Pergerakan .1 Panjang dan Bentuk Lintasan Pergerakan

mencari wilayah kosong yang dapat dijadikan daerah jelajah oleh harimau yang ditranslokasikan tersebut. 5.1.2.2 Luas Daerah Jelajah Setiap individu harimau yang ditranslokasi dan dilepas-liarkan di kawasan yang berbeda di Sumatera, menetapkan daerah jelajah dengan yang berbeda-beda. Dengan banyaknya data yang dikumpulkan melalui dari kalung GPS memungkinkan dilakukannya pendugaan luas daerah jelajah harimau dengan metode Fixed Kernel FK. Perhitungan dengan FK95 memberikan variasi luas jelajah harimau jantan antara 37,5-188,1 km 2 dan betina 376,8 km 2 Tabel 9. Perkiraan ukuran daerah jelajah dengan metode FK memberikan hasil yang akurat namun membutuhkan sampel data yang besar Seaman Powell 1996, Mitchell 2007. Tabel 9. Luas daerah jelajah harimau yang diamati dengan kalung GPS yang dianalisis berdasarkan Minimum Convex Polygon dan Fixed Kernel. Harimau Lokasi N hari pengamatan N data posisi Daerah jelajah km 2 MCP 100 FK 95 FK 50 JD-1 TNBBS 224 3.469 191,2 140,9 27,9 JD-2 TNBBS 253 1.288 67,1 37,5 4,9 JD-3 TNGL 79 1.486 236 141,2 28,9 JD-5 TNKS 238 7.007 400 188,1 42,2 BD-1 KHUM 213 6.880 610,3 376,8 80,2 Luas daerah jelajah yang dibangun oleh masing-masing harimau translokasi tidak dipengaruhi oleh umur r= -0,580; P= 0,306, jenis kelamin r= 0,000; P= 1,000, kelimpahan harimau lokal r= 0,264; P= 0,668 serta kelimpahan hewan mangsa r= 0,667; P= 0,219. Namun demikian terdapat kecenderungan bahwa luas daerah jelajah yang dibentuk oleh setiap harimau translokasi berhubungan dengan kelimpahan hewan mangsa di masing- masing lokasi translokasi. Ahearn et al. 2001 melaporkan bahwa kelimpahan spesies hewan mangsa memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan daerah jelajah harimau. Smith et al. 1987 juga 75 berpendapat bahwa ukuran daerah jelajah harimau betina dipengaruhi oleh kelimpahan hewan mangsa dan kualitas habitat. Harimau jantan JD-1 dan JD-2 membentuk daerah jelajah dengan ukuran terkecil dibanding harimau translokasi lainnya. Kedua harimau tersebut dilepas-liarkan di TNBBS yang kelimpahan relatif hewan mangsa utamanya tertinggi. Sementara itu, harimau betina BD-1 membentuk daerah jelajah dengan ukuran terluas dibandingkan dengan harimau translokasi lainnya. BD-1 dilepas-liarkan di KHUM yang memiliki kelimpahan hewan mangsa utama terendah Lampiran 1. Lebih jauh, Griffiths 1994 menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan daerah jelajah harimau adalah ketersediaan hewan mangsa, dimana luas daerah jelajah harimau meningkat seiring dengan berkurangnya kepadatan hewan mangsa. Studi Franklin et al. 1999 menunjukkan bahwa semakin tinggi kelimpahan hewan mangsa utamanya, maka semakin kecil pula daerah jelajah satu individu harimau. Menurut Sunquist 2010, luasnya daerah jelajah pada harimau jantan lebih disebabkan untuk penguasaan betina daripada penguasaan sumber pakan. Rata-rata luas daerah jelajah MCP100 yang dihasilkan dari JD-1 dan JD-2 yang dilepas-liarkan dalam waktu dan lokasi yang sama, di hutan dataran rendah di TNBBS adalah 129 km 2 . Perkiraan ini mirip dengan perkiraan terdahulu dengan metode yang sama Franklin et al. 1999, yang menyatakan bahwa luas daerah jelajah harimau jantan dewasa di hutan dataran rendah TN Way Kambas adalah sekitar 110 km 2 . Luas daerah jelajah MCP100 harimau betina BD-1 yang dilepas-liarkan di KHUM dan harimau jantan yang dilepas-liarkan di TNKS memiliki luas jelajah yang sangat luas masing-masing 610,3 km 2 dan 400 km 2 . Ukuran daerah jelajah tersebut lebih luas jika dibandingkan dengan perkiraan luas jelajah harimau sumatera liar yang pernah ada sebelumnya. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan data yang digunakan dalam menduga ukuran daerah jelajah dengan metode MCP. Pendugaan-pendugaan luas daerah jelajah harimau yang ada sebelumnya Tabel 10 umumnya cenderung underestimate karena dilakukan menggunakan data dari camera-trapping dan radio-tracking. Kedua metode tersebut memiliki keterbatasan baik dalam hal penempatan camera trapping maupun dalam pelacakan signal radio-tracking, sehingga harimau studi sulit dilacak keberadaannya ketika menjauh dari wilayah studi. Estimasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan data posisi dari kalung GPS, sehingga hasilnya jauh lebih akurat dari hasil-hasil studi yang pernah ada di Sumatera, karena harimau-harimau studi selalu terlacak posisinya dimana pun mereka berada. Tabel 10. Perkiraan rata-rata luas daerah harimau sumatera dan pada beberapa subspesies harimau lainnya, dengan metode yang digunakan, jumlah harimau n dan referensi. No Lokasi Kelas umur Metode N Rata-rata ukuran daerah jelajah kisaran; km 2 Referensi 1 Chitwan Nepal BD RT MCP 3 16 15,3-16,5 Sunquist 1981 2 Chitwan Nepal BD RT 100 MCP 7 20,7 10-51 Smith et al. 1987 3 Panna India BD RT MCP 1 27 Chundawat et al. 1999 4 Nagarahole India BD RT 95 MCP 1 16,5 Karanth Sunquist 2000 5 Shikote-Alin Rusia BD RT 95 MCP 14 402 181-761 Goodrich et al. 2005 6 Way Kambas Sumatera BD CT 100MCP 5 40-70 Franklin et al. 1999 7 Ulu Masen Sumatera BD GPS 95FK 1 376,8 Penelitian ini 8 Sundarbans Banglades BD GPS 95 MCP 2 12,3 10,6-14,1 Barlow et al. 2011 9 Chitwan Nepal JD RT MCP 2 52,5 44,7-60,2 Sunquist 1981 10 Panna India JD RT MCP 1 243 Chundawat et al. 1999 11 Nagarahole India JD RT 95 MCP 4 43 25,7-57,8 Karanth Sunquist 2000 12 Shikote-Alin Rusia JD RT MCP 5 1,385 Goodrich et al. 2010 13 Jambi Sumatera JD RT 95 MCP 1 12,2 Maddox et al. 2007 14 Bukit Barisan Sumatera JD GPS 95FK 2 89,2 37,5-140,9 Penelitian ini 15 Way Kambas Sumatera JD CT MCP 1 110 Franklin et al. 1999 16 Leuser Sumatera JD GPS 95FK 1 141,2 Penelitian ini 17 Leuser Sumatera JD CT MCP 3 278 180-380 Griffiths 1994 18 Kerinci Sumatera JD GPS 95FK 1 188,1 Penelitian ini 77 Apabila data memungkinkan, sebaiknya metode FK digunakan dalam memprediksi ukuran daerah jelajah satwaliar. Penggunaan metode MCP akan selalu overestimate, karena poligon daerah jelajah yang dibentuk dengan metode ini didasarkan pada titik-titik terluar posisi harimau. Namun, pada kenyataanya, sebetulnya banyak areal di dalam daerah jelajah harimau yang dibentuk dengan MCP, sama sekali tidak digunakan oleh harimau dalam penjelajahannya. Menurut Nilsen et al. 2008 sebaiknya penggunaan metode MCP dihindari pada studi-studi ekologi. Mitchell 2007 menyatakan pendugaan luas daerah jelajah dengan metode FK membutuhkan banyak data, sehingga sulit dipenuhi oleh data-data yang dihasilkan dari camera-trapping atau radio-tracking. FK merupakan salah satu metode yang direkomendasikan untuk digunakan dalam menganalisis ukuran daerah jelajah satwa liar Mitchell 2007. Pada Tabel 10 juga dapat dilihat bahwa ukuran daerah jelajah harimau sangat bervariasi. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat variasi yang tinggi pada penggunaan wilayah jelajah pada harimau, baik sesama subspesies maupun di antara subspesies. Selain itu, harimau yang ditraslokasikan ke kawasan hutan yang baru akan membutuhkan areal yang lebih luas, sehubungan dengan adanya masa orientasi sebelum mereka membangun daerah jelajah tetapnya. Masa orientasi ini dibutuhkan mengingat pada saat harimau-harimau tersebut dilepas-liarkan di kawasan yang baru, di tempat tersebut sudah terdapat populasi harimau lokal. Oleh karena itu, pengukuran luas daerah