TRANSFORMASI BUDAYA MELAYU DALAM NOVEL BULANG CAHAYA KARYA RIDA K. LIAMSI
commit to user
i
TRANSFORMASI BUDAYA MELAYU DALAM NOVEL
BULANG CAHAYA
KARYA RIDA K. LIAMSI
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh:
ANA MUSFITA YERI S 840809001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
(2)
commit to user
ii(3)
commit to user
iii(4)
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Ana Musfita Yeri
NIM : S 840809001
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis berjudul Transformasi Budaya
Melayu dalam Novel Bulang Cahaya adalah benar-benar karya saya sendiri.
Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut telah diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Juni 2011 Yang membuat pernyataan,
Ana Musfita Yeri
(5)
commit to user
v
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan berbagai wujud kemenangan pada diri penulis yang berupa pikir, perasaan, dan segala kreativitas sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis in.
Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, dukungan, maupun doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu hingga terselesainya tesis ini. Penulis ucapkan kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian.
2. Prof. Drs. Suranto Tjiptowibisono, M.Sc., Ph.D., Direktur PPs UNS yang
telah memberikan izin penyusunan tesis ini.
3. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. , selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penyusunan tesis ini.
4. Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd., selaku pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.
5. Dr. Andayani, M.Pd. , selaku pembimbing II yang memberikan bimbingan
kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen di Program Pascasarjana Program Pendidikan Bahasa
Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu yang bermanfaat dan membekali penulis tentang teori-teori pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia sehingga wawasan penulis semakin luas.
(6)
commit to user
vi
7. Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana khususnya Pendidikan Bahasa
Indonesia yang telah memberikan semangat dan bertukar pikir sehingga tesis ini dapat diwujudkan.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
hingga diwujudkannya tesis ini.
Penulis berharap semoga bantuan tersebut menjadi sebuah keikhlasan yang akan membuahkan kemenangan bagi semuanya. Penulis juga berharap semoga tesis ini berguna bagi semua, khususnya untuk perkembangan dunia pendidikan di bidang kesusastraan.
Surakarta, Juni 2011 Penulis
(7)
commit to user
viiDAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TESIS ... iii
PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
ABSTRAK ... xii
ABSTRACT ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Teori ... 8
(8)
commit to user
viiiHalaman
1. Hakikat Novel ... 8
a. Pengertian Novel ... 8
b. Stuktur Novel ... 9
2. Hakikat Sosiologi Sastra ... 20
a. Pengertian Sosiologi Sastra ... 20
b. Macam-macam Sosiologi Sastra ... 24
c. Karakter dalam Sosiologi Sastra ... 26
3. Hakikat Budaya ... 27
a. Pengertian Budaya ... 27
b. Pengertian Kebudayaan ... 28
c. Wujud Kebudayaan ... 29
d. Komponen Kebudayaan ... 30
4. Hakikat Kebudayaan Melayu ... 33
a. Sejarah Kebudayaan Melayu ... 33
b. Kebudaan Melayu pada Saat Novel Ditulis ... 36
5. Hakikat Transformasi Budaya ... 36
B. Penelitian yang Relevan ... 43
C. Kerangka Berpikir ... 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 47
(9)
commit to user
ix
Halaman
B. Pendekatan Penelitian ... 47
C. Sumber Data ... 48
D. Teknik Cuplikan ... 48
E. Metode Pengumpulan Data ... 49
F. Validitas Data ... 50
G. Analisis Data ... 50
H. Prosedur Penelitian ... 52
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian ... 53
1. Struktur Novel Bulang Cahaya ... 54
a. Alur ... 54
b. Tokoh dan Penokohan ... 64
c. Latar / Setting ... 100
d. Tema ... 105
e. Sudut Pandang ... 106
2. Transformasi Budaya dalam Novel Bulan Cahaya Karya Rida K. Liamsi ... 107
a. Sosialisasi ... 107
b. Enkulturasi ... 108
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Transformasi Budaya ... 109
(10)
commit to user
x
Halaman
a. Kontak dengan Budaya Lain ... 109
b. Konflik antara Melayu dan Bugis ... 110
c. Politik dalam Berebut Kekuasaan ... 111
4. Budaya Melayu dalam Novel Bulang Cahaya karya Rida K. Liamsi ... 112
a. Transformasi Sistem Kekuasaan ... 113
b. Transformasi Budaya Turun Temurun ... 114
c. Transformasi Sistem Peralatan ... 114
d. Transformasi dalam Bidang Agama... 115
e. Transformasi dalam Bahasa ... 116
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 117
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 121
A. Simpulan ... 121
B. Implikasi ... 122
C. Saran ... 124
1. Pembaca ... 124
2. Guru Bahasa Indonesia ... 124
3. Kepala Sekolah... 124
DAFTAR PUSTAKA ... 125
(11)
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Biografi Pengarang... 129
(12)
commit to user
xiiABSTRAK
Ana Musfita Yeri. S840809001. Transformasi Budaya dalam Novel Bulang
Cahaya Karya Rida K. Liamsi. Tesis. Program Pascasarjana. Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan dan menjelaskan struktur yang
membangun novel Bulang Cahaya karya Rida K. Liamsi; (2) Mendeskripsikan
dan menjelaskan tranformasi budaya dalam novel Bulang Cahaya karya Rida K.
Liamsi; (3) Mendeskripsikan dan menjelaskan faktor yang mendorong adanya
transformasi budaya dalam novel Bulang Cahaya karya Rida K. Liamsi; dan (3)
mendeskripsikan dan menjelaskan budaya Melayu dalam novel Bulang Cahaya
karya Rida K. Liamsi.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosiologis. Data dalam penelitian berupa struktur teks dalam Novel
Bulang Cahaya karya Rida K. Liamsi. Sumber data adalah Novel Bulang Cahaya
karya Rida K. Liamsi yang diterbitkan oleh JP Book Surabaya bekerja sama dengan Yayasan Segang Pekanbaru tahun 2007, cetakan pertama dengan tebal buku 317 halaman. Teknik pengumpulan data mengikuti paradigma penelitian kualitatif. Teknik sampling yang digunakan bersifat selektif studi kepustakaan
(library research), yaitu mencatat dokumen-dokumen atau arsip yang berkaitan
erat dengan tema penelitian dan tujuannya (purpose sampling). Analisis data yang
digunakan adalah model interaktif (interactive model of analysis). Teknik ini
meliputi tiga komponen, yaitu reduksi data (data reduction), sajian data (data
display), dan penarikan simpulan (conclusion drawing).
Simpulan penelitian dikemukakan berikut ini. (1) unsur-unsur pembangun
dalam novel Bulang Cahaya ini meliputi alur flashback, tokoh utama Raja
Djaafar, latar tempat dalam novel ini adalah di daerah Kepulauan Riau sampai ke pantai timur semenanjung Malaysia dengan latar belakang sejarah Kerajaan Melayu Riau Lingga, latar waktunya siang dan sore hari, latar suasana yang digambarkan perasaan dendam, cemburu, dan saling berebut kekuasaan, tema yang diangkat dalam novel ini adalah percintaan yang tak sampai dengan dikemas dalam politik kekuasaan, sudut pandang menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu; (2) faktor yang memengaruhi transformasi budaya Melayu yaitu kontak dengan kebudayaan lain, konflik antara Melayu dan Bugis, dan politik
dalam berebut kekuasaan; (3) budaya Melayu dalam novel Bulang Cahaya ini
meliputi transformasi sistem kepercayaan, budaya turun temurun, sistem peralatan, bidang agama, serta transformasi bidang bahasa.
(13)
commit to user
xiiiABSTRACT
Ana Musfita Yeri. S840809001. The Cultural Transformation in the Novel
Entitled Bulang Cahaya Written by Rida K. Liamsi. Principal advisor : Prof.
Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Co-advisor : Dr. Andayani, M.Pd Thesis: The Graduate Program in Indonesian Language Education, Sebelas Maret University, Surakarta 2011.
The objectives of the research are to describe and explain: (1) the text
structures of the novel entitled Bulang Cahaya written by Rida K. Liamsi; (2)
factors which encourage the cultural transformation in the novel entitled Bulang
Cahaya written by Rida K. Liamsi; and (3) the Malay culture in the novel entitled
Bulang Cahaya written by Rida K. Liamsi.
This research used a descriptive qualitative research method with a sociological approach. The data of the research were the text structures in the
novel entitled Bulang Cahaya written by Rida K. Liamsi and published by JP
Book Surabaya in cooperation with Segang Foundation, Pekan Baru in 2007; the first edition consisted of 317 pages. The data were gathered in accordance with the paradigms of qualitative research; the samples of the research were taken through library research by taking notes from documents and archives related to the theme and objectives of the research. The data were then analyzed by using an interactive technique of analysis consisting of components, namely: data reduction, data display, and conclusion drawing.
