The study of marine conservation area in Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika) Buton South East Sulawesi with Marxan Application
KAJIAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
BATAUGA, SIOMPU, LIWUTONGKIDI, DAN KADATUA (BASILIKA)
KABUPATEN BUTON SULAWESI TENGGARA
DENGAN APLIKASI MARXAN
LA ILA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Kawasan
Konservasi Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika) Kabupaten
Buton Sulawesi Tenggara dengan Aplikasi Marxan adalah karya saya sendiri
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, September 2010
LA ILA
Nrp. C252080364
(3)
LA ILA, The study of marine conservation area in Batauga, Siompu, Liwutongkidi
dan Kadatua (Basilika) Buton South East Sulawesi with Marxan Application.
Supervised by NIKEN T.M. PRATIWI and AGUSTINUS M. SAMOSIR.
This research was conducted to rezone Basilika of marine conservation
area. The redefine zone is using Marxan method, which applies cost minimum
approach in searching the area. The conservation and cost feature used this
research are coral reef, spawning ground, specific organism, fishing ground and
navigation route. Coral cover presentation, reef fishes, and seagrass data was
collected using Line Intercept Transect (LIT), Underwater Visual Census, and
Quadrant Transect. MARXAN software was used to make the zoning area.
Result show hard coral cover was vary from 0.7-50.7%, reef fish were 182
species belonging of 43 families, and percent coverage of seagrass ranged from
13.67-80.67%. Based on the MARXAN analysis, the third scenario was the most
appropriate one, because all marine protected areas (DPL) becomes the core
zone while Liwutongkidi area become restricted use zones (as buffers). It is
possible to develop tourism activities in restricted use zones area without
exploiting the resource.
(4)
Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara dengan Aplikasi
Marxan. Dibimbing oleh NIKEN T.M. PRATIWI dan AGUSTINUS M. SAMOSIR.
Marxan adalah alat yang dapat membantu dalam mendesain kawasan
konservasi yang dijalankan dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3 dan
ekstensi CLUZ. Dalam Marxan dikenal 2 jenis data yaitu data fitur konservasi dan
data fitur biaya (cost). Fitur konservasi yang mewakili keadaan ekologi seperti
terumbu karang, ikan karang, padang lamun, dan biota lain serta statusnya
sedang fitur biaya adalah data sosial ekonomi berupa pemanfaatan sumberdaya.
Penelitian Kajian Kawasan Konservasi Batauga, Siompu, Liwutongkidi
dan Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara ini bertujuan untuk
mengetahui potensi dan kondisi terkini sumberdaya dan menata ulang zonasi
kawasan konservasi laut di kawasan Basilika Kabupaten Buton Sulawesi
Tenggara dengan aplikasi Marxan.
Penelitian ini berlokasi di kawasan Basilika yang terletak di bagian barat
Kabupate Buton Sulawesi Tenggara mencangkup 4 kecamatan yaitu Kecamatan
Batauga, Siompu, Siompu Barat dan Kadatua. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan April-Mei 2010. Data diperoleh langsung dari lapangan.
Pengamatan terumbu karang dengan metode
Line Intercept Transect
(LIT), pengamatan ikan karang dengan metode
Underwater Vicual Sensus
,
pengamatan lamun dengan metode transek kuadran (1X1 m) dengan jarak 10 m.
Sedang
pemanfaatan sumberdaya berdasarkan pengamatan lapangan dan
wawancara masyarakat pengguna sumberdaya. Untuk analisis zonasi kawasan
konservasi laut digunakan aplikasi Marxan.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa ekosistem pesisir di perairan
Basilika terdiri dari ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem utama dan
ekosistem lamun. Terumbu karang dan ikan karang menyebar merata ke seluruh
wilayah pesisir. Analisis zonasi dengan aplikasi Marxan menghasilkan empat
zona kawasan konservasi laut yaitu zona inti, zona pemanfaatan terbatas, zona
pemanfaatan tradisional dan zona lainnya.
