Space use and habitat suitability model for post translocation sumatran tigers (Panthera tigris sumatrae, Pocock, 1929) based on monitoring of GPS collars

(1)

POLA PENGGUNAAN RUANG

DAN MODEL KESESUAIAN HABITAT

HARIMAU SUMATERA (

Panthera tigris sumatrae

Pocock, 1929)

PASCA TRANSLOKASI BERDASARKAN

PEMANTAUAN KALUNG GPS

DOLLY PRIATNA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

for my wife (Iin) and my children (Azka, Nisa and Kiky), who colouring my life and always motivate me to be a better

for the nature, what needs to always be considered in doing anything


(4)

(5)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pola Penggunaan Ruang dan Model Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Pasca Translokasi Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012 Dolly Priatna NIM E361070021


(6)

(7)

ABSTRACT

DOLLY PRIATNA. Space Use and Habitat Suitability Model for Post Translocation Sumatran Tigers (Panthera tigris sumatrae, Pocock, 1929) Based on Monitoring of GPS Collars. Under the direction of YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO and AGUS PRIYONO KARTONO.

Panthera tigris sumatrae is the last remaining Indonesian tiger after its relatives, the Bali and Javan tigers, became extinct in 1940s and 1980s respectively. Although translocation has been employed in mitigating human-tiger conflict in Sumatra for the last decade, the behavioral ecology of post-release animals is still poorly understood. Furthermore, the spatial modelling of tiger behavior based on global positioning system (GPS) collar tracking has never been done before. This information is urgently needed for improving Sumatran tiger translocation in the future. In this study we examine the movement and home range, activity pattern, and habitat selection of translocated tigers, as well as construct a habitat suitability model for identifying appropriate sites for future tiger translocation in Ulu Masen forest. Between July 2008 and December 2010 we translocated six Sumatran tigers, five males and one female. All tigers were fitted with GPS collars which were set to fix 24-48 location coordinates per day. The logistic regression equation was used to produce the habitat suitability prediction models and the tiger distribution map was overlaid with data on the relative abundance of tiger prey to determine suitable sites for future translocation. The mean distance traveled by the tigers varies from 2.8 to 4.0 km per day, but the female moved further than the males. In general, there was no difference in the mean distance traveled between day-time and night-time among the males, but the female traveled further in the day-time than during night-time. The length of time needed by each tiger to establish home range was significantly affected by the abundance of local tigers already in the area. The home range of each individual tiger, estimated using 95% fixed kernel, varies between 37.5 km2 and 188.1 km2 for males while for the female it was 376.8 km2. The most active period for translocated tigers is in the evening between 6 and 10 pm. However, on certain occasions, the tigers are most active in the morning between 6 and 10 am. The translocated tigers tend to range across all natural land cover types within the landscape, but forest availability within the landscape remains important for their survival. However, it seems that all translocated tigers prefer to conduct their daily activity within the mozaic landscape of lowland forest and regrowth vegetation. Modelling has shown that elevation, distance from rivers, distance from the edge of the forest, density of the forest canopy, and the slope of the terrain significantly influence the habitat model. Extrapolation of the model to the whole area of Ulu Masen forest (7,496.86 km2) has indentified 23.5% of the area as highly suitable habitat, 71.5% as suitable habitat, and 5.0% as less suitable habitat for the Sumatran tiger. It is also predicted that 5.2% of the ecosystem is highly suitable for future tiger translocation. Despite being preliminary, the findings of this study, the first ever conducted in Sumatra, highlight the conservation value of tiger translocation and provide valuable information for improving future translocation of rescued tigers. Key words: GPS collars, habitat suitability model, habitat use, ranging pattern, Sumatran tiger, translocation.


(8)

(9)

RINGKASAN

DOLLY PRIATNA. Pola Penggunaan Ruang dan Model Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Pasca Translokasi Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Indonesia pernah memiliki tiga dari sembilan subspesies harimau yang ada di dunia. Namun, saat ini harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu-satunya yang masih bertahan hidup setelah dua kerabat dekatnya, yakni harimau bali (P. t. balica) dan harimau jawa (P. t. sondaica), dinyatakan punah pada tahun 1940-an d1940-an 1980-1940-an. Selain itu, kondisi populasinya juga s1940-angat memperihatink1940-an karena jumlahnya diduga terus menurun, dan di alam diperkirakan hanya tersisa sekitar 300 ekor.

Meski translokasi telah digunakan dalam mengurangi konflik konservasi harimau (konflik konservasi harimau dengan kepentingan manusia) selama dekade terakhir ini, namun ekologi perilaku harimau pasca peliarannya masih belum difahami. Demikian pula pemodelan spasial berdasarkan data posisi harimau yang dikumpulkan melalui Global Positioning System collars (kalung GPS) belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal, informasi-informasi tersebut sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan pemilihan lokasi translokasi harimau sumatera di masa depan. Studi ini bertujuan mengkaji pergerakan, daerah jelajah, pola aktivitas, dan pemilihan habitat oleh harimau translokasi, serta membangun model kesesuaian habitat untuk mengidentifikasi areal-areal yang cocok untuk translokasi harimau pada masa yang akan datang.

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, yaitu pengambilan data koordinat posisi yang dikumpulkan melalui kalung GPS yang dipasangkan pada enam individu harimau, yang ditranslokasikan ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Lampung, Kerinci Seblat (TNKS) di Sumatera Barat, serta ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan kawasan hutan Ulu Masen (KHUM) di Aceh. Tahap kedua, yaitu pengumpulan data pendukung yang diperlukan dalam penyusunan model kesesuaian habitat harimau, dilaksanakan di areal hutan Blangraweu, KHUM. Observasi lapangan juga dilakukan guna memvalidasi data areal contoh tutupan lahan. Pengumpulan data posisi harimau yang ditranslokasikan dilakukan sejak Juli 2008-Agustus 2011; sedangkan observasi lapangan dilakukan sejak 2009-Juni 2010.

Enam harimau sumatera yang ditranslokasikan dipasangi kalung GPS (Televilt, Lindesberg, Sweden; Argos/Sirtrack Ltd, Hawkes Bay, New Zealand), yang telah ditetapkan untuk beroperasi selama 1-2 tahun dan mengambil sebanyak 24-48 posisi koordinat setiap harinya. Data koordinat posisi ditransmisikan secara berkala ke satu alat penerima melalui satelit, yang kemudian dikirimkan ke alamat email pengamat. Seluruh kalung GPS yang terpasang pada harimau tersebut telah diprogram untuk terlepas secara otomatis (auto released) ketika masa kerjanya habis. Data yang digunakan untuk menghitung kelimpahan relatif (KR) harimau lokal dan hewan mangsa utama (babi, rusa dan kijang) pada setiap lokasi translokasi, merupakan hasil survey transek sign yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program di TNBBS pada Januari 2008, Yayasan Leuser Internasional


(10)

(YLI) di TNGL pada Juli-Agustus 2008, serta Fauna & Flora International (FFI) Indonesia di TNKS (Juli-Agustus 2008) dan di KHUM (Agustus 2008-Juni 2009).

Uji Mann-Whitney digunakan untuk membedakan jarak tempuh harian jantan dan betina, uji Wilcoxon untuk membedakan jarak pergerakan siang dan malam, sedangkan uji Chi-square dan Neu digunakan untuk menduga waktu paling aktif harimau. Untuk mendapatkan ukuran daerah jelajah harimau, data posisi dianalisis metode Minimum Convex Polygon (MCP) dan Fixed Kernel (FK). Selanjutnya uji korelasi Spearman digunakan untuk menentukan faktor lingkungan yang mempengaruhi lamanya waktu membangun daerah jelajah dan ukuran daerah jelajah harimau. Data koordinat posisi setiap harimau ditumpang-susunkan (overlay) dengan peta tipe tutupan vegetasi Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) resolusi 250 meter tahun 2010, kemudian dilakukan uji Chi-square dan Neu untuk menduga preferensi harimau terhadap habitat tertentu. Uji Wilcoxon digunakan untuk membedakan penggunaan habitat siang dan malam hari.

Pemodelan kesesuaian habitat hanya dilakukan berdasarkan data posisi kalung GPS harimau betina yang ditranslokasikan di KHUM, karena tingkat akuisisi dan proporsi data akuratnya tertinggi. Sebanyak 50% dari data posisi yang terkumpul digunakan untuk menentukan areal presence dan 50% data lainnya digunakan untuk validasi model. Titik pseudo-absence ditentukan berdasarkan pengacakan titik posisi menggunakan ekstensi Hawthstool pada ArcGIS 9.3, pada areal di luar poligon KHUM dan daerah jelajah harimau betina studi yang telah diberi buffer. Variabel-variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah elevasi dan kelerengan/slope yang didapat dari peta radar Aster Global Digital Elevation Model (GDEM), jarak posisi harimau dari sungai, jarak dari pemukiman dan jarak dari jalan yang didapat dari peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50:000 yang diproses dengan euclidean distance. Variabel jarak dari tepi hutan diperoleh dari peta tutupan kawasan hutan/non hutan yang diproses dengan euclidean distance, dan kerapatan tajuk direpresentasikan melalui nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Peta tutupan kawasan hutan/non hutan dan tutupan lahan/vegetasi dibuat dari citra Landsat 5-TM menggunakan Erdas Imagine 9.1 yang dilanjutkan dengan pembuatan peta NDVI. Setiap peta di-overlay dengan data posisi harimau dari kalung GPS untuk mendapatkan nilai setiap variabel bebas, untuk menduga variabel terikat berupa kehadiran/ketidak-hadiran harimau. Uji Variance Inflation Factor (VIF) untuk menentukan multikolinearitas masing-masing variabel bebas. Analisis regresi logistik digunakan untuk menentukan persamaan regresi dan peluang penggunaan habitat, yang dilanjutkan dengan analisis spasial dengan memasukkan persamaan regresi logistik yang terbentuk pada raster calculator ArcGIS 9.3. Setelah model dinyatakan layak kemudian dilakukan ekstrapolasi model spasial ke seluruh KHUM. Areal-areal yang sesuai untuk lokasi translokasi mendatang di KHUM, diperoleh dengan melakukan overlay peta kesesuaian habitat harimau hasil ekstrapolasi dengan peta kesesuaian lokasi translokasi, yang dibuat berdasarkan KR harimau lokal dan hewan mangsa utama.