jelajah harimau yang ditranslokasikan, sebaiknya dilakukan pada saat harimau tersebut sudah merasa “nyaman” tinggal di lokasinya yang baru. Kajian yang dilakukan oleh Franklin et al. 1999 menunjukkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera betina dewasa berkisar antara 40-70 km 2 , sedangkan Griffiths 1994 melaporkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera jantan dewasa sangat bervariasi, tergantung pada ketinggian habitat dari permukaan laut dpl. Berdasarkan perkiraannya, luas daerah jelajah harimau jantan dewasa sekitar 180 km 2 pada kisaran ketinggian antara 100- 600 meter dpl, 274 km 2 pada ketinggian antara 600-1.700 meter dpl, dan 380 km 2 pada ketinggian diatas 1.700 meter dpl. Berdasarkan studi kamera-trap jangka panjang, Maddox et al. 2004 melaporkan bahwa luas daerah jelajah seekor harimau sumatera jantan pada kawasan hutan dataran rendah di Jambi adalah 14,2 km 2 sedangkan betina dewasa rata-rata 7,9 km 2 . Jantan dewasa JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan ke kawasan yang sama pada waktu yang juga bersamaan di hutan dataran rendah TNBBS. Namun, yang menarik adalah bahwa daerah jelajah FK95 yang dibangun oleh kedua harimau jantan tersebut sangat berbeda, dimana daerah jelajah yang dibentuk oleh JD-1 140,9 km 2 hampir empat kali lebih luas dari luas daerah jelajah JD-2 37,5 km 2 . Selain itu, selama 7,5 bulan pengamatan, diketahui bahwa hampir 100 daerah jelajah JD-2 tumpang-tindih dan berada di dalam daerah jelajah JD-1. Hal ini memberi indikasi bahwa daerah jelajah harimau jantan juga tidak eksklusif, yakni suatu areal yang menjadi bagian dari daerah jelajah seekor harimau jantan, mungkin juga dapat digunakan oleh jantan lain pada waktu yang berlainan. Selain itu, pada kasus ini ada kemungkinan juga bahwa jantan JD-1 lebih dominan. Pada saat dilepas-liarkan, JD-1 berumur sekitar 6 tahun dengan berat tubuh 122 kg; sedangkan JD-2 berumur sekitar 4 tahun dengan berat tubuh 73 kg. Sebagai harimau jantan yang lebih dominan, JD-1 dapat menggunakan kawasan yang lebih luas, sehingga selain memiliki akses yang lebih besar terhadap hewan mangsa, JD-1 juga memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan harimau betina. Fixed Kernel 50 digunakan untuk menentukan areal inti core areal yang paling sering digunakan oleh satwa liar di dalam daerah jelajahnya Aliaga-Rossel et al. 2008. Menggunakan metode FK50 Edwards et al. 2001, Barlow et al. 2011 dapat diprediksi bahwa luas daerah jelajah inti individu harimau jantan translokasi adalah masing-masing JD-1= 27,9 km 2 , JD-2= 4,9 km 2 , JD-3= 28,9 km 2 dan JD-5= 42,2 km 2 Lampiran 7, 8, 9 dan 10; sedangkan daerah jelajah inti harimau betina BD-1= 80,2 km 2 Lampiran 11. Areal inti yang sering digunakan harimau sumatera translokasi berkisar antara 13,1 - 22,4 dari ukuran daerah jelajahnya masing-masing. Dari 79 data yang terkumpul, ada kecenderungan bahwa semakin besar luas daerah jelajah harimau translokasi, semakin besar pula persentase luas areal intinya. Selanjutnya memperhatikan pada bentuk dari setiap daerah jelajah yang dibangun dengan metode FK95, terlihat bahwa daerah jelajah harimau jantan JD-3 yang ditranslokasikan di kawasan hutan TNGL bentuknya memanjang Lampiran 9. Hal ini mengindikasikan bahwa sebetulnya sampai akhir masa pengamatan selama 97 hari, harimau JD-3 ini masih belum menetapkan daerah jelajahnya. Kemungkinan besar di lokasi dimana JD-3 dilepas-liarkan sudah ada harimau jantan dewasa lain yang mengokupasi wilayah tersebut, sehingga JD-3 masih menjadi individu harimau pelintas transient atau floater yang belum memiliki daerah jelajah yang tetap Karanth Chundawat 2002.

