BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persoalan Kemiskinan
Kemiskinan adalah sebuah kondisi kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Berdasarkan hasil identifikasi suatu seminar, Awan Setya
Dewanta menyimpulkan bahwa penyebab mengapa orang menjadi miskin adalah : 1. Perbedaan akses ekonomi yang dimiliki
Perbedaan ini telah muncul sejak lahir dimana masing-masing individu dapat lahir dengan orang tua kaya atau orang tua miskin. Dari hal ini
terjadi perbedaan endowment diantara individu atau telah terjadi ketimpangan kepemilikan akses ekonomi. Memang endowment yang
dimiliki tersebut tetap harus dikembangkan sehingga tidak menutup kemungkinan bagi si miskin untuk berupaya menjadi kaya, dan
sebaliknya. Dalam pengembangan diri ini, kelompok miskin perlu dibantu agar memiliki kemampuan keterampilan dan pendidikan .
2. Ketidakberuntungan yang dimiliki oleh “ kelompok masyarakat miskin“. Kondisi tersebut adalah deprevation trap, yaitu : kemiskinan itu sendiri,
kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan masyarakat miskin dalam menghadapi perubahan-perubahan
kebijaksanaan ekonomi dan non-ekonomi, fluktuasi pasar, dan kekuatan ekonomi yang lebih kuat.
Universitas Sumatera Utara
3. Ketimpangan distribusi Ketimpangan distribusi ini dapat disebabkan karena beberapa faktor
produksi yang dimiliki. Pekerja yang hanya mengandalkan tenaga otot saja akan menerima bagian yang kecil, jika dibandingkan dengan pekerja yang
mengandalkan kemampuan intelektual dalam berproduksi. 4. Pembangunan sebagai ideologi
Pancasila yang seharusnya menjadi etika pembangunan telah digeser oleh pembangunan itu sendiri. Akibatnya pembangunan itu menimbulkan
dialektika pembangunan. Pembangunan itu sendiri telah dijadikan alat ampuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Peristiwa penggusuran
demi pembangunan adalah suatu bentuk yang konkrit bagi pembangunan sebagai ideologi.
5. Strategi pembangunan dan industrialisasi Pemilihan strategi pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan
akan mengakibatkan aspek pemerataan menjadi tertinggal. 6. Intervensi pemerintah
Kebijakan pemerintah memang diperlukan untuk melakukan investasi sosial dan melakukan pemihakan kepada si miskin. Namun pada sisi lain,
pemerintah melakukan kebijakan makro yang justru kurang menguntungkan bagi kebijakan pengentasan kemiskinan. Intervensi
pemerintah juga mengalami bias birokrasi. Bias birokrasi ini mengakibatkan kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan
kelompok kaya dibandingkan kelompok miskin. Bias ini disebabkan karena kurang tanggapnya kelompok miskin terhadap perubahan baru,
Universitas Sumatera Utara
birokrat dikejar oleh target, dan pemilihan program yang kurang mengikutsertakan kelompok yang dikenai.
Di dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat“, Dr.Sunyoto Usman mengatakan bahwa kemiskinan merupakan
salah satu problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah mengidentifikasikan apa sebenarnya yang
dimaksud dengan miskin atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya. Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim digunakan untuk
mendekati masalah kemiskinan, yaitu : perspektif kultural cultural perspektif dan perspektif struktural atau situasional situasional perspektif. Masing-masing
perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan, dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganalisis masalah kemiskinan.
Perspektif kultural mendekati kemiskinan pada tiga tingkat analisis yaitu individual, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan
ditandai dengan sifat yang lazim disebut dengan a strong feeling of marginality, seperti : sikap parokial, apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros,
tergantung dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar, dan free union or consensual marriages.
Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif.
Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai objek yang perlu digarap daripada sebagai subjek yang perlu diberi peluang untuk berkembang.
Sedangkan menurut perspektif struktural, masalah kemiskinan di lihat sebagai akibat dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan
Universitas Sumatera Utara
produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan
pertumbuhan growth dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan. Program-program itu antara lain berbentuk intensifikasi,
ekstensifikasi, dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar- besanya guna memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor.
Program-program semacam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi secara besar-besaran, tetapi ternyata hanya kelompok kaya yang dapat
memanfaatkan surplus itu. Hal ini disebabkan karena : pertama, berkaitan dengan akumulasi modal. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak
untuk mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersamaan dengan perkembangan teknologi modern. Konsekuensinya, mereka dapat lebih cepat
berkembang. Kedua, berkaitan dengan fungsi lembaga. Dalam rangka menunjang introduksi teknologi baru, di bentuk lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-
lembaga ini sangat dibutuhkan karena dengan adanya perubahan teknologi, fungsi produksi, struktur pasar, dan preferensi konsumen ikut berubah. Dalam
kenyataannya, lembaga-lembaga semacam ini tidak dapat memberikan fasilitas secara optimal kepada semua lapisan masyarakat. Hanya kelompok kaya yang
dapat menikmatinya. Kedua hal tersebut dituduh menciptakan “kolonialisme internal “ dalam kehidupan masyarakat.
Apabila yang dianggap menjadi akar kemiskinan berkaitan dengan faktor kultural, maka perlu menyusun strategi yang mampu meningkatkan etos kerja
kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola pikir yang melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi
Universitas Sumatera Utara
supaya dapat mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin. Sedangkan apabila akar kemiskinan berakar pada masalah struktural, strategi pembangunan
perlu untuk dirumuskan kembali. Strategi pembangunan tidak lagi mementingkan pertumbuhan, tetapi lebih mementingkan pemerataan kesempatan.
Secara Sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui institutional arrangements
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada
“kelemahan diri“, sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural. Kemiskinan semacam ini justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi
pembangunan ekonomi yang selama ini dicanangkan serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi
itu sendiri.
2.2. Pengelompokan Kebutuhan Hidup Manusia dan Pekerjaan Sektor Informal.