commit to user
113
sebagai tokoh antagonis penyebab keruntuhan kerajaan Ria-Lingga. Sedangkan yang selalu dianggap tokoh protagonis dan luar biasa adalah Engku Puteri Raja
Hamidah adik dan saudara seayah dari Raja Djaafar, yang merupakan isteri keempat Sultan Mahmud Marhum Besar 1803 M yang berseberangan secara
politis dengan Raja Djaafar. Bahkan dalam kitab-kitab babon sejarah Melayu semacam Tuhfat al-Nafis, Raja Djaafar disebut-sebut secara langsung sebagai
biang keladi runtuh dan terrbelahnya kerajaan Riau Lingga karena menobatkan Sultan Abdurrahman
putera tiri kedua Sultan Mahmud tanpa meminta persetujuan Engku Puteri sebagai pemegang regelia kerajaan. Terjadinya faktor
budaya Melayu dalam novel ini dikarenakan tema yang diangkat mengenai kekuasaan Kerajaan Lingga yang berdiri di Melayu. Dengan mengambil inti dari
berbagai macam skema tentang cultural universals yang bisa didapat pada masyarakat di dunia adalah sebagai berikut.
a. Transformasi Sistem Kepercayaan
Masyarakat Bulang masih menganut kepercayaan-kepercayaan mistik. Mengingat daerah tersebut sangat terkenal dengan kekuatan sihirnya.
Meskipun untuk tokoh utama, Raja Djaafar tidak memercayainya. Hal ini bisa dilihat pada kutipan berikut.
Raja Djaafar tak begitu percaya tentang sihir. Tapi dari cerita orang tua-tua dia tahu bahwa salah satu sihir yang paling
ditakuti, khususnya dari Pulau Tujuh, adalah tuju. Kononnya, tuju ini bentuknya seperti sebiji telur ayam yang terbang dan
berekor. Dia meluncur tengah malam di langit, munuju arah di mana sasaran yang akan disihir. Seperti sebuah meteor. Di
telur itu, kononnya tersimpan benda-benda tajam, seperti jarum, kaca, dan racun. Dan kalau sudah mengena tubuh
commit to user
114
sasaran, langsung jatuh sakit, dan sulit diobati Bulang Cahaya: 21
Mandi Safar itu kononnya untuk menolak bala, dan Raja Haji, pulau Penghujan dijadikan tempat upacara itu, karena di
sana terdapat air pancuran dan sungai air tawar yang deras. Anak-anak bujang dan dara tak melewatkan kesempatan itu,
karena di sanalah mereka akan mencari kesempatan menemukan jodoh Bulang Cahaya: 136
b. Transformasi Budaya Turun Temurun
Adat turun temurun sudah terkenal bagi masyarakat Bulang, mengingat di daerah tersebut menganut sistem kerajaan, yaitu Kerajaan Melayu. Kutipan
berikut menunjukkan hal tersebut. Sampai pada bagian ini, mata Djaafar berbinar, karena
datuknya sendiri menjadi Yang Dipertuan Muda. Berarti dia adalah keturunan langsung salah satu yang Dipertuan Muda
Riau. Daeng Celak, setelah wafat diganti oleh Daeng Kembodja, anak Daeng Perani Bulang Cahaya: 54-55
“Beta belum jadi Raja Muda, tapi adat kebesaran Raja Muda sudah diturunkan. Memang Sultan berkehendak benar,”
katanya dalam hati. Ketika dia melihat Penghulu Bendahari yang datang menyambut, dia merasa pasti Datuk Bendahara
tidak di Lingga, atau kalau tidak, mungkin sedang uzur Bulang Cahaya: 214
c. Transformasi Sistem Peralatan
Regelia kerajaan atau alat-alat kebesaran adat istiadat dalam adat istiadat Melayu dianggap sakral dan keramat karena melambangkan kebesaran dan
kekuasaan yang berpengaruh pada kosmologi kesemestaan. Mengenai peralatan yang ada, dalam novel ini dilukiskan peralatan yang serba mewah
commit to user
115
mengingat daerah tersebut adalah daerah kerajaan. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
Benda paling utama dalam regelia kerajaan itu, adalah sebuah cogan, begitu cerita Encik Thahir. Bentuknya seperti
selembar sirih. Tapi sangat besar, hampir sedepa lebih. Terbuat dari emas murni. Lempeng mas yang berbentuk sirih
itu bertulang perang, sehingga dapat dibawa keman-mana dengan tegak. ..........................................................................
Bulang Cahaya: 207 ......................................................................
Dia lalu menyambar buah-buah yang tersedia. Menelan buah hulu kering beberapa potong dan meneguk air putih yang
dituang Husin dari cerek tembaga Bulang Cahaya: 230
d. Transformasi dalam Bidang Agama