Harimau sumatera JD-1 dan JD-2 yang dilepas-liarkan di TNBBS, diamati pergerakannya selama masing-masing 224 hari (menghasilkan 3.469 data posisi) dan 253 hari (1.288 data posisi). Harimau BD-1 yang ditranslokasikan ke KHUM diobservasi selama 213 hari (6.680 data posisi), namun kemudian diketahui juga mati akibat terjerat di sebuah ladang di pinggir hutan setelah kalung GPS-nya bekerja selama 7 bulan. Harimau JD-3 di TNGL diamati pergerakannya selama 79 hari


(11)

(1.486 data posisi), dan harimau JD-5 di TNKS dipantau selama 238 hari pengamatan (7.007 data posisi). Kalung GPS yang pasang pada harimau JD-1, JD-3 dan JD-5 rusak setelah masing-masing beroperasi selama 7,5 bulan, 2,5 bulan dan 8 bulan. Kalung GPS pada JD-2 terlepas secara otomatis sesuai rencana setelah 8,5 bulan beroperasi. Sedangkan harimau JD-4 yang ditranslokasikan ke TNKS, ditemukan mati terperangkap jerat di dalam kawasan taman nasional tersebut.

Rata-rata jarak tempuh harimau bervariasi antara 2,8-4,0 km per hari, namun betina menempuh jarak yang lebih panjang dari jantan. Secara umum, pada jantan tidak ditemukan perbedaan jarak tempuh antara siang dan malam hari. Bentuk lintasan atau trajektorinya zig-zag dan garis lurus serta berkeliling mengunjungi areal-areal yang pernah didatangi sebelumnya. Pergerakan dan penjelajahan harimau kebanyakan dilakukan pada areal-areal tepi hutan atau batas antara dua tipe vegetasi, terutama pada batas-batas antara vegetasi hutan alam dataran rendah dan belukar/hutan sekunder muda.

Harimau yang ditranslokasikan membutuhkan waktu antara 8-17 minggu untuk membangun daerah jelajah tetapnya. Lama waktu yang dibutuhkan harimau dalam penetapan daerah jelajah, dipengaruhi oleh kelimpahan harimau lokal yang lebih dahulu mendiami areal pelepas-liaran. Namun, meski tidak terbukti secara signifikan, ada kecenderungan bahwa umur harimau ketika dilepas-liarkan serta kelimpahan hewan mangsa utama di areal pelepas-liaran turut mempengaruhi lamanya waktu penetapan daerah jelajah. Selain itu, perbedaan karakteristik daerah jelajah harimau di tempat asal dengan di areal translokasi, mungkin juga turut mempengaruhi lamanya waktu penetapan tersebut.

Menggunakan metode 95% Fixed Kernel diperkirakan ukuran daerah jelajah jantan antara 37,5 km2 dan 188,1 km2 dan betina 376,8 km2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, tidak semua harimau translokasi menjadikan areal pelepas-liarannya sebagai bagian dari daerah jelajahnya. Dua dari lima harimau translokasi yang diamati, membangun daerah jelajahnya pada jarak 4,06 km dan 14,64 km dari lokasi dimana mereka dilepas-liarkan. Karakteristik habitat yang disukai harimau translokasi adalah lansekap mosaik perpaduan antara hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, yang berada pada elevasi di bawah 1.000 meter dpl dan dengan topografi datar hingga landai. Harimau sumatera translokasi menggunakan habitat utama dengan proporsi yang sama baik pada siang maupun malam hari, namun waktu paling aktif harimau adalah sore hingga malam hari yaitu antara pukul 14.00-22.00 WIB setiap harinya. Pada situasi tertentu harimau translokasi juga dapat melakukan aktivitasnya pada pagi hari (06.00-10.00 WIB).

Pemodelan kesesuaian habitat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan seperti elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI dan kelerengan memberikan pengaruh yang nyata terhadap model yang dibangun. Ekstrapolasi model pada seluruh KHUM yang luasnya 7.496,86 km2 telah mengidentifikasi 23,5% kawasan sebagai habitat sangat sesuai, 71,5% sebagai habitat sesuai, dan 5,0% sebagai habitat kurang sesuai untuk harimau. Diprediksi juga bahwa di KHUM terdapat 388,1 km2 (5,2% luas total kawasan) areal yang diduga sangat sesuai, dan 2.135,67 km2 (28,5%) areal yang sesuai untuk lokasi translokasi harimau sumatera.

Penelitian ini merupakan studi ekologi perilaku harimau pertama di Indonesia yang memanfaatkan teknologi kalung GPS pada satwa, sehingga informasi yang dihasilkan merupakan sesuatu yang berharga, serta menjawab beberapa hal yang


(12)

selama ini menjadi prediksi atau dugaan tentang perilaku harimau sumatera. Meski informasi dasar dihasilkan dari harimau sumatera yang ditranslokasikan, sehingga pada beberapa hal seperti pendugaan luas daerah jelajah mengandung bias, namun dalam beberapa hal lain menjadi pengetahuan baru yang amat berharga.

Areal yang didominasi oleh hutan dataran rendah dan vegetasi belukar/hutan sekunder muda merupakan lansekap yang sangat penting bagi kelangsungan hidup harimau sumatera. Sehingga, harus segera dilakukan upaya untuk mengurangi tekanan/konversi terhadap hutan dataran rendah yang tersisa, serta upaya untuk mencegah perburuan hewan yang menjadi mangsa harimau pada habitat belukar/hutan sekunder muda yang berbatasan langsung dengan hutan dataran rendah di Sumatera. Hal ini penting untuk menjaga kelangsungan hidup harimau sumatera, serta untuk mencegah dan mengurangi konflik antara manusia dengan harimau di Sumatera.

Perlu kajian yang komprehensif sebelum menetapkan satu kawasan sebagai lokasi translokasi. Kajian tersebut harus meliputi ketersediaan lansekap mosaik hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, ketersediaan hewan mangsa utama yang cukup, serta keberadaan dan struktur demografi harimau lokal di calon lokasi pelepas-liaran. Mengingat beberapa harimau sumatera yang ditranslokasikan terbunuh akibat jerat (baik yang dipasang masyarakat untuk menjaga ladang dari hama babi hutan maupun yang sengaja dipasang pemburu), maka sangat penting untuk memastikan bahwa calon lokasi translokasi juga terbebas dari gangguan manusia yang dapat membahayakan harimau. Sebagai tambahan, kajian sosial tentang penerimaan masyarakat yang tinggal berdampingan dengan calon lokasi translokasi juga sangat diperlukan sebelum translokasi harimau dilakukan.

Dengan adanya kecenderungan bahwa semua harimau yang ditranslokasikan akan kembali mencari dan mengarah pada lansekap campuran antara hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, maka tidak diperlukan adanya translokasi harimau yang berbiaya sangat mahal ke lokasi-lokasi yang terpencil di daerah pegunungan karena hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan.

Dengan dihasilkannya model spasial kesesuaian habitat (meskipun model yang digunakan belum tepat), serta teridentifikasinya beberapa areal yang dapat dijadikan sebagai lokasi translokasi harimau di KHUM, paling tidak hasil ini dapat dijadikan panduan bagi pihak berwenang apabila akan melaksanakan kegiatan translokasi harimau pada masa yang akan datang.

Kata kunci: harimau sumatera, kalung GPS, model kesesuaian habitat, penggunaan habitat, pola penjelajahan, translokasi.


(13)

© Hak Cipta milik IPB tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(14)

(15)

POLA PENGGUNAAN RUANG

DAN MODEL KESESUAIAN HABITAT

HARIMAU SUMATERA (

Panthera tigris sumatrae

Pocock, 1929)

PASCA TRANSLOKASI BERDASARKAN

PEMANTAUAN KALUNG GPS

DOLLY PRIATNA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(16)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Jatna Supriatna, MSc.

Prof. Dr. Ir. Sambas Basyuni, MS.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Novianto Bambang Wawandono, MSi. Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.


(17)

Judul Disertasi : Pola Penggunaan Ruang dan Model Kesesuaian Habitat

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Pasca Translokasi Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS Nama : Dolly Priatna

NIM : E361070021

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. Ketua

Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, MSc. Dr. Ir. Agus P. Kartono, MSi.

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasacasarjana

Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof. Dr. Ir. Ervizal AM. Zuhud, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah MSc.Agr.


(18)

(19)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 hingga Agustus 2011 ini adalah habitat dan pemodelan, dengan judul Pola Penggunaan Ruang dan Model Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) Pasca Translokasi Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS.

Penelitian ini merupakan satu wujud kepedulian dan keperihatinan penulis terhadap harimau sumatera yang merupakan satwa kharismatik namun terancam punah, memiliki peran penting dalam tatanan ekosistem hutan, serta penting bagi kehidupan manusia.

Disertasi ini tidak mugkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan, dukungan, pengorbanan (baik waktu, materi, tenaga maupun pemikiran), serta do’a dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada:

1. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA., Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc., dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang senantiasa mendorong serta selalu meluangkan waktunya dalam membimbing penulis sejak penyusunan proposal penelitian hingga terselesaikannya karya ilmiah ini.

2. Prof. Dr. Ervizal AM. Zuhud, MS. dan Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, MSc., selaku ketua dan sekretaris Program Studi KVT, yang tiada hentinya memberikan semangat untuk penyelesaian disertasi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Sambas Basyuni, MS. dan Dr. Ligaya ITA Tumbelaka, MSc., yang telah memperkaya proposal penelitian.

4. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS., Dr. Ir. AM. Thohari, MSc., Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS., Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, MSi., Dr. Ir. Agus Hikmat, MScF., Dr. drh. Erna Suzana, serta civitas Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika IPB, atas ilmu-ilmu dan pengajarannya. 5. Dekan serta seluruh civitas Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah

menerima penulis untuk berinteraksi dan menempuh pendidikan serta mengembangkan kemampuan.

6. Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan RI, khususnya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, atas kesempatan yang diberikan untuk turut berperan menangani translokasi harimau sumatera. 7. Theresa Chipman dan The 10th Duke of Rutland Memorial Conservation

Trust, atas beasiswa yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan. 8. Conservation Leadership Program, Idea Wild, FFI Aceh dan ZSL

Indonesia, yang telah memberikan dukungan finansial dan menyumbangkan peralatan untuk penelitian di Ulu Masen.

9. Artha Graha Peduli, Taman Safari Indonesia, Forum HarimauKita, BKSDA Lampung, BBTN Bukit Barisan Selatan, BKSDA Aceh, BKSDA Sumatera Barat, BTN Kerinci Seblat, FFI Aceh, BPKEL, YLI,


(20)

PanEco/YEL, Veswic, FFI Kerinci, KB Bukit Tinggi, KB Sawah Lunto, dan ZSL Indonesia, yang secara bersama mendukung upaya translokasi harimau di Sumatera.