The results of the research are as follows: 1) The text structures of the novel use flash back plots. In term of character, Raja Djaafar was the central character who was cunning, humorous, and slightly unconfident. Other characters were Tengku Buntat, a lady who was very much loved by Raja Djaafar and who was beautiful, graceful, charming, soft, and sensitive; Raja Husin who was a faithful friend to Raja Djaafar and who was cunning and humorous; and other supporting characters. The settings of place in the novel were from the regions in Riau island to the East Coast of Malaysian peninsula with the historical
backgrounds of the kingdoms of Melayu Riau Lingga; Kampung Bulang, Kota
Piring; and Malaka. The settings of time were dawn, noon, and afternoon. The social background told about the social life of the characters, namely that of Raja Djafaar and Raja Husin. In the story, Raja Djaafar was narrated as a Bugis descendant, but not a pure one. The settings of atmosphere in the novel were resentment and jealousy between the Malay and the Bugis. The theme of the novel was about love did not come true and was wrapped around the power and politic
(14)
commit to user
xivended up feeling resentful, which conveys a cultural point of view on a historical life of a tribe called the Malay. The point of view used in the novel was the all-knowing third person’s point of view. 2) The factors influencing the cultural transformation in the novel are as follows: (a) cultural contact with other culture, that is, from the Malay royal capital brought by the main character to Kota Bulang, Riau Island; (b) the conflict between the Malay and the Bugis which could influence the existence of the Malay culture: the Malay and the Bugis were ever united against their enemies; and (c) the politic to fight for power between the Malay and the Bugis. 3) The Malay culture in the novel includes: (a) faith transformation: the Bulang community held mystical faiths considering that the region was famous for its magic; (b) inheritance transformation: the inheritance culture was well known by the Bulang community considering that the region embraced the royal system namely the Malay kingdom; (c) equipment transformation: the equipment used was luxurious considering that the region was the royal jurisdiction; (d) religion transformation: the focus was more emphasized on the arrival of Islam; and (e) language transformation: the language used within the region influenced the development of vocabulary repertoire as indicated by the Malay vocabulary items used in each utterance by the characters in the novel
entitled Bulang Cahaya.
(15)
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan bentuk kegiatan kreatif dan produktif dalam menghasilkan sebuah karya yang memiliki nilai rasa estetis dan mencerminkan realitas sosial kemasyarakatan. Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Sebagai imajinatif, sastra berfungsi sebagai hiburan yang menyenangkan, serta dapat menambah pengalaman bagi para pembaca. Novel merupakan salah satu ragam prosa di samping cerpen dan roman yang di dalamnya terdapat peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya secara sistematis dan terstruktur. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Dengan demikian, karya sastra menggambarkan pula sikap hidup pengarang dan gejala-gejala sosial yang terjadi di sekitar mereka. Keterkaitan antara karya sastra dengan keadaan masyarakat atau lingkungan terjadi karena karya sastra merupakan hasil dialog antara pengarang dengan lingkungannya. Hal tersebut menyebabkan karya sastra yang dihasilkan pengarang akan diwarnai oleh budaya masyarakat tempat karya sastra dilahirkan.
Seorang pengarang mempunyai banyak kemungkinan di balik karya sastra yang diciptakannya. Kemungkinan tersebut adalah sikap pengarang yang mengubah pola pikir masyarakat. Sebagaimana dikatakan Sapardi Djoko Damono
(16)
commit to user
(1979:2) bahwa sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial yang dapat digunakan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Karya sastra merupakan hasil perpaduan harmonis antara kerja perasaan dan pikiran. Karya sastra tidak hanya mementingkan isi, tetapi juga tidak hanya menggunakan bentuk. Karya sastra selalu memadukan dua unsur itu daalm kesatuan yang kental. Karya sastra bersifat etis tetapi sekaligus juga estetis. Karya sastra mempunyai kemampuan lebih keras dan kuat memproses perasan-perasaan penikmatnya.
Karya sastra bukan untuk dinikmati tetapi juga dimengerti. Untuk itulah diperlukan kajian atau penelitian dan analisis mendalam mengenai karya sastra. Penelitian sastra merupakan kegiatan yang diperlukan untuk menghidupkan, mengembangkan dan mempertajam suatu ilmu. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak mengalami perkembangan. Novel termasuk karya imajinatif yang merupakan hasil rekaan pengarang, namun kadang-kadang gambaran kehidupan yang ada di dalamnya dapat dicari dalam realita kehidupan sehari-hari. Seperti ditegaskan oleh Jacob Sumardjo (1994:30) dengan pendapatnya mengenai novel yang mengalami proses pengolahan yang dilakukan oleh pengarang. Tokoh-tokoh dalam novel merupakan faktor penting yang memunculkan konflik dan akhirnya mengalirkan cerita.
Banyak anggapan bahwa karya sastra tidak bisa memberikan jaminan masa depan secara intelektual, emosional, dan finansial. dikarenakan bahasanya yang sulit dipahami maka harus dibaca berkali-kali untuk menangkap maknanya.
(17)
commit to user
Ditambah minat baca atau daya beli masyarakat terhadap buku sastra masih
rendah. Interestingly, the literature on fields of study and over – education have
so far neglected each other (Ortiz, Luis et all. 2008).
Sebuah karya sastra diperbaharui oleh latar belakang sosial budaya tempat karya sastra tersebut dihasilkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa di dalam sebuah karya sastra tergambar keadaan mayarakat di mana, oleh siapa dan kapan karya sastra tesebut ditulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat pemiliknya, walaupun tentu saja ada yang hadir dan tidak hadir. Jadi, dengan membaca sebuah karya sastra akan dapat diketahui unsur-unsur bahkan bagian-bagian dari unsur-unsur suatu kebutuhan pemilik karya tersebut.
Sementara itu, Culler (1977: 118) menegaskan, pembaca sastra harus
memiliki kompetensi kesastraan yang memadai, yakni, a set of conventions for
reading literary texs, sehingga diharapkan pembaca harus memiliki kompetensi kesusastraan yang memadai terhadap novel. Membicarakan sastra yang memiliki sifat imajinatif, kita berhadapan dengan tiga jenis (genre) sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Salah satu jenis prosa adalah novel. Sebuah novel menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Luar biasa karena dari kejadian ini terlahir konflik, suatu pertikaian, yang mengalir menggambarkan nasi mereka. Kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam novel dihidupkan oleh tokoh-tokoh yang ditampilkan, seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan persoalan-persoalan atau konflik dengan orang lain ataupun konflik yang
(18)
commit to user
terjadi dengan dirinya sendiri. Pengarang memegang peranan penting dalam penciptaan watak tokoh yang dilukiskannya dalam karya sastra.
Rida K Liamsi dalam novelnya yang berjudul Bulang Cahaya mengangkat
tema sosial budaya. Dalam karyanya yang berjudul Bulang Cahaya, ia mampu
menguraikan secara jelas tentang adanya budaya yang terjadi dalam masyarakat di Kerajaan Melayu, yang merepresentasikan etika, adab, norma, tradisi, adat-istiadat Melayu. Oleh karena itu, peneliti tertarik menjadikan novel ini sebagai topik penelitian. Terdapat beberapa peristiwa menarik yang mengarah tentang adanya
transformasi budaya Melayu dalam tokoh Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi.
Novel ini bercerita tentang salah satu bagian dari perjalanan sejarah kerajaan Lingga. Dengan menggunakan bentuk kilas-balik, cerita dimulai dari luka hati yang dialami Raja Djaafar atas keputusan politik Yang Dipertuan Besar Mahmud untuk menghentikan perang saudara antara Melayu dan Bugis. Salah satu keputusan politik itu adalah penyatuan Melayu-Bugis melalui perkawinan Tengku Butat dengan Tengku Husin, putra Sultan Mahmud. Inilah awal putusnya percintaan Raja Djaafar dengan Tengku Butat. Sambil membawa dendam kebencian dan cinta, pemuda Bugis itu hijrah ke Selangor.
Putaran nasib membawa Raka Djaafar kembali ke Riau. Ia diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda, sebuah jabatan penting yang memberi kekuasaan besar dalam roda pemerintahan kerajaan. Di sinilah Raja Djaafar berhadapan dengan problem pribadi dan tugas kerajaan. Cerita kemudian mengalir dengan pusat penceritaan jatuhnya pada tokoh Raja Djafaar. Antara kekuasaan dan cinta seperti berjalin kelindan di antara tafsir dan pemaknaan konsep kekuasaan.
(19)
commit to user
Novel Bulang Cahaya ini tidak sekadar menyodorkan fakta dan peristiwa
sejarah Kerajaan Melayu secara meyakinkan, tetapi juga menyelusupkan ideologi pengarangnya tentang posisi Melayu dan Bugis dalam perspektif historigrafi yang berimbang. Dari sini terlihat adanya transformasi budaya karena pengaruh faktor-faktor perubahan nilai yang dialami para tokoh-tokohnya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur yang membangun novel Bulang Cahaya karya Rida K
Liamsi?
2. Bagaimanakah tranformasi budaya dalam novel Bulang Cahaya karya Rida
K. Liamsi?
3. Faktor apa sajakah yang mendorong adanya transformasi budaya dalam novel
Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi?
4. Bagaimanakah budaya Melayu yang dideskripsikan dalam novel Bulang
Cahaya karya Rida K Liamsi?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur yang membangun novel Bulang
Cahaya karya Rida K Liamsi.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan tranformasi budaya dalam novel Bulang
(20)
commit to user
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan faktor yang mendorong adanya
transformasi budaya dalam novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi.
4. Mendeskripsikan dan menjelaskan budaya Melayu dalam novel Bulang
Cahaya karya Rida K Liamsi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Manfaat yang diperoleh setelah mengkaji hal-hal di atas adalah dapat
mengetahui dan menelaah apa yang telah dikaji dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian yang selanjutnya.
b. Dapat menambah khazanah penelitian sastra Indonesia khususnya
penelitian novel sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan karya sastra Indonesia.
c. Menjadi tolok ukur untuk memahami dalam mendalami karya sastra pada
umumnya dan novel Bulang Cahaya karya Rida K. Liamsi pada
khususnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pembaca
1) Memberikan manfaat bagi pembaca terhadap novel terutama
mengenai masalah transformasi budaya dan aspek sosiologi sastra.
2) Dapat meningkatkan daya apresiasi terhadap karya sastra khususnya
(21)
commit to user
b. Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengajaran sastra di sekolah sehingga dapat menambah pengetahuan di bidang sastra, khususnya novel.
c. Bagi Peneliti
1) Memberikan wawasan mengenai transformasi budaya Melayu dan
informasi tentang kehidupan budaya dan tata adat yang berlaku di Riau.
2) Dapat mengetahui perkembangan dan kesejarahan sastra Indonesia
(22)
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Novel adalah suatu karya fiksi yang menawarkan suatu dunia, yaitu dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh (penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya bersifat imajinatif (Burhan
Nurgiyantoro, 2007:4). Adapun dalam The American College Dictionary
(Tarigan, 1993:164), diterangkan bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kusut atau kacau. Sebagai suatu karya sastra, novel mengandung nilai-nilai moral yang berguna bagi pembacanya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002:37), mengemukakan bahwa novel bukan hanya alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni, yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai baik buruk (moral) kehidupan ini dan
mengarahkan kepada pembaca tentang pekerti yang baik dan budi luhur.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah jenis cerita fiksi yang mempunyai panjang tertentu dengan memasukkan berbagai unsur intrinsik di dalamnya dan bersifat imajinatif.
(23)
commit to user
b. Struktur Novel
Novel merupakan sebuah totalitas (keseluruhan) yang bersifat artistik dan memiliki bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Struktur tersebut dibedakan menjadi dua yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:23), unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Adapun tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme sastra.
Unsur-unsur intrinsik novel tersebut antara lain sebagai berikut. 1) Tema
Tema pada hakikatnya adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita, sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya itu. Panuti Sudjiman (1988:52) memberikan pengertian bahwa tema merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Dalam sebuah karya fiksi, tema
tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi membaur ke seluruh cerita, yaitu
secara implisit, maka pembaca yang harus menafsirkan sendiri.
Usaha menafsirkan tema dapat dilakukan melalui detail kejadian dan konflik yang menonjol, yaitu konflik utama cerita yang dialami, ditimbulkan kepada tokoh utama. Hal di atas menunjukkan betapa erat kaitan antara tema dan penokohan. Kaitannya dengan tema, tokoh mempunyai kedudukan yang strategis, yaitu sebagai penyampai tema, baik secara terselubung maupun terang-terangan. Adanya perbedaan tema akan menyebabkan perbedaan perlakuan tokoh cerita yang diberi tugas menyampaikan tema. Pengarang akan
(24)
commit to user
memilih tokoh-tokoh tertentu yang dirasa paling cocok untuk mendukung temanya (Burhan Nurgiyantoro, 2007:173).
Pengarang yang baik akan mampu menampilkan cerita yang bersumber pada realitas kehidupan sebagai reaksi atau saksi sejarah terhadap praktik kehidupan masyarakat. Budi Darma (dalam Herman J. Waluyo, 1995:83) menyatakan bahwa:
Pengarang yang baik adalah pengarang yang mampu menemukan hakikat manusia. Ia mempunyai kekuatan mata seperti rontgen yang mampu menembus tubuh manusia dan seperti televisi yang dapat menangkap gambar-gambar dari pemancar-pemancar yang jauh, serta menerima suara-suara masyarakat, dan bagaikan memiliki indera tambahan yang mampu menangkap getaran hati manusia yang menderita.
Tema harus mampu mengangkat ke permukaan realitas relung-relung kehidupan manusia. Mochtar Lubis (dalam Herman J. Waluyo, 1995: 83) menyatakan bahwa wilayah pengarang luas sekali, seolah-olah tanpa batas. Wilayah yang baik adalah menjelajah ke ruang dalam manusia sendiri, artinya ke berbagai batin manusia yang mempunyai berbagai permasalahan kehidupan.
2) Latar (Setting)
Latar atau setting menyangkut tempat, waktu, dan situasi yang mendukung
dalam suatu cerita. Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2007: 216), latar atau
setting adalah landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
(25)
commit to user
Latar memberi pijakan konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberi kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh terjadi. Sifat-sifat latar, dalam banyak hal akan memengaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan, sifat seseorang akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Hal tersebut dibenarkan oleh Wellek dan Warren (dalam Melani Budianta, 1993: 291) bahwa latar mungkin merupakan proyeksi kehendak tersebut, antara manusia dan alam terdapat korelasi. Latar yang baik harus benar-benar mutlak untuk menggarap karakter cerita. Latar wilayah tertentu harus menghasilkan perwatakan tokoh dan tema tertentu. Latar harus terintegrasi dengan watak, tema, gaya, dan implikasi filosofisnya.
3) Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view merupakan cara memandang yang
digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Dengan demikian, pada hakikatnya sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan atau ceritanya. Sudut pandang pada hakikatnya adalah visi pengarang yang berarti sudut pandangan yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam hal ini, tentunya harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab sebuah karya sastra sebenarnya merupakan pandangan pengarang terhadap kehidupan (Jakob Sumardjo, 1994:82).
Sudut pandang dibagi menjadi dua yaitu sudut pandang orang pertama
(26)
commit to user
sudut pandang orang pertama, pencerita sebagai salah satu tokoh dalam cerita
dalam berkisah mengacu pada dirinya sendiri dengan sebutan aku atau saya.
Apabila dalam cerita itu pencerita bertindak sebagai tokoh utama disebut
sudut pandang orang pertama tokoh utama atau Akuan-Sertaan, sedangkan
apabila pencerita menjadi tokoh bawahan yang disebut sudut pandang orang
pertama tokoh bawahan atau Akuan-Taksertaan.
Dalam sudut pandang orang ketiga, pencerita berada di luar cerita. Dalam kisahannya pencerita mengacu pada tokoh-tokoh cerita dengan menggunakan
kata ganti orang ketiga (ia, dia), atau menyebut nama tokoh. Sudut pandang
orang ketiga ada dua, yaitu orang ketiga mahatahu dan orang ketiga terbatas. Orang ketiga mahatahu, apabila pencerita mengetahui dan dapat menceritakan segala sesuatu tentang tokoh dan peristiwa yang berlaku dalam cerita, bahkan mampu mengungkap pikiran. Orang ketiga terbatas, apabila pencerita hanya dapat menceritakan apa yang dapat diamati dari luar.
4) Plot
Plot atau alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu hanya dihubungkan dari berbagai akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain (Burhan Nurgiyantoro, 2007:113). Adapun menurut Aminnudin (1987: 83), plot atau alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihindarkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Plot merupakan tulang punggung cerita sehingga keberadaannya begitu penting. Namun, tokoh-tokoh cerita akan lebih menarik perhatian pembaca.
(27)
commit to user
Pembaca terkesan pada penampilan kehidupan dan jati diri tokoh yang memang lebih banyak menjanjikan. Dalam kaitan ini, plot sekadar sarana untuk memahami perjalanan kehidupan tokoh, atau untuk menunjukkan jati diri dan kehidupan tokoh, maka perlu diplotkan perjalanan hidupnya. Seperti
pendapat MacLaughlin dan Devoodg (dalam Morawski, 2010), “Readers are
always making choices about their thingking, focusing on both stances and sometimes more on one thatn the other”. Pembaca selalu dapat menentukan pilihan tentang cara berpikir, memfokuskan cara pandangan dan kadang-kadang melebihi dari yang lain. Maksudnya, setiap pembaca memiliki cara pandang sendiri terhadap novel yang sedang dibacanya yang dapat diamati dari alurnya.
Plot atau alur tidak bisa dipaparkan begitu saja. Kejadian-kejadian dalam plot mengalami perkembangan itu disebabkan oleh konflik. Konflik dalam suatu cerita dipaparkan melalui gerak atau jalan cerita yang tersusun dari kejadian-kejadian yang saling terkait dan merupakan sebab akibat. Konflik dalam cerita dikupas menjadi elemen-elemen tertentu (Herman J. Waluyo, 1995:91).
Tahap-tahap plot atau alur, yakni exposition, inciting moment, rising
action, complication, climax, falling action, dan denoument.
(a) Exposition, yaitu paparan cerita awal. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Tingkat intensitas paparan tergantung keinginan pengarang, apakah ia akan menulis novel atau cerpen.
(28)
commit to user
(b) Inciting moment, yaitu mulai munculnya problem-problem.
Problem-problem mulai dimunculkan pengarang untuk kemudian dikembangkan.
(c) Rising action, yaitu problem dalam cerita dalam mulai meningkat dan selanjutnya terjadi konflik.
(d) Complication, yaitu saat konflik semakin ruwet.
(e) Climax merupakan puncak seluruh cerita, dan semua cerita sebelumnya ditahan untuk menonjolkan saat klimaks tersebut.
(f) Falling action, yaitu konflik yang dibangun mulai menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang.
(g) Denoument, yaitu penyelesaian atau pemecahan masalah.
Unsur-unsur plot berpusat pada konflik. Dengan adanya plot seperti di atas, pembaca dibawa ke suatu keadaan yang menegangkan, timbul suatu suspens dalam cerita. Suspens inilah yang menarik pembaca untuk mengikuti jalan cerita. Kekuatan sebuah cerita terdapat pada bagaimana seorang pengarang membawa pembacanya mengikuti timbulnya konflik dan berakhirnya konflik. Timbulnya konflik atau terbinanya plot sering berkaitan dengan watak atau tema, bahkan juga setting. Konflik dalam cerita mungkin terjadi karena watak seseorang yang begitu rupa sehingga menimbulkan konflik bagi orang lain dan lingkungannya.
5) Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam novel merupakan satu hal yang paling utama dalam cerita. Hal ini dikarenakan bahwa tokoh merupakan unsur pembangun agar sebuah
(29)
commit to user
cerita menjadi lebih menarik untuk dinikmati. Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita (Aminuddin, 1987:78). Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam tindakan.