Berdasarkan ketiga skenario yang dilakukan, zonasi yang terpilih
cenderung sama yaitu semula lokasi daerah pemijahan yang merupakan DPL
yang dibentuk masyarakat terpilih menjadi zona inti. Perbedaannya terletak pada
statun Pulau Liwutongidi. Skenario 1, tidak ada wilayah Liwutongkidi yang terpilih
menjadi zona inti, hanya sedikit yang terpilih menjadi zona pemanfaatan terbatas,
selebihnya merupakan zona perikanan tradisional. Skenario 2 hanya sedikit
wilayah liwutongkidi yang terpilih menjadi zona inti, sedangkan selebihnya terpilih
menjadi zona pemanfaatan terbatas dan zona pemanfaatan tradisional. Pada
skenario 3, 20% wilayah Liwutongkidi terpilih menjadi zona inti, serlebihnya
terpilih menjadi zona pemanfaatan terbatas.
(5)
dalam penetapan kawasan konservasi. Hal ini dapat dilihat dari zonasi yang
dihasilkan. Zona inti meliputi seluruh DPL dan sebagian kecil Liwutongkidi.
Sebagian besar wilayah Liwutongkidi yang mempunyai potensi paling baik
merupakan
zona
pemanfaatan
terbatas
yang
memungkinkan
untuk
dikembangkan kegiatan yang bermanfaat dengan tidak mengambil biota
didalamnya seperti wisata bahari.
Berdasarkan skenario yang ada, zonasi yang dipilih sudah cukup untuk
menunjukan konektivitas yang tinggi. Menurut Palumbi, (2004) bahwa hampir
semua larva ikan dan invertebrata dapat bergerak sejauh 10-100km sedang
pergerakan ikan dewasa umumnya lebih pendek yaitu 1-10km. Zona inti yang
terpilih letaknya cukup berdekatan, sehingga bila ada zona inti yang terganggu,
maka akan mudah mendapat suplai dari zona inti disekitarnya.
Perbedaan hasil zonasi atara kajian yang dilakukan sebelumnya dengan
kajian ini adalah status perairan Pulau Liwutongkidi. Pada kajian sebelumnya
menetapkan perairan Pulau Liwutongkidi sebagai zona inti. Hal ini akan sulit
diimplementasikan karena saat ini kepemilikan tanah di Pulau Liwutongkidi
merupakan kebun masyarakat setempat dan juga Liwutongkidi merupakan tujuan
wisata bagi masyarakat lokal maupun yang datang dari Kota Bau-Bau. Hal ini
karena Liwutongkidi mempunyai panorama pantai dan bawah laut yang indah,
juga mudah diakses karena lokasinya cukup dekat. Pada kajian ini menetapkan
sebagian kecil perairan Liwutongkidi sebagai zona inti dan selebihnya
merupakan zona pemanfaatan terbatas. Hasil tersebut lebih diterima oleh
masyarakat karena perairan Liwutongkidi masih bisa dimanfaatkan secara tidak
langsung seperti untuk kegiatan rekreasi.
(6)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
(7)
KAJIAN KAWASAN KONSERVASI LAUT BATAUGA, SIOMPU,
LIWUTONGKIDI DAN KADATUA (BASILIKA)
KABUPATEN BUTON SULAWESI TENGGARA
DENGAN APLIKASI MARXAN
LA ILA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(8)
(9)
Nama Mahasiswa
: LA ILA
Nomor Pokok
: C252080354
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Sc. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof.Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
(10)
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat yang diberikan
sehingga tesis yang berjudul “ Kajian Kawasan Konservasi Laut Batauga, Siompu,
Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton dengan Aplikasi Marxan” ini
dapat diselesaikan. Karya tulis ini merupakan penjabaran dari hasil penelitian dalam
rangka penyusunan tesis.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan
kepada
1. Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, M.Si dan Ir. Agustinus M Samosir, M.Phill, selaku
komisi pembimbing, Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc., selaku penguji luar komisi,
dan Dr. Ir. Fredinand Yulianda, M.Sc., selaku penguji bidang akademik yang
telah memberikan masukan dan arahan, juga kepada Prof. Dr. Ir. Mennofatria
Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisi dan
Lautan.
2. Direktur PMO COREMAP II Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan
Perikanan beserta seluruh jajarannya atas beasiswa yang diberikan
kepada penulis
3. Ibu, Ola, Pak Dindin dan Mas Aji yang telah membantu mengurus segala
administrasi, Mas Anton dan Mas Wenda yang telah meluangkan waktu untuk
membagi ilmu tentang Marxan sehingga dapat diaplikasikan dalam
pengolahan data, serta ‘ba Nani dan Mas Samsul B atas bantuannya.
