka ilmu-ilmu yang non-agama itu asing dari agama, dan setiap kali di dalam Islam dikatakan tentang keutamaan ilmu dan pahala mencarinya, maka itu hanya terbatas pada ilmu-ilmu yang menurut istilah dikatakan sebagai ilmu- ilmu agama. Atau, jika Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu itu wajib, maka yang sebagian menganggap bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah SAW terbatas pada ilmu-ilmu agama. 36 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999, h.175. 52 Seraya meluruskan pandangan di atas, Muthahhari berpendapat bahwa yang benar, ini tidak lebih dari hanya sekadar istilah. Dari satu sisi pandangan,ilmu-ilmu agama hanya terbatas pada matan-matan pertama agama, yaitu al- Qur’an al-Karim, Sunah Rasul SAW, atau wasiat-wasiat beliau. Pada masa awal Islam pun, di mana masyarakat ketika itu masih belum mengenal Islam, diwajibkan atas setiap Muslim untuk mempelajari matan- matan pertama agama terlebih dahulu sebelum segala sesuatu. Pada masa itu belum ada satu ilmu pun, belum ada yang dinamakan ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, dan belum juga ada yang dinamakan ilmu sejarah Islam, dan lain-lainnya. Kemudian kaum Muslimin mulai mengenal matan-matan pertama agama tersebut, yang berkedudukan sebagai undang-undang dasar Islam. Lalu dengan berdasarkan perintah al- Qur’an dan hadits Nabi Saw mereka mengenal secara mutlak bahwa ilmu adalah sebuah kewajiban yang tidak diragukan, dan selanjutnya secara bertahap ilmu-ilmu pun tersusun. Oleh karena itu, dari sisi pandangan lain, setiap ilmu yang memberikan manfaat kepada kaum Muslimin, maka ilmu itu merupakan kewajiban agama dan merupakan ilmu agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap ilmu yang bermanfaat kepada keadaan Islam dan Muslimin, dan hal itu sesuatu yang harus bag imereka, maka ilmu tersebut harus dikategorikan sebagai bagian dari ilmu- ilmu agama. Dan jika seseorang mempunyai niat yang tulus dalam mempelajari ilmu tersebut untuk bisa berkhidmat kepada Islam dan Muslimin, maka dia tentu akan memperoleh ganjaran yang telah disebutkan bagi orang yang mencari ilmu. Sejak awal, pembagian ini sudah tidak benar, yaitu di mana membagi ilmu kepada dua bagian: ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu bukan agama. Karena, pembagian ini akan menimbulkan sangkaan bagi sebagian orang, bahwa ilmu- ilmu yang menurut istilah sebagai “ilmu-ilmu bukan agama” adalah ilmu-ilmu yang asing dari Islam. Kelengkapan dan keuniversalan Islam 53 menuntut bahwa setiap ilmu yang bermanfaat, penting dan diperlukan oleh masyarakat Islam, harus kita anggap sebagai ilmu agama. 37

D. Kaitan antara Sains dan Agama Ilmu dan Iman

Setelah membahas mengenai dua konsep dasar pendidikan Muthahhari di atas,yaitu tentang fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan dan kewajiban mencari ilmu bagi muslimin, maka selanjutnya akan dibahas pemikiran beliau tentang kaitan antara Sains dan Agama. Hal ini sengaja dibahas pada sub bab khusus untuk memperlihatkan bagaimana konsep dasar dari ide-ide Muthahhari dalam dunia pendidikan, yang nantinya dapat dirumuskan bagaimana sistematika konsep pendidikan Muthahhari secara utuh. Di bawah judul “Kaitan antara Sains dan Keimanan” dalam buku Man and Universe, Muthahhari menjelaskan secara rinci mengenai kedua hal tersebut beserta analisisnya yang tajam. Dalam pandangan Muthahhari, sains memberi kita kekuatan dan pencerahan, dan keimanan memberikan cinta, harapan, dan kehangatan. Sains meniciptakan teknologi, dan keimanan menciptakan tujuan. Sains memberi kita momentum, dan keimanan memberi kita arah. Sains berarti kemampuan, dan keimanan adalah kehendak baik. Sains menunjukkan kepada kita apa yang ada disana, sementara keimanan mengilhami kita tentang apa yang mesti kita kerjakan. Sains adalah revolusi eksternal, dan keimanan adalah revolusi internal. Sains memperluas hubungan manusia secara horizontal, dan keimanan meningkatkannya secara vertikal. Baik keimanan maupun sains berarti keindahan. Sains adalah keindahan kebijaksanaan, dan keimanan adalah ruh. 38 Itulah yang dikatakan oleh Muthahhari, yang secara langsung dapat di pahami bahwa menurut beliau Sains ilmu pengetahuan dan agama keimanan adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Ia tidak dapat dipisahkan, 37 Ibid, h. 177 38 Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, Jakarta: Citra, 2012, h. 18. 