10. Australia Zoo, Denver Zoo dan ZSL, yang telah mendonasikan kalung GPS untuk kepentingan konservasi harimau sumatera yang datanya digunakan dalam karya ilmiah ini.

11. WCS Indonesia, FFI Indonesia (Program Aceh dan Kerinci) serta YLI, atas izin penggunaan data untuk mendapatkan nilai kelimpahan harimau dan hewan mangsa utamanya di lokasi-lokasi penelitian.

12. Dr. Ir. Tonny Soehartono, MSc., Tommy Winata, Tony Sumampouw, Dr. Thomas Maddox, Hariyo T. Wibisono, MSc., Ir. Kurnia Rauf, Drh. Retno Sudarwati, Andi Basrul, Mike Griffiths, GV. Reddy, Dr. Matt Linkie, Dr. Ian Singleton, Drh. Anhar Lubis, Dr. Dave Augeri, Ir. Indrawarman, Drh. Wisnu Wardana, Debbie Martyr, Bastoni, serta seluruh kolega yang terlibat dalam kegiatan translokasi harimau di Sumatera.

13. Dr. Thomas Maddox, Dr. Joseph Smith, Hario T. Wibisono, MSc., Dr. Sunarto, Dr. Chris Carbone, dan Murray Collins, MSc., atas diskusi serta saran pada awal penelitian dan penulisan karya ilmiah.

14. Susilo Sudarman, Dedi Kiswayadi, Cek Lah, Popon, Gesti M. Arief, Erry Kurniawan, Iqrarul Fata, Andriana, Taufan Mustafa, Nurman, Norman, Maimun, Adi, Syaifudin, Rusdi, Antomi, Budiman, Nasir, dan Burhan, atas bantuan dan kerjasamanya selama survey di Blangraweu, Ulu Masen. 15. Sarah Christie, Laura Darcy, MSc. dan Dr. Adam Barlow, yang memberikan dukungan secara penuh serta selalu memberi keleluasaan pada penulis dalam membagi antara waktu kantor dan penulisan disertasi. 16. Dudy Nugroho, Wulan Pusparini, Maryati, Benny, Candra, serta Wenda

Yandra Komara, atas diskusi dan batuannya dalam pengolahan data. 17. Rekan-rekan sesama mahasiswa pada Program Studi Koservasi

Biodiversitas Tropika, atas kebersamaan serta diskusi-diskusi selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

18. Rekan-rekan di Forum HarimauKita, khususnya HA. Wahyudi, yang selalu siap terganggu manakala penulis ingin “menyepi” di kantor Forum. 19. Seluruh kolega di ZSL Indonesia, terutama Dr. Barita Manullang, Ine Wasillah, Ifran Imanda, Erna Khilman, Karen Jeffers, serta Hermansyah, yang banyak membantu selama proses penyelesaian karya ilmiah.

20. Almarhum dan almarhumah kedua orangtua (Mgs. H. A. Rozak Karin dan T. Sekarningsih), kakak, adik, serta keluarga besar Mgs. H. Abdul Karim dan Tisnadibrata, yang selalu memberikan dukungan dan do’a restunya kepada penulis.

21. Istri tercinta: Iin Fathya, serta anak-anak tersayang: Azka L. Amanda, Annisa M. Amelia, dan A. Rizky Baehaqi, yang senantiasa ikhlas, sabar, penuh pengertian, setia mendampingi, serta tempat berbagi suka dan duka. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat.

Bogor, Juli 2012 Dolly Priatna


(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Oktober 1965 sebagai anak ke-enam dari sembilan bersaudara pasangan Mgs. H. A. Rozak Karim (alm) dan T. Sekarningsih (almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta, lulus tahun 1991. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Magister Biologi Konservasi pada Fakultas MIPA Universitas Indonesia, dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan diperoleh secara mandiri dari The 10th Duke of Rutland Memorial Conservation Trust. Dana penelitian lapangan didapat dari Conservation Leadership Program, Idea Wild, serta kontribusi in-kind dari ZSL Indonesia dan FFI Aceh.

Penulis bekerja pada The Zoological Society of London (ZSL). Pada periode 2004-2010 menjabat sebagai manajer proyek konservasi harimau sumatera, kemudian hingga saat ini menjadi Country Coordinator di ZSL Indonesia Program dan berkantor di Bogor. Tanggung-jawabnya adalah menjadi representatif ZSL serta mengkoordinasikan seluruh kegiatan proyek konservasinya di Indonesia.

Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Dewan Penasehat forum konservasi harimau sumatera, HarimauKita (FHK), anggota IUCN SSC (Species Survival Commission) Tapir Specialist Group, sebagai ketua SCGIS (The Society for Conservation GIS) Indonesia, serta anggota Dewan Penasehat Asian Journal of Conservation Biology. Karya ilmiah dalam format poster berjudul Translocation of Sumatran Tigers telah disajikan pada Society for Conservation Biology 2010 Annual Meeting di Edmonton, Kanada, pada bulan Juli 2010, dan pada International Conference of the Association of Tropical Biodiversity and Conservation pada bulan yang sama di Bali, Indonesia. Sebuah artikel ilmiah dengan judul Home Range and Movements of Male Translocated Problem Tigers in Sumatra, telah diterbitkan pada jurnal internasional Asian Journal of Conservation Biology (AJCB) Volume 1 (1): 20-30 edisi Juli 2012. Artikel lain berjudul Pemilihan Habitat dan Pola Aktivitas Harimau Sumatera Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS, telah dijadwalkan untuk terbit pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika (JMHT) Volume XVIII (2) pada edisi Agustus 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(22)

(23)

(i)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vii I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Hipotesis ... 6 1.5 Kerangka Pemikiran ... 7 1.6 Manfaat Penelitian ... 9 1.7 Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 9 II TINJAUAN PUSTAKA ... 11 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera ... 11 2.1.1 Taksonomi ... 11 2.1.2 Morfologi ... 12 2.1.3 Perilaku ... 14 2.1.3.1 Perilaku Makan dan Berburu ... 14 2.1.3.2 Perilaku Sosial ... 16 2.1.3.3 Perilaku Penguasaan Wilayah ... 16 2.1.3.4 Perilaku Kawin dan Berkembang Biak ... 17 2.1.4 Distribusi ... 18 2.1.5 Populasi ... 20 2.2 Habitat dan Daerah Jelajah ... 22 2.2.1 Habitat ... 22 2.2.2 Daerah Jelajah ... 24 2.3 Penggunaan Ruang ... 25 2.4 Translokasi ... 27 2.5 Model Kesesuaian Habitat ... 32 III KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33 3.1 Sejarah dan Status Kawasan ... 33 3.2 Letak dan Luas ... 33 3.3 Masyarakat Desa ... 34 3.4 Kondisi Fisik Kawasan ... 35 3.4.1 Topografi ... 35 3.4.2 Tanah ... 35 3.4.3 Iklim ... 36 3.5 Kondisi Biologi ... 37 3.5.1 Flora ... 37 3.5.2 Fauna ... 38


(24)

(ii)

IV METODOLOGI ... 41 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41 4.2 Bahan dan Alat ... 42 4.3 Tahapan Penelitian ... 43 4.4 Metode Pengumpulan Data ... 43 4.4.1 Studi Literatur ... 43 4.4.2 Pengumpulan Data Posisi ... 45 4.4.3 Pengumpulan Data Kelimpahan Relatif ... 47 4.4.4 Observasi Lapangan ... 48 4.4.5 Komponen Habitat Harimau Sumatera ... 49 4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 50 4.5.1 Analisis Penggunaan Ruang ... 53 4.5.2 Analisis Pemilihan Habitat ... 55 4.5.3 Analisis Pemodelan Habitat ... 57 4.5.4 Analisis Kesesuaian Lokasi Translokasi ... 62

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63 5.1 Pola Penggunaan Ruang ... 65 5.1.1 Pergerakan ... 65 5.1.1.1 Panjang dan Bentuk Lintasan Pergerakan ... 65 5.1.1.2 Panjang Pergerakan pada Siang dan Malam ... 69 5.1.2 Daerah Jelajah ... 71 5.1.2.1 Waktu Pembentukan Daerah Jelajah ... 71 5.1.2.2 Luas Daerah Jelajah ... 74 5.1.2.3 Bentuk Daerah Jelajah ... 79 5.1.2.4 Karakteristik Daerah Jelajah ... 81 5.2 Pola Aktivitas ... 84 5.3 Pemilihan Habitat ... 88 5.3.1 Penggunaan Habitat pada Siang dan Malam ... 93 5.4 Model Kesesuaian Habitat ... 95 5.4.1 Penentuan Titik Presence dan Pseudo-absence ... 95 5.4.2 Uji Multikolinearitas ... 96 5.4.3 Analisis Regresi Logistik ... 97 5.4.4 Model Spasial Kesesuaian Habitat ... 103 5.4.5 Uji Kelayakan Model Regresi Logistik ... 105 5.4.6 Validasi Model ... 105 5.4.7 Ekstrapolasi Model ... 106 5.4.8 Model Kesesuaian dalam Perspektif Ekologi ... 107 5.5 Penentuan Lokasi Translokasi ... 110 5.6 Implikasi Konservasi dan Manajemen ... 113 VI SIMPULAN DAN SARAN ... 117 6.1 Simpulan ... 117 6.2 Saran ... 119 DAFTAR PUSTAKA ... 121 LAMPIRAN ... 135


(25)

(iii)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Luas kawasan hutan Ulu Masen untuk setiap kabupaten di

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ... 34 2 Karakteristik harimau sumatera yang terlibat konflik yang

di-tangkap dan ditranslokasikan pada periode 2008-2010 ... 46 3 Komponen-komponen ekologi yang dijadikan variabel penduga

kesesuaian habitat harimau yang ditranslokasikan ... 50 4 Tujuan penelitian, metode pengumpulan data, variabel yang

di-ukur, pengolahan dan analisis data, serta keluaran yang

dihasil-kan ... 51 5 Varabel yang diamati untuk menduga preferensi terhadap tipe

tutupan vegetasi menurut metode Neu ... 56 6 Jadwal operasi dan jumlah data posisi yang berhasil dikumpulkan

melalui kerah GPS pada masing-masing harimau sumatera

translokasi selama penelitian antara 2008-2011 ... 63 7 Rerata jarak pergerakan harian dan jarak tempuh maksimum

harimau sumatera translokasi ... 66 8 Waktu dibutuhkan harimau translokasi dalam menetapkan daerah

jelajahnya serta nilai KR harimau lokal dan mangsa utama di

masing-masing lokasi pelepas-liaran ... 73 9 Luas daerah jelajah harimau yang diamati dengan kalung GPS

yang dianalisis berdasarkan Minimum Convex Polygon dan Fixed

Kernel ... 74 10 Perkiraan rata-rata luas daerah harimau sumatera dan pada

be-berapa subspesies harimau lainnya, dengan metode yang

di-gunakan, jumlah harimau (n) dan referensi ... 76 11 Tipe habitat yang paling disukai oleh harimau translokasi di

masing-masing lokasi pelepas-liaran ... 89 12 Persentasi penggunaan habitat oleh harimau pada sian dan malam

hari ... 94 13 Hasil uji Wilcoxon untuk melihat perbedaan penggunaan habitat

oleh harimau pada siang dan malam hari ... 95 14 Hasil diagnosa multikolinearitas variabel bebas dengan VIF ... 97 15 Hasil analisis regresi logistik biner dengan metode Enter


