Sekarang sudah ada Kartika Air Lines, Indonesian Airlines Avi Patria, Star Air, Republik Express, Metro Batavia, Bali Internasional Air Service,
Seulawah NAD Air. Belum lagi delapan maskapai yang belum dapat AOC sertifikat operasi dari Dephub . Delapan maskapai itu, Internusa Air, Satrio
Mataram Airlines, Asia Avia Megatama, Alatief Alair Internasional, Nusantara Internasional Services, Riau Airlines, Air Paradise Internasional,
dan Fajar Air, bahkan telah ada pesawat yang tiketnya di peroleh dengan sistem bocking lewat internet dengan harga yang sangat murah, yakni Air
Asia. Tarif murah tersebut juga dipicu Keputusan Menteri Perhubungan
melepas batas bawah tarif pesawat udara pada Februari 2002 lalu yang membuat semua airline domestik bersaing memperebutkan penumpang
dengan cara menurunkan harga.
4.4. Profil Informan
Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah : 1. SIAGIAN
Siagian adalah seorang buruh bagasi yang sudah sangat lama bekerja di Pelabuhan Belawan. Mendiang ayahnya dahulu juga merupakan seorang
buruh bagasi. Siagian adalah anak sulung dari 3 tiga bersaudara. Dia sendiri memiliki adik kembaran yang juga bekerja sebagai buruh bagasi. Sementara
adiknya yang bungsu juga bekerja di Pelabuhan Belawan hanya saja dia bekerja di bagian traveling, dan ia pun terdaftar juga sebagai buruh bagasi.
Universitas Sumatera Utara
Siagian menikah pada tahun 1992 dan di karuniai 3 orang anak, yang sekarang duduk di bangku SD dan SLTP. Ketiga anaknya ini semenjak
kecilnya sudah dididik untuk hidup mandiri oleh pasangan Siagian. Hal ini tampak dari kegiatan yang mereka lakukan sepulang sekolah, yakni
menggunting sandal merapikan sisa – sisa bahan yang terdapat di sandal setelah selesai diolah di sebuah pabrik. Setiap menggunting satu sandal
mereka diberi upah Rp 25,00. Sehari biasanya mereka menggunting ±100 sandal. Dalam sebulan mereka bisa mengantongi uang ±Rp 65.000,00. Uang
tersebut sebagian mereka tabung dan sebagian lagi mereka pergunakan untuk uang jula – jula yang mereka adakan di rumah mereka. Hasilnya mereka
dapat menambah biaya keperluan sekolah mereka. Buruh yang juga merangkap sebagai mandor ini berkediaman di jalan Sei
Mati, Medan Labuhan. Wajahnya yang sangat ramah dan mudah senyum ini membuat dia akrab dengan banyak orang. Meskipun tubuhnya kecil, namun
ia memiliki wibawa untuk memimpin buruh-buruh yang adalah anggotanya. Kehidupan yang berat yang di jalaninya dalam mencari nafkah bagi
keluarganya tidak tampak di wajahnya, oleh karena semangat yang ada padanya.
2. Parlin Marpaung Parlin Marpaung adalah seorang buruh bagasi yang berasal dari
Porsea yang telah menggeluti pekerjaan sebagai buruh bagasi selama hampir 12 tahun, yakni sejak tahun 1995. Sebagai seorang pendatang dari Porsea
yang hanya mengecap pendidikan sampai jenjang SLTP, pekerjaan sektor
Universitas Sumatera Utara
informal yang mengandalkan tenaga adalah pekerjaan yang mampu untuk dilakukannya. Parlin Marpaung adalah seorang kepala keluarga yang
memperistri seorang guru SD. Mereka dikaruniai 5 orang anak. Dua anaknya yang tertua telah berumah-tangga,sehingga ada tiga orang anak lagi yang
hidupnya masih dibiayai oleh Marpaung yang masih bersekolah di tingkat SMA dn SLTP.