4. Ayah, ibu, istri serta anak-anakku atas segala bantuan dan doanya.
Harapan penulis kiranya bantuan, dukungan moril dan materil baik langsung
maupun tidak langsung yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi perkembangan
Kawasan Konservasi Laut Daerah di Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara.
Bogor, September 2010
(11)
Buton Sulawesi Tenggara pada tanggal 31 Desember 1970 dari pasangan ayah
Lam Bahido dan ibu Wam Bina. Penulis merupakan anak ke 4 dari 6 bersaudara.
Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri Pasarwajo. Kemudian pada
tahun 1998 menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kalautan IPB. Desember Tahun 2002 penulis diterima bekerja di Pemerintah
Daerah Kabupaten Buton dan ditempatkan pada Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Buton.
Pada tahun 2008, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Biaya
pendidkan diperoleh dari Program Coremap II Word Bank.
(12)
xix
Halaman
DAFTAR TABEL ...
xxi
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ...
xxv
1. PENDAHULUAN ...
1
1.1. Latar Belakang ...
1
1.2. Perumusan Masalah ...
2
1.3. Tujuan Penelitian ...
2
1.4. Manfaat Penelitian...
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ...
5
2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir ...
5
2.1.1. Pengertian Wilayah Pesisir ...
5
2.1.2. Sumberdaya di Wilayah Pesisir ...
6
2.2. Pengeloaan Kawasan Konservasi ...
9
2.2.1. Landasan Hukum ...
9
2.2.2. Sistem Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah ...
11
2.3. Penataan Ruang Kajian Marxan ...
13
3. METODE PENELITIAN ...
15
3.1. Waktu dan Lokasi ...
15
3.2. Pengumpulan Data ...
15
3.2.1. Fitur Konservasi ...
15
3.2.2. Fitur Biaya (
Cost)
...
18
3.3. Analisis Data ...
18
4. KONDISI UMUM KAWASAN BASILIKA ...
23
4.1. Kondisi Umum ...
23
4.1.1. Keadaan Geografis ...
23
4.1.2. Iklim ...
23
4.1.3. Topografi ...
23
4.1.4. Kondisi Fisik-Kimia Perairan ...
24
4.2. Kondisi Sosial ...
25
4.2.1. Kependudukan ...
25
4.2.2. Mata Pencaharian Penduduk ...
26
4.2.3. Aksesbilitas ...
26
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ...
27
5.1. Karakter Kawasan Basilika ...
27
5.1.1. Fitur Konservasi ...
27
(13)
xx
5.2.3. Pengaturan Skenario ...
40
5.2.4. Peta Hasil Skenario ...
43
5.2.5. Pembahasan ...
45
6. KESIMPULAN DAN SARAN ...
51
2.1.Kesimpulan ...
51
2.2.Saran ...
51
DAFTAR PUSTAKA ...
53
(14)
xxi
Halaman
1.
Kriteria Skor Data...
20
2.
Tabel perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi, 2004) ...
21
3.
Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Perairan ...
24
4.
Jumlah penduduk tiap kecamatan ...
25
5.
Laju Pertumbuhan Penduduk ...
26
6.
Persentase penutupan karang di lokasi pengamatan ...
28
7.
Jumlah jenis ikan karang yang ditemukan di lokasi pengamatan ...
31
8.
Fitur konservasi ...
36
9.
Fitur biaya ...
39
10.
Faktor denda dan persentase target tiap skenario pada fitur
konservasi ...
40
(15)
(16)
xxiii
Halaman
1.
Peta lokasi penelitian ...
16
2.
Alur tabulasi input file data Marxan dengan Arcview dan CLUZ ...
19
3.
Topografi di wilayah pesisir Basilika ...
24
4.
Kondisi dasar perairan yang berpasir ...
30
5.
Faktor penyebab kerusakan karang ...
30
6.
Jenis ikan yang ditemukan di lokasi penelitian ...
30
7.
Grafik persentase penutupan lamun ...
32
8.
Biota yang menarik wisatawan ...
33
9.