(26)

(27)

(v)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Skema kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ... 8 2 Harimau sumatera betina individu yang sama menunjukkan

pola loreng yang berlainan di kedua sisi tubuhnya ... 13 3 Peta sejarah distribusi harimau dan wilayah penyebaran saat ini

di seluruh dunia ... 19 4 Peta distribusi harimau di Pulau Sumatera lima tahun terakhir .. 21 5 Pelepas-liaran harimau sumatera yang ditranslokasikan dari

Aceh ke kawasan TN Bukit Barisan Selatan ... 31 6 Hutan pegunungan rendah di kawasan Ulu Masen ... 38 7 Peta lokasi penelitian di empat kawasan hutan di Sumatera ... 41 8 Bagan alir metode penelitian ... 44 9 Kalung GPS dan proses pemasangannya pada harimau ... 45 10 Skema pemodelan kesesuaian habitat dan lokasi translokasi

harimau sumatera ... 60 11 Persentase distribusi frekuensi jarak pergerakan harian harimau

sumatera yang ditranslokasikan ... 71 12 Daerah Jelajah kumulatif (km2) mingguan yang dibentuk oleh

harimau translokasi ... 72 13 Pola aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan yang

di-pantau dengan signal X dan Y pada kalung GPS ... 85 14 Grafik pola persentase pola aktivitas harimau sumatera yang

di-translokasikan dalam 24 jam ... 87 15 Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi

penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh

harimau translokasikan (JD-1) ... 91 16 Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi

penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh

harimau translokasikan (JD-2) ... 92 17 Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi

penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh

harimau translokasikan (JD-3) ... 92 18 Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi

penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh


(28)

(vi)

19 Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh

harimau translokasikan (BD-1) ... 93 20 Peta sebaran titik presence harimau translokasi yang digunakan

untuk menyusun model dan validasi model ... 96 21 Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi pada

wilayah studi ... 104 22 Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi hasil

ekstrapolasi pada seluruh kawasan hutan Ulu Masen ... 108 23 Peta prediksi kesesuaian lokasi translokasi berdasarkan

ketersediaan hewan mangsa dan keberadaan harimau lokal di

kawasan hutan Ulu Masen ... 111 24 Peta prediksi lokasi yang sesuai bagi translokasi harimau di


(29)

(vii)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Rekapitulasi survey transek dengan nilai Encounter Rate (ER) harimau lokal dan hewan mangsa utama di setiap lokasi

trans-lokasi harimau ... 135 2 Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau jantan JD-1 di

TNBBS pada bulan ke-1 hingga ke-8 setelah peliaran ... 136 3 Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau jantan JD-2 di

TNBBS pada bulan ke-1 hingga ke-9 setelah peliaran ... 140 4 Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau jantan JD-3 di TNGL

pada bulan ke-1 hingga ke-4 setelah peliaran ... 145 5 Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau jantan JD-5 di TNKS

pada bulan ke-1 hingga ke-9 setelah peliaran ... 147 6 Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau betina BD-1 di Ulu

Masen pada bulan ke-1 hingga ke-8 setelah peliaran ... 152 7 Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-1 di TNBBS yang

dibangun dengan metode MCP dan FK ... 156 8 Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-2 di TNBBS yang

dibangun dengan metode MCP dan FK ... 157 9 Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-3 di TNGL yang

dibangun dengan metode MCP dan FK ... 158 10 Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-5 di TNKS yang

dibangun dengan metode MCP dan FK ... 159 11 Bentuk daerah jelajah harimau jantan BD-1 di KHUM yang

dibangun dengan metode MCP dan FK ... 160 12 Persentase (%) luas penutupan vegetasi pada masing-masing

daerah jelajah harimau translokasi ... 161 13 Persentase (%) elevasi pada masing-masing daerah jelajah

harimau translokasi ... 162 14 Persentase (%) kelerengan/slope pada masing-masing daerah

jelajah harimau translokasi ... 163 15 Hasil perhitungan indeks preferensi Neu harimau translokasi

terhadap waktu paling aktifnya ... 164 16 Peta ketinggian tempat/elevasi di wilayah studi ... 165 17 Peta euclidean jarak dari sungai di wilayah studi ... 166 18 Peta euclidean jarak dari tepi hutan di wilayah studi ... 167


(30)

(viii)

19 Peta kerapatan tajuk (NDVI) di wilayah studi ... 168 20 Peta kelerengan/slope di wilayah studi ... 169 21 Nilai Nagelkerke R2 dan uji Hosmer Lemeshow pada lima

variabel bebas ... 170 22 Hasil perhitungan nilai kappa acuracy, comission error dan

omission error ... 171 23 Nilai kelimpahan relatif harimau lokal dan hewan mangsa di

seluruh wilayah Ekosistem Ulu Masen ... 172 24 Peta prediksi kelimpahan relatif harimau lokal di kawasan

Ekosistem Ulu Masen ... 173 25 Peta prediksi kelimpahan relatif hewan mangsa di kawasan


(31)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) merupakan satu-satunya subspesies harimau terakhir yang masih dimiliki Indonesia setelah dua kerabatnya, harimau bali (P. t. balica) dan harimau jawa (P. t. sondaica) punah. Kedua subspesies tersebut dinyatakan punah masing-masing pada tahun 1940-an dan 1980-an (Seidensticker et al. 1999). Kondisi populasi harimau sumatera di alam sangat memperihatinkan. Jumlahnya terus menurun, dan di alam saat ini diduga hanya tinggal sekitar 300 ekor (Soehartono et al. 2007). Mereka tersebar di seluruh daratan Pulau Sumatera, namun hidup dalam populasi-populasi yang terisolasi (Wibisono & Pusparini 2010). Menurut Sanderson et al. (2010), saat ini sebagian besar harimau sumatera liar menghuni 12 kawasan yang disebut lansekap konservasi harimau (Tiger Conservation Landscapes atau TCL) yang luas totalnya sekitar 88.000 km2. Oleh sebab itu, dari enam subspesies harimau yang masih tersisa di dunia, harimau sumatera menempati status keterancaman paling tinggi. The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), satu jaringan pelestarian sumberdaya alam global, sejak tahun 1996 telah menetapkan harimau sumatera sebagai satwa yang

statusnya “Kritis” atau Critically Endangered, yaitu satu status dimana

harimau sumatera sepertinya akan menjadi punah apabila tidak ada tindakan konservasi yang efektif diterapkan (IUCN 1996).

Saat ini, harimau sumatera juga menghadapi banyak ancaman yang bersumber dari kegiatan manusia (Seidensticker 1986, Seidensticker et al. 1999), yang kemudian mendorong terjadinya konflik antara kepentingan manusia dengan konservasi harimau (Nugraha & Sugardjito 2009). Konflik konservasi harimau dengan manusia di Sumatera telah menjadi salah satu permasalahan utama dalam upaya konservasi satwa karnivora ini, karena dapat menimbulkan kerugian dan korban jiwa, yang akan menurunkan dukungan masyarakat terhadap upaya pelestariannya. Konflik konservasi


(32)

2

harimau juga merupakan salah satu faktor yang memicu masyarakat untuk menangkap dan bahkan membunuh harimau (CITES 1999, Nugraha & Sugardjito 2009).

Selama beberapa dekade terakhir, translokasi telah digunakan sebagai salah satu metode dalam mitigasi konflik antara manusia dengan satwaliar, seperti pada beruang coklat (Ursus arctos) dan beruang hitam (U. americama) (Armistead et al. 1994, Blanchard & Knight 1995), serigala (Fritts et al. 1984, Bangs et al. 1999), serta kucing besar (Rabinowitz 1986, Stander 1990, Ruth et al. 1998) termasuk harimau (Seidensticker et al. 1976, Nowell & Jackson 1996, Goodrich & Miquelle 2005). Namun, penelitian ekologi perilaku dari satwa translokasi pasca pelepas-liarannya masih sangat jarang dilakukan. Padahal, pemahaman akan kebutuhan atau prasyarat ekologis dari satwa karnivora langka seperti harimau, sangat penting untuk implementasi pengelolaan yang efektif serta strategi konservasinya (Grassman et al. 2005).

Global positioning system collars (kalung GPS) mulai banyak digunakan dalam studi seleksi habitat dan pergerakan satwaliar (Edwards et al. 2001, Coelho et al. 2008), karena alat tersebut dapat memberikan informasi lokasi satwa secara tepat pada berbagai kondisi (Hebblewhite et al. 2007). Menurut Begon et al. (1986), pergerakan satwa selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekitarnya, juga dipengaruhi oleh distribusi sumberdaya yang dibutuhkan satwa tersebut untuk tumbuh, berkembang-biak, serta menjaga kelangsungan hidupnya. Sedangkan seleksi habitat merupakan satu proses dimana individu-individu satwaliar yang secara preferensial memanfaatkan habitat-habitat yang tersedia pada satu lansekap (Morris 2003). Valeix et al. (2010) menyatakan bahwa ekologi spasial dan pergerakan satwa predator sangat dipengaruhi oleh ciri-ciri habitat yang dapat menentukan penyebaran hewan mangsanya.