54 jika salah satu hilang dalam diri manusia, maka akan terjadi apa yang dinamakan oleh Muthahhari dengan mengutip hadits Nabi sebagai “orang berilmu yang kurang ajar dan orang bodoh yang tekun beribadah”. 39 Senada dengan pendapat Muthahhari di atas, adalah apa yang diutarakan oleh Muhammad Iqbal. Beliau mengatakan secara tegas bahwa Eropa masa sekarang adalah hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Hal itu dikarenakan adanya kesenjangan antara sains dan wahyu keimanan. Menurut Iqbal, kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal: 1 Interpretasi spiritual atas jagat, 2 kemerdekaan spiritual, dan 3 prinsip-prinsip pokok yang memiliki makna universal yang mengarahkan evolusi masyarakat manusia dengan berbasiskan rohani. Dari sini Eropa modern membangun sebuah system yang realistis, namun pengalaman menunjukkan bahwa kebenaran yang terungkap lewat akal murni tidak mampu memberikan semangat yang terdapat dalam keyakinan hidup, dan semangat ini ternyata hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan personal yang diberikan oleh faktor adialami wahyu. Inilah sebabnya mengapa akal semata tidak begitu berpengaruh pada manusia, sementara agama selalu meninggikan derajat orang dan mengubah masyarakat. Hasilnya adalah ego yang menyeleweng, yang mencari dirinya melalui demokrasi-demokrasi saling tidak toleran yang befungsi hanya untuk menindas yang miskin demi kepentingan kaum yang kaya. Eropa masa sekarang adalah hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Orang- orangMuslim, di pihak lain, memiliki gagasan-gagasan puncak yang bersumber dari wahyu yang datang dari lubuk kehidupan yang paling dalam, menginternalisasikan eksternalitas nyatanya. Baginya, basis spiritual kehidupan adalah masalah keyakinan yang untuknya orang-orang yang paling sedikit tercerahkan di antara kita sekalipun bisa dengan mudah mengatur hidupnya. 40 39 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999, h. 184. 40 Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, Jakarta: Citra, 2012, h. 18-19. 55 Dengan lebih rinci, Muthahhari selanjutnya menegaskan bahwa telah tiba saatnya bagi manusia untuk menyadari bahwa bukan saja sains dan keimanan itu tidak bertentangan, tetapi mereka bahkan bersikap saling melengkapi satu sama lain. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan tanpa sains akan berakibat fanatisisme dan kemandekan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Sains tanpa agama adalah seperti sebilah pedang di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya, sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tyak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. 41 Pemisahan antara sains dan keimanan akan mengakibatkan bencana yang mengerikan. Di mana saja ada agama tapi tak ada sains, maka upaya-upaya kemanusiaan telah diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak selalu memadai dan bahkan telah menyebabkan fanatisisme, prasangka-prasangka dan bentrokan- bentrokan destruktif. Sejarah masa lampau kemanusiaan penuh dengan contoh- contoh semacam itu. Dan di mana saja ada sains tanpa tanda-tanda agama sebagaimana di dalam masyarakat masa kini, maka semua kekuatan sains telah digunakan untuk memenuhi pementingan diri sendiri, egoisme, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan. Dengan berlandaskan pada pemikiran Muthahhari di atas, kaitannya dengan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa jika suatu corak pendidikan yang mengesampingkan salah satu dari kedua aspek di atas, yakni hanya mementingkan sains tanpa agama dan sebaliknya, maka pendidikan tersebut hanya akan melahirkan generasi-generasi, seperti yang dikatakan Muthahhari di 41 Ibid, h. 22-23.