Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama

55 Dengan lebih rinci, Muthahhari selanjutnya menegaskan bahwa telah tiba saatnya bagi manusia untuk menyadari bahwa bukan saja sains dan keimanan itu tidak bertentangan, tetapi mereka bahkan bersikap saling melengkapi satu sama lain. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan tanpa sains akan berakibat fanatisisme dan kemandekan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Sains tanpa agama adalah seperti sebilah pedang di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya, sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tyak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. 41 Pemisahan antara sains dan keimanan akan mengakibatkan bencana yang mengerikan. Di mana saja ada agama tapi tak ada sains, maka upaya-upaya kemanusiaan telah diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak selalu memadai dan bahkan telah menyebabkan fanatisisme, prasangka-prasangka dan bentrokan- bentrokan destruktif. Sejarah masa lampau kemanusiaan penuh dengan contoh- contoh semacam itu. Dan di mana saja ada sains tanpa tanda-tanda agama sebagaimana di dalam masyarakat masa kini, maka semua kekuatan sains telah digunakan untuk memenuhi pementingan diri sendiri, egoisme, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan. Dengan berlandaskan pada pemikiran Muthahhari di atas, kaitannya dengan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa jika suatu corak pendidikan yang mengesampingkan salah satu dari kedua aspek di atas, yakni hanya mementingkan sains tanpa agama dan sebaliknya, maka pendidikan tersebut hanya akan melahirkan generasi-generasi, seperti yang dikatakan Muthahhari di 41 Ibid, h. 22-23. 56 atas, yaitu orang berilmu yang kurang ajar dan orang bodoh yang tekun beribadah. Inilah salah satu inti dasar pembahasan yang dapat di identiifkasikan sebagai konsep pokok pendidikan Muthahhari, yaitu pendidikan yang berorientasi pada pencapaian kemuliaan manusia dengan pijakan keimanan dan penguasaan sains yang handal.

E. Dunia Pendidikan dan Tantangan Zaman 1. Belajar tentang zaman

Imam Ja’far Ash-Shadiq mempunyai perkataan yang sungguh merupakan perkataan yang besar, yaitu “seseorang yang mengenal dan memahami zamannya, maka tidak akan diserang oleh berbagai macam perkara yang membingungkan dengan hal-hal yang di sekitarnya”. 42 Maksud dari hadits di atas, sebagaimana dikatakan oleh Muthahhari, adalah siapa saja yang menguasai pengetahuan tentang zamannya dan menguasai pengetahuan tentang segala seluk-beluknya, tidak akan sekali-kali dikejutkan oleh hal-hal yang membingungkan. Muthahhari menambahkan, bahwa dalam ucapan beliau ini, masih ada lagi kalimat-kalimat lainnya yang menguatkan hal itu, di antaranya: “Takkan berhasil siapa saja yang tidak menggunakan akalnya, dan takkan menggunakan akalnya siapa yang tidak berpengetahuan ”. Yakni, takkan berhasil orang yang tidak memiliki pengetahuan, sebab akal sama dengan kemampuan melakukan analisis dan menetapkan kaitan antara sejumlah permasalahan. Muthahhari mengemukakan secara lugas mengenai bagaimana membina dan mendidik generasi muda untuk dipersiapkan di masa depan yang tantangan zamannya berbeda dengan zaman di saat sekarang. Menurut beliau, ada sesuatu yang lebih penting dari pada hanya membuat planning untuk membimbing generasi ini. Yaitu dengan memperteguh di 42 Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 85. 57 dalam diri kita sendiri pendapat yang mengatakan bahwa bimbingan dan pembinaan pendidikan, baik dalam segi teknis administratif maupun dalam aplikasinya, harus berbeda caranya sesuai dengan perkembangan zaman dan juga perbedaan objek yang hendak dibinadididik. Karenanya, kita harus menghapus dari pikiran kita, bahwa kita mampu membina dan mendidik generasi muda ini dengan cara-cara lama. 43 Pertama-tama, kita harus memahami terlebih dahulu generasi muda saat ini. Memahami karakteristik dan ciri-ciri khas kepribadiannya. Dan untuk itu, secara umum, ada dua cara untuk menanganinya, serta ada dua cara pula untuk melakukan penilaian terhadapnya. Sebagian orang menilai generasi muda sebagai sekelompok orang yang belum matang dan dikuasai oleh ilusi tentang dirinya sendiri, budak-budak hawa nafsu, dan seribu macam keburukan lainnya. Orang-orang seperti itu memandang kepada generasi muda dengan pandangan penuh kebencian dan pelecehan. Akan tetapi, pandangan generasi muda itu kepada dirinya sendiri adalah sangat berbeda. Mereka tidak melihat adanya suatu cacat dalam diri mereka. Bahkan mereka adalah manusia-manusia yang penuh dengan kecerdasan dan kepiawaian yang memiliki cita-cita paling mulia dan terhormat. Namun, terkadang generasi lama memandang dari sudut dirinya sendiri dengan memandang buruk kepada generasi saat ini, dikarenakan berbeda dalam segala aspeknya. Ada beberapa ayat dalam Surat Al-Ahqâf yang mengandung dua gambaran tentang dua generasi: yang saleh dan yang menyeleweng. Tetapi tidak mungkin dikatakan bahwa generasi yang berikutnya senantias lebih banyak kerusakannya dari pada generasi sebelumnya, dan bahwa dunia ini berjalan menuju kepada kerusakan. Dan tidak pula dapat dikatakan bahwa generasi yang berikutnya senantiasa lebih sempurna dari pada yang sebelumnya. 44 Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: 43 Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al- Ijtima’, Teheran: Muassasah al- Bitsah,1395 H, h. 59. 44 Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 99.