Beberapa studi terkait perilaku ekologi seperti penggunaan habitat dan pola aktivitas satwa Felidae pernah dilakukan pada macan salju (Jackson 1996, Xu et al. 2012), macan dahan, kucing emas, kucing batu (Grassman et


(33)

3

al. 2005), serta macan tutul (Simcharoen et al. 2008). Selain itu, Sunquist (1981) juga meneliti aspek yang sama pada harimau liar di Nepal. Di Sumatera, kajian-kajian terkait penggunaan ruang dan pendugaan luas jelajah berdasarkan temuan jejak dan camera-trapping pernah dilakukan pada harimau liar (Griffiths 1994, Franklin et al. 1999, Maddox et al. 2004, Maddox et al. 2007, Sunarto et al. 2012). Namun, penelitian serupa terhadap harimau sumatera translokasi dengan menggunakan metode kalung GPS belum pernah dilakukan. Kurangnya informasi ekologi perilaku dari harimau pasca pelepas-liarannya telah membuat keberhasilan translokasi harimau di Sumatera menjadi sulit diukur.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, sangat dibutuhkan satu kajian yang komprehensif tentang ekologi perilaku dan aspek-aspek pemanfaatan ruang harimau translokasi untuk memahami karakteristik lokasi pelepas-liaran, serta membangun satu model kesesuaian habitat yang dapat dijadikan landasan pertimbangan translokasi harimau pada masa yang akan datang. Kajian ini sangat penting untuk segera dilakukan agar translokasi harimau sumatera di masa depan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.

1.2 Perumusan Masalah

Deforestasi dan degradasi hutan di Pulau Sumatera merupakan salah satu ancaman yang signifikan terhadap keberadaan keanekaragaman hayati di pulau tersebut, terutama terhadap spesies-spesies satwa mamalia besar yang memiliki jelajah luas seperti harimau. Tingginya laju kehilangan hutan di Sumatera pada dasawarsa terakhir, telah mengakibatkan berkurang dan terfragmentasinya habitat harimau (Soehartono et al. 2007). Menurut perkiraan Holmes (2000), hampir 6,7 juta hektar tutupan hutan telah hilang dari pulau ini antara 1985-1997. Kementerian Kehutanan memperkirakan deforestasi di Pulau Sumatera mencapai 1,35 juta hektar dalam periode antara tahun 2000 hingga 2005, atau rata-rata deforestasi hampir 270 ribu hektar per tahun.


(34)

4

Ancaman lain yang membahayakan kelangsungan hidup dan keberadaan harimau sumatera adalah perburuan ilegal. Ancaman seperti ini bukan hanya berasal dari perburuan langsung terhadap harimau saja, tetapi juga karena perburuan terhadap hewan mangsanya. Selain itu, konflik antara manusia dengan harimau juga telah menjadi salah satu masalah yang serius dalam upaya pelestarian harimau sumatera karena dapat mengakibatkan korban dikedua belah pihak. Data yang berhasil dihimpun forum konservasi harimau sumatera, HarimauKita (FHK), menunjukkan bahwa antara tahun 1998 dan tahun 2011 konflik konservasi harimau telah mengakibatkan 57 orang meninggal dunia dan 81 orang terluka, serta paling sedikit 326 hewan ternak dimangsa harimau. Di sisi lain, dilaporkan juga bahwa dalam periode waktu tersebut 69 ekor harimau telah dikeluarkan dari habitatnya akibat dibunuh atau ditangkap.

Sejauh ini, menangkap harimau sumatera yang terlibat konflik (sering memasuki pemukiman, memangsa hewan ternak, atau bahkan hingga memakan korban jiwa manusia) yang kemudian mengirimkannya ke lembaga-lembaga konservasi ex-situ, merupakan satu cara yang dianggap paling efektif dalam menyelesaikan masalah konflik konservasi harimau. Namun, dengan terus meningkatnya intensitas konflik serupa di Sumatera, sudah saatnya dipikirkan untuk mencari solusi lain yang lebih bijaksana, yang dapat dijadikan alternatif dalam upaya mitigasinya.

Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.

42/Menhut-II/2007 tentang “Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera

2007-2017” (Soehartono et al. 2007) dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 48/Menhut-II/2008 tentang “Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwaliar” (Gunaryadi et al. 2008), mentranslokasikan harimau sumatera yang terlibat konflik telah dijadikan sebagai salah satu alat atau cara resmi yang dapat digunakan dalam upaya menyelesaikan masalah konflik antara kepentingan manusia dengan harimau.

Aarts et al. (2008) menyatakan bahwa untuk melaksanakan pengelolaan dan pelestarian satwaliar secara efektif dan efisien sangat dibutuhkan


(35)

5

informasi-informasi ekologi yang mendasar seperti dimana satwaliar tersebut berada, mengapa mereka berada di tempat tersebut, dan kemana lagi kemungkinannya mereka menuju. Namun demikian, kajian-kajian tentang ekologi perilaku dan aspek-aspek pemanfaatan ruang oleh harimau yang ditranslokasikan, serta karakteristik lokasi pelepasliaran dan kesesuaian habitat untuk lokasi translokasi sampai saat ini belum pernah dilakukan. Studi-studi tersebut sangat penting untuk segera dilakukan agar pertimbangan translokasi harimau sumatera di masa yang akan datang menjadi lebih baik.

Berkaitan dengan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian guna menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola pergerakan dan aktivitas harimau sumatera pasca translokasi di tempat hidupnya yang baru?

2. Berapa lama waktu dibutuhkan oleh harimau sumatera pasca translokasi untuk membangun daerah jelajahnya, berapa luas habitat yang digunakan oleh harimau tersebut sebagai daerah jelajahnya, dan bagaimana hubungan antara pembentukan dan ukuran daerah jelajah dengan kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa?

3. Apakah ada preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi tertentu dalam kaitannya dengan penggunaan ruang oleh harimau yang ditranslokasikan? 4. Bagaimanakah karakteristik habitat yang digunakan oleh harimau

translokasi, dan komponen-komponen habitat apa yang paling menentukan harimau sumatera translokasi dalam menggunakan ruang habitatnya? 5. Kawasan seperti apa yang dianggap sesuai sebagai habitat harimau

translokasi di wilayah hutan Ulu Masen?

6. Dimana lokasi yang sesuai untuk dijadikan sebagai kawasan translokasi harimau di wilayah hutan Ulu Masen?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pola penggunaan ruang dan aktivitas harimau sumatera, penyusunan model kesesuaian habitat harimau sumatera yang ditranslokasikan, serta


(36)

6

merumuskan kriteria kawasan yang sesuai sebagai lokasi translokasi harimau sumatera di masa yang akan datang. Adapun tujuan khususnya adalah:

1. Mengetahui pola pergerakan dan aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan;

2. Mengetahui ukuran, bentuk serta karakteristik daerah jelajah harimau sumatera yang ditranslokasikan;

3. Mengetahui waktu yang dibutuhkan dalam membangun daerah jelajah (home range) harimau sumatera yang ditranslokasikan di tempat hidupnya yang baru, serta menguji hubungan antara pembentukan dan ukuran daerah jelajah dengan kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsanya;

4. Menentukan preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi oleh harimau sumatera yang ditranslokasikan di tempat hidupnya yang baru;

5. Mengetahui komponen-komponen ruang habitat yang paling menentukan harimau translokasi dalam menggunakan ruangnya (kasus Ulu Masen); 6. Menyusun model kesesuaian habitat harimau translokasi untuk kawasan

hutan Ulu Masen;

7. Merumuskan kriteria dan menentukan areal-areal yang sesuai untuk dijadikan lokasi translokasi harimau di kawasan hutan Ulu Masen.

1.4 Hipotesis

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:

1. Pola pergerakan harimau sumatera pasca translokasi dilakukan secara acak dan terdapat waktu yang paling disukai untuk melakukan aktivitasnya; 2. Terdapat karakteristik pada daerah jelajah harimau sumatera pasca

translokasi;

3. Terdapat perbedaan waktu yang dibutuhkan oleh setiap harimau sumatera translokasi dalam membangun daerah jelajahnya. Waktu yang dibutuhkan untuk membangun daerah jelajah harimau translokasi dipengaruhi oleh kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa;


(37)

7

4. Terdapat kesukaan atau preferensi harimau sumatera translokasi terhadap tipe tutupan vegetasi tertentu yang dijadikan habitat utamanya karena diduga keberadaan harimau mengikuti habitat hewan mangsanya;

5. Terdapat beberapa komponen habitat yang mempengaruhi penggunaan ruang harimau sumatera yang ditranslokasikan;

6. Kawasan lokasi translokasi harimau dapat diklasifikasikan kesesuaiannya melalui pemodelan spasial berdasarkan komponen habitat serta proporsi penggunaan spasial harimau translokasi mengikuti proporsi sebaran kesesuaian habitat.

7. Di kawasan hutan Ulu Masen terdapat areal-areal yang sesuai untuk dijadikan lokasi translokasi harimau sumatera.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya, harimau sumatera memerlukan tiga kebutuhan dasar untuk menjamin kelangsungan hidupnya, yaitu tersedianya hewan mangsa yang cukup, terdapatnya sumber air (Sunquist & Sunquist 1989), serta adanya tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap mangsa (Lynam et al. 2000). Berdasarkan fenomena penggunaan ruang, diprediksi bahwa harimau sumatera memanfaatkan ruang secara tidak acak pada daerah jelajahnya, artinya terdapat indikasi adanya preferensi berdasarkan ruang dan habitat pada pergerakan harimau di dalam daerah jelajahnya. Tingkat kesukaan harimau pada suatu areal hutan tertentu di dalam satu lansekap, kemungkinan besar berhubungan dengan kondisi medan (terrain) serta faktor-faktor lingkungan (fisik dan biotik) lainnya, komposisi tutupan vegetasi, keberadaan hewan mangsa utama (rusa, kijang dan babi hutan), serta keberadaan harimau lain yang juga menghuni lansekap tersebut. Oleh karena itu, disusun satu kerangka pemikiran seperti disajikan pada Gambar 1.


(38)

8

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran yang melandasi penelitian. Analisis

Pola Penggunaan Ruang Harimau Translokasi Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau Translokasi Deforestasi / Degradasi Perburuan Konflik Manusia-Harimau Dilakukan Pengusiran Dieksekusi Masyarakat (Mati) Ditangkap Petugas/ Masyarakat Lembaga Koservasi Ex-situ Translokasi/ Relokasi Harimau Kalung GPS (GPS Collar)

Analisis Spasial

Data

Harimau Sumatera

Kawasan Hutan & Air

Hewan Mangsa

Peta Kawasan Lokasi Translokasi Harimau

Analisis Jelajah dan Aktivitas Harimau Translokasi Data Spasial Fisik Peta Tutupan Vegetasi Kepadatan Relatif Harimau Lokal & Hewan Mangsa

Peta Distribusi Harimau Lokal &


(39)

9

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, berupa ketersediaan informasi umum tentang ekologi perilaku serta tingkat keberhasilan hidup dari harimau sumatera yang ditranslokasikan. Manfaat yang diharapkan didapat dari hasil penelitian ini bagi konservasi harimau sumatera adalah:

1. Tersedianya data dan informasi tentang pola pergerakan, pola aktivitas, serta daerah jelajah (ukuran, bentuk dan karakteristik) harimau sumatera yang ditranslokasikan;

2. Tersediannya informasi tentang waktu yang dibutuhkan harimau sumatera yang ditranslokasikan dalam membangun daerah jelajahnya;

3. Tersedianya data dan informasi tentang preferensi harimau terhadap tutupan vegetasi tertentu, serta komponen-komponen habitat yang mempengaruhi pola penggunaan ruangnya;

4. Tersedianya informasi tentang habitat yang sesuai bagi harimau sumatera di kawasan hutan Ulu Masen;

5. Tersusunnya kriteria dan tersedianya informasi areal-areal yang sesuai untuk dijadikan lokasi translokasi harimau di kawasan hutan Ulu Masen; 6. Tersedianya informasi tentang efektivitas kalung GPS untuk studi ekologi

perilaku satwaliar.

