Pasal 184 ayat 1. Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu
saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.
B. Sis
prinsip
ahankan. Sistem
tem Pembuktian
Suatu sistem pembuktian yang berkembang pada zaman pertengahan yang ditujukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang.
94
Pembuktian dalam hukum acara pidana, mempunyai serangkaian tata cara yang tersusun secara sistematis dan terintegrasi terpadu bertujuan untuk mencari
kebenaaran yang hakiki. Dalam hal ini, hak asasi manusia harus dipert atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempatnya.
95
Pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya.
96
Menurut Subekti, yang dimaksudkan dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran
94
Edmon Makarim, Loc. cit, hal. 421.
95
Andi Hamzah I, Op. cit, hal. 257, sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa adanya beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Hukum acara pidana masalah pembuktian di Negara Indonesia sama dengan Negara Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental lainnya, menganut bahwa hakimlah yang menilai alat
bukti yang diajukan dnegan keyakinannya sendiri dan bukan juri seperti di Negara Amerika Serikat dan negara-negara Anglo Saxon. Di negara Anglo Saxon seperti Amerika Serikat, juri teridiri dari
orang awam yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya berperan sebagai pimpinan sidang dan menjatuhkan pidana sentencing. Menurut Andi
Hamzah setelah beliau mengikuti penataan Hakim Amerika Serikat bersama para Hakim dari negara- negara di seluruh negara bagian di Universitas Standford pada bulan Agustus 1985 khususnya
mengenai sistem pembuktian dan menyaksikan jalannya sidang pengadilan dengan sistem juri, maka beliau berkesimpulan bahwa, “sistem kita jauh lebih baik dan lebih cepat”. Sistem Amerika Serikat itu
berlarut-larut dan benar-benar kemampuan bersilat lidah antara penuntut umum dan penasehat hukumlah yang menentukan nasib terdakwa.
96
Edmon Makarim, Op. cit, hal. 417.
Universitas Sumatera Utara
dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan”.
97
Karena pembuktian merupakan sebuah sistem, amak pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan,
merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana dan tidak dapat dipisah
pokok yang menjadi alat ukur dalam pembuktian,
ng dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan
gadilan bewijslast; dan 6.
Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat
tertulis, tetapi harus dengan berbicara satu sama lain atau secara lisan agar dapat kan antara satu sama lainnya
98
. Adapun enam butir
diuraikan sebagai berikut:
99
1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan
untuk memperoleh fakta-fakta yang benar bewijsgronden; 2.
Alat-alat bukti ya gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau
bewijsmiddelen; 3.
Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan bewijsvoering;
4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian
penilaian terbuktinya suatu dakwaan bewijskracht; 5.
Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pen
kebebasan hakim bewijsminimum. Salah satu prinsip dalam hukum acara pidana adalah bentuk pemeriksaaan
dilakukan secara oral debat, dimana pemeriksaan termasuk pembuktian perkara pidana antara pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara
97
R. Subekti, Loc. cit, hal. 1.
98
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 245. Disebut Andi Hamzah II.
99
Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Jogjakarta: Liberty, tanpa tahun, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
diperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan pihak manapun.
100
Sebelum meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, ada baiknya ditinjau beberapa ajaran atau teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian.
Gunanya sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Beberapa teori yang berkenaan dengan sistem pembuktian pada
umumnya adalah: Conviction in time.
”Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan
hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem
ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti
itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction in time, sudah barang tentu
mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti
yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-
alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah
cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat
bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan
salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan
sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian
ini”.
101
100
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988, hal. 79.
101
M.Yahya Harahap, Op. cit, hal. 277.
Universitas Sumatera Utara
Teori ini disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Hal ini dikarenakan bahwa alat bukti berupa pengakuan sendiri tidak selalu membuktikan
kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
102
Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu ini didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim sendiri dan
ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam
undang-undang. Sistem ini dianut dalam sistem peradilan juri di negara Perancis.
103
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini
katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.
104
Sistem ini memberikan kebebasan terlalu besar sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya terasa sulit untuk melakukan pledoi
pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa terdakwa telah melakukan apa yang didakwakan kepadanya.
Praktek sistem pengadilan juri di negara Perancis membuat pertimbangan
102
Andi Hamzah I, Op. cit, hal. 260.