Awalnya, ia bekerja sebagai seorang agen yang menjual dan membeli barang – barang dari dan menuju Batam secara ilegal. Oleh majikannya,
Marpaung pergi ke Batam dengan membawa hasil-hasil pertanian seperti jeruk, sayur-sayuran palawija untuk di distribusikan di Batam, dan dari
Batam dia membawa barang-barang elektronika, seperti Televisi, Tape, Handphone, dll. Namun, karena pengawasan terhadap barang-barang tersebut
semakin ketat, maka mau tidak mau ia harus meninggalkan pekerjaan tersebut.
Akhirnya, tanggungjawab sebagai kepala keluarga yang harus membiayai kebutuhan kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya,
mengharuskan ia untuk berjuang memperoleh uang. Menjadi buruh bagasi adalah pilihan yang paling tepat baginya, dan akhirnya dia pun memutuskan
untuk mendaftarkan diri menjadi buruh bagasi dan diterima begitu saja disana.
Saat ini selain menjadi buruh bagasi Parlin Marpaung juga bekerja sebagai TKBM Tenaga Kerja Bongkar Muat , dan money changer di lokasi
Pelabuhan Belawan. Beserta istrinya yang adalah seorang Guru SD, dia berjuang menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak – anaknya.
Universitas Sumatera Utara
3. Samosir Seperti marga yang dimilikinya, informan ini merupakan buruh
bagasi yang berasal dari Samosir. Lelaki yang berusia 41 tahun ini memiliki wajah yang tegas dan suara yang lantang. Melihat sorotan matanya yang
tajam memungkinkan membuat orang yang melihatnya takut dan enggan untuk berinteraksi dengannya, seperti yang dialami oleh peneliti. Namun
pandangan tersebut perlahan – lahan sirna saat terjadi perbincangan yang hangat antara peneiti dengan informan ini.
Samosir memiliki istri yang sehari – harinya bekerja sebagai pedagang pakaian bekas loak di lokasi pasar Belawan. Bersama istrinya ia
membesarkan 4 orang anaknya, dimana tiga anaknya yang tertua sudah lulus SMA dan sudah merantau, sementara anak bungsunya yang merupakan satu –
satunya perempuan masih duduk di kelas 3 SLTP. Sama halnya dengan Parlin Marpaung, Samosir juga awalnya adalah
seorang agen sebelum dia bekerja sebagai buruh bagasi. Nasib yang sama dengan Marpaung pun ia alami. Setelah kehilangan pekerjaannya ia pun
mencoba untuk berjualan, yakni berjualan jengkol. Namun karena penghasilan yang dia peroleh sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup
mereka, maka ia pun berjuang mencari pekerjaan yang menghasilkan uang yang lebih banyak. Maka ia pun bekerja sebagai buruh bagasi dan juga
bekerja sebagai TKBM.
Universitas Sumatera Utara
4. L.E.Sitorus. Bapak L.E.Sitorus,adalah buruh bagasi telah berusia 46 tahun, sudah
bekerja sebagai buruh bagasi selama 11 tahun. Ia berasal dari Samosir dan sejak tahun 1986 dia meninggalkan daerah asalnya dan penghidupan di Kota
Medan. Dia memiliki 4 orang anak yakni anak pertama kelas 2 SMA, kedua kelas 1 SMA, ketiga kelas 1 SLTP, dan yang terakhir kelas 5 SD.
Bapak yang bertubuh besar dan ramah ini mengaku bahwa penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh bagasi tidaklah
cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan hidup mereka apalagi untuk keperluan sekolah anak – anaknya. Maka untuk mengatasi hal tersebut, maka
ia pun mengerjakan pekerjaan lainnya yakni sebagai TKBM Tenaga Kerja Bongkar Muat .
Selain itu, istrinya juga turut berusaha menambah pendapatan dengan berternak babi, dan menanam kangkung di ladang tetangganya. Kangkung
tersebut selain dipergunakan untuk makanan ternak babi tersebut, juga dipakai sebagai sayuran.