1.7 Kebaruan (Novelty) Penelitian

Kegiatan mentranslokasikan atau memindahkan satwaliar, terutama satwa karnivora besar seperti harimau sumatera, merupakan suatu pendekatan baru yang digunakan dalam mitigasi konflik konservasi harimau di Indonesia. Selain itu, penggunaan kalung GPS (GPS collar) dalam penelitian ekologi perilaku satwaliar, serta membuat pemodelan kesesuaian habitat dengan menggunakan data yang dikumpulkan melalui alat tersebut juga merupakan suatu hal yang baru berkembang di dunia dan pertama dilakukan di Indonesia.


(40)

(41)

11

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera 2.1.1 Taksonomi

Di dalam ilmu biologi, suatu jenis hewan atau tumbuhan dapat diklasifikasikan kedalam satu golongan tertentu. Pengelompokkan tersebut antara lain didasarkan atas persamaan bagian tubuh yang dimiliki kelompok hewan tersebut, dari yang bersifat umum menuju pada kesamaan yang lebih khusus. Ilmu mengenai pengelompokkan ini disebut taksonomi. Sistem klasifikasi yang digunakan saat ini merupakan sebuah perkembangan dari sistem pengelompokan yang diusulkan seorang ahli biologi terkemuka, Carl Linneaus, pada abad ke-18. Secara global, hanya dikenal satu spesies harimau, yaitu Panthera tigris, namun spesies ini dipisahkan menjadi sembilan subspesies yang berbeda, yang dikelompokkan atas dasar perbedaan morfologi, genetik, biogeografi, serta ekologinya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Tiga dari sembilan subspesies harimau tersebut telah dinyatakan punah.

Harimau sumatera merupakan salah satu dari enam subspesies harimau yang masih ada di dunia hingga saat ini. Menurut Wozencraft (1993), klasifikasi taksonominya di masukkan kedalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Carnivora, family Felidae, genus Panthera, dan spesies Panthera tigris (Linnaeus, 1758), serta subspesies Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929).

Selain harimau sumatera yang menghuni belantara di Pulau Sumatera, ada lima subspesies harimau lainnya yang masih tersisa di dunia yakni:

a. Harimau siberia (Panthera tigris altaica Temminck, 1844) yang mendiami wilayah timur jauh Rusia;

b. Harimau bengal (Panthera tigris tigris Linnaeus, 1758) yang hidup di wilayah-wilayah India, Bhutan, Nepal dan Bangladesh;


(42)

12

c. Harimau indocina (Panthera tigris corbetti Mazak, 1968) yang berada di wilayah Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja dan Myanmar;

d. Harimau cina selatan (Panthera tigris amoyensis Hilzheimer, 1905) yang diperkirakan mendiami kawasan pegunungan di Cina bagian selatan, meskipun belum ada bukti baru tentang keberadaannya di habitat alaminya;

e. Harimau malaya (Panthera tigris jacksoni Luo et al., 2004) yang berhabitat di semenanjung Malaysia.

Tiga subspesies harimau yang telah dinyatakan punah adalah sebagai berikut:

a. Harimau bali (Panthera tigris balica Schwarz, 1912) yang hanya pernah ada di Pulau Bali, yang dipercaya terakhir kali ditemukan terbunuh pada tahun 1937;

b. Harimau kaspia (Panthera tigris virgata Illiger, 1815) yang pernah hidup di wilayah-wilayah Afghanistan, Iran, Turki, Mongolia, dan kawasan Asia Tengah di Rusia. Subspesies harimau ini punah pada tahun 1950-an; c. Harimau jawa (Panthera tigris sondaica Temminck, 1844) yang

sebelumnya pernah mendiami hutan belantara Pulau Jawa dan diyakini terakhir kali terlihat pada tahun 1972.

2.1.2 Morfologi

Semua subspesies harimau secara umum memiliki ciri morfologi yang hampir sama. Menurut Kitchener (1999), untuk membedakan antar subspesies harimau dapat dilihat dari perbedaan ukuran tubuh, pola loreng, warna dasar tubuh, serta karakter tulang tengkoraknya. Harimau sumatera merupakan subspesies yang ukuran tubuhnya paling kecil di antara harimau yang masih ada saat ini, dengan tinggi pundak hanya sekitar 75 cm, sehingga sangat cocok untuk hidup di dalam hutan. Variasi ukuran panjang tubuh jantan dewasa dari kepala hingga ekor antara 220-255 cm dengan kisaran berat antara 100-140 kg. Betina dewasa memiliki variasi ukuran panjang antara 215-230 cm, dengan kisaran berat 75-110 kg (Mazak 1981). Namun,


(43)

13

Maddox et al. (2004) melaporkan bahwa harimau sumatera jantan dewasa yang pernah ditangkap dalam penelitiannya di Provinsi Jambi beratnya mencapai 150 kg. Kisaran panjang ekor harimau antara 90-120 cm, sedangkan ukuran telapak kakinya berbeda-beda sesuai dengan umur. Sebagai pembanding, harimau siberia yang merupakan subspesies harimau terbesar di dunia memiliki kisaran berat tubuh antara 180-306 kg (jantan) dan 100-167 kg (betina) (Mazak 1981).

Pola loreng dan warna dasar tubuh harimau juga berbeda-beda. Warna dasar tubuh harimau sumatera paling gelap dibandingkan subspecies harimau lainnya. Rambut pada bagian atas tubuhnya memiliki gradasi warna dari kuning tua atau jingga hingga coklat kemerahan, dengan dihiasi pola loreng-loreng hitam yang rapat sehingga kadang-kadang terlihat seperti double. Pola loreng hitam pada harimau dapat dijadikan penanda individu seperti halnya sidik jari pada manusia, karena pola loreng tersebut berbeda antara satu individu harimau dengan individu lainnya (ITWS 2005). Bahkan, menurut Franklin et al. (1999), pola loreng pada sisi kiri dan sisi kanan badan seekor harimau juga berbeda (Gambar 2).

Gambar 2. Harimau sumatera betina individu yang sama menunjukkan pola loreng yang berlainan di kedua sisi tubuhnya. Foto didapat ketika melakukan observasi lapangan di kawasan hutan Ulu Masen, Januari 2010 (Dok: Dolly Priatna/PHKA/ZSL).

Seperti kucing pada umumnya, cakar harimau dapat dikeluar-masukkan (retractable) ke dalam kantung cakar. Harimau menggunakan cakarnya untuk


(44)

14

mencengkeram hewan mangsanya ketika berburu dan mencakar pohon sebagai penanda daerah teritorialnya. Mata harimau mempunyai pupil bulat dengan selaput pelangi berwarna kuning. Selain itu, kumis pada harimau sumatera juga lebih panjang dibandingkan dengan kumis harimau subspesies lainnya. Kumis pada harimau berfungsi sebagai sensor ketika berada di dalam gelap atau semak-semak yang rapat (Phoenixzoo 2011).

2.1.3 Perilaku

Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang berasal dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, perlindungan, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 1990). Fungsi utama perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978 diacu dalam Alikodra 1990).

Satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdaya habitat, mendeteksi adanya bahaya, serta menghindar atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial seperti ini timbul akibat adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, daerah jelajah dan rute-rute migrasi. Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial. Sistem hierarki dan teritorialisme ini kemudian mengendalikan perilaku agresif intraspesifik secara terbatas, yang memungkinkan terbentuk dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984).

2.1.3.1 Perilaku Makan dan Berburu

Secara umum, hewan mangsa yang menjadi pakan harimau adalah babi hutan, sapi liar (gaur) serta berbagai spesies hewan dari golongan ungulata.


(45)

15

Semua hewan mangsa tersebut merupakan hewan-hewan yang hidup di dalam hutan dan padang rumput, yang kisaran beratnya antara 30-900 kg. Biasanya, harimau liar memakan hewan buruannya yang masih segar, dan mereka mampu memakan sekitar 18 kg daging pada satu waktu. Setelah mengkonsumsi daging sebanyak itu, biasanya harimau tidak akan makan lagi selama beberapa hari (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Pendapat lain (Wibisono 2006) menyatakan bahwa harimau mengkonsumsi daging antara 5-6 kg setiap hari, yang sebagian besar (sekitar 75%) berasal dari hewan-hewan mangsa golongan ungulata seperti rusa (Sunquist et al. 1999). Sebagai satwa predator terbesar di hutan Sumatera, harimau memangsa hewan dari famili Cervidae dan Suidae sebagai pakan utamanya (Seidensticker 1986), seperti rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) dan babi hutan (Sus scrofa Linnaeus, 1758). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai jenis hewan lain yang lebih kecil sebagai alternatif, seperti kancil (Tragulus javanicus Osbeck, 1765) atau napu (T. napu F. Cuvier, 1822), beruk (Macaca nemestrina Linnaeus, 1766), landak (Hystrix brachyura Linnaeus, 1758), trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822), beruang madu (Helarctos malayanus Horsfield, 1825), dan kuau raja (Argusianus argus Linnaeus, 1766). Namun, ada kecenderungan bahwa harimau lebih menyukai hewan mangsa bertubuh besar (Bagchi et al. 2003).