5.1.2.3 Bentuk Daerah Jelajah

Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa selama masa pengamatan daerah jelajah harimau jantan dewasa JD-1 yang ditranslokasikan ke TNBBS berbentuk menyerupai trapesium terbalik dengan panjang 20,08 km dan lebar 10,95 km. Namun, tidak semua areal di dalam poligon daerah jelajah digunakan oleh JD-1. Pada tingkat FK95 terlihat bentuk daerah jelajah JD- 1 menyerupai lingkaran lonjong oval dengan jarak terpanjang 16,33 km dan terlebar 10,95 km. Lampiran 8 memperlihatkan bahwa bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-2, yang lokasi translokasinya sama dengan JD-1 yaitu di TNBBS, terlihat seperti layang-layang terbalik dengan panjang 13,30 km dan lebar 8,58 km. Di dalam poligon daerah jelajah JD-2 juga terlihat areal-areal yang tidak digunakan oleh JD-2 selama masa pengamatan. Bentuk daerah jelajah JD-2 yang dihasilkan oleh FK95 adalah seperti lingkaran lonjong oval dengan jarak terpanjang 6,89 km dan terlebar 5,28 km. Lain halnya dengan JD-3 yang ditranslokasi ke TNGL, harimau jantan dewasa ini membangun daerah jelajah yang berbentuk seperti jajar genjang dengan panjang 31,47 km dan lebar 13,88 Lampiran 9. Harimau JD-3 ini diduga belum menentukan daerah jelajah tetapnya hingga akhir masa 2,5 bulan observasi, karena daerah jelajah hasil analisis FK95 masih berbentuk seperti koridor dengan jarak terpanjang 31,47 km dan terlebar 7,69 km. Pada Lampiran 10 diperlihatkan bahwa harimau jantan JD-5 selama 8 bulan pengamatan di TNKS membangun daerah jelajah yang bentuknya seperti persegi panjang 32,16 km x 14,33 km. Sama halnya dengan harimau lainnya yang mana di dalam daerah jelajahnya ini terdapat wilayah-wilayah yang sebetulnya tidak digunakan oleh JD-5 selama penjelajahannya. Dengan metode FK95 diketahui bahwa bentuk daerah jelajah JD-5 adalah belah ketupat berukuran 13,79 km x 13,09 km. Satu-satunya harimau betina dewasa yang ditranslokasi ke kawasan Ulu Masen membentuk daerah jelajah seperti lingkaran lonjong oval dengan panjang 37,14 km dan panjang 25,61 km Lampiran 11. Dalam wilayah jelajah yang terbangun ini juga sebetulnya banyak areal yang tidak digunakan BD-1 dalam pergerakannya. Melalui FK95, daerah jelajah harimau betina BD-1 berbentuk seperti layang-layang yang berukuran 35,80 km x 23,01 km. Dari hasil pengamatan diketahui harimau jantan JD-1 dan betina BD-1 menggunakan lokasi pelepas-liarannya sebagai bagian dari daerah jelajahnya. Harimau jantan JD-2 dan JD-5 sepertinya meninggalkan areal pelepas-liaran dan membangun daerah jelajah pada jarak masing-masing 4,06 km dan 14,64 km dari tempat mereka dilepas-liarkan. Harimau jantan JD-3 meninggalkan lokasi translokasi sejauh 31,52 km dan belum menetapkan daerah jelajahnya hingga akhir masa pengamatan. Menjauhnya JD-2, JD-5 dan JD-3 dari lokasi pelepas-liarannya mungkin akibat sudah adanya harimau lain yang mendiami lokasi pelepas-liarannya, sehingga mereka harus berusaha mencari wilayah kosong untuk dijadikan daerah jelajahnya. Contohnya, bergesernya harimau jantan JD-2 dari lokasi peliarannya akibat wilayah tersebut telah dijadikan bagian dari daerah jelajah harimau jantan JD-1, yang diliarkan pada lokasi dan waktu yang sama dengan JD-2. Berdasarkan survey transek sign Lampiran 1 diketahui juga bahwa lokasi pelepas-liaran harimau jantan JD-3 dan JD-5 telah kuasai oleh harimau