Peta daerah kajian ...
36
10.
Peta fitur konservasi ...
37
11.
Peta fitur cost ...
38
12.
Grafik hubungan antara luas area terhadap panjang batas pada
skenasio 1 ...
43
13.
Peta zonasi kawasan pada skenario 1 ...
44
14.
Peta zonasi kawasan pada skenario 2 ...
46
15.
Peta zonasi kawasan pada skenario 3 ...
47
(17)
(18)
xxv
Halaman
1.
Jenis pekerjaan masyarakat ...
57
2.
Kondisi terumbu karang di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan
Kadatua tahun 2006 (Napoleon, 2006) ...
58
3.
Jenis-jenis ikan yang terdata di kawasan Basilika ...
59
4.
Persentase penutupan dan jenis lamun ...
65
(19)
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah
memberi landasan yang cukup kuat bagi pemerintah untuk mengambil dan
membagi tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan
lautan. Undang-undang tersebut memberikan peluang bagi pemerintah daerah
untuk
dapat
mengembangkan
potensinya
dalam
mensejahterakan
masyarakatnya. Namun di sisi lain, pemerintah daerah harus mampu secara
kreatif melakukan terobosan-terobosan, khususnya di sektor ekonomi dengan
memanfaatkan sumberdaya yang ada. Salah satu terobosan dalam pengelolaan
sumberdaya hayati tersebut adalah dengan terbentuknya KKLD Liwutongkidi
dengan ketetapan Bupati Buton di tahun 2006.
Secara umum geomorfologi Kabupaten Buton, khususnya kawasan
Basilika terdiri atas 3 pulau kecil, dan masyarakatnya hidup dengan
mengandalkan sumberdaya hayati yang ada di sekitarnya. Sebagian besar
masyarakat di kawasan ini berprofesi sebagai petani dan tidak sedikit pula yang
mencari nafkah di laut. Wilayah pesisir kawasan ini memiliki ekosistem terumbu
karang yang berperan strategis dalam menunjang kehidupan masyarakat,
sehingga upaya pelestarian serta rencana pemanfaatan dan pengelolaannya
perlu diatur sedemikian rupa agar tertata dengan baik.
Pemerintah Kabupaten Buton didukung oleh Program COREMAP Fase II
melakukan kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi kerusakan lingkungan
perairan. Salah satunya adalah dengan memfasilitasi masyarakat desa untuk
membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) di tiap desa wilayah program. Hal
ini dilakukan agar masyarakat dapat menumbuhkembangkan rasa memiliki DPL
tersebut. Penataan ruang dan peran kawasan konservasi satu dengan yang lain
belum maksimal pengelolaannya. Oleh karena itu perlu adanya kajian yang
mengarah pada pengelolaan kawasan konservasi laut.
Proses
perencanaan
konservasi
umumnya
dimulai
dengan
mengidentifikasi lingkungan daerah dan biota yang akan dikonservasi (Knight
et
al
. 2006). Wilayah prioritas umumnya diidentifikasi dengan membagi wilayah
perencanaan menjadi beberapa unit-unit perencanaan, ukuran dan dimensi,
menghitung jumlah masing-masing fitur konservasi di masing-masing unit
perencanaan, dan memilih daerah yang memenuhi target bila digabungkan.
(20)
Proses ini dapat dilakukan secara manual, tapi akan lebih efisien bila dilakukan
dengan perangkat lunak (software). Salah satu metode yang saat ini mulai
banyak digunakan dalam penentuan kawasan konsevasi adalah dengan aplikasi
Marxan (Ball dan Possingham, 2000). Marxan adalah sebuah perangat lunak
yang dapat membantu untuk merancang sebuah kawasan konservasi dengan
skenario yang kita tetapkan dan tujuan yang dicapai berdasarkan biaya
terendah.
Dengan aplikasi ini diharapkan kawasan konservasi laut yang dibentuk dapat
dikelolah dengan baik, sehingga dapat menyumbang sebagai salah satu lahan
konservasi di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Pemerintah Kabupaten Buton melalui Surat Keputusan Bupati Buton
Nomor 1578 Tahun 2006 telah menetapkan Pulau Liwutongkidi sebagai
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Namu wilayahnya sangat kecil yaitu
hanya meliputi wilayah Pulau Liwutongkidi. Hal ini tidak sesuai dengan konsep
KKLD yang terdiri dari beberapa zona.