Harimau adalah pemburu penyergap. Mereka akan mengintai mangsanya, mendekati sedekat mungkin, dan kemudian menyergap hewan mangsanya dari belakang. Mereka biasanya menggigit leher atau tenggorokan untuk merobohkan hewan mangsanya. Gigitan pada leher dapat memutuskan saraf tulang belakang, yang biasanya digunakan dalam merobohkan hewan mangsa berukuran kecil atau sedang. Sedangkan gigitan pada tenggorokan akan menyebabkan sesak napas, dan digunakan saat menangkap hewan mangsa yang lebih besar. Setelah terbunuh, hewan mangsa tersebut biasanya akan disimpan di tempat yang aman, kemudian hewan hasil buruan tersebut


(46)

16

akan dikonsumsi selama beberapa hari tergantung pada ukuran hewan mangsanya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Harimau bengal (P. t. tigris) di Nepal berburu mangsa setiap 5-6 hari sekali. Setelah memperoleh hewan buruan, mereka akan tetap berada di sekitar hasil buruannya selama 1-4 hari. Setelah itu, mereka akan meninggalkan sisa hasil buruannya untuk kembali berburu hewan mangsa lainnya (Seidensticker 1986). Di India, harimau bengal diperkirakan memangsa sekitar 50 ekor hewan ungulata dalam setiap tahunnya (Karanth et al. 2004). Seekor harimau betina membutuhkan antara 5-6 kg daging segar setiap hari (Sunquist 1981). Mereka dapat menangkap kijang yang beratnya sekitar 20 kg setiap tiga hari, atau seekor rusa yang beratnya 200 kg setiap beberapa minggu (Sunquist et al. 1999).

Berdasarkan penelitian di Malaysia, kebutuhan makan harimau indocina (P. t. corbetti) betina berkisar antara 1.613-2.041 kg per tahun, sedangkan jantan berkisar antara 1.936-2.448 kg (Kawanishi & Sunquist 2004).

2.1.3.2 Perilaku Sosial

Harimau dewasa adalah hewan penyendiri (soliter) yang membangun daerah jelajahnya sendiri di areal dimana terdapat mangsa yang cukup, kawasan tempat berlindung (cover), serta tersedianya air untuk mendukung kehidupannya. Kesulitan dalam pencarian hewan mangsa di habitatnya, telah menjadikan harimau lebih efisien untuk berburu secara sendiri-sendiri. Oleh karenanya, harimau cenderung untuk tidak membentuk kelompok sosial seperti pada singa. Kelompok sosial pada harimau hanya terjadi pada seekor harimau betina dewasa dengan anak-anaknya, dan kelompok keluarga ini akan bertahan selama 2-3 tahun, sampai anak-anak harimau tersebut mampu untuk hidup mandiri (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

2.1.3.3 Perilaku Penguasaan Wilayah

Perilaku penguasaan wilayah pada satu lansekap juga dilakukan oleh harimau seperti halnya terjadi pada satwa karnivora lainnya. Baik harimau


(47)

17

jantan maupun betina akan menujukkan perilaku penguasaan wilayahnya dengan cara menyemprotkan air seni (urin) yang bercampur dengan aroma bau (scent) yang diproduksi oleh kelenjar sekresi, pada pohon atau belukar di sepanjang rute penjelajahannya. Hal ini dilakukan oleh seekor harimau sebagai cara mendeklarasikan wilayah teritorialnya terhadap individu harimau lainnya. Selain itu, harimau juga meninggalkan tanda bekas cakaran (scratch) pada pohon serta kotoran (feces) pada tempat-tempat yang mudah terlihat sebagai penanda wilayahnya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Smith et al. (1989) dan Sriyanto (2003) berpendapat bahwa perilaku penandaan wilayah pada harimau berkaitan dengan perilaku defekasi (membuang kotoran) yang biasanya diikuti dengan urinasi (kencing).

Penguasaan wilayah yang dilakukan oleh harimau tidak eksklusif, yang mana beberapa individu harimau mungkin saja menggunakan jalur yang sama namun pada waktu yang berbeda. Menurut Karanth (1995) wilayah teritorial seekor harimau jantan dapat mengalami tumpang-tindih (overlap) dengan dua sampai empat individu betina. Wilayah teritorial harimau jantan jarang tumpang-tindih, namun kadang-kadang ada harimau jantan muda pelintas (transient) atau jantan yang kalah bersaing melintas di dalam wilayah satu harimau jantan dalam rangka pencarian wilayah baru yang akan dijadikan daerah jelajah tetapnya.

2.1.3.4 Perilaku Kawin dan Berkembang Biak

Di kebun binatang, baik harimau jantan maupun betina dapat hidup hingga usia 20-an tahun. Kematangan seksual pada harimau betina tercapai ketika mereka berumur sekitar 3-4 tahun, sedangkan jantan sekitar usia 4-5 tahun (Nowak 1991). Harimau betina dapat melahirkan anak hingga umur sekitar 15 tahun. Di daerah yang beriklim sedang (temperate), estrus pada harimau betina terjadi secara bermusim. Di daerah beriklim tropis, estrus pada harimau betina terjadi sepanjang tahun kecuali ketika mereka sedang hamil atau membesarkan anak. Harimau betina akan memberikan signal kesiapannya untuk kawin dengan cara meninggalkan tanda-tanda aroma bau


(48)

18

(scent) serta suara auman. Selanjutnya, kopulasi-kopulasi singkat antara harimau jantan dan betina terjadi terus-menerus selama jangka waktu sekitar lima hari. Harimau termasuk satwa ovulator yang terinduksi (induced ovulator) sehingga harus dirangsang melalui kopulasi yang sering agar terjadi kehamilan (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Periode kehamilan harimau betina adalah sekitar 103 hari. Harimau jantan tidak tinggal dengan betina setelah perkawinan. Individu jantan juga tidak berpartisipasi dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya. Jumlah anak harimau pada setiap kelahiran biasanya 2-3 ekor, namun seekor anak umumnya mati sesaat setelah dilahirkan. Anak-anak harimau dilahirkan dalam keadaan buta dengan berat tubuh antara 0,7-1,0 kg, tergantung pada subspesies harimau (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Anak-anak menyusu pada induk harimau selama 6-8 minggu, kemudian setelah masa itu induk harimau akan mengajak anak-anak untuk makan hewan buruan bersama-sama. Anak-anak harimau akan mulai belajar berburu hewan mangsa sendiri pada usia sekitar 18 bulan. Setelah kawin dan melahirkan anak-anaknya, harimau betina tidak akan mengalami estrus lagi, hingga anak-anaknya berumur antara 1,5-3 tahun, dimana pada usia tersebut anak-anaknya telah memiliki keterampilan yang cukup untuk memulai hidup sendiri. Harimau betina muda cenderung untuk membangun daerah jelajahnya yang berdekatan dengan wilayah induknya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

2.1.4 Distribusi

Hingga awal tahun 1900-an, rentang wilayah penyebaran harimau (Panthera tigris) dunia mencakup 70 derajat pada garis lintang dan 100 derajat pada garis bujur, serta tersebar di 30 negara yang dikenal saat ini yaitu mulai dari Turki dan Armenia di wilayah barat daratan Asia hingga ke Indonesia, kemudian ke timur jauh Rusia, serta hingga ke ujung selatan India (Sanderson et al. 2006). Namun, Dinerstein et al. (2006) dan Sanderson et al. (2006) memperkirakan bahwa wilayah penyebaran harimau dunia yang


(49)

19

tersisa saat ini hanya tinggal sebesar 7% dari total luas berdasarkan sejarah penyebaran geografisnya (Gambar 3).

Gambar 3. Peta sejarah distribusi harimau (cokelat muda) dan wilayah pe-nyebaran saat ini (hijau) di seluruh dunia (Dok: STF).

Pada awal abad ke-19, harimau sumatera (P. t. sumatrae) juga penyebarannya masih ditemukan hampir di seluruh kawasan berhutan di sepanjang Pulau Sumatera, terutama di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan pegunungan. Namun, daerah penyebaran harimau sumatera saat ini terbatas pada fragmen-fragmen hutan yang kebanyakan ukurannya kecil serta terpisah antara satu dengan lainnya. Pada kawasan-kawasan tersebut harimau sumatera menyebar pada ketinggian 0-2.000 meter dari permukaan laut (dpl)

(O‟Brien et al. 2003), tetapi kadang-kadang ditemukan juga pada ketinggian

lebih dari 2.400 meter dpl (Linkie et al. 2003). Menurut Griffiths (1994), hutan dataran rendah (ketinggian < 600 m dpl) dapat mendukung populasi harimau dua kali lebih besar dari pada dataran tinggi. Di Sumatera, terbukti bahwa kelimpahan harimau berkurang seiring dengan naiknya elevasi


(50)

20

kawasan dari permukaan laut (Linkie et al. 2006, Wibisono 2006, Wibisono et al. 2009).

Penyebaran suatu spesies pada suatu wilayah dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya sejarah evolusi spesies, perubahan geografis, interaksi antar spesies dan respon lingkungan, serta dampak aktivitas manusia pada suatu wilayah (Jarvis 2000). Namun, penyebaran harimau sumatera saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia, terutama seperti kegiatan konversi kawasan hutan untuk perkebunan, transmigrasi, pemukiman, serta kegiatan pembangunan infrastuktur lainnya (Soehartono et al. 2007). Smirnov & Miquelle (1999) menyatakan bahwa penyebaran dan kepadatan hewan mangsa juga merupakan faktor yang turut mempengaruhi penyebaran harimau pada suatu wilayah.

Keberadaan harimau sumatera di alam belum seutuhnya diketahui dengan akurat. Perpaduan antara kajian-kajian sebelumnya (Faust & Tilson 1994, Seal et al. 1994, Sanderson et al. 2006) dengan beberapa hasil survey terkini, memprediksi bahwa saat ini harimau sumatera setidaknya tersebar di 19 fragmen kawasan konservasi dan kawasan-kawasan hutan lainnya, yang letaknya masing-masing terpisah satu sama lain (Soehartono et al. 2007). Namun, analisis yang dilakukan Wibisono & Pusparini (2010) menyebutkan bahwa harimau sumatera terbukti masih ditemukan pada 27 fragmen habitat yang ukurannya lebih dari 250 km2 (Gambar 4).

2.1.5 Populasi

Sekitar satu abad lalu, di dunia masih terdapat sekitar 100.000 ekor harimau yang berkeliaran pada berbagai habitat di wilayah sejarah penyebarannya (GTI 2010). Jumlah populasi harimau saat ini terus menurun seiring dengan berkurangnya luas habitat harimau dunia yang mencapai 93% (Dinerstein et al. 2006, Sanderson et al. 2006). Penurunan tersebut terutama diakibatkan oleh perdagangan ilegal bagian tubuh harimau untuk obat-obatan tradisional, penangkapan atas harimau-harimau yang berkonflik (Tilson et al. 1994, Sunquist et al. 1999), berkurangnya hewan mangsa (Seidensticker


(51)

21

1986, Karanth & Stith 1999), serta hilangnya habitat alami (Dinerstein et al. 2006). Jumlah populasi harimau di dunia saat ini diperkirakan hanya tinggal sekitar 3.000-3.500 ekor yang hidup pada habitat alaminya (Sanderson et al. 2006, Morrel 2007, GTI 2010).

