BAB II KETENTUAN PEMBUKTIAN DALAM HUKUM
ACARA PIDANA DI INDONESIA
A. Arti Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum yang cukup sudah tua umurnya. Hal ini karena manusia dalam masyarakat, seprimitif apapun individu
tersebut, pada hakikatnya memiliki rasa keadilan, dimana rasa keadilan tersebut, akan tersentuh, jika ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah, atau
membebaskan orang yang bersalah, ataupun memenangkan orang yang tidak berhak dalam suatu persengketaan. Agar tidak sampai diputuskan secara keliru, dalam suatu
proses peradilan diperlukan pembuktian-pembuktian yang sesuai dengan peraturan. Sehubungan dengan itu, sesuai dnegan perkembangan sejarah hukum, maka
berkembang pulalah hukum dan kaidah di bidang hukum pembuktian dari sistem pembuktian yang irrasional atau sederhana ke arah sistem yang lebih rasional atau
komplitrumit.
82
Bagian dari persoalan hukum adalah masalah pembuktian di sidang pengadilan. Pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur
tentang pembuktian alat-alat bukti di persdidangan.
83
Pembuktian merupakan
82
Munir Fuady., Op. cit, hal. 9.
83
Ibid, hal. 1, beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa, peranan pembuktian suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Banyak riwayat cerita, cerita, ataupun sejarah hukum yang
menunjukkan kepada kita betapa karena salah menilai pembuktian, seperti karena saksi berbohong, maka pihak yang sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan
bersalah oleh hakim. Sebaliknya, banyak juga karena salah dalam menilai alat bukti, atau tidak cukup kuat alat bukti, orang yang sebenarnya bajingan dan telah melakukan kejahatan, bisa diputuskan bebas
oleh pengadilan. Kisah-kisah peradilan sesat seperti itu, selalu saja terjadi dan akan terus terjadi karena
Universitas Sumatera Utara
masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Sebelum membahas pembuktian lebih lanjut, maka peneliti memberikan batasan
hukum pembuktian menurut Munir Fuady yaitu:
84
”Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan
tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya faktaatau pernyataan yang dipersengketakan di
pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu”.
Berdasarkan defenisi pembuktian di atas, maka dapat dikatakan bahwa melalui pembuktian sangat menentukan nasib terdakwa. Karena apabila hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan
dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat- alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan bersalah, maka
kepadanya akan dijatuhkan hukumanpadana. Untuk menciptakan hukum yang adil bagi pencari keadilan, maka hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan
mempertimbangkan nilai pembuktian tersebut dan hakim harus mampu meneliti sampai di mana batas minimum kekuatan pembuktian bewijs kracht dari setiap alat
bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
85
1. Pembuktian pada umumnya
keterbatasan hakim, jaksa, advokat, hukum, utamanya hukum acara dan hukum pembuktian. Dengan demikian, untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang
tersesat tersebut, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, baik dalam kasus pidana maupun dalam kasus perdata.
84
Ibid,
85
M. Yahya Harahap, Loc. cit, hal. 273.
Universitas Sumatera Utara
Dengan melihat pengertian dan uraian di atas maka, pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Dengan kata lain bahwa di
dalam pembuktian terdapat ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara atau tata cara yang dibenarkan oleh undang-undang dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan berdasarkan undang-undang dan keyakinan hakim itu sendiri. Karenanya maka,
persidangan di pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Jika ditinjau dari segi hukum acara pidana, maka arti pembuktian mengandung makna yaitu:
86
a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan
mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat
bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti,
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah
digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang
ditemukan selama pemeriksaan di persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan
dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.
Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tidak bersalah akan mendapat hukuman.
b. Harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara
limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
86
Ibid, hal. 274.
Universitas Sumatera Utara
Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan
undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. Jangan sampai
kebenaran yang diwujudkan dalam putusan berdasarkan hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang dibenarkan dalam sistem pembuktian. Dengan
kata lain, putusan hakim tersebut tidak berbau atau diwarnai oleh perasaan dan pendapat secara subjektif hakim.
Dalam alasan mencari kebenaran materil, maka asas akusator accusatoir
87
memandang terdakwa sebagai pihak yang sama dalam hukum perkara perdata, kemudian ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor inquisitoir
88
yang memandang terdakwa sebagai objek pemeriksaan, bahkan kadang kala dipakai alat
penyiksa untuk memperoleh pengakuan terdakwa.
89
Oleh karenanya, dari segi hukum
87
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Trehadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 8, Accuisitoir, dalam
bahasa Indonesia dapat disebut padanan kata dari “menuduh” terhadap seseorang tersangka yaitu seseorang yang telah didakwa melakukan suatu tindak pidana dimana dalam proses dan prosedur serta
sistem pemeriksaan teedakwa dianggap sebagai subyek semata-mata ketika berhadapan dengan pihak kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak masing-masing mempunyai
suatu hak yang sama nilainya, dan hakim berada di atas kedua belah pihak guna menyelesaikan perkara pidana yang berlaku.
88
Ibid, incuisitoir dalam bahasa Indonesia dapat disebut padanan kata dari istilah “pemeriksaan” yaitu sistem pemeriksaan yang menganggap tersangka sebagai suatu obyek yang harus
diperiksa karena ada suatu dakwaan. Pemeriksaan ini dapat berupa pendengaran si tersangka tentang dirinya sendiri dan dapat melalui keterangan dari beberapa orang saksi. Oleh karena itu, sudah ada
suatu pendakwa yangsedikit banyak diyakini kebenarannya oleh yang mendakwa melalui sumber- sumber pengetahuan di luar tersangka, maka pendengaran tersangka sudah semestinya merupakan
pendorong kepada tersangka, supaya mengaku saja kelemahannya. Minat mendorngkan ke arah pengakuan salah ini biasanya berhubungan dengan tahap pendakwa sebagai manusia belaka adalah
begitu hebat, sehingga dalam praktek pendorongan ini berupa penganiayaannya terhadap tersangka.