5. M.Sipahutar Bapak yang bertubuh kecil dan sudah berusia 64 tahun ini berasal dari
Pahae, Tapanuli Utara. Dengan bermodalkan pendidikan SD, dia mencari pekerjaan di Kota Medan. Semula, dia bekerja sebagai penarik jangkar kapal
laut di Pelabuhan Belawan. Upah yang di perolehnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, bahkan terkadang hanya untuk kebutuhan
pangannya selama di perantauan. Kemudian ia menikahi seorang gadis yang
Universitas Sumatera Utara
ternyata juga berasal dari daerah yang sama dengannya. Setelah menikah, upah yang diperolehnya otomatis tidak cukup untuk mereka berdua, apalagi
setelah anak pertama mereka lahir. Memang mereka sering mendapat bantuan dari keluarga mereka di kampung baik dalam bentuk dana, beras, ataupun
kiriman hasil-hasil ladang. Kesadaran bahwa mereka tidak mungkin terus-menerus
mengharapkan bantuan tersebut membuat M.Sipahutar berjuang untuk mencari pekerjaan, dan dia melihat ada peluang yang cukup besar di sana.
Oleh karena dia sudah tidak asing lagi di lokasi pelabuhan, dia pun di terima untuk bekerja di sana.
Bapak yang tampak bungkuk dan memiliki penyakit paru – paru ini tidak lagi segesit dahulu dalam memburu penumpang yang baru tiba atau
turun dari kapal, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa tetap bekerja, bersaing dengan buruh lainnya untuk mendapatkan penumpang yang
membutuhkan bantuan mengangkat barang mereka. Pekerjaan ini tetap di pertahankannya karena sangat tidak memungkinkan lagi baginya untuk
mencari pekerjaan lainnya apalagi dengan latar belakang pendidikannya yang sangat rendah, dan usianya yang sudah tua, sementara dia memiliki 7 tujuh
orang anak dan biaya hidup 6 enam orang di antaranya masih ditanggung oleh M.Sipahutar.
Universitas Sumatera Utara
6. Tumirin Tumirin adalah salah satu dari tiga buruh bagasi yang bukan bersuku
batak, tetapi bersuku Jawa. Perawakannya yang kalem dan tenang serta tutur bahasanya yang halus tidak mencerminkan kalau dia adalah seorang buruh
bagasi yang bekerja di area yang penuh dengan kekerasan. Tumirin telah berusia 56 tahun. Meskipun rambutnya sudah hampir semua berubah menjadi
uban, namun parasnya masih tampak awet muda. Tumirin, ketika masih duduk di bangku sekolah, yakni STM, sering
datang ke Pelabuhan Belawan, sekedar untuk menangkap ikan bersama teman – temannya, karena ketepatan rumahnya tidak begitu jauh dari Pelabuhan
Belawan, yakni di daerah Medan Labuhan. Karena faktor ekonomi, akhirnya Tumirin hanya menyelesaikan studi
hingga kelas 3 STM. Anak ke 3 dari 5 bersaudara ini akhirnya berusaha untuk membantu ibunya mencari nafkah yakni dengan bekerja sebagai buruh
bagasi, sejak tahun 1972. Kemudian dia menikah dengan seorang gadis yang bernama Inah.
Hal yang unik dari bapak ini adalah dia mampu membiayai kebutuhan hidup keluarganya hanya dengan mengharapkan uang dari upah sebagai
buruh bagasi. Bahkan ketiga anaknya telah berhasil menjadi pegawai negeri sipil. Saat ini, dia hanya membiayai kebutuhan hidupnya bersama istrinya.
Untuk mengisi waktu, istrinya menanam jagung di ladang yang ada di belakang rumahnya, dan hasilnya sebagian dijual, dan sebagian lagi dijadikan
makanan ayam.
Universitas Sumatera Utara
7. Patar Gultom Patar Gultom adalah buruh bagasi yang berusia 46 thn. Gultom
adalah korban krisis moneter pada tahun 1999. Akibatnya, ia harus kehilangan pekerjaannya sebagai buruh pabrik tenun yang terdapat di
Pematangsiantar, daerah asalnya. Bersama istrinya, ia pun pergi meninggalkan daerah asalnya dan mencari penghidupan di kota Medan.
Gultom yang mengaku hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah menengah pertama hanya bisa mencari uang dari menjual otot dan
tenaga. Bekerja sebagai buruh bagasi, walaupun penghasilannya tidak menentu, Gultom merasa beruntung masih mampu menghidupi istri dan anak
– anaknya. Selain bekerja sebagai buruh bagasi, Gultom juga bekerja sebagai
TKBM. Biaya hidup yang mahal membuat ia juga terpaksa bekerja sebagai calo tiket, meskipun resiko yang harus ia hadapi cukup berat.
