tingginya ancaman terhadap kelangsungan hidup harimau saat ini, para ilmuwan dan pakar konservasi percaya bahwa jumlah harimau sumatera di
alam telah mengalami penurunan yang drastis dalam beberapa dekade terakhir Wibisono Pusparini 2010. Bahkan diyakini jumlah harimau
sumatera di alam saat ini hanya tinggal sekitar 300 ekor Soehartono et al. 2007.
Kelangsungan hidup suatu populasi di alam berhubungan erat dengan demografi, genetik, serta faktor-faktor lingkungan Noss et al. 1996. Selain
itu, rendahnya angka kelahiran, tingginya angka kematian anak, tingginya tingkat ancaman, serta rendahnya populasi hewan mangsa merupakan faktor
yang mempengaruhi kepadatan populasi satu spesies di alam Alikodra 1990. Menurut Karanth et al. 2002, secara alamiah populasi harimau di
alam tergolong rendah. Di hutan daratan rendah Sumatera kepadatan populasi harimau berkisar antara 1-3 ekor100 km
2
, sedangkan di hutan dataran tinggi atau pegunungan kepadatan populasinya sekitar 1 ekor100 km
2
Santiapillai Ramono 1993. Jenis-jenis hewan mangsa yang mendukung penyebaran
populasi harimau sumatera diantaranya adalah rusa sambar, babi hutan, kijang, kancil atau napu serta beruk Franklin et al. 1999,
O‟Brien et al. 2003.
2.2 Habitat dan Daerah Jelajah
2.2.1 Habitat
Habitat adalah satu atau serangkaian komunitas biotik yang ditempati oleh satwa atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai menyediakan semua
kelengkapan habitat bagi satu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam komponen termasuk
pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup serta melangsungkan reproduksinya secara
berhasil Bailey 1984. Habitat satwaliar menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar
seperti pelindung cover atau shelter, pakan, air, tempat berkembang biak
23 dan areal teritori. Teritori merupakan suatu tempat yang dipertahankan oleh
spesies satwaliar tertentu dari gangguan spesies lainnya. Tempat berlindung cover memberikan perlindungan pada satwaliar dari kondisi cuaca yang
ekstrim ataupun predator. Berdasarkan sumber pakannya, satwaliar dapat diklasifikasikan sebagai herbivora, spermivora pemakan biji, frugivora
pemakan buah, karnivora dan sebagainya. Kadang-kadang kebiasaan makan individu spesies satwaliar tertentu sangat beragam tergantung pada kesehatan,
umur, musim, habitat dan ketersediaan pakan. Akses spesies satwaliar terhadap ketersediaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
kepadatan populasi, cuaca, kerusakan habitat dan suksesi tumbuhan Owen 1980.
Menurut Alikodra 1990, suatu habitat merupakan hasil interaksi dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas air, udara,
iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen biotik terdiri atas vegetasi, mikro fauna, makro fauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup
satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan
populasi lainnya. Harimau Pantera tigris merupakan salah satu predator terbesar yang
penyebarannya dahulu hampir meliputi seluruh daratan Asia hingga beberapa pulau di Indonesia Nowell Jackson 1996. Harimau juga merupakan
satwa teresterial yang menempati beragam tipe habitat, diantaranya hutan taiga dan boreal, hutan musim deciduous forest, hutan tropis, hutan bakau,
hutan rawa gambut, dan padang rumput aluvial Sunquist et al. 1999, Sanderson et al. 2006.
Seperti halnya subspesies harimau lainnya, harimau sumatera juga mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam,
sepanjang tersedia cukup mangsa, sumber air Schaller 1967, Sunquist Sunquist 1989, Sunquist et al. 1999 dan hutan sebagai tempat berlindung
cover, serta terhindar dari ancaman potensial. Harimau di Sumatera terdapat di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan, serta menghuni berbagai
tipe habitat mulai hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan bakau, hutan tebangan, perkebunan, hingga belukar terbuka.
Namun, harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya karena hutan ini dapat mendukung biomassa hewan-
hewan ungulata besar Santiapillai Ramono 1993, seperti babi hutan Sus scrofa, rusa sambar Rusa unicolor dan kijang Muntiacus muntjak yang
merupakan hewan mangsa harimau sumatera Dinata Sugardjito 2008. Menurut Griffiths 1994, keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di
hutan dengan ketinggian 100-600 meter dpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 900-1.700 meter dpl. Kajian Dinata Sugardjito
2008 menunjukkan bahwa habitat hutan yang dekat dengan alur sungai, aman dari perburuan hewan mangsa serta bebas dari kegiatan penebangan
pohon, seprtinya merupakan merupakan lokasi yang ideal bagi kehidupan harimau sumatera.
Kehilangan habitat Kinnaird et al. 2003, Linkie et al. 2003 dan perburuan untuk perdagangan bagian-bagian tubuh harimau Kenney et al.
1994, Plowden Blowes 1997 telah menyebabkan penyebaran dan populasi harimau sumatera menurun, serta telah membuat harimau sumatera semakin
terdesak pada sisa-sisa habitat hutan yang ada. Bahkan diduga kuat hal tersebut juga yang telah mengakibatkan dua subpesies harimau jawa dan
harimau bali menjadi punah di alam Sunquist et al. 1999.
2.2.2 Daerah Jelajah
Daerah jelajah atau home range adalah satu wilayah yang biasa dikunjungi dan digunakan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas satwaliar
Owen 1980. Daerah jelajah ini merupakan wilayah yang secara tetap dikunjungi satwaliar karena dapat mensuplai makanan, minuman, serta
mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur serta tempat kawin Boughey 1973, Pyke 1983. Owen 1980 juga
menyatakan bahwa daerah jelajah satu individu satwaliar dapat diketahui melalui penangkapan, penandaan, dan pelepasan kembali satwaliar tersebut.