commit to user
100
merantau ke semenanjung Melayu. Daeng Celak bertubuh gempal dan gagah. Sifat Daeng Celak adalah lemah lembut, simun. Seperti tampak
pada kutipan di bawah ini. ................................................................................................
“Datuk ananda Daeng Celak itu, adalah yang paling gagah di antara lima bersaudara itu. Orangnya segak. Kulitnya
hitam manis. Tubuhnya gempal, tapi sangat lemah lembut. Raut wajahnya selalu simun, tidak keras seperti saudaranya
yang lain. Yang paling seram wajahnya, adalah Daeng Perani. Misalnya lebat dan matanya selalu kemerah-
merahan,” lanjut ibunya. Bulang Cahaya: 45.
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Daeng Celak adalah seorang bangsawan Bugis asli. Dia mempunyai tubuh yang gagah dan segak. Kulit
tubuhnya berwarna hitam manis. Sifat yang dimiliki Daeng Celak berbeda dengan saudaranya yang lain. Daeng Celak berwatak lemah lembut,
sedangkan saudaranya yang lain bersifat keras. Apalagi Daeng Perani, dia memiliki wajah yang paling seram dan matanya terlihat selalu kemerah-
merahan. Daeng Celak merupakan salah satu dari lima bangsawan Bugis yang datang merantau ke semenanjung Melayu.
c. LatarSetting
Latar dalam novel ini, meliputi latar tempat, latar waktu, latar sosial, dan latar suasana.
commit to user
101
1 Latar Tempat
Latar tempat dalam novel ini adalah di daerah Kepulauan Riau sampai ke pantai timur semenanjung Malaysia, dengan latar belakang sejarah
Kerajaan Melayu Riau Lingga. Novel Bulang Cahaya ini, ditulis dengan setting daerah
Kepulauan Riau sampai ke pantai timur semenanjung Malaysia, dengan latar belakang sejarah Kerajaan Melayu
Riau Lingga…Bulang Cahaya: 1.
Selain di Kepulauan Riau, latar lain yang digunakan pengarang adalah di Kelang. Di tempat itulah Raja Djaafar beserta istri dan anaknya tinggal
sejak Raja Djaafar meninggalkan Riau lima tahun yang lalu. Di Kelang pun, Djafaar sudah berkali-kali menceritakan
kabar itu kepada kerabat dekatnya.” …... Bulang Cahaya: 22.
Latar tempat yang lain adalah di Kampung Bulang, Kota Piring, Tanjung Unggat. Tempat itu merupakan letak kampungnya Tengku
Buntat. Sosok Kampung Bulang, Kota Piring, Tanjung Unggat, dan
kampung-kampung kecil yang sudah lama ditinggalkan itu, tiba-tiba muncul satu per satu…
Bulang Cahaya: 30.
Latar tempat lain yang digunakan pengarang adalah di Malaka. Di situlah ayah Raja Djafaar yaitu Raja Haji bertempur dengan Belanda
untuk merebut Malaka dari tangan Belanda.
commit to user
102
Subuh, sebelum selepas kemenangan itu, setelah rencana menyerang Malaka disetujui, ayahnya dan seluruh armada
Riau bertolak lagi ke Malaka… Bulang Cahaya: 82.
2 Latar Waktu
Latar waktu dalam novel ini adalah pada petang hari pukul lima sore. Saat itu, Raja Husin dengan rombongan Kerajaan Riau tiba di Kelang.
Raja Husin tiba pukul 5 petang dengan rombongan Kerajaan Riau lebih sepuluh orang…
Bulang Cahaya: 25.
Latar waktu dalam novel ini juga terjadi pada siang hari tepatnya saat Raja .
Pada suatu siang, sehabis gemuruh tembakan meriam, terdengar pekikan yang riuh rendah. “Hore…hore…kita
menang…Hari itu sudah hampir setahun perang berlangsung. Bulang Cahaya: 77.
Latar waktu juga terjadi sehabis Magrib. Saat itu Sultan Mahmudsyah telah sampai di Balairung beserta semua para pembesar negeri dan kedua
putra mahkotanya. Sehabis Magrib, Yang Dipertuan Besar Mahmudsyah sampai
di balairung. Para pembesar negeri semuanya menghadap dan beratur di majelis itu. Mahmud duduk di singgasananya. Dua
Tengku Besar atau putra mahkota, yaitu Tengku Husin dan Raja Abdul Rahman juga hadir. Hanya Temenggung dan
bendahara yang tidak tampak. Bulang Cahaya: 217.