Istri Gultom juga turut bekerja menambah penghasilan dengan membuka kedai kelontong di depan rumah mereka. Dengan penghasilan yang
demikian mereka bertekad untuk terus menyekolahkan anak – anak mereka hingga ke jenjang perkuliahan.
Saat ini, anak sulung Gultom sedang bekerja di sebuah perusahaan di Batam. Dari penghasilan yang diperolehnya, dia rutin mengirimkan uang
untuk biaya perkuliahan adik keduanya yang sedang kuliah diploma, sehingga pasangan Gultom tinggal membiayai kebutuhan hidup mereka sehari-hari
serta biaya pendidikan anak ketiga dan si bungsu yang saat ini masih sekolah ditingkat SMA dan SLTP.
Universitas Sumatera Utara
8. B. Saragih B. Saragih adalah buruh yang berusia 43 tahun. Dia dilahirkan di
Samosir namun sejak ia berusia 2 tahun keluarganya pindah ke Medan dan ayahnya sendiri pun bekerja sebagai buruh TKBM di pelabuhan Belawan.
Sejak kecil ia sudah akrab dengan suasana pelabuhan, karena sejak SD dia bekerja di sana sebagai tukang semir sepatu. Karena alasan biaya, akhirnya
Saragih pun tidak melanjutkan sekolahnya sejak tamat SD, dan ia pun terus bekerja sebagai tukang semir sepatu sambil mengumpulkan barang – barang
bekas sampai ia diterima bekerja sebagai TKBM sama seperti ayahnya. Setelah menikah dan memiliki anak, Saragih merasa bahwa
penghasilan yang dimilikinya sudah tidak mampu lagi mencukupi seluruh kebutuhan hidup mereka yang semakin besar. Lalu, dia melihat ada peluang
yang cukup besar jika bekerja sebagai buruh bagasi. Namun, sejak kapal besar yang berlabuh di Pelabuhan Belawan hanya tinggal satu, penghasilan
yang diperoleh pun jadi berkurang dan tidak dapat menutupi biaya hidup mereka apalagi saat itu anak – anak mereka sudah mulai bersekolah. Mau tak
mau, istri Saragih pun harus turut bekerja, maka ia pun mencoba menyewa sawah orang dan menanam padi disana.
Kini, dengan penghasilan yang mereka peroleh, mereka pun berjuang keras memenuhi biaya kebutuhan hidup yang semakin mahal, serta
menyekolahkan ketiga anak – anak mereka yang saat ini bersekolah di tingkat SLTP dan SD, yakni anak pertama kelas 3 SLTP, kedua kelas 6 SD,
dan terakhir kelas 5 SD.
Universitas Sumatera Utara
Matrik 1. Latar Belakang Informan
NO Nama
Informan Latar Belakang Informan Sehingga
menjadi Buruh Bagasi
1 Siagian
Mengikuti jejak ayahnya yang dahulu adalah mandor buruh bagasi.
2 Parlin M.
Kehilangan pekerjaan sebagai Agen barang seludupan dari Batam.
3 Samosir
Kehilangan pekerjaan sebagai Agen barang seludupan dari Batam.
4 L.E.Sitorus
Diajak saudara yang tinggal di Medan Labuhan merantau ke Medan.
5 M.Sipahutar
Penghasilan yang rendah sebagai penarik jangkar kapal laut.
6 Tumirin
Semasa sekolah sering menangkap ikan di pelabuhan dan tertarik untuk bekerja di
lokasi pelabuhan.
7 Patar Gultom
Kehilangan pekerjaan sebagai buruh pabrik akibat di PHK pada masa krisis moneter
1999.
8 B.Saragih
Sejak kecil sudah bekerja sebagai tukang semir di pelabuhan belawan sehingga sudah
akrab dengan suasana pelabuhan.
Sumber : Data Lapangan, 2006
4.5. Gambaran Sosial Ekonomi