Sumberdaya di Wilayah Pesisir

coral dan algae berkapur calcareous algae , bersama dengan biota lainnya yang hidup di dasar. Algae yang dimaksud adalah algae koralin merah berbentuk hamparan encrusting, dan berperan penting dalam memelihara keutuhan terumbu dengan cara melekatkan terus menerus berbagai potongan kalsium karbonat CaCO 3 menjadi satu, sehingga memperkuat kerangka kapur Soekarno, 1993. Dari perkembangannya terumbu karang dapat dikelompokan dalam dua kelompok karang yang berbeda, yaitu karang hermatipik yang dapat menghasilkan terumbu dan karang ahermatipik yang tidak dapat menghasilkan terumbu. Karang ahermatipik banyak ditemukan di seluruh dunia, sedangkan karang hermatipik hanya tersebar di sekitar wilayah tropik. Perbedaan mencolok dan kedua jenis karang ini adalah pada jaringan karang hermatipik terdapat sel- sel tumbuhan zooxanthellae yang bersimbiosis dengan hewan karang, sedangkan pada karang ahermatipik tidak ditemukan. Peranan zooxanthellae sangat penting bagi perairan di sekitar terumbu karang karena dapat menyediakan dan menyuplai oksigen ke dalam perairan dari hasil proses photosintesis algae monoseluler Nybakken 1988. Terumbu karang memiliki fungsi fisik sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut Bengen, 2001. Ekosistem terumbu karang menjadi sangat penting karena banyak terdapat organisme yang hidup dan berasosiasi dengan karang sebagai tempat mencari makan feeding gound , reproduksi spawning gorund , pembesaran nursery ground , dan sebagai tempat berlindung space dari serangan predator. Selain itu, ekosistem terumbu karang juga memiliki nilai komersial laut marine commerciaf dibidang pariwisata, karena terdiri dari keanekaragaman jenis, bentuk, tipe, dan keindahan karang serta kejernihan perairan mampu membentuk perpaduan yang harmonis, estetika sebagai tempat rekreasi bawah laut. Ekosistem Lamun Ekosistem padang lamun di pulau kecil memiliki fungsi ekologis yang cukup besar dan penting. Ekosistem padang lamun dihuni: oleh berbagai jenis ikan dan udang, baik yang menetap, maupun bermigrasi ke padang lamun tersebut untuk mencari makan atau berlindung. Oleh karena itu, keberadaan padang lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Lamun seagrass merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga Angiospermae yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah propagule yang dihasilkan secara seksual dioecious Bengen, 2001. Lamun umumnya membentuk hamparan yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 - 12 meter, dengan sirkulasi air yang baik Bengen, 2001. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Ekosistem padang lamun bukan merupakan entitas yang terisolasi, tetapi berinteraksi dengan ekosistem lain di sekitarnya. Interaksi terpenting ekosistem padang lamun adalah dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang, dimana terdapat 5 lima tipe interaksi antara ketiga ekosistem tersebut, yakni: fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan dampak manusia Bengen, 2001. Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya maupun bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat pengasuhan. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, disamping secara ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan pembuat rumah Bengen, 2002. Komposisi jenis tumbuhan penyusun ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan salinitas Bengen, 2001. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung Bengen, 2001. Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya tumbuh di daerah pantai, merupakan jalur hijau, yang terdapat di teluk-teluk, delta-delta, muara sungai dan sampai menjorok kearah pedalaman garis pantai. Disamping itu hutan mangrove juga merupakan suatu tipe hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut. Tipe hutan ini mempunyai fungsi ekonomis dan ekologis. Fungsi ekonomisnya adalah menghasilkan kayu dan hasil hutan ikutan, sedangkan fungsi ekologisnya yang sangat penting adalah sebagai interface antara ekosistem daratan dan lautan. Dengan demikian didalam ekosistem mangrove paling sedikit terdapat lima unsur ekosistem yang saling terkait yaitu flora, fauna, perairan daratan dan manusia penduduk lokal yang hidupnya tergantung pada ekosistem mangrove Kusmana, 1995.

2.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi

Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaan dari pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai pengelolaan dari penggunaan manusia terhadap biosphere untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan datang IUCN, 1980 dalam Salm, 1984.

2.3.1. Landasan Hukum

Penetapan dan pengelolaan suatu kawasan perlu adanya peraturan yang menguatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar kegiatan tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat. Peraturan yang menjadi landasan hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi antara lain : a. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pada Pasal 18 Ayat 3 menyatakan bahwa kewenangan bidang kelautan dan perikanan bagi daerah Kabupaten yaitu seluas 4 mil laut atau 13 dari wilayah perairan propinsi 12 mil. Kewenangan-kewenangan dimaksud meliputi : eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan kepentingan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. b. Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 menyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. c. Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Klasifikasi penataan ruang dijelaskan pada Pasal 4 bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan,dan nilai strategis karyawan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang dijelaskan pada Pasal 6 ayat 1 bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan: 1. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana; 2. potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan 3. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi d. Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan Kawasan Konservasi Perairan yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 1 adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pembagian zonasi menurut pasal 17 ayat 4 terdiri dari zona inti; zona perikanan berkelanjutan; zona pemanfaatan; dan zona lainnya.