103
Simon D., Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordering, Haarlem: De Erven F. bohn, 1925, hal. 149, diterjemahkan oleh Andi Hamzah, Op. cit.
104
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1967, hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan metode ini sehingga mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh atau janggal.
105
Conviction raisonee. ”Dalam sistem ini, hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan
salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, perbedaannya dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time
peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib
menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction
raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus
mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang
masuk akal.”
106
Sebagai jalan tengah, muncul teori yang disebut pembuktian yang didasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu conviction raisonne. Menurut teori ini,
hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan
conclusie yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
107
Pembuktian menurut undang-undang secara positif yaitu: ”Pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan hakim atau conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan
kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada
105
A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering, Haarlem: H.D. Tjeenk Willink Zoon, 1967, hal. 219, diterjemahkan oleh Andi Hamzah, Op. cit, hal. 261.
106
M.Yahya Harahap, Op. cit.
107
Ibid, hal. 261.
Universitas Sumatera Utara
alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan
terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah
terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan
terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan
salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan
menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari
sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak
pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuraduk hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim
majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat- alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan
menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Bagaimana kalau sistem ini dibandingkan dengan sistem pembuktian keyakinan atau
conviction-in time? bahwa sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan.
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap
seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru
dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.”
108
Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undnag-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan lat-alat bukti yang
disebutkan di dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali, sistem ini disebut juga sistem pembuktian formil formele bewijstheorie.
Menurut D. Simons, teori pembuktian ini, berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut
108
Ibid, hal. 278.
Universitas Sumatera Utara
peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkusitor inquisitoir dalam acar pidana.
109
Teori pembuktian ini ditolak Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana pun hakim dapat mentapkan kebenaran selain daripada
menyatakan kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan
masyarakat.
110
Pembuktian menurut undang-undang secara negatif negatief wettelijk stelsel. ”Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori
antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari
keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian
menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang
itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana rumusannya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.”
111
Sistem pembuktian secara negatif negatief wettelijk stelsel menurut Munir Fuady, adalah, ”suatu sistem pembuktian di dalam persidangan pengadilan agar suatu
pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yaitu; alat bukti yang cukup, dan keyakinan hakim”.
112
Tersedianya alat bukti saja belum cukup
109
D. Simons, Op. cit, hal, 149, diterjemahkan oleh Andi Hamzah, Op. cit, hal. 259.
110
Wirjono Prodjodikoro, Hukum, hal. 75.
111
M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 278-279.
112
Munir Fuady, Op. cit, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka. Sebaliknya, meskipun hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, jika tidak tersedia alat bukti yang
cukup, maka pidana belum dapat dijatuhkan oleh hakim. Untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup
berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim.
Berdasarkan uraian di atas, teori pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen yaitu, adanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang, dan keyakinan hakim harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
113
Dengan demikian, teori ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara
kedua unsur tersebut. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim tidak yakin akan kesalahan
terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya,
113
Ibid, hal. 279.
Universitas Sumatera Utara
hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan
pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.
Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersebut harus saling mendukung. Jika diperhatikan bahwa pembuktian menurut undang-undang secara negatif,
menempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Umpamanya, walaupun kesalahan terdakwa telah
cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah, pembuktian itu dapat dianulir atau ditiadakan oleh keyakinan hakim. Apalagi jika pada diri hakim terdapat
motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi, dengan suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum, atas
alasan hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. Terbukti memang cukup terbukti secara sah. Namun sekalipun terbukti secara sah, hakim tidak yakin akan kesalahan
yang telah terbukti tersebut. Oleh karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum. Barangkali di sinilah letak kelemahan sistem ini. Sekalipun secara teoretis
antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tapi dalam praktek, secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat melemparkan
secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang tangguh benteng iman dan moralnya,
gampang sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, kita sadar. Di manakah dijumpai di dunia ini suatu sistem yang sempurna tanpa cacat? Bagaimanapun baik atau buruknya suatu sistem, semuanya
sangat tergantung kepada manusia yang berada di belakang sistem yang
bersangkutan.
C. Pembuktian yang Dianut Dalam Hukum Acara Pidana