Sistem pembuktian secara negatif dalam sistem pembuktian hukum pidana di Indonesia diberlakukan dalam hukum acara pidana karena yang dicari oleh hakim
pidana adalah suatu kebenaran materil materiele waarheid.
116
D. Penerapan dan Kecenderungan Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara
Pidana
Pelaksanaan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia berdasarkan HIR maupun setelah KUHAP
berlaku, cenderung dengan menerapkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 183 KUHAP, pada
umumnya sudah mendekati makna dan tujuan sistem pembuktian itu sendiri, tanpa mengurangi segala macam keluhan, dan kenyataan yang dijumpai . Keluhan dan
kenyataan ini timbul sebabkan masih terdapat kekurang sadaran sementara Aparat penegak hukum yang menitik penilaian salah tidaknya seorang terdakwa, berdasarkan
keyakinan hakim. Hal khusus yang dapat dilihat dalam pertimbangan putusan adalah penilaian keyakinan tanpa menguji dan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah. Sebaliknya sering pula dijumpai pertimbangan putusan pengadilan yang berdasarkan penilaian salah atau tidaknya terdakwa, semata-
mata pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Motovasi pertimbangan hukum membuktikan kesalahan terdakwa, tidak diwarnai dan tidak
dipadu dengan keyakinan hakim. Misalnya, peneliti mengambil uraian pertimbangan
116
Munir Fuady, Op. cit, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
putusan pengadilan, jarang sekali dijumpai uraian pertimbangan yang secara sistimatis dan argumentatif mengaitkan dan memadukan keterbuktian kesalahan
terdakwa dengan keyakinan hakim. Pokoknya, asal kesalahan terdakwa telah terbukti secara sah menurut cara dengan alat-alat bukti yang disebut undang-undang tanpa
mengutarakan motivasi keyakinan hakim akan keterbuktian itu pada umumnya sudah merasa cukup memenuhi keterbuktian itu dengan rumusan kalimat, “kesalahan
terdakwa telah terbukti dan diyakini”. Seolah-olah keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa hanya ditarik saja
tanpa motivasi dari keterbuktian kesalahan yang dibuktikan. Malah kadang-kadang pertimbangan yang tertuang dalam putusan pengadilan, hanya berisi uraian deskriptif
tanpa alasan pertimbangan yang argumentatif dan tidak memuat kesimpulan pendapat yang merupakan perpaduan antara pembuktian dengan keyakinan. Akibatnya isi
pertimbangan putusan, hanya tulisan yang berisi pengulangan kalimat-kalimat keterangan terdakwa dan keterangan saksi tanpa kemampuan dan keberhasilan
menyusun uaraian pertimbangan yang menyimpulkan suatu pendapat tentang keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Putusan seperti ini benar-benar sangat
miskin dan tidak menyeluruh, dimana tidak terdapat sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 dalam peraktek penegakan hukum. Untuk itu praktek penegakan hukum
masa yang akan datang, lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif. Alasan kecenderungan pendekatan yang
demikian, didasarkan pada pendapat antara lain: pada masa HIR yang juga menganut sistem pembuktian negatif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 294 HIR dimana
Universitas Sumatera Utara
kelalaian atau kealpaan hakim mencantumkan rumusan keyakinan dalam putusan, tidak mengakibatkan batalnya putusan yang bersangkutan.
Dapat dicontohkan, kesalahan terdakwa telah benar-benar terbukti berdasarkan ketentuan pembuktian dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-
undang akan tetapi, di dalam putusan tersebut hakim terlupa mencantumkan kalimat yang menjelaskan keyakinan akan kesalahan dimaksud. Dalam praktek, kealpaan
seperti ini oleh peradilan tingkat banding maupun kasasi, tidak membatalkan putusan peradilan tingkat pertama. Cukup memperbaikinya dengan menambahkan kata-kata
meyakinkan dalam amar putusan yang bersangkutan. Akan tetapi, sebaliknya sekalipun hakim tingkat pertama telah menuangkan secara tegas keyakinannya akan
kesalahan terdakwa, namun penegasan keyakinan yang bagaimanapun jelasnya, sama sekali tidak merupakan alasan dan halangan bagi hakim tingkat banding maupun
tingkat kasasi untuk membatalkan putusan dimaksud jika hakim peradilan tingkat banding atau kasasi berpendapat bahwa kesalahan terdakwa belum cukup bukti
menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Pada lazimnya jika kesalahan terdakwa telah benar-benar terbukti menurut cara dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, keterbuktian
kesalahan tersebut akan membantu dan mendorong hati nurani hakim untuk menyakini kesalahan terdakwa. Apalagi bagi seorang hakim yang memiliki sikap
hati-hati dan bermoral baik, tidak mungkin keyakinannya yang muncul kepermukaan mendahului keterbukaan mendahului keterbuktian kesalahan terdakwa. Mungkin
pada taraf pertama hakim sebagai manusia biasa, bisa saja terpengaruh sifat
Universitas Sumatera Utara
prasangka. Akan tetapi bagi seorang hakim yang jujur dan waspada, prasangkanya baru membentuk suatu keyakinan, apabila hal yang diprasangkai itu benar-benar
terbukti dipersidangan berdasarkan ketentuan, cara, dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dari alasan ringkas yang diuraikan di atas, pada hakikatnya Pasal 183 berisi penegasan berisi sistem menurut undang-undang secara negatif, tidak dibenarkan
menghukum yang seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-undang. Keterbuktian itu harus digabung dan didukung dengan
keyakinan hakim. Namun kami percaya sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum, lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut
Undang-Undang secara positif. Sedang mengenai keyakinan hakim hanya bersifat unsur pelengkap atau complimentary dan lebih berwarna sebagai unsur formal dalam
model putusan. Unsur keyakinan hakim dalam praktek, dapat dikesampingkan apabila keyakinan itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin
dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat dianggap tidak mempunyai nilai, jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup.
E. Prinsip Batas Minimum Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana