91
Gambar 15. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian
dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi JD-1 di TNBBS.
Gambar 16. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau
translokasi JD-2 di TNBBS.
Gambar 17. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau
translokasi JD-3 di TNGL.
Gambar 18. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau
translokasi JD-5 di TNKS.
93
Gambar 19. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau
translokasi BD-1 di KHUM.
5.3.1 Penggunaan Habitat pada Siang dan Malam
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan setiap tipe habitat utama pada siang hari dan malam hari oleh masing-masing harimau di lokasi
translokasi ada sedikit perbedaan. Harimau jantan JD-1 yang translokasikan ke TNBBS menggunakan habitat belukarhutan sekunder muda sebesar
93,6 pada siang hari dan 93,3 pada malam hari. Harimau JD-3 di TNGL menghabiskan 62,2 waktu siangnya dan 58,2 waktu malamnya di habitat
hutan pegunungan rendah. Sementara itu, harimau JD-5 menggunakan 54,1 waktu siangnya dan 62,3 waktu malamnya di habitat belukarhutan
sekunder muda. Sebaliknya, harimau betina BD-1 menggunakan 56,7 waktu siangnya dan 55,1 waktu malamnya menjelajah habitat semakhutan
sekunder muda Tabel 12.
Tabel 12. Persentase penggunaan habitattutupan vegetasi oleh harimau pada siang S dan malam M hari di masing-masing lokasi
translokasi.
Tipe habitattutupan vegetasi
Persentase frekuensi penggunaan Harimau
JD-1 Harimau
JD-3 Harimau
JD-5 Harimau
BD-1 S
M S
M S
M S
M
Pearairan 0,0
0,4 0,0
0,0 0,0
0,0 Bakau
0,1 0,2
Hutan rawa gambut Hutan dataran rendah
6,4 5,7
32,2 35,2
43,9 34,2
9,2 8,7
Hutan pegunungan rendah
62,2 58,2
1,0 0,7
17,8 17,8
Hutan pegunungan tinggi
2,0 1,9
0,6 1,1
7,5 9,2
Belukarhutan sekunder muda
93,6 93,3
3,6 4,6
54,1 62,3
56,7 55,1
Mosaik dataran rendah 0,0
0,1 0,0
0,0 0,1
0,7 8,7
8,9 Mosaik pegunungan
0,0 0,0
0,0 0,0
0,1 0,3
Dataran rendah terbuka
0,0 0,3
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
Pegunungan terbuka 0,3
0,0 Areal urban
Perkebunan skala besar
0,0 0,0
0,0 1,0
Total 100
100 100
100 100
100 100
100 N data posisi
1.351 1.601
608 673
2.679 3.287
2.949 3.167
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penggunaan habitat pada
waktu siang dan malam hari diantara individu harimau Tabel 13. Tidak adanya perbedaan ini mungkin disebabkan oleh sifat harimau yang cenderung
krepuskular, yakni aktif pada waktu peralihan antara terang dan gelap. Selain itu, hal ini mungkin juga terjadi karena harimau merupakan satwa top
predator di hutan Sumatera yang tidak memiliki kompetitor, sehingga ada alasan bagi harimau untuk memilih waktu dalam penggunaan habitat utama.
Simcharoen et al. 2008 yang mendapati bahwa macan tutul di Thailand menggunakan berbagai tipe habitat dengan proporsi yang berbeda antara
siang dan malam. Hal ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh adanya harimau yang hidup simpatrik dengan macan tutul, dimana macan tutul
menggunakan satu tipe habitat ketika harimau tidak menggunakan habitat
95 tersebut. Sunquist 1981 menyatakan bahwa macan tutul di TN Chitwan,
Nepal, aktif pada malam hari karena pola aktivitasnya mungkin dipengaruhi oleh keberadaan harimau. Begitu juga dengan macan tutul di TN Tsavo,
Kenya, yang juga aktif pada malam hari akibat adanya singa yang hidup simpatrik Hamilton 1976.
Tabel 13. Hasil uji Wilcoxon untuk melihat perbedaan penggunaan habitattutupan vegetasi oleh harimau pada siang S dan malam
M hari di masing-masing lokasi translokasi.
Harimau Lokasi
Hasil uji Wilcoxon Habitat utama penggunaan
siang dan malam JD-1
TNBBS Z= -0,211; P= 0,883
Belukarhutan sekunder muda siang= 93,6: malam= 93,3
JD-3 TNGL
Z= 0,000; P= 1,000 Hutan pegunungan rendah siang=
62,2: malam= 58,2 JD-5
TNKS Z= -0,315; P= 0,752
Hutan dataran rendah siang= 54,1: malam= 62,3
BD-1 EUM
Z= -0,135; P= 0,892 Belukarhutan sekunder muda
siang= 56,7: malam= 55,1
5.4 Model Kesesuaian Habitat 5.4.1 Penentuan Titik
Presence dan Pseudo-absence
Jumlah total titik posisi koordinat yang berhasil dikumpulkan titik presence melalui kalung GPS dari harimau BD-1 yang ditranslokasikan di
kawasan hutan Ulu Masen KHUM adalah 6.880 titik posisi. Namun, setelah diseleksi ternyata jumlah posisi harimau yang memiliki akurasi tinggi
adalah 6.116 titik. Sebanyak 3.058 titik posisi presence 50 dari jumlah total titik digunakan untuk membangun model, sedangkan 50 lainnya
digunakan untuk validasi model Gambar 20. Penyusunan model regresi logistik biner membutuhkan titik posisi
kehadiran harimau translokasi presence = 1 dan titik yang diduga tidak dikunjungi harimau pseudo-absence = 0. Penetapan titik pseudo-absence
untuk penyusunan model ataupun validasi model dilakukan secara acak menggunakan grid 30m x30m, luar poligon batas kawasan hutan Ulu Masen
dan di luar poligon daerah jelajah harimau studi yang telah diberi buffer. Jumlah titik pseudo-absence yang ditetapkan untuk menyusun model dan
validasi model masing-masing 3.058 titik. Menurut Putri 2010 pemberian buffer pada batas kawasan hutan dalam penentuan titik pseudo-absence
penting untuk menghindari termasukkannya areal-areal di luar hutan yang juga masih digunakan oleh harimau.
Gambar 20. Peta sebaran titik presence harimau translokasi yang digunakan untuk menyusun model dan validasi model.
5.4.2 Uji Multikolinearitas
Dalam analisis regresi, untuk melihat ada atau tidak adanya multikolinearitas salah satunya dapat dilihat melalui nilai Variance Inflation
Factor VIF setiap variabel bebas yang diuji Tabel 14. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada dua variabel bebas yang
memiliki nilai toleransi 0,1 dan nilai VIF 10 yaitu “jarak dari jalan” TOL=0,052; VIF=19,064 dan “jarak dari pemukiman” TOL=0,042;
VIF=23,807. Hal ini memberikan gambaran adanya multikolinearitas antara variabel bebas tersebut dengan variabel bebas lainnya. Permasalahan
97 multikolinearitas keterhubungan antar variabel bebas harus ditanggulangi
sebelum analisis data dapat dilanjutkan. Tabel 14. Hasil diagnosa multikolinearitas variabel bebas dengan VIF.
Model Collinearity Statistics
Tolerance TOL VIF
1 Constant Ketinggian
0,116 8,587
Jarak dari jalan 0,052
19,064 Jarak dari pemukiman
0,042 23,807
Jarak dari sungai 0,903
1,107 Jarak dari tepi hutan
0,701 1,426
NDVI 0,886
1,129 Kelerenganslope
0,713 1,402
Multikolinearitas dapat ditanggulangi dengan berbagai cara antara lain penggunaan informasi apriori, analisis komponen utama, analisis faktor,
penambahan data serta prosedur mengeluarkan variabel bebas eliminasi yang berkolinear ganda. Prosedur penanggulangan multikolinearitas yang
digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur eliminasi Ambagau 2010. Berdasarkan prosedur tersebut, maka ada dua variabel bebas yang harus
dikeluarkan yaitu “jarak dari jalan” dan “jarak dari pemukiman”. Dengan demikian, hanya lima variabel bebas yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk
mendapatkan model kesesuaian habitat harimau translokasi berdasarkan persamaan regresi logistik. Variabel-variabel bebas tersebut adalah
ketinggianelevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI serta kelerenganslope.
5.4.3 Analisis Regresi Logistik
Variabel bebas yang digunakan untuk membangun model regresi logistik adalah lima variabel bebas yang tidak memiliki kolinearitas ganda
berdasarkan nilai tolerasi dan nilai VIF yaitu ketinggian, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, serta kelerengan. Hasil analisis regresi logistik
biner dengan metode Enter pada SPSS 17 dengan taraf kepercayaan 95 disajikan pada Tabel 15.
Pada Tabel 15 ditunjukkan bahwa kelima variabel bebas yang dianalisis seluruhnya memiliki taraf nyata secara statistik Sig 0,05. Berdasarkan
perhitungan tersebut dapat dilihat nilai-nilai sebagai berikut: Konstanta
= -1,149 Konstanta variabel ketinggian elv
= -1,563 Konstanta variabel jarak sungai jsg
= -0,205 Konstanta variabel jarak tepi hutan jth = -1,021
Konstanta variabel NDVI ndvi = 3,724
Konstanta variabel slope slp = 0,062
Dengan demikian persamaan regresi logistik kesesuaian habitat harimau translokasi yang terbentuk adalah sebagai berikut:
Z = -1,149 - 1,563elv-0,205jsg-1,021jth+3,724ndv+0,062slp Tabel 15. Hasil analisis regresi logistik biner dengan metode Enter terhadap
variabel bebas.
B S.E.
Wald df
Sig. ExpB
Step 1a Ketinggian
-1,563 0,064
595,028 1
0,000 ,210
Sungai -,205
0,010 435,361
1 0,000
,815 Edgetepi
-1,021 0,178
32,947 1
0,000 ,360
NDVI 3,724
0,277 181,124
1 0,000
41,437 Slope
,062 0,004
285,582 1
0,000 1,064
Constant -1,149
0,171 45,010
1 0,000
,317
Selanjutnya, melalui persamaan yang terbentuk dapat diprediksi kehadiran presence harimau sumatera translokasi pada wilayah studi
sebagai berikut: 1
P = 1 + e
--1,149 - 1,563elv-0,205jsg-1,021jth+3,724ndv+0,062slp
Keterangan: P= probabilitas; e adalah bilangan alam = 2,7182818
99
Secara umum hasil analisis yang disajikan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa variabel ketinggian, jarak dari sungai dan jarak dari tepi hutan
memberikan pengaruh yang negatif terhadap model regresi yang terbentuk. Semakin tinggi, semakin jauh dari sungai serta semakin jauh satu areal dari
tepi hutan, maka semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Sementara, variabel NDVI dan kelerengan memberikan pengaruh positif terhadap model,
yang menunjukkan bahwa semakin rapat satu vegetasi semakin berhutan dan semakin curam satu areal maka semakin sesuai bagi habitat harimau.
Melalui nilai koefisien regresinya, dapat ditentukan bahwa NDVI merupakan variabel lingkungan yang paling berpengaruh pada model, sedangkan
kelerenganslope merupakan variabel yang memberi pengaruh paling kecil terhadap model yang disusun.
Areal studi di hutan Blangraweu, Ulu Masen, merupakan kawasan daratan rendah yang berpadu dengan perbukitan hingga pegunungan dengan
variasi ketinggian mulai 0 meter sampai 2.771 meter dpl Lampiran 16. Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi ketinggian tempat
atau elevasi adalah sebesar -1,563. Ini berarti semakin tinggi satu lokasi maka semakin kecil kemungkinannya bagi kehadiran harimau. Pemodelan
yang dilakukan Wibisono et al. 2011 menunjukkan bahwa harimau sumatera umumnya ditemukan pada kawasan dataran rendah. Ketinggian
merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah pegunungan Jin et al. 2008.
Adanya perbedaan ketinggian menyebabkan terjadinya variasi iklim yang berpengaruh pada keragaman jenis tumbuhan. Kawasan hutan dataran rendah
memiliki keragaman tumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran tinggi. Keragaman jenis tumbuhan pada satu kawasan berpengaruh
terhadap keragaman jenis satwa yang ada di dalamnya. Satwa mangsa utama harimau merupakan herbivora yang memerlukan tumbuhan sebagai sumber
pakan.
Dalam hasil penelitiannya, Putri 2010 menyatakan bahwa ketinggian tempat bukan merupakan faktor pembatas bagi harimau sumatera untuk
memilih habitatnya. Namun Santiapillai Ramono 1993 menjelaskan bahwa harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah
sebagai habitatnya karena hutan ini dapat mendukung biomassa hewan- hewan ungulata besar seperti babi hutan Sus scrofa, rusa sambar Rusa
unicolor dan kijang Muntiacus muntjak, yang merupakan hewan mangsa utama harimau sumatera Dinata Sugardjito 2008. Menurut Griffiths
1994, keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 meter dpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan
ketinggian 900-1.700 meter dpl. Air dipergunakan satwaliar untuk minum dan berkubang Alikodra
1990. Tersedianya sumber air juga merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup harimau Sunquist Sunquist 1989. Analisis
euclidean distance menunjukkan bahwa jarak kehadiran harimau translokasi dari sungai bervariasi antara 0
– 16.364 meter Lampiran 17. Koefisien regresi jarak dari sungai sebesar -0,205 Tabel 15, berarti bahwa semakin
jauh jarak suatu tempat dari sungai maka semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Hasil ini sesuai dengan yang ditemukan Imam et al. 2009 dan
Putri 2010 yang menyatakan bahwa semakin dekat satu areal dengan sumber air maka semakin sesuai bagi habitat harimau.
Dinata Sugardjito 2008 juga menyatakan hal yang sama bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kesesuaian habitat harimau sumatera
dengan jarak ke sungai. Menurut mereka harimau sumatera di TNKS menyukai areal-areal yang dekat alur sungai. Daerah dekat sungai merupakan
daerah yang paling banyak dimanfaatkan oleh satwa liar termasuk hewan ungulata yang menjadi mangsa utama harimau, karena kebutuhan terhadap
air dan daerah dekat sungai juga merupakan daerah aluvial yang kaya akan nutrisi. Strategi predator selalu mencari tempat-tempat hewan mangsa
berkumpul agar mudah melakukan penyergapan. Hewan mangsa biasanya berkumpul pada tempat-tempat sumber pakan yang melimpah, dimana daerah
101 pinggiran alur sungai merupakan lahan yang sangat subur untuk jenis jenis
vegetasi yang merupakan sumber pakan hewan mangsa. Harimau lebih memilih kawasan yang dekat dengan sungai agar lebih mudah melakukan
penyergapan terhadap hewan mangsa. Tempat-tempat di sekitar alur sungai mempunyai tutupan vegetasi yang rapat, sehingga sangat menguntungkan
harimau yang memburu mangsanya dengan cara serangan mendadak atau penyergapan.
Areal-areal tepi hutan edge merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting pada daerah jelajah harimau sumatera. Daerah peralihan antara
vegetasi hutan dengan areal tebuka ekoton merupakan tempat yang disukai berbagai jenis satwa ungulata untuk mencari pakan. Jarak antara kehadiran
harimau sumatera translokasi terhadap batas hutan terdekat bervariasi antara – 1.600 meter Lampiran 18. Variabel jarak dari tepi hutan pada model
regresi logistik yang tersusun menunjukkan korelasi negatif yaitu sebesar - 1,021 Tabel 15. Hal ini artinya bahwa semakin jauh jarak suatu areal dari
tepi hutan maka areal tersebut semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Keberadaan harimau translokasi pada areal-areal tepi hutan sangat erat
kaitannya dengan upaya perburuan hewan mangsa. Nahlik et al 2009 melaporkan bahwa rusa merah Cervus elaphus menggunakan areal terbuka
di dalam daerah jelajahnya sebagai tempat mencari pakan, sementara hutan dijadikannya sebagai tempat berlindung dari pemangsaan predator dan
gangguan manusia. Pada saat yang sama hutan juga memberikan perlindungan bagi rusa dari panas pada siang hari. Beberapa studi juga
melaporkan bahwa tempat-tempat yang dipilih oleh hewan ungulata, yang merupakan mangsa harimau, adalah areal-areal terbuka dan tepi-tepi hutan.
Sementara vegetasi hutan berfungsi sebagai cover untuk perlindungan Williamson Hirth 1985, Tufto et al. 1996 diacu dalam Masse Cote
2009. Sementara itu, Masse Cote 2009 menyatakan bahwa rusa mencari pakan di areal-areal tepi hutan pada kawasan dimana terdapat satwa predator,
sedangkan pada kawasan dimana tidak terdapat predator rusa dapat mencari
pakan ke tengah areal terbuka jika areal tersebut menyediakan sumber pakan bagi mereka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NDVI pada lokasi studi di kawasan hutan Blangraweu, Ulu Masen, berkisar antara -0,467 hingga 0,802
Lampiran 19. NDVI berkaitan dengan derajat kehijauan dan kandungan biomasa relatif suatu vegetasi. Hal ini memberikan gambaran bahwa lokasi
studi mayoritas merupakan kawasan berhutan lebat yang terdapat di dalam KHUM dengan sebagian kecil areal-areal terbuka perladangan dan
pemukiman di luar batas kawasan. Hasil penelitian Syartinilia Tsuyuki 2008 menunjukkan bahwa vegetasi berhutan memiliki nilai NDVI antara
0,1 – 0,7. Sementara, NDVI yang mendekati nilai 0 umumnya berhubungan
dengan tutupan awan dan nilai NDVI yang kurang dari 0 umumnya merupakan badan air atau areal tanpa vegetasi Justice et al. 1985 diacu
dalam Roger et al. 2007. Koefisien regresi NDVI sebesar 3,724 Tabel 15 memberikan korelasi
positif terhadap model regresi yang disusun. Artinya semakin tinggi kandungan biomassa relatif atau semakin tinggi derajat kehijauan suatu
vegetasi berhutan, maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa NDVI berkorelasi positif dan
berpengaruh secara signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau Caroll Larson 2008, Imam et al. 2009, Singh et al. 2009. Harimau memerlukan
vegetasi dengan tajuk yang rapat sebagai tempat berlindung dari panas matahari, beristirahat dan sebagai tempat untuk bersembunyi ketika
mengintai mangsanya. Variasi tingkat kelerengan atau slope pada area studi berkisar antara
0 datar hingga 79,4 sangat curam Lampiran 20. Analisis regresi logistik biner menunjukkan bahwa tingkat kehadiran harimau sumatera
translokasi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya nilai kelerengan. Namun dengan nilai koefisien regresi 0,062 Tabel 15 dapat diterangkan
bahwa variabel kelerengan pengaruhnya sangat kecil terhadap model regresi logistik yang dibangun. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa hasil
103 studi terdahulu yang menyatakan bahwa kelerengan atau slope tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau, baik di Sumatera maupun di India Endri 2006, Imam 2009, Singh et al. 2009.
Berbeda dengan hasil penelitian Putri 2010 di TN Bukit Tigapuluh, yang menemukan bahwa habitat harimau semakin tidak sesuai dengan
semakin meningkatnya nilai kelerengan suatu areal. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh metode pengumpulan data. Kehadiran harimau sumatera
pada penelitian Putri 2010 ditetapkan melalui data sekunder, seperti posisi penempatan camera trapping yang merekam gambar harimau, tanda kotoran,
serta tanda cakaran harimau. Penentuan lokasi kehadiran harimau dengan cara ini sangat mengandung bias, karena mungkin saja data-data kehadiran
harimau tersebut hanya mewakili areal-areal bertopografi datar atau landai saja. Sementara itu, areal-areal bertopografi curam dan sangat curam yang
sangat sulit dijangkau tidak terwakili. Data kehadiran harimau sumatera pada penelitian ini ditentukan berdasarkan data primer yang langsung diambil dari
harimau hidup melalui kalung GPS, sehingga memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih tinggi. Namun, memang data kehadiran harimau pada penelitian
ini dikumpulkan dari harimau sumatera yang ditranslokasikan ke kawasan yang didominasi dengan topografi curam dan sangat curam, sehingga tidak
dapat mewakili harimau sumatera secara keseluruhan. Seidensticker et al. 1999 menyatakan bahwa harimau cenderung lebih menyukai areal dengan
topografi datar dan bergelombang.