89
Andi Hamzah I, Loc. cit, hal. 258.
Universitas Sumatera Utara
acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP, telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan yakni:
90
1. Penuntut umum harus bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk
mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa;
2. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum harus mempunyai hak untuk
melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara- cara yang dibenarkan undang-undang, berupa sangkalan atau bantahan yang
beralasan, dengan saksi yang meringankan atau saksi a decharge maupun dengan alibi;
3. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana
lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang
diperoleh dalam persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwaan primair tidak
sesuai dengan kenyataan pembuktian. Dalam hal seperti ini, arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan
terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan dakwaan tindak pidana yang telah
terbukti.
2. Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian
Untuk menjawab pertanyaan di atas maka dapat diambil perbandingan dengan pembuktian yang diatur dalam hukum acara perdata. Proses pemeriksaan persidangan
pengadilan dalam perkara perdata telah menggariskan prinsip ”pembuktian diperlukan sepanjang terhadap apa yang dibantah secara tegas, dan apa-apa yang
tidak dibantah oleh tergugat, dengan sendirinya dianggap telah terbukti kebenarannya”. Bahwa dalam perkara perdata, posita dalil-dalilfakta-fakta yang
diakui dan dibenarkan tergugat, dianggap telah terbukti, karena itu, tidak perlu lagi dibuktikan oleh penggugat. Apakah prinsip pembuktian yang demikian dapat
90
M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 274.
Universitas Sumatera Utara
diterapkan dalam pemeriksaan perkara pidana? Tentunya hal ini berbeda dengan Acara pidana. Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum acara
pidana, pemeriksaan pembuktian selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Seandainya terdakwa
mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain.
Oleh karena itu, maka pengakuan bersalah guilty dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan kewajiban penuntut umum dan persidangan untuk menambah dan
menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau surat maupun dengan alat bukti petunjuk. Hal
tersebut sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam Pasal 189 Ayat 4 KUHAP yakni, ”Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.” Ketentuan itu sama
dengan apa yang diatur dalam Pasal 308 HIR yang menegaskan bahwa, ”Untuk dapat menghukum terdakwa, selain daripada pengakuannya harus dikuatkan pula dengan
alat-alat bukti yang lain”. Hal ini berarti bahwa Pasal 189 Ayat 4, mempunyai makna, yaitu bahwa
pengakuan dalam KUHAP bukan merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna atau bukan volledig bewijs kracht. Juga tidak memiliki
kekuatan pembuktian yang menentukan atau bukan beslissende bewijs kracht. Oleh karena itu, pengakuan atau keterangan terdakwa bukan alat bukti yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Maka, penuntut umum dan persidangan tetap mempunyai kewajiban dan berdaya upaya membuktikan kesalahan
terdakwa dengan alat bukti yang lain. KUHAP sebagai hukum acara pidana, tidak mengenal keterangan atau pengakuan yang bulat dan murni, sebab, ada atau tidak ada
pengakuan dari terdakwa, pemeriksaan pembuktian kesalahan terdakwa tetap dilanjutkan dan hal ini merupakan kewajiban bagi sidang pengadilan.
91
Kebenaran yang harus ditemukan dan diwujudkan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran sejati atau matriil waarheid atau ultimate truth atau disebut
juga absolute truth. Oleh karena itu, pengakuan atau keterangan terdakwa belum dianggap sebagai perwujudan kebenaran sejati tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain.
Lain halnya dalam pemeriksaan perkara perdata. Kebenaran yang hendak diwujudkan secara ideal adalah kebenaran sejati, tetapi jika kebenaran sejati tidak ditemukan,
hakim dibenarkan mewujudkan kebenaran formil.
3. Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan
Rumusan dalam Pasal 184 Ayat 2 yang berbunyi, ”Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Rumusan Pasal 184 Ayat 2 ini lazim selalu
disebut dengan istilah notoire feiten notorious generally known yang berarti setiap hal yang sudah umum diketahui tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang
pengadilan. Mengenai pengertian hal yang secara umum diketahui ditinjau dari segi
hukum, tiada lain daripada perihal atau keadaan atau omstandigheiden atau
91
Ibid, hal. 275.
Universitas Sumatera Utara
circumstance, yakni hal ikhwal atau peristiwa yang diketahui umum bahwa hal ikhwal atau peristiwa itu memang sudah demikian adanya. Atau bisa juga berarti
berupa perihal kenyataan dan pengalaman yang akan selamanya dan selalu akan mengakibatkan kesimpulan yang didasarkan pengalaman umum atau berdasar
pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu senantiasa menimbulkan akibat yang pasti demikian adanya. Contoh yang pertama
adalah bahwa api yang panas, adalah suatu keadaan yang secara umum diketahui oleh setiap orang, dan lazim seperti itu adanya, atau umum sudah mengetahui, contoh
kedua adalah bahwa takaran minuman keras pada batas tertentu dapat memabukkan.
92
Dalam hukum acara perdata, notoire feiten tidak lagi perlu dibuktikan, dan dianggap merupakan penilaian pembuktian yang tidak takluk pada pemeriksaan
tingkat kasasi. Bagaimana halnya dalam hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP? Apakah hal yang secara umum sudah diketahui, tidak memerlukan
pembuktian lagi? Memang demikian halnya sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 184 Ayat 2. Oleh karena itu, dalam penerapan notoire feiten:
93
1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan
yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikannya lagi. 2.
Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat
bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim dari notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana yang disebut secara limitatif dalam
92
Ibid, hal. 76.
93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 184 ayat 1. Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu
saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.
B. Sis