Pada Tahun 2008, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia kajian ulang Kawasan Konservasi Laut Daerah, dan memperluas
wilayah kajian tersebut menjadi sembilan kecamatan, yaitu Batu Atas,
Sampolawa, Batauga, Siompu, Siompu Barat, Kadatua, Mawasangka ,
Mawasangka Timur dan Talaga Raya.. Zona inti dalam kajian ini meliputi DPL
bentukan masyarakat dan seluruh wilayah Pulau Liwutongkidi. Hal ini akan
bertentangan dengan masyarakat karena Pulau Liwutongkidi merupakan kebun
milik masyarakat setempat sehingga tidak memungkinkan untuk ditutup.
Disamping itu, Pulau Liwutongkidi merupakan tujuan wisata masyarakat.
Saat ini Pemerintah Kabupaten Buton melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) merekomendasikan pemekaran sebagian wilayah KKLD menjadi
kabupaten baru yaitu Kabupaten Buton Selatan. Oleh karena itu perlu penataan
kembali zonasi KKLD tersebut.
Merujuk permasalahan diatas maka perlu dilakukan kajian ulang tentang
zonasi Kawasan Konservasi Laut di Kabupaten Buton, khususnya di Kawasan
Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika).
(21)
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan antara lain :
1. Untuk mengetahui potensi dan kondisi terkini dari sumberdaya pesisir di
perairan kawasan Basilika.
2. Menata ulang zonasi kawasan konservasi laut daerah dengan aplikasi
Marxan.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah adanya penataan ulang zonasi kawasan
konservasi laut daerah di kawasan Basilika yang diperoleh dengan aplikasi
Marxan yang merupakan pendekatan metode berbasis spasial ekologi. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah daerah setelah
adanya pemekaran.
(22)
(23)
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir
(coastal zone)
merupakan daerah yang unik, karena pada
daerah ini hanya bisa dijumpai daerah pasang surut, hutan bakau, terumbu
karang, hempasan gelombang, perairan pantai, dan pulau-pulau penghalang
pantai. Akibat dari keberagaman dan perubahan yang sering terjadi di wilayah
pesisir, kebanyakan negara menyatakan bahwa daerah pesisir merupakan
daerah yang memerlukan perhatian khusus. Lebih jauh disebutkan pula bahwa,
sebagai daerah transisi antara daratan dan lautan, wilayah pesisir merupakan
daerah yang memiliki beberapa habitat yang produktif dan berharga dari biosfer,
seperti estuari, laguna, lahan basah pesisir, dan ekosistem terumbu karang.
Daerah ini juga merupakan daerah yang memiliki dinamika sumberdaya alam
yang besar dimana proses transfer energi alami banyak terjadi dan kelimpahan
yang besar dari organisme alami juga dapat ditemukan di wilayah ini
(Clark, 1996).
2.2. Pengertian Wilayah Pesisir
Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu
pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan.
Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi.
Ketchum, (1972)
in
Kay (1999) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk
daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan
di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Dilihat
dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari Kabupaten atau Kota
yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk
Provinsi atau 1/3 dari 12 mil untuk Kabupaten/Kota. Dilihat dari aspek
perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan
difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung
jawab (Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, 2001).
Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan
(24)
laut dan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2.000 km
2beserta kesatuan ekosistemnya. Sedangkan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat
dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
2.2.1. Sumberdaya di Wilayah Pesisir
Potensi sumberdaya yang terdapat di pulau kecil akan tergantung pada
proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga
secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur yang berbeda,
dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi
spesifik dan spesies endemik serta keanekaragaman yang tipikal (Bengen,
2002).
Secara umum, sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya dapat pulih (
renewable resources
),
sumberdaya tidak dapat pulih (
non-renewable resources
). Sumberdaya dapat
pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, plankton, benthos, moluska, mamalia laut,
rumput laut (
seaweed
), lamun (
seagrass
), mangrove, terumbu karang, krustasea
atau udang, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (
mariculture
).
Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan
tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit, serta bahan tambang
lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut adalah
pariwisata dan perhubungan laut.