Novel pada dasarnya mengisahkan seorang atau beberapa orang yang memerankan karakter, dan selanjutnya disebut tokoh. Tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Jadi, tokoh adalah orangnya. Dalam cerita rekaan, terdapat bermacam-macam tokoh. Berdasar cara menampilkannya, tokoh yang mendominasi jalannya cerita disebut tokoh utama.
Berdasarkan segi peranannya, tokoh dibedakan menjadi dua yaitu tokoh
utama (main character), dan tokoh tambahan (peripheral character). Tokoh
utama yaitu tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Sedangkan tokoh tambahan yaitu tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:165), istilah tokoh merujuk pada pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh, seperti ditafsirkan pembaca, lebih menunjuk kepada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi diartikan dengan perwatakan atau karakter.
(30)
commit to user
Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam sebuah cerita. Tokoh utama merupakan tokoh dengan tingkat kemunculan paling sering dan dibicarakan oleh pengarang. Tokoh tambahan adalah tokoh yang memiliki peranan penting yang kemunculannya hanyalah untuk melengkapi, melayani, dan mendukung pelaku utama. Ia merupakan tokoh yang terlalu sering muncul dan dibicarakan ala kadarnya oleh pengarang (Aminudin, 1987:79-80).
Terdapat jenis-jenis tokoh, antara lain sebagai berikut.
a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi cerita dan yang diutamakan penceritaannya. Adapun tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dan itu pun dalam porsi yang relatif pendek. Kehadiran tokoh tambahan berfungsi memperkuat karakter tokoh utama
b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendapat simpati dan empati dari pembacanya. Pembaca sering mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh tersebut dan sering terlihat secara emosional. Adapun tokoh antagonis adalah lawan dari tokoh protagonis yang menyebabkan ketegangan dan konflik terutama bagi tokoh protagonis. Tokoh antagonis tidak selalu berwujud manusia, tetapi bisa juga berwujud hal-hal di luar individualitas seseorang.
(31)
commit to user
c) Tokoh Datar dan Tokoh Bulat
Tokoh datar adalah tokoh yang memiliki suatu kualitas kepribadian tertentu atau satu sifat saja. Adapun tokoh bulat yaitu tokoh yang memiliki banyak sifat dan banyak diungkap sisi kehidupannya, kepribadiannya, dan jati dirinya
d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh statis adalah tokoh yang secara esensial tidak mengalami perubahan perwatakan sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dari plot yang dikisahkan
e) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang lebih banyak menonjolkan kualitas kebangsaannya atau pekerjaannya, atau sesuatu yang lebih bersifat mewakili. Tokoh netral adalah tokoh-tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri, semata-mata tokoh yang dihadirkan sebagai tokoh imajiner bebas, artinya tidak mewakili pihak mana pun.
Selain jenis-jenis tokoh, terdapat pula teknik pelukisan tokoh. Teknik pelukisan tokoh dapat dilakukan secara ekspositoris (langsung) atau secara dramatik (tidak langsung). Pelukisan tokoh secara ekspositoris adalah teknik tokoh dengan memberikan uraian, deskripsi, atau penjelasan secara langsung. Teknik pelukisan dramatik adalah pelukisan tokoh yang tidak dideskripsikan secara langsung baik mengenai sifat, sikap, maupun tingkah laku tokoh.
(32)
commit to user
Pada umumnya, pengarang memilih secara campuran, menggunakan teknik langsung dan teknik tidak langsung. Hal ini dirasa lebih menguntungkan karena kelemahan tiap-tiap teknik dapat ditutup dengan teknik lain.
Teknik pelukisan tokoh secara tidak langsung dapat dijelaskan melalui beberapa teknik, antara lain (1) teknik cakapan, (2) teknik tingkah laku, (3) teknik pikiran dan perasaan, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik reaksi tokoh terhadap rangsang dari luar, (6) teknik reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama, (7) teknik pelukisan latar, dan (8) teknik pelukisan fisik. (Burhan Nurgiyantoro, 2007:176-184).
Banyak sekali jenis novel dalam perkembangan sastra di Indonesia. Hawthron (1989: 141) membedakan 15 jenis novel,yaitu:
The picareque novel, the epistolary novel, the historical novel, the satirical novel, the bildungsroman (novel information or education), the roman a clef (novel with a key) the tendenzroman (thesis novel), the roman noir (gothic novel), the roman-fleuve, the roman feuilieton, science fiction, the nouveau roman (novel), metafiction, fiction.
Dengan mengidentifikasi jenis-jenis novel tersebut pada struktur sejumlah novel sastra Indonesia yang terbit pada akhir abad XX, dapat dikatakan adanya jenis novel yang memuat kearifan lokal. Kearifan lokal budaya seperti nilai-nilai luhur yang ada dalam novel wajib diajarkan dalam pembelajaran
(33)
commit to user
sastra di sekolah (Arli Parikesit, 2004). Sejalan dengan pendapatan mengenai kearifan lokal, Prasetyo Utomo (2008) mengemukakan bahwa kearifan lokal tidak dengan sendirinya membentuk sastra lokal, yang diminati masyarakat setempat, dalam kurun waktu yang terbatas. Kearifan lokal yang menjadi obsesi sastrawan secara kontemplatif, bisa jadi teks sastra yang digemari pembaca secara lintas waktu. Begitu banyak teks sastra yang ditulis dengan kekuatan kearifan lokal serupa ini dan menjadi bacaan yang tidak hanya laris, melainkan juga bermuatan nilai estetik.
Perkembangan novel sastra Indonesia selama abad XX menunjukkan ciri yang dinamis. Pengarang novel dari wilayah Sumatera memperlihatkan adanya penggabungan tiga tradisi: tradisi mereka sendiri, tradisi sastra Melayu lama, dan tradisi dari pembacaan cerita-cerita dalam bahasa Belanda (Junus, 1974: 8). Dengan kata lain, novel-novel karangan wilayah Sumatera menggabungkan tradisi naratif Barat.
Penggabungan berbagai tradisi naratif dalam novel ini sesuai dengan
pendapat Teeuw (1983: 201): The creation of the novel in modern Indonesian
literature is a complicated phenomenon which certainly cannot be reduced to a single source. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada tahun 1920-an, tetapi juga pada dekade-dekade selanjutnya.
(34)
commit to user
2. Hakikat Sosiologi Sastra
a. Pengertian Sosiologi Sastra
Teori sastra bergerak pada empat paradigma, yaitu penulis, pembaca, karya, dan kenyataan. Untuk memenuhi keempat paradigma tersebut berbagai teori muncul, salah satunya adalah sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan pendekatan dalam telaah sosiologi terhadap sastra yaitu pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan proses sosial ekonomi belaka dan pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan.
Pendapat Hegtvedt (1975: 211-224) menjelaskan tentang hubungan antara sastra dan masyarakat sangatlah jelas. Sastra adalah refleksi dari masyarakat, kekuatan dalam masyarakat, atau bagian dari kehidupan sosial. Pendapat lain menyatakan bahwa sastra itu lebih kompleks, berpotensi menangkap beragam bentuk interaksi yang ada dalam masyarakat.
Lebih lanjut diterangkan oleh Fischer yang menjelaskan tentang sosiologi sastra dengan meminjam istilah Fuegen sebagai berikut.
Fuegen: “central point is what he calls “das sociale Grundverhealtnis or basic social rapport. By this he means that literature is basically not a literary, but a social phenomenon. He claims that throught the inherent logic of it subject matter every work of literature is basically a social document. The public is confronted by this social fact, seeing the writer not any more as an outstanding person, but simply as a producer of literaryworks, and thus as type. The public complating the basic rapport of the social phenomenon literature is usually effectively influenced by the subject matter of the work of literature. It is important in Fuegen s theory that the subject matter of a work of art is an operative agent, on the one hand leveling the individual authorto the status of a type,on the other hand actively influenceing the ideas and behavior of the reading public (2009:1).
(35)
commit to user
Berdasarkan penjelasan di atas, sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan sering kali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup pada suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Sastra sering kali dikaitkan dengan situasi tertentu dalam masyarakat, misalnya dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Penelitian sosiologi sastra dilakukan untuk menjabarkan pengarah masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat. Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam mayarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan memelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial, kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialis, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing (Sapardji Djoko Damono, 1979:6).
Pendapat lain dikemukakan oleh Rushing mengenai sosiologi sastra, yaitu:
(36)
commit to user
Sociology of literature, a branch of literary study that examines the relationship between literary work and their social context, including pattern of literacy, kinds of audience, modes of pub lication and dramatic presentation, and the social class possition of authors and readers (Rushing, 2004).
Sosiologi sastra, merupakan cabang pendekatan sastra yang saling berkaitan dengan karya sastra dan konteks sosial budaya di dalamnya terdapat unsur yang dapat menjadi teladan bagi pembaca. Pengkajian karya sastra yang memfokuskan diri pada analisis hubungan antara pengarang, karya sastra dan pembaca. Hal tersebut sebagai sarana untuk memahami karya sastra dan merupakan metode dalam pengajaran karya sastra (Siegel, 2006).
Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Dengan demikian, novel, genre utama sastra dalam zaman industri ini dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial ini: hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara dan sebagainya. Dalam pengertian dokumenter murni, jelas tampak bahwa novel berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi, dan politik yang juga menjadi urusan sosiologi. Perbedaan antara sosiologi dan sastra (dalam bentuk novel) adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel sebagai genre utama sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.
