2. Kriminalisasi Pencucian Uang
Secara langsung pencucian uang tidak merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu. Sepintas lalu tampaknya pencucian uang tidak ada korbannya.
Pencucian uang tidak seperti halnya perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan yang menimbulkan kerugian bagi korbannya. Billy Steel
mengemukakan mengenai money laundering adalah “it seem to be a victimless crime”.
Betulkah tidak ada pihak yang menjadi korban dan tidak ada yang dirugikan dalam pencucian uang? Di zaman Orde Baru di Indonesia, yaitu pada waktu Soeharto
masih berkuasa sebagai Presiden Republik Indonesia, pemerintah pada waktu itu tidak pernah menyetujui untuk mengkriminalisasi pencucian uang dengan membuat
undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang. Alasannya adalah karena pelarangan perbuatan pencucian uang di Indonesia hanya akan menghambat
penanaman modal asing yang sangat diperlukan bagi pembangunan Indonesia. Dengan kata lain, kriminalisasi perbuatan pencucian uang justru merugikan
masyarakat Indonesia karena akan menghambat pembangunan. Sekarang dengan berlakunya UUPTPPU, pencucian uang money
laundering telah dikategorikan sebagai kejahatan. Baik dilakukan oleh perseorangan maupun oleh korporasi. Praktek money laundering dapat dikategorikan sebagai
kejahatan kerah putih white collar crime, yang umumnya dilakukan oleh pelaku
Universitas Sumatera Utara
yang memiliki kekuasaan baik politik maupun ekonomi untuk mengaburkan asal-usul harta kekayaaan yang berasal dari kejahatan.
160
Sejalan dengan hal tersebut, Sutherland mengatakan bahwa secara konseptual white colar crime adalah suatu “crime commited by a person of respectability and
high social status in the course of his occupation.
161
Pelarangan praktik pencucian uang money laundering sebagaimana diatur dalam UUPTPPU adalah karena tindak kejahatan pencucian money laundering
sangat erat kaitannya dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya, yang berasal dari sumber yang tidak halal ilegal. Kemudian dana-dana tersebut disamarkan, yang
mana asal usul dana-dana tersebut disembunyikan melalui jasa-jasa, seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan berbagai jenis elemen lainnya dalam lalu lintas
keuangan. Uang atau dana-dana tersebut kemudian dicuci sehingga seolah-olah menjadi uang yang berasal dari sumber yang halal legal.
Menurut Sarah N. Welling, uang dapat kotor dengan dua cara. Yang pertama ialah melalui pengelakan pajak tax evasion. Yang dimaksud dengan pengelakan
pajak ialah memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang
sebenarnya diperoleh. Cara yang kedua ialah memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum. Teknik-teknik yang biasa dilakukan untuk hal itu antara lain
ialah penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap drug
160
Ibid, hal. 25-26.
161
Edwin O. Sutherland, White Collor Crime, New York : Dryden, 1949, hal. 9 dalam Bismar Nasution II, Ibid. hal. 26
Universitas Sumatera Utara
sales atau drug traffiking, perjudian gelap illegal gambling, penyuapan bribery, terorisme terrorism, pelacuran prostitution, perdagangan senjata arms traffiking,
penyeludupan imigran gelap ilegal immigran rackets atau people smuggling, dan kejahatan kerah putih white colar crime. Dalam pembuatan tax evasion, asal-usul
semula dari uang yang bersangkutan adalah halal, tetapi uang tesebut kemudian menjadi haram karena tidak dilaporkan kepada otoritas pajak. Sedangkan pada cara
yang kedua, uang tersebut sejak semula sudah merupakan uang haram karena perolehannya melalui cara-cara yang ilegal.
162
Lebih lanjut mengapa paraktik money laundering ini perlu diberantas, sebagaimana hasil pengamatan Guy Stessen dalam tulisannya “Money Laundering, A
New International Law Enforcement Model”, setidak-tidaknya terdapat tiga alasan mengapa money laundering perlu diberantas dan dinyatakan sebagai tindak pidana.
Pertama, karena pengaruh money laundering pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak
negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering, maka sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan
yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat. Di samping itu, dana-dana yang relatif besar itu kurang dimanfaatkan secara optimal, misalnya dengan melakukan
“sterile investment” dalam bentuk properti atau perhiasan yang mahal. Hal ini terjadi
162
Sarah N. Welling., Smurfs, Money Laundering, and the United States Criminal Federal Law, yang dimuat dalam Brent Fisse, David Fraser Graeme Coss, hal. 201
Universitas Sumatera Utara
karena uang hasil tindak pidana terutama diinvestasikan pada negara-negara yang dimungkinkan aman untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah.
Uang hasil tindak pidana pencucian uang ini dapat saja beralih dari suatu negara yang perekonomiannya baik ke negara yang perekonomiaannya kurang baik. Karena
pengaruh negatifnya pada pasar finansial dan dampaknya dapat pula mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional, sehingga besar
kemungkinan praktik money laundering bisa mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian internasional, dan tindak pidana pencucian uang yang terorganisir juga
bisa membuat ketidakstabilan pada ekonomi nasional. Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga mungkin juga merupakan akibat negatif dari pencucian uang.
Dengan berbagai dampak negatif itu diyakini, bahwa money laundering dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.
Kedua, dengan ditetapkannya money laundering sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparatur penegak hukum untuk menyita hasil pencucian uang
yang kadangkala sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau yang sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan cara menyita hasil pencucian uang
ini, maka pelarian uang hasil tindak pidana pencucian uang dapat dicegah. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana sudah beralih oreintasinya dari “menindak
pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Di banyak negara dengan menyatakan money laundering sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak
hukum untuk mempidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, dengan dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana dan dengan pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan,
maka hal ini lebih memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyediliki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini sulit
dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada pelaksanaan suatu tindak pidana, tetapi banyak menikmati hasil-hasil tindak pidana
tersebut.
163
3. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Kejahatan Lintas Negara