5.4.4 Model Spasial Kesesuaian Habitat
Peta-peta tematik masing-masing variabel bebas penyusun model regresi logistik ketinggian, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI dan
peta slope disajikan pada Lampiran 16, 17, 18, 19, dan 20. Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi pada wilayah studi, yang dihasilkan dari
penerapan model regresi logistik yang terbentuk, melalui raster calculator pada ArcGIS 9.3, dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi pada areal studi.
Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa luas keseluruhan areal yang dijadikan wilayah studi di Ulu Masen adalah 1.278,05 km
2
. Berdasarkan model yang terbangun, maka diketahui luas areal yang termasuk kelas
“kurang sesuai” adalah 112,9 km
2
8,84, kelas “sesuai” seluas 566,39 km
2
44,32 dan kelas “sangat sesuai” sebagai habitat harimau sumatera luasnya 598,76 km
2
46,85. Pada peta yang terbentuk juga dapat dilihat bahwa se
betulnya areal “kurang sesuai” seharusnya lebih kecil dari yang terinterpretasikan, karena “awan” pada citra terbaca sebagai areal yang
“kurang sesuai”. Areal yang kurang sesuai bagi habitat harimau umumnya
merupakan pemukiman masyarakat. Areal yang terinterpretasi sebagai areal yang sesuai bagi habitat harimau, sebagian berada di dalam kawasan hutan
Ulu Masen dan sebagian lainnya berada di hutan dan semak belukar di luar batas kawasan hutan Ulu Masen. Sementara itu, areal yang sangat sesuai
105 sebagai habitat harimau sumatera, hampir seluruhnya berada di dalam
kawasan hutan Ulu Masen.
5.4.5 Uji Kelayakan Model Regresi Logistik
Uji kelayakan model regresi logistik dengan menggunakan uji Hosmer- Lemeshow menunjukkan bahwa model dinyatakan layak dengan signifikansi
sebesar 0,233 0,05. Nilai Nagelkerke R
2
sebesar 0,302 merupakan gambaran bahwa 30,2 variabel-variabel bebas dalam model menjelaskan
varian kesesuaian habitat harimau sumatera yang ditranslokasikan Lampiran 21. Sisanya yaitu sebesar 69,8 dari model dijelaskan oleh faktor-faktor
atau variabel lain yang tidak masuk di dalam model yang terbentuk. Faktor-faktor lingkungan lainnya yang mungkin berpengaruh terhadap
kesesuaian habitat harimau, namun tidak disertakan dalam penyusunan model regresi logistik ini antara lain kelimpahan hewan mangsa utama, tingkat
gangguan manusia terhadap kawasan, serta struktur lansekap. Sunquist 2010 menyatakan bahwa mayoritas waktu aktivitas harimau digunakan
untuk mencari pakan. Rajapandian 2009 dalam pemodelannya mendapati bahwa terdapat hubungan yang erat antara kelimpahan hewan mangsa dengan
kehadiran harimau pada satu areal. Rajapandian 2009 dan Wibisono et al. 2011 melaporkan bahwa selain areal-areal yang berdekatan dengan patches
hutan, areal-areal dengan gangguan perambahan yang minimal merupakan habitat yang palin disukai harimau baik di lansekap Terai Arc maupun di
Sumatera.
5.4.6 Validasi Model
Hasil validasi model menunjukkan nilai kappa akurasi sebesar 46,6. Nilai ini menggambarkan bahwa tingkat keakuratan model kurang baik.
Menurut Landis Koch 1977, model yang baik atau akurat adalah model yang memiliki nilai kappa akurasi antara 60
– 80 karena merupakan nilai dengan akurasi tinggi memuaskan.
Uji validasi model juga menunjukkan bahwa terdapat kesalahan model dalam memprediksi suatu lokasi sebagai habitat yang kurang sesuai dimana