Latar waktu dalam novel ini juga terjadi saat Subuh ketika Djaafar bangun dari tidurnya karena mendengar suara kokok ayam bertalu-talu.
commit to user
103
Menjelang Subuh Djaafar terbangun, karena kokok ayam bertalu-talu. Dia mengangkat kepala dan menyandarkan
punggungnya ke bantal peraduan yang bersusun lapis. Nyenyak sekali rupanya dia tidur, sehingga tak ingat apa pun,
termasuk mimpi-mimpinya. Dia bangkit dan berjalan menuju jendela bilik dan memandang ke arah luar istana dari celah-
celah tirai. Bulang Cahaya: 226-227.
3 Latar Sosial
Latar sosial menceritakan kehidupan sosial para tokohnya. Dalam kisah ini, latar sosial Raja Djaafar dan Raja Haji. Raja Djaafar dikisahkan
sebagai keturunan Bugis, tetapi bukan Bugis murni. Ayahnya bernama Raja Haji, merupakan keturunan Bugis Melayu dan merupakan keturunan
salah satu dari lima bangsawan Bugis Luwu. Raji Haji mempunyai gelar Raja sebagai gelar kebangsawanannya. Raja Haji Djaafar merupakan Yang
Dipertuan Muda IV Riau. Adapun ibu Raja Djaafar adalah Tengku putih, adalah keturunan anak bangsawan Johor. Raja Djaafar mempunyai gelar
Raja sebagai gelar kebangsawannya. Seperti pada kutipan berikut. Djaafar memang keturunan Bugis. Tapi bukan Bugis tulen.
Ayahnya adalah Raja Haji, juga bukan Bugis murni, karena masih mengalir darah Melayu dari sebelah ibu, Tengku
Mandak. Tapi datuknya, Daeng Celak, memang Bugis asli. Bangsawan lagi. Menurut cerita ibunya, Daeng Celak adalah
salah satu dari 5 bangsawan Bugis Luwu yang datang merantau ke semenanjung Melayu. Bulang Cahaya: 45.
4 Latar Suasana
Latar suasana yang ada dalam novel ini adalah suasana dendam dan cemburu antara pihak Melayu dan Bugis. Yakni saat pelantikan Mahmud
sebagai Sultan dari keturunan Bugis. Namun, hal itu ditentang oleh pihak
commit to user
104
Melayu. Peristiwa ini yang dianggap menjadi puncak perseteruan antara pihak Melayu dan Bugis sehingga selalu tercipta suasana dendam dan
cemburu antara kedua belah pihak. Peristiwa inilah yang selalu dianggap menjadi puncak
perseteruan antara pihak Melayu dan Bugis. Puncak dari pelanggaran terhadap sumpah setia Melayu-Bugis yang
dibuat di masa awal persekutuan mereka di Johor dahulunya. Di tengah suasana dendam dan kecemburuan itulah, Raja
Haji, ayah Djaafar memerintah sebagai Yang Dipertuan Muda, menggantikan Daeng Kemboja. .................... Raja
Djaafar dapat mengingat dengan jelas bagaimana kharisma ayahnya. Belanda sangat segan dan hormat pada ayahnya.
Karena itu utusan Belanda selalu datang ke Riau dan membawa hadiah-hadiah, atau sebaliknya ayahnya diundang
ke Malaka oleh Gubernur Malaka. Bulang Cahaya: 62-63.
Selanjutnya, dikisahkan tentang suasana muram yang dirasakan Tengku, Raja Djaafar, dan seluruh penghuni istana saat
Raja Haji meninggal saat berperang melawan Belanda untuk merebut Malaka dari tangan Belanda. Sorot mata mereka
menunjukkan suasana yang luka dan penuh dendam. ................................................................................................
Di tengah suasana muram demikian, tiba-tiba Djaafar berpikir: siapa yang harus tampil memimpin? Memimpin
perang dan pembalasan perang itu? Memimpin orang-orang yang semuanya seperti sudah kehilangan pegangan. Semua
seperti pasrah dan menyerah. “Ibu, siapa yang akan memimpin kita berperang lagi melawan Belanda? Kenapa
ananda tak boleh menggantikan ayahanda. Biarlah ananda menghadap Yang Dipertuan Besar. Biarlah ananda tewas,
agar terbalas dendam kita semua,” tiba-tiba Djaafar bersimpuh di depan lutut ibunya. Ibunya terkesima. Matanya
membesar, dan tiba-tiba dia meraung. Bulang Cahaya: 87.
commit to user
105
d. Tema