(37)
commit to user
Perspektif sosiologi sastra yang pantas diperhatikan adalah pernyataan Levin (dalam Elizabeth dan Burn, 1973: 31) bahwa penelitian sosiologi sastra dapat ke arah hubungan pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya saling memengaruhi dalam hal-hal tertentu.
Hakikat sosiologi sastra menurut Laurenson adalah sebagai berikut.
Sociology is esentiality the scientific, objective study of man in society, the study of social institutions and off social processs, it seeks to answer the question of haw society is possible, haw it work, why it persists. Through a rigorous examination of the social instituion, religious, economic, political and familial, wich together constitate what is called social structur.... (1972: 11).
Pernyataan Wolf (dalam Faruk, 1994: 3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih general yang masing-masing hanya mempunyai persamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Senada dengan tersebut, Russel (1973: 529) mereview pendapat di atas dengan menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah studi tentang sarana produksi sastra, distribusi, dan studi tentang masyarakat tertentu.
Karya sastra didekati dari hal-hal yang berada di luar sastra itu sendiri (ekstrinsik) dengan memfokuskan perhatian pada latar belakang sosial budaya. Dalam ilmu sastra, pendekatan ini disebut sosiologi sastra, yaitu pendekatan sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, berhubungan dengan masyarakat yang berada di sekitar sastra itu, baik penciptanya, gambaran masyarakat yang diceritakan itu, dan pembacanya (Nurhayati, 2006).
(38)
commit to user
Adanya analisis ilmiah yang objektif ini menyebabkan bahwa seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan setiap orang. Keterkaitan karya sastra dengan masyarakat biasa disebut sosiologi sastra. Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan pendekatan sosiologi atau pendekatan sosiokulutral terhadap sastra.
b. Macam Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah suatu pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Sosiologi sastra dibagi menjadi tiga, yaitu (1) sosiologi pengarang, (2) sosiologi karya, dan (3) fungsi sosial sastra.
Sosiologi pengarang, sosiologi sastra yang membicarakan tentang posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, faktor-faktor sosial, yang bisa memengaruhi pengarang sebagai perorangan di samping memengaruhi isi karya sastranya.
Sosiologi karya, sosiologi sastra yang membicarakan masalah sosial yang terdapat dalam karya itu sendiri, bertitik tolak dari karya sastra itu sendiri. Fungsi sosial sastra, sosiologi sastra yang membicarakan permasalahan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra terhadap pembaca apakah karya sastra yang memengaruhi nilai-nilai sosial atau nilai-nilai sosial yang memengaruhi karya sastra.
(39)
commit to user
Dari berbagai pandangan teoretis dalam telaah sosiologi terhadap sastra dapat disimpulkan bahwa ada dua kecenderungan utama. Pertama, pendekatan yang didasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra, sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks sastra tidak
dianggap utama, ia hanya merupakan eppiphenomeon (gejala kedua). Kedua,
pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelahaan. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala yang di luar sastra.
Semua fakta sastra menyiratkan adanya penulis, buku, dan pembaca, atau secara umum dapat dikatakan: pencipta, karya, dan publik. Setiap fakta sastra merupakan bagian suatu sirkuit. Dengan alat transmisi yang sangat kompleks, yang merupakan bagian seni sekaligus juga teknologi dan usaha dagang, ia mengaitkan individu-individu yang jelas definisinya (atau dikenal namanya) pada suatu kolektivitas yang dapat dikatakan anonim, tetapi terbatas.
Pada semua titik sirkuit itu, kehadiran individu pencipta menimbulkan masalah interpretasi psikologis, moral, dan filsafat. Media karya menimbulkan masalah estetika, gaya bahasa, dan teknik. Adanya kolektivitas-publik menimbulkan masalah dari segi historis, politik, sosial, bahkan ekonomi. Dengan kata lain, paling tidak ada tiga ribu cara untuk membahas fakta sastra.
(40)
commit to user
Jadi, pendekatan sosiologi akan bermanfaat dan berdayaguna tinggi bila tidak melupakan faktor-faktor sosiologi serta menyadari bahwa karya sastra diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imaji.
Salah satu pendekatan teoretis sistem sosial yang lebih dikenal dibandingkan pendekatan-pendekatan yang lain adalah pendekatan yang amat berpengaruh di kalangan para ahli sosiologi selama beberapa puluh tahun terakhir ini. Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya terintegrasi di atas kata dasar ”sepakat” para anggotanya mengenai menilai, norma dan aturan kemasyarakatan tertentu yang memiliki daya dalam mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat.
Seorjono Soekamto (1990: 61) menyatakan bahwa objek sosiologi adalah masyarakat, yaitu menitikberatkan pada hubungan antarmanusia dan proses sebab akibat yang muncul dari hubungan-hubungan antarmanusia tersebut. Jadi, objek sosiologi adalah manusia yang menitikberatkan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Selain itu, juga proses sebab akibat yang tampak dari hubungan-hubungan antarmanusia tersebut.
c. Karakter dalam Sosiologi Sastra
Penelitian sosiologi sastra memerbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial atau periode tertentu (Suwardi Endraswara, 2003: 78). Hal penting dalam sosiologi sastra adalah
(41)
commit to user
konsep cermin (miror). Dalam kaitan ini sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan)
masyarakat.
Perspektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan bahwa penelitian sosiologi sastra dapat ke arah hubungan pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya akan saling memengaruhi dalam hal-hal tertentu. Pada prinsipnya, terdapat tiga macam perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, sebagai berikut.
1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di
dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan.
2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial
penulisnya.
3) Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah
dan keadaan sosial budaya.
Menurut Jabrohim (2003: 159), tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin mayarakat.
3. Hakikat Teori Budaya
a. Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
(42)
commit to user
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain (2011).
b. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata sansekerta budhayah, dari bentuk jamak kata
buddhi yang berarti budi dan akal. Ada pengertian lain mengenai asal dari kata kebudayaan yaitu suatu perkembangan dari majemuk budidaya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Jadi, kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (Koentjaraningrat, 2000:9). “Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya, serta
(43)
commit to user
menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.”
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan dari pemikiran yang dihasilkan dan dikembangkan oleh manusia sebagai daya dan usaha untuk menghasilkan karya.
c. Wujud Kebudayaan
Kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu, (1) wujud idiil, (2) wujud kelakuan, (3), dan wujud fisik. Wujud pertama adalah wujud idiil dari kebudayaan, bersifat abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Terletak di dalam
(44)
commit to user
pikiran. Suatu contoh yaitu sebuah karangan dari buku-buku hasil karya para penulis, atau bisa disimpan pada sebuag arsip, tape, koleksi microfilm, dan microfis. Fungsi dari kebudayaan idiil biasanya sebagai tata kelakuan perbuatan manusia dalam masyarakat.
Wujud kedua dari kebudayaan adalah wujud kelakuan atau sering disebut sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain berdasar waktu serta mengikuti pola-pola tertentu sesuai dengan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat kongkret terjadi di sekeliling masyarakat yang bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Wujud ini merupakan seluruh total hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Bersifat konkret, berupa benda-benda yang besar dan bergerak seperti perahu tangki minyak, candi atau hingga pada benda kecil sekalipun seperti kain batik.
d.Komponen Kebudayaan
Terdapat empat komponen dalam kebudayaan, antara lain sebagai berikut.
1) Sistem Budaya
Sistem budaya atau cultural system merupakan komponen yang
abstrak dari kebudayaan, terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir, dan keyakinan-keyakinan. Dengan
(45)
commit to user
demikian, sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan, yang sering disebut dengan adat istiadat. Dalam adat istiadat, terdapat sistem nilai budaya, sistem norma berdasar pranata-pranata dalam masyarakat yang bersangkutan. Fungsi dari sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia
2) Sistem Sosial
Sistem sosial atau social system, terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia atau tindakan-tindakan dan tingkah laku berinteraksi antar individu dalam kehidupan masyarakat. Interaksi manusia itu di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya, tetapi di pihak lain dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai dan norma-norma tersebut.
3) Sistem Kepribadian
Sistem kepribadian atau personality system, mengenai soal isi jiwa
dan watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian individu dalam suatu masyarakat meskipun berbeda-beda, tetapi dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam sistem budaya dan oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasinya melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup mulai sejak kecil. Dengan demikian, sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai sumber motivasi dari tindakan sosialnya.
4) Sistem Organik
Sistem organik atau organic system, melengkapi seluruh kerangka
(46)
commit to user
dalam organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah yang apabila dipikirkan lebih mendalam, dapat menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan gagasan-gagasan yang dicetuskannya.
Dalam sistem budaya, Parsons membaginya menjadi empat kelompok lambang sebagai berikut.
1) Lambang Konstitusi
Lambang yang mengacu pada hal-hal yang bertalian dengan kepercayaan manusia akan adanya kekuatan di luar dan di atas dirinya yang mengatur dan menentukan hidup serta kehidupan. Dalam perkembangannya, lambang ini kemudian menjadi berbagai kepercayaan seperti agama, kemudian dikaitkan dengan keburukan dan penderitaan, keterbatasan hidup manusia dan sebagainya.
2) Lambang Kognisi
Simbol yang dihasilkan manusia dalam uapayanya memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang kenyataan yang ada dalam alam semesta, sehingga kenyataan-kenyataan yang ditemui di sekeliling manusia akan dapat dimengerti dengan lebih baik.
3) Lambang Evaluasi
Lambang ini bertalian dengan nilai-nilai baik buruk, benar salah, pantas tidak pantas, dan sebagainya sesuai dengan pertimbangan anggota-anggota masyarakat sebagai perwujudan dari sistem lambang evaluasi ini.