Gambar 4. Peta distribusi harimau di Pulau Sumatera pada lima tahun ter-akhir (Wibisono & Pusparini 2010).

Borner (1978) pernah memperkirakan bahwa jumlah populasi harimau sumatera ketika itu sekitar 1.000 ekor. Kemudian pada tahun 1985 perkiraan tersebut menurun menjadi 800 ekor harimau yang hidup di 26 kawasan konservasi dan hutan lindung lainnya (Santiapillai & Ramono 1987). Penilaian status distribusi dan populasi yang dilakukan tahun 1992 lalu, menunjukkan bahwa populasi harimau sumatera di alam diperkirakan hanya tinggal sekitar 500 individu (Tilson et al. 1994). Melihat pada semakin


(52)

22

tingginya ancaman terhadap kelangsungan hidup harimau saat ini, para ilmuwan dan pakar konservasi percaya bahwa jumlah harimau sumatera di alam telah mengalami penurunan yang drastis dalam beberapa dekade terakhir (Wibisono & Pusparini 2010). Bahkan diyakini jumlah harimau sumatera di alam saat ini hanya tinggal sekitar 300 ekor (Soehartono et al. 2007).

Kelangsungan hidup suatu populasi di alam berhubungan erat dengan demografi, genetik, serta faktor-faktor lingkungan (Noss et al. 1996). Selain itu, rendahnya angka kelahiran, tingginya angka kematian anak, tingginya tingkat ancaman, serta rendahnya populasi hewan mangsa merupakan faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi satu spesies di alam (Alikodra 1990). Menurut Karanth et al. (2002), secara alamiah populasi harimau di alam tergolong rendah. Di hutan daratan rendah Sumatera kepadatan populasi harimau berkisar antara 1-3 ekor/100 km2, sedangkan di hutan dataran tinggi atau pegunungan kepadatan populasinya sekitar 1 ekor/100 km2 (Santiapillai & Ramono 1993). Jenis-jenis hewan mangsa yang mendukung penyebaran populasi harimau sumatera diantaranya adalah rusa sambar, babi hutan, kijang, kancil atau napu serta beruk (Franklin et al. 1999, O‟Brien et al. 2003).

2.2 Habitat dan Daerah Jelajah 2.2.1 Habitat

Habitat adalah satu atau serangkaian komunitas biotik yang ditempati oleh satwa atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi satu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam komponen termasuk pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup serta melangsungkan reproduksinya secara berhasil (Bailey 1984).

Habitat satwaliar menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar seperti pelindung (cover atau shelter), pakan, air, tempat berkembang biak


(53)

23

dan areal teritori. Teritori merupakan suatu tempat yang dipertahankan oleh spesies satwaliar tertentu dari gangguan spesies lainnya. Tempat berlindung (cover) memberikan perlindungan pada satwaliar dari kondisi cuaca yang ekstrim ataupun predator. Berdasarkan sumber pakannya, satwaliar dapat diklasifikasikan sebagai herbivora, spermivora (pemakan biji), frugivora (pemakan buah), karnivora dan sebagainya. Kadang-kadang kebiasaan makan individu spesies satwaliar tertentu sangat beragam tergantung pada kesehatan, umur, musim, habitat dan ketersediaan pakan. Akses spesies satwaliar terhadap ketersediaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kepadatan populasi, cuaca, kerusakan habitat dan suksesi tumbuhan (Owen 1980).

Menurut Alikodra (1990), suatu habitat merupakan hasil interaksi dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen biotik terdiri atas vegetasi, mikro fauna, makro fauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya.

Harimau (Pantera tigris) merupakan salah satu predator terbesar yang penyebarannya dahulu hampir meliputi seluruh daratan Asia hingga beberapa pulau di Indonesia (Nowell & Jackson 1996). Harimau juga merupakan satwa teresterial yang menempati beragam tipe habitat, diantaranya hutan taiga dan boreal, hutan musim (deciduous forest), hutan tropis, hutan bakau, hutan rawa gambut, dan padang rumput aluvial (Sunquist et al. 1999, Sanderson et al. 2006).

Seperti halnya subspesies harimau lainnya, harimau sumatera juga mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam, sepanjang tersedia cukup mangsa, sumber air (Schaller 1967, Sunquist & Sunquist 1989, Sunquist et al. 1999) dan hutan sebagai tempat berlindung (cover), serta terhindar dari ancaman potensial. Harimau di Sumatera terdapat di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan, serta menghuni berbagai


(54)

24

tipe habitat mulai hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan bakau, hutan tebangan, perkebunan, hingga belukar terbuka. Namun, harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya karena hutan ini dapat mendukung biomassa hewan-hewan ungulata besar (Santiapillai & Ramono 1993), seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak) yang merupakan hewan mangsa harimau sumatera (Dinata & Sugardjito 2008). Menurut Griffiths (1994), keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 meter dpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 900-1.700 meter dpl. Kajian Dinata & Sugardjito (2008) menunjukkan bahwa habitat hutan yang dekat dengan alur sungai, aman dari perburuan hewan mangsa serta bebas dari kegiatan penebangan pohon, seprtinya merupakan merupakan lokasi yang ideal bagi kehidupan harimau sumatera.

Kehilangan habitat (Kinnaird et al. 2003, Linkie et al. 2003) dan perburuan untuk perdagangan bagian-bagian tubuh harimau (Kenney et al. 1994, Plowden & Blowes 1997) telah menyebabkan penyebaran dan populasi harimau sumatera menurun, serta telah membuat harimau sumatera semakin terdesak pada sisa-sisa habitat hutan yang ada. Bahkan diduga kuat hal tersebut juga yang telah mengakibatkan dua subpesies harimau jawa dan harimau bali menjadi punah di alam (Sunquist et al. 1999).

2.2.2 Daerah Jelajah

Daerah jelajah atau home range adalah satu wilayah yang biasa dikunjungi dan digunakan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas satwaliar (Owen 1980). Daerah jelajah ini merupakan wilayah yang secara tetap dikunjungi satwaliar karena dapat mensuplai makanan, minuman, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur serta tempat kawin (Boughey 1973, Pyke 1983). Owen (1980) juga menyatakan bahwa daerah jelajah satu individu satwaliar dapat diketahui melalui penangkapan, penandaan, dan pelepasan kembali satwaliar tersebut.


(1)

169


(2)

170

Lampiran 21. Nilai Nagelkerke R

2

dan uji Hosmer Lemeshow pada lima

variabel bebas.

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R

Square Nagelkerke R Square

1 280,794(a) ,224 ,302

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.


(3)

171

Lampiran 22. Hasil perhitungan nilai

kappa acuracy, comission error

dan

omission error.

Prosedur Presence (1) Absence (0)

Total User akurasi

Comission errors User Presence (1) 2988 1552 4540 0,658 0,342 Absence (0) 70 1478 1548 0,045 0,045

Total 3058 3030 6088 0,387

Prosedur akurasi 0,977 0,488

Omission errors 0,023 0,512 0,535

Kappa accuracy

= (Oa - Ca) / (1 - Ca)

Observed agreement (Oa)

= (2.988 + 1.478) / 6.088

= 0,734

Chance agreement (Ca)

= ((3.058 / 6.088) * (4.540/6.088)) +

((3.030 / 6.088) * (1.548 / 6.088))

= 0,501

Kappa accuracy

= (0,734 - 0,501) / (1 - 0,501)

= 0,466

=

46,6%

Omission error

= (70 / 3.058) + (1.552 / 3.030)

= 0,535

=

53,5%

Comission error

= (1.552 / 4.540) + (70 / 1.548)

= 0,387


(4)

172

Lampiran 23. Nilai KR harimau lokal dan hewan mangsa di Ulu Masen.

Lokasi Transek Panjang (km) Temuan (harimau) ER harim (tanda/km) Temuan (mangsa) ER mangsa (tanda/km)

EUM N29W37 39 1 0,03 9 0,23

EUM N29W38 30 2 0,07 11 0,37

EUM N30W36 32 1 0,03 1 0,03

EUM N30W37 31 0 0,00 2 0,06

EUM N30W38 48 2 0,04 12 0,25

EUM N30W39 15 0 0,00 8 0,53

EUM N30W40 39 2 0,05 20 0,51

EUM N31W36 26 1 0,04 2 0,08

EUM N31W37 27 0 0,00 4 0,15

EUM N31W38 27 2 0,07 13 0,48

EUM N31W39 26 1 0,04 10 0,38

EUM N31W40 38 1 0,03 4 0,11

EUM N31W41 52 3 0,06 16 0,31

EUM N31W42 28 0 0,00 8 0,29

EUM N32W36 38 0 0,00 2 0,05

EUM N32W37 23 1 0,04 19 0,83

EUM N32W38 25 2 0,08 8 0,32

EUM N32W40 19 0 0,00 9 0,47

EUM N32W41 41 0 0,00 17 0,41

EUM N32W42 22 0 0,00 9 0,41

EUM N32W43 19 1 0,05 5 0,26

EUM N33W36 28 1 0,04 3 0,11

EUM N33W38 33 2 0,06 8 0,24

EUM N33W39 38 8 0,21 12 0,32

EUM N33W40 23 2 0,09 10 0,43

EUM N33W41 28 2 0,07 10 0,36

EUM N33W42 31 6 0,19 10 0,32

EUM N33W43 13 0 0,00 2 0,15

EUM N33W44 37 2 0,05 9 0,24

EUM N34W37 39 1 0,03 2 0,05

EUM N34W38 28 2 0,07 2 0,07

EUM N34W39 30 0 0,00 10 0,33

EUM N34W40 29 3 0,10 11 0,38

EUM N34W42 35 2 0,06 11 0,31

EUM N34W44 21 1 0,05 2 0,10

EUM N35W41 33 3 0,09 11 0,33

EUM N35W42 36 2 0,06 3 0,08

EUM N35W43 33 1 0,03 13 0,39

EUM N36W41 30 0 0,00 3 0,10

EUM N36W42 35 0 0,00 3 0,09

EUM N36W43 23 1 0,04 3 0,13

EUM N36W44 30 0 0,00 1 0,03


(5)

173

Lampiran 24. Peta prediksi kelimpahan relatif harimau lokal di kawasan

hutan Ulu Masen.


(6)

174

Lampiran 25. Peta prediksi kelimpahan relatif hewan mangsa di kawasan

hutan Ulu Masen.