(47)
commit to user
4) Lambang Ekspresi
Lambang yang dikaitkan dengan segala ungkapan beraneka macam perasaan dan emosi manusia. Rasa hormat, kasih sayang, benci, kecewa, iri, rasa terima kasih, dan sebagainya.
4. Hakikat Kebudayaan Melayu
a. Sejarah Kebudayaan Melayu
Sejarah kebudayaan Melayu mencakup dimensi dan wilayah geografis yang luas, dengan rentang masa yang panjang. Secara geografis, kawasan tersebut mencakup Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Thailand Selatan. Pada abad ke-7 M, orang Melayu bermigrasi dalam jumlah besar ke Madagaskar, sebuah pulau di benua Afrika. Sejak saat itu, kebudayaan Melayu juga berkembang di Madagaskar. Bahasa orang-orang keturunan Melayu di pulau ini banyak memiliki persamaan dengan bahasa Dayak Maanyan di Kalimantan. Ketika Syeikh Yusuf Tajul Khalwati diasingkan kolonial Belanda ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan), ia bersama pengikutnya mengembangkan agama Islam dan budaya Melayu. Sejak saat itu, kebudayaan Melayu berkembang pula di Afrika Selatan.
Sepanjang perjalanan sejarahnya, banyak kerajaan yang telah berdiri di kawasan Melayu ini, yang tertua adalah Koying di Jambi (abad ke-3 M) dan Kutai di Kalimantan (abad ke-4 M). Tidak menutup kemungkinan, masih ada kerajaan yang berdiri lebih awal, tetapi belum ditemukan data sejarahnya. Setelah Koying
(48)
commit to user
dan Kutai, kerajaan Melayu lainnya muncul dan tenggelam silih berganti. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut, ada yang hanya seluas kampung atau distrik kecil, tetapi ada pula yang berhasil menjadi imperium, seperti Sriwijaya di Sumatera, Indonesia. Secara kronologis, sebagian kerajaan tersebut adalah Melayu Kuno (abad ke-6 M), Sriwijaya (abad ke-7 M) dan Minangkabau (abad ke-7 M), semuanya di Indonesia; Brunei di Brunei Darussalam (abad ke-7 M); Pattani di Thailand (abad ke-11 M); Ternate (abad ke-13 M), Pasai (abad ke-13 M) dan Indragiri (abad ke-13 M), semuanya di Indonesia; Tumasik di Singapura (abad 14 M); Malaka di Malaysia (abad 14 M); Pelalawan di Indonesia (abad ke-14 M); Riau-Johor di Semenanjung Melayu (abad ke-16 M); Merina di Madagaskar (abad ke-17 M); Siak Sri Indrapura (abad ke-18 M), Riau-Lingga (abad ke-18 M) dan Serdang (abad ke-18 M), ketiganya di Indonesia.
Kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di kawasan Melayu ini selalu menjalin relasi dengan kerajaan lain yang berdiri saat itu, terutama dengan dua kekuatan besar Asia: Cina dan India. Oleh sebab itu, kerajaan-kerajaan tersebut banyak terdapat dalam catatan Cina, seperti catatan K‘ang-tai dan Wan-chen dari dinasti Wu (222-280 M) yang menceritakan tentang keberadaan kerajaan Koying di Sumatera. Selain Koying, keberadaan Sriwijaya juga banyak terdapat dalam catatan Cina. Menurut Ibnu Khaldun, kebudayaan yang besar dan kuat akan selalu memengaruhi kebudayaan yang lebih lemah. Dalam konteks ini, salah satu implikasi dari adanya relasi dengan kebudayaan besar adalah masuknya dua agama besar dari India dan Cina: Hindu dan Buddha. Maka, hampir semua kerajaan Melayu yang berdiri sebelum abad ke-10 M di Nusantara menganut dua
(49)
commit to user
agama besar ini. Seiring dengan masuknya agama Hindu-Buddha, maka berkembang pula kebudayaan yang menyertai agama ini. Orang-orang Melayu mulai mengenal huruf dan bahasa. Dari prasasti yang ditemukan, huruf yang banyak dipakai adalah Pallawa dengan bahasa Sansekerta. Namun, ada juga yang menggunakan bahasa Melayu kuno.
Selain Cina dan India, orang-orang Melayu juga memiliki relasi dagang yang baik dengan para pedagang Arab. Dengan perdagangan yang semakin intens, maka akhirnya Islam juga masuk dan menyebar di kawasan Melayu. Seiring dengan itu, huruf dan bahasa Arab juga berkembang. Berkat kreativitas orang Melayu, mereka kemudian memodifikasi huruf Arab menjadi huruf Arab Melayu (Jawi). Manuskrip-manuskrip Melayu yang ada saat ini sebagian besar ditulis dalam huruf dan bahasa Arab ini, tetapi banyak juga yang berbahasa Melayu lokal. Saat ini, pengaruh dari berbagai kekuatan budaya yang pernah menjalin relasi dengan kerajaan Melayu tampak jelas dalam kebudayaan Melayu, terutama dalam bahasa.
Pada abad ke-16 M, kolonial Eropa (Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis dan Belanda) masuk ke kawasan Melayu. Dalam perkembangannya, hampir seluruh kawasan ini tunduk pada kekuatan kolonial tersebut, bahkan banyak yang runtuh, seperti Malaka di Malaysia. Singkat kata, Kerajaan Melayu memang telah runtuh, tetapi kebudayaannya tidak akan musnah (sebagaimana dikatakan Hang Tuah, “Tak kan Melayu hilang di dunia”). Kebudayaan Melayu selalu ada dan ruhnya akan bangkit kembali, baik di daerah asalnya ataupun di kawasan lain.
(50)
commit to user
Minat dan perhatian kita terhadap budaya ini, sebenarnya refleksi dan bukti dari masih kuatnya ruh budaya Melayu tersebut dalam jiwa para pendukungnya.
b. Kebudayaan Melayu pada Saat Novel Ditulis
Muncul, berkembang, dan redupnya suatu kebudayaan sangat tergantung pada faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan sikap pendu-kung kebudayaan itu sendiri; sementara faktor eksternal berhubungan dengan penetrasi kebudayaan luar. Penetrasi kebudayaan luar merupakan konsekuensi logis dari pilihan untuk membuka relasi dengan kebudayaan lain. Namun, pengaruh dari penetrasi tersebut akan sangat tergantung pada pola respons pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Dalam kerangka pemikiran di atas, maka, redup atau berkembangnya kebudayaan Melayu akan sangat tergantung pada orang Melayu, dalam mengembangkan kebudayaannya sendiri dan merespons penetrasi kebudayaan asing. Gambaran yang paling nyata saat ini adalah hegemoni negara-negara barat terhadap dunia Melayu, yang telah membawa implikasi-implikasi tersendiri terhadap kehidupan orang-orang Melayu.
5. Hakikat Transformasi Budaya
Terjadinya suatu proses transformasi budaya telah diawali oleh para pendiri negara ini dengan menyatakan tekad untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Mencerdaskan kehidupan bangsa bermakna membawa bangsa Indonesia menuju masyarakat modern. Burhan Nurgiyantoro (2007:18) mengemukakan bahwa transformasi adalah perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Jika suatu hal atau keadaan itu
(51)
commit to user
adalah budaya, budaya itulah yang mengalami perubahan. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini (Lucian W.Pye, 1966, 2010: 30).
Perubahan akan terjadi apabila budaya tersebut masuk ke dalam kondisi atau lingkungan yang lain, atau muncul dalam kondisi dan lingkungan yang berbeda. Dengan demikian terjadinya transformasi mensyaratkan adanya pemunculan budaya tersebut ke dalam kondisi dan atau lingkungan yang lain. Oleh karena itu, jika terdapat transformasi folkor dalam karya prosa fiksi Indonesia modern, teks kesastraan yang dihasilkan dapat dipandang sebagai karya yang baru. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain, yang mungkin berupa konvesi, bentuk-bentuk formal tertentu, atau gagasan yang masih dapat dikenali (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:179). Usaha pengidentifikasian hal-hal itu dapat dilakukan dengan memperbandingkan antarteks-teks tersebut.
Transformasi budaya di Indonesia telah berlangsung atas tiga tahap, antara lain sebagai berikut.
a. Dari kebudayaan Jawa primitif ke arah terbentuknya format kebudayaan
Jawa-Hindu-Buddha.
b. Kebudayaan Jawa-Hindu-Buddha ke arah format terbentuknya kebudayaan
Jawa-Hindu-Islam (kebudayaan “lokal”).
c. Bertemunya kebudayaan “lokal" dengan kebudayaan Kolonial (Portugis,
Inggris, dan Belanda) mengalami perbedaan karakteristik. Baru pada akhir abad ke-19 mulai terjadi “dialog” antara dua kebudayaan itu yang ditandai
(52)
commit to user
oleh lahirnya Budi Utomo, Sumpah Pemuda, dan pelbagai pergolakan politik modern.
Transformasi budaya secara teoretis diartikan sebagai suatu proses ‘dialog” yang terus-menerus antara kebudayaan “lokal” dengan kebudayaan “donor”, sampai tahap tertentu membentuk proses “sintesa” dengan pelbagai wujud yang akan melahirkan “format akhir” budaya yang mantap. Dalam proses “dialog”, “sintesa” dan pembentukan “format akhir” tersebut didahului oleh proses inkulturasi dan akulturasi.
“Dialog” yang terjadi pada akhir abad ke-19 membangun perubahan sistem nilai dalam pelbagai bidang kehidupan, baik politik, pola pikir, ekonomi, gaya hidup, pendidikan hingga kebiasaan (adat). Dengan demikian, adanya pergeseran nilai estetik yang dapat dijadikan indikasi adanya proses transformasi budaya Indonesia secara keseluruhan.
Transformasi budaya dipengaruhi dengan adanya proses perubahan budaya. Menurut (Tjetjep Rohendi, 1994:37) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial dan budaya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kontak dengan Budaya Lain
Kontak dengan kebudayaan lain berarti melakukan interaksi sosial dengan kebudayaan lain. Dalam proses interaksi itulah seorang individu akan melakukan proses imitasi dengan kebudayaan yang baru yang ia hadapi. Salah satu segi positif dari proses imitasi adalah dapat mendorong seseorang untuk mematuhi
(53)
commit to user
nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi mungkin akan mengakibatkan terjadinya hal-hal negatif, biasanya hal yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang. Kontak sosial ada yang bersifat positif yang dapat mengarahkan pada suatu kerja sama, sedangkan kontak yang bersifat negatif dapat mengarahkan seseorang pada suatu pertentangan bahkan tidak terjadinya interaksi sosial.
b. Sistem Pendidikan yang Maju
Proses pengalihan kebudayaan sebagai model-model, pengetahuan, nilai-nilai, dan kepercayaan senantiasa terjadi melalui proses pendidikan. Dengan demikian, pendidikan mempunyai arti sebagai proses pengembangan kebudayaan yang dikaitkan dengan dinamika perubahan masyarakat dan kebudayaannya. Pendidikan juga membawa nilai pembaruan kebudayaan suatu proses yang bersifat kreatif.
c. Sikap Menghargai Hasil Karya Seseorang dan Keinginan-Keinginan
untuk Maju
Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju dapat mendorong terjadinya suatu perubahan budaya. Hal itu terlihat ketika kali pertama diciptakan sebuah sepeda. Sebelum diciptakannya sebuah sepeda, sebuah alat yang bisa mempercepat dan memberi kenyamanan di saat bepergian, orang mulai menghargai ciptaan tersebut. Bagi orang yang berkeinginan untuk maju akan mencoba menggunakan sepeda jika bepergian. Akan tetapi, jika orang tidak ada keinginan-keinginan untuk maju, maka tidak akan mengubah budayanya. Orang tersebut akan berjalan kaki jika bepergian.
(54)
commit to user
d. Toleransi terhadap Perbuatan-Perbuatan Menyimpang
Budaya Barat yang mulai masuk ke dalam budaya Indonesia sudah tidak bisa dihindari. Media elektronik dan massa, membantu ekspansi dari kebudayaan
tersebut. Suatu contoh, dalam sebuah acara pernikahan di gedung dengan standing
party, tamu undangan menyantap makanan dengan berdiri. Padahal dalam budaya Indonesia, hal tersebut telah melanggar norma kesopanan. Dengan demikian, perbuatan itu merupakan suatu perwujudan toleransi terhadap perbuatan yang menyimpang.
e. Sistem Lapisan-Lapisan Masyarakat yang Terbuka
Sistem lapisan masyarakat yang terbuka bisa mendorong sebuah perubahan budaya. Hal itu dikarenakan masyarakat pada lapisan bawah bisa berinteraksi bebas dan saling memengaruhi dengan lapisan masyarakat lapisan atas. Jadi, masyarakat lapisan bawah bisa melakukan imitasi kebudayaan masyarakat lapisan atas.
f. Ketidakpuasan Masyarakat terhadap Bidang-Bidang Kehidupan
Tertentu
Pada masyarakat di sekitar pesisir pantai, mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Sistem mata pencaharian mereka itu didasarkan pada letak geografis mereka yang dekat dengan laut. Akan tetapi, selaras berjalannya waktu, dari mereka pasti ada yang tidak puas dengan kehidupan mencari ikan di laut, akhirnya banyak dari mereka yang beralih profesi untuk menjadi karyawan, pedagang, atau beralih mata pencaharian yang lain.
(55)
commit to user
g. Orientasi ke Masa Depan
Sikap manusia yang mempunyai orientasi ke masa depan, mendorong suatu perubahan sosial dan budaya. Hal itu terlihat pada mulai lunturnya budaya “banyak anak banyak rejeki”. Akan tetapi, bagi orang yang memiliki orientasi ke masa depan justru akan beranggapan bahwa banyak anak akan merepotkan dalam mengatur perekonomian. Biaya sekolah semakin bertambah tiap tahunnya, belum juga diringi dengan bertambahnya biaya hidup.
h. Nilai Meningkatkan Taraf Hidup
Nilai meningkatkan taraf hidup dapat mendorong suatu perubahan budaya. Menurut Louis Leahy (dalam Johanes Mardimin, 1994: 15-17), bahwa untuk memberikan gambaran pentingnya transformasi budaya, terlebih dahulu melihat kondisi masyarakat kita sekarang ini. Dalam proses transformasi budaya ada tiga hal yang penting, yakni bidang religi, ekonomi, dan pendidikan. Ketiga bidang ini dipilih karena dipandang mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam proses transformasi budaya secara menyeluruh. Ketiga bidang tersebut, antara lain sebagai berikut.
1) Transformasi dalam Bidang Religi
Transformasi dalam bidang religi hendaknya tidak dititikberatkan pada rasionalisasi terhadap dogma-dogma agama, tetapi pada penghapusan takhayul-takhayul yang masuk di dalamnya sebagai akibat sinkretisasi di masa lampau. Sebab, tidak semua agama dapat dijelaskan secara rasional. Agama menyingkapkan fakta yang tidak dapat diterangkan secara rasional.
(56)
commit to user
2) Transformasi dalam Bidang Ekonomi
Bahwa budaya lokal berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi sudah dikemukakan oleh banyak ahli dalam berbagai disiplin. Akan tetapi, nilai-nilai budaya berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi global setelah beberapa ahli bergabung dalam sebuah seminar internasional yang
diselenggarakan di Harvard Academy for International and Area Studies,
Amerika Serikat, pada musim panas tahun 1998 (Harison, 2000: 14). Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan ekonomi tradisional di pedesaan adalah kemampuan yang lemah dalam menggalang jaringan kerjasama dengan kelembagaan modern, rendahnya kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi tekanan
dari luar (di bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan
budaya kota dan manca negara). Bagaimana mengubah seluruh pelaku sosial, baik secara individual maupun (terutama) kolektif, menjadi pelaku ekonomi atau makhluk produktif merupakan tantangan besar dalam memajukan perekonomian rakyat dan masyarakat pedesaan. Dalam kaitan ini memercepat proses transformasi kelembagaan tradisional harus dipandang sebagai instrument strategis untuk mencapai hal tersebut (Hayami, 1987: 202).
3) Transformasi dalam Bidang Pendidikan
Pendidikan di Indonesia tahap demi tahap telah melakukan perubahan-perubahan, yang meliputi perubahan struktural, isi, peran guru,
(57)
kegiatan-commit to user
kegiatan baru, dan perubahan pengelolaan sistem pendidikan. Perubahan struktural antara lain menyangkut perubahan jenjang dan penerapan kewajiban belajar pada tahap pendidikan tertentu. Karena cepatnya perkembangan ilmu, bertimbunnya informasi baru yang tumbuh secara eksponensial yang sering membuat bidang studi kedaluwarsa menyebabkan perubahan isi. Berkaitan dengan perubahan isi, terjadi pula perubahan proses belajar mengajar yang pada gilirannya juga mengubah peranan guru dan penempatan tanggung jawab kepada murid. Pendidikan, yang semula ditekankan pada aspek ingatan, diubah untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan pengamatan, analisis, dan penalaran. Permasalahan dalam belajar bukan lagi menguasai informasi yang telah didokumentasikan, melainkan bagaimana mencari informasi tersebut dengan teknik-teknik yang mutakhir.
Konsep belajar yang berjalan terus-menerus telah menggeser konsep pendidikan dari konsep sekolah menjadi konsep belajar. Sehubungan dengan perubahan-perubahan itu pula, pengelolaan sistem pendidikan pun perlu disesuaikan. Pendidikan harus dirancang sedemikian rupa untuk mengantisipasi masa depan.
B.
Penelitian yang
RelevanPriscila Fitriasih Limbong (2007) dalam makalahnya yang berjudul
“Transformasi Sejarah Melayu yang Tercermin dalam Novel Bulang Cahaya”.
(58)
commit to user
Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, mengemukakan bahwa Novel Bulang
Cahaya diadaptasi dari Tuhfat al Nafis yang merupakan mahakarya sastra sejarah
Melayu-Bugis. Novel Bulang Cahaya memiliki komposisi antara kekuasaan,
perebutan kekuasaan, dan percintaan yang berakhir tragedi dan adanya sikap etnis disajikan secara menarik dan seimbang.
Astri Winarni dalam penelitiannya berjudul “Transformasi Budaya Jawa
dalam Novel Canting (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra)”. Dikemukakan bahwa dalam penelitian di atas dideskripsikan transformasi budaya Jawa yang terjadi
dalam novel Canting. Hal itu diperkuat dengan penjelasan mengenai faktor
timbulnya budaya, dan penyelesaian terhadap timbulnya transformasi budaya
dalam novel Canting.
Persamaan yang dapat dilihat dengan kedua penelitian di atas adalah sama-sama meneliti mengenai transformasi budaya yang dikaji dari sosiologi sastra. Perbedaannya yaitu hasil Priscila Fitriasih lebih menjelaskan mengenai sejarah Melayu sedangkan penelitian ini lebih pada budaya Melayu. Adapun mengenai penelitian hasil Astri Winarni, lebih mengkaji transformasi budaya Jawanya sedangkan penelitian ini lebih pada unsur budaya Melayu.
C.
Kerangka
BerpikirSetiap novel mempunyai pembentuk sastra yang terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Dalam penelitian ini akan dianalisis kedua unsur tersebut. Unsur intrinsik yang dianalisis meliputi tema, latar, sudut pandang, plot/alur, dan tokoh serta penokohan. Adapun unsur ekstrinsik yang akan dianalisis mengenai
(59)
commit to user
sosial budaya yang akan berkaitan dengan sosiologi sastra. Keterkaitan antara karya sastra dengan keadaan masyarakat atau lingkungan terjadi karena karya sastra merupakan hasil dialog antara pengarang dengan lingkungannya. Hal tersebut menyebabkan karya sastra yang dihasilkan pengarang akan diwarnai oleh budaya masyarakat tempat karya sastra dilahirkan.
Kebudayaan Melayulah yang akan diangkat dalam analisis novel ini,
mengingat isi dari novel Bulang Cahaya berisi tentang kebudayaan-kebudayaan
yang ada di Melayu Riau. Hal tersebut akan menyebabkan adanya transformasi budaya di Indonesia. Setelah dianalisis semua unsur yang berkaitan dengan struktur pembangun novel tersebut, kebudayaan yang ada dalam novel tersebut hingga adanya transformasi budaya yang ada, barulah akan ditarik simpulan yang akan diimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya sebagai alternatif bahan ajar di SMA.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam bagan kerangka berpikir di bawah ini.
(1)
commit to user
Bulang Cahaya sebagai bahan materi ajar, apalagi khusus pada unsur
ekstrinsiknya. Dengan unsur ekstrinsik, terlihat budaya yang dapat dianalisis, khususnya budaya Melayu yang berkembang dan diangkat dalam novel tersebut.
Dan kelas XII, Novel Bulang Cahaya juga dapat dijadikan bahan ajar untuk aspek mendengarkan pembacaan novel. Mengingat diksi yang digunakan pengarang (Rida K. Liamsi) adalah diksi-diksi yang ringan, hanya dari segi nama tokoh banyak mengangkat nama-nama dengan aksen Melayu. Dari hal tersebut, siswa akan mudah memberikan tanggapan terhadap novel yang dibacakan. Penjelasan yang berkaitan dengan unsur-unsur instrinsik dari pembacaan penggalan novel juga dapat didengarkan dengan bahan ajar novel Bulang Cahaya.
Siswa dapat mengetahui unsur-unsur instrinsik yang dijelaskan dalam penggalan novel tersebut.
Dari uraian standar kompetensi yang sudah ada, implikasi pada novel
Bulang Cahaya ini ditekankan untuk siswa jenjang sekolah menengah pertama
atau atas, bergantung pada standar kompetensi yang ingin dicapai. Hal itu mengingat diksi yang dipilih dan digunakan dalam novel ini kurang sesuai dengan tingkat psikologi siswa sekolah dasar.
Mengenai faktor-faktor yang memengaruhi adanya transformasi budaya Melayu maupun budaya Melayu yang ada dalam novel Bulang Cahaya tersebut, dapat diimplikasikan pada standar kompetensi yang ada.
(2)
commit to user
C. Saran
Berkaitan dengan simpulan dan implikasi di atas, maka peneliti dapat mengajukan saran-saran sebagai berikut.
1. Pembaca
Peneliti menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, maka peneliti berharap ada kajian yang lebih mendalam yang berkaitan dengan transformasi kebudayaan Melayu.
2. Guru Bahasa Indonesia
Kajian-kajian tentang analisis novel Bulang Cahaya ini dapat menjadi alternatif untuk bahan ajar di sekolah yang berkaitan dengan kesusastraan Indonesia.
3. Kepala Sekolah
Kepala sekolah perlu memfasilitasi tersedianya bahan ajar yang lain yang berkaitan dengan kebudayaan Melayu sehingga dapat menunjang pemahaman siswa terhadap perkembangan sastra Indonesia.
(3)
commit to user
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Sinar Baru Al-Gensindo
.
Arli Parikesit. 2004. Kearifan Budaya dalam Novel.
(http://www.suarantb.com/2004/10/06/kearifan-budaya-novel/detail3.htm). Diunduh tanggal 15 Agustus 2010 pukul 20.22.
Burhan Nurgiyantoro. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. London: Routledge dan Kegan Paul.
Eiizabeth and Tom Burn. 1973. Sociology of Literature and Drama. England: Penguin Books Ltd. Harmondsworth. Middlesex.
Faruk HT. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fischer, Uve Cristian. 2009. “Pendekatan Fenomenologis Literature, Sosiologi dan Sastra Sosiologi Penelitian Sastra: Pertanyaan dari Metode dalam
Kemajuan.” Journal of Comprehensif Sociology.
(https://arjournals.annualreviews.org/actions). Diunduh tanggal 13 Agustus 2010 pukul 20.30 WIB.
Harison and Huntington. 2000. Culture Matters, How Values Shaves Human
Progress. New York: Basic Book.
Hawthron, Jeremy. 1989. Studying the Novel. London: Edwards Arnold.
Hayami, Y. dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan
Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Henry Guntur Taringan. 1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Herman J. Waluyo. 1995. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Surakarta: UNS Press.
(4)
commit to user
_________. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widya Sari.
Jabrohim (Ed). 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.
Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta:
Gramedia.
Johanes Mardimin. 1994. Jangan Tangisi Tradisi (Transformasi Budaya Menuju
Masyarakat Indonesia Modern). Yogyakarta: PT Kanisius.
Junus, Umar. 1974. Perkembangan Novel-novel Indonesia. Kuala Lumpur:
Universiti Malaya.
Karen, Hegtvedt A. 1976. “Literature and Society”. Trevor Noble-British Journal
of Sosiology. Volume 27. number 2. Page 211-224. Emory University.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lexy J. Moeleong. 1995. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdajaya.
Luarenson, Diana T. Etc. 1972. Sociology of Literature. London: Paladin Three Upper James Street.
Lucian W. Pye. 1966. Globalisasi dan Kebudayaan.
(http://itha.worpress.com/2007/09/12/globalisasi-dan-kebudayaan/). Diunduh tanggal 13 Agustus 2010 pukul 21.00
Mahyudin Al Mudra. 2010. Sejarah Kebudayaan Melayu.
(http://melayuonline.com/ind/about/dig/9). Diunduh tanggal 13 Agustus 2010 pukul 19.30.
Melani Budianta. 1993. Teori Kesusasteraan (Buku asli: Theory of Literature).
Jakarta: Gramedia.
Marowski. Cynthia M. 2010. “Transacting in the Arts of Adolescent Novel
Study: Teacher Candidates Embody Charlotte Doyle.” International
Journal of Education and The Arts. Volume 11 No 3, page 4. ISSN
(5)
commit to user
Nurhayati Harahap. 2006. “Ende Ungut-ungut Angkola Mandailing: Tinjauan Sosiologi Sastra.” Jurnal Ilmiah. Vol. 11 No.1 April 2006, h.30. Fakultas Sastra Universitas Sumatera Barat.
Panuti Sudjiman. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Priscila Fitriasih Limbong. 2007. Sejarah Transformasi Budaya dalam Novel
Bulang Cahaya. Makalah disajikan pada diskusi Buku Bulang Cahaya
karya Rida K. Liamsi. Depok. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Prasetyo Utomo. 2008. Kearifan Lokal, Estetika Sastra dan Pengajarannya.
(http://apsas.multiply.com/journal/item/304/ Kearifan_lokal_ estetika_sastra). Diunduh tanggal 15 Agustus2010 pukul 19.36.
Rachmat Djoko Pradopo. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Rushing, Robert. 2004. Theory of Literaure. Modern Critical Theory.
(http://www.answer.com/topic.sociology-of-literature). Diunduh tanggal 13 Agustus 2010 pukul 20.00.
SusselL, Norma. 1973. “The Sociology of Literature. D. Laurenson and A. Swinggewood”. Page. 282. London: Mac Gibbon & Kee. Oxford Journal.
The Review of English Studies. 1973. XXIV (93)
529-230:doi/10.19/res/XXIV93/529. 1973. Amerika. Oxford University Press.
Sapardi Djoko Damono. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Siegel, Kristi. Introdcution to Modern Literary Theory.
(http://etd.library.ums.as.id./go.php/id=jtptumsgdljournal.2006.drssuhardi. 514. Publisher). Diunduh tanggal 13 Agustus 2010 pukul 20.30.
Soerjono Soekamto. 1990. Sosiologi Sastra Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sri Widoyatiwiratmo Soekito, 1989; Anak Dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta : LP3ES
(6)
commit to user
Sutopo, H.B. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS.Press.
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra (Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta: UNY Press.
Ortiz, Luis dan Alexander Kucel. 2008. “Do Fields of Study Matter for Overeducation? The cases of Sapin and Germany.” International Journal
of Comparative Sosiology. Vol. 49, Pages 305-327. DOI:
10.1177/0020715208093079. Pompeu Fabra University, Spain.
Teeuw, A. 1983. Translation, Transformation and Indonesia Literary History dalam CD Grijins & SO Robson (eds). Cultural Contact and Textual
Interpretation. Dordrech-Holland: Foris Publications.
Tjetjep Rohendi Rohidi. 1994. Pendekatan Sistem Sosial Budaya dalam
Pendidikan. Semarang: UNNES. Press.
Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
.2011. Hakikat Budaya. (http://duniabaca.com/definisi-budaya-pengertian-kebudayaan.html) . Diunduh tanggal 2 April 2011 pukul 17.00