Ekosistem Terumbu Karang
Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal
ini didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam. Perairan
karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh
beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu ekosistem terumbu karang
dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat
wisata bahari (Bengen, 2002).
Ekosistem terumbu karang adalah suatu ekosistem di dalam laut tropis
yang dibangun oleh biota laut penghasil kapur, khususnya karang batu (
stony
(25)
coral
) dan algae berkapur (
calcareous algae
), bersama dengan biota lainnya
yang hidup di dasar. Algae yang dimaksud adalah algae koralin merah berbentuk
hamparan (encrusting), dan berperan penting dalam memelihara keutuhan
terumbu dengan cara melekatkan terus menerus berbagai potongan kalsium
karbonat (CaCO
3) menjadi satu, sehingga memperkuat kerangka kapur
(Soekarno, 1993).
Dari perkembangannya terumbu karang dapat dikelompokan dalam dua
kelompok karang yang berbeda, yaitu karang hermatipik yang dapat
menghasilkan terumbu dan karang ahermatipik yang tidak dapat menghasilkan
terumbu. Karang ahermatipik banyak ditemukan di seluruh dunia, sedangkan
karang hermatipik hanya tersebar di sekitar wilayah tropik. Perbedaan mencolok
dan kedua jenis karang ini adalah pada jaringan karang hermatipik terdapat
sel-sel tumbuhan (
zooxanthellae
) yang bersimbiosis dengan hewan karang,
sedangkan pada karang ahermatipik tidak ditemukan. Peranan
zooxanthellae
sangat penting bagi perairan di sekitar terumbu karang karena dapat
menyediakan dan menyuplai oksigen ke dalam perairan dari hasil proses
photosintesis algae monoseluler (Nybakken 1988).
Terumbu karang memiliki fungsi fisik sebagai pelindung pantai dari
hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut (Bengen, 2001).
Ekosistem terumbu karang menjadi sangat penting karena banyak terdapat
organisme yang hidup dan berasosiasi dengan karang sebagai tempat mencari
makan (
feeding gound
), reproduksi (
spawning gorund
), pembesaran (
nursery
ground
), dan sebagai tempat berlindung (
space
) dari serangan predator. Selain
itu, ekosistem terumbu karang juga memiliki nilai komersial laut (
marine
commerciaf
) dibidang pariwisata, karena terdiri dari keanekaragaman jenis,
bentuk, tipe, dan keindahan karang serta kejernihan perairan mampu
membentuk perpaduan yang harmonis, estetika sebagai tempat rekreasi bawah
laut.
Ekosistem Lamun
Ekosistem padang lamun di pulau kecil memiliki fungsi ekologis yang
cukup besar dan penting. Ekosistem padang lamun dihuni: oleh berbagai jenis
ikan dan udang, baik yang menetap, maupun bermigrasi ke padang lamun
tersebut untuk mencari makan atau berlindung. Oleh karena itu, keberadaan
padang lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di
(26)
kawasan tersebut.
Lamun (
seagrass
) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(
Angiospermae
) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup
terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui
penyebaran buah (
propagule
) yang dihasilkan secara seksual (
dioecious
)
(Bengen, 2001).
Lamun umumnya membentuk hamparan yang luas di dasar laut yang
masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi
pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada
kedalaman berkisar antara 2 - 12 meter, dengan sirkulasi air yang baik (Bengen,
2001).
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat
berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering
ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove
dan terumbu karang.
Ekosistem padang lamun bukan merupakan entitas yang terisolasi, tetapi
berinteraksi dengan ekosistem lain di sekitarnya. Interaksi terpenting ekosistem
padang lamun adalah dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang, dimana
terdapat 5 (lima) tipe interaksi antara ketiga ekosistem tersebut, yakni: fisik,
bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan dampak
manusia (Bengen, 2001).
Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang
sangat berperan bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya
maupun bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai
tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan
sebagai tempat pengasuhan. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai
penahan abrasi yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, disamping secara
ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan
pembuat rumah (Bengen, 2002).
Komposisi jenis tumbuhan penyusun ekosistem mangrove ditentukan
oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut
dan salinitas (Bengen, 2001). Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi
pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang
(27)
mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal
yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan
arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di
pantai-pantai teluk dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung
(Bengen, 2001).
Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya tumbuh di
daerah pantai, merupakan jalur hijau, yang terdapat di teluk-teluk, delta-delta,
muara sungai dan sampai menjorok kearah pedalaman garis pantai. Disamping
itu hutan mangrove juga merupakan suatu tipe hutan yang dipengaruhi pasang
surut air laut. Tipe hutan ini mempunyai fungsi ekonomis dan ekologis. Fungsi
ekonomisnya adalah menghasilkan kayu dan hasil hutan ikutan, sedangkan
fungsi ekologisnya yang sangat penting adalah sebagai interface antara
ekosistem daratan dan lautan. Dengan demikian didalam ekosistem mangrove
paling sedikit terdapat lima unsur ekosistem yang saling terkait yaitu flora, fauna,
perairan daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidupnya tergantung pada
ekosistem mangrove (Kusmana, 1995).
2.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi
Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaan dari
pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan
perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai
pengelolaan
dari
penggunaan
manusia
terhadap
"biosphere"
untuk
mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan
tetap memelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan
datang (IUCN, 1980
dalam
Salm, 1984).
2.3.1. Landasan Hukum
Penetapan dan pengelolaan suatu kawasan perlu adanya peraturan yang
menguatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar kegiatan
tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat. Peraturan yang menjadi
landasan hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi antara lain :
a. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pada Pasal 18 Ayat 3 menyatakan bahwa kewenangan bidang kelautan dan
perikanan bagi daerah Kabupaten yaitu seluas 4 mil laut atau 1/3 dari wilayah
(28)
perairan propinsi (12 mil). Kewenangan-kewenangan dimaksud meliputi :
eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
pengaturan kepentingan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; bantuan penegakan
keamanan dan kedaulatan negara.
b. Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 1 menyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor,
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut,
serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
c. Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Klasifikasi penataan ruang dijelaskan pada Pasal 4 bahwa penataan ruang
diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah
administratif, kegiatan kawasan,dan nilai strategis karyawan.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang dijelaskan pada
Pasal 6 ayat (1) bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan:
1. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan
terhadap bencana;
2. potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan
keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai satu kesatuan; dan
3. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi
d. Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan
Kawasan Konservasi Perairan yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 1 adalah
kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk
mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan. Pembagian zonasi menurut pasal 17 ayat 4 terdiri dari zona
inti; zona perikanan berkelanjutan; zona pemanfaatan; dan zona lainnya.
(29)
e. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 17 Tahun 2008 tentang
Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Kawasan konservasi yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 8 adalah bagian
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu
sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau
dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Kewenangan pengelolaan kawasan yang dimaksud pada Pasal 24 dapat
dilaksanakan oleh :
1. pemerintah untuk kawasan konservasi nasional;
2. pemerintah daerah provinsi untuk kawasan konservasi provinsi; dan
3. pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kawasan konservasi kabupaten/
kota.
f. Keputusan Bupati Buton No. 1578 Tahun 2005 Tentang Penetapan Pulau
Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.
Keputusan Bupati ini berisi antara lain :
1. Menetapkan Pulau Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) Kabupaten Buton Berbasis Masyarakat.
2. Perlindungan dan pengelolaan Pulau Liwutongkidi sebagai Konservasi
Laut Daerah (KKLD) dilaksanakan dengan pola berbasis masyarakat.
2.3.2. Sistem Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah
Sistem zonasi kawasan konservasi laut adalah suatu bentuk rekayasa
teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai
dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis
yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem (DKP, 2007).
Mengakomodasi semua keinginan dan kebutuhan semuan pihak
sebagai pengguna kawasan, seperti pengembangan pariwisata, perikanan
dan nilai-nilai konservasi serta kebutuhan suatu KKLD adalah hal yang
cukup sulit. Kegiatan pemanfaatan di suatu Kawasan Konservasi dapat
sejalan dan selaras dengan konservasi, sepanjang adanya pengelolaan
yang baik. Walaupun begitu, kerusakan dapat juga terjadi akibat
pembangunan sarana fisik di KKLD.
(30)
Sampai saat ini penataan zonasi kawasan konservasi laut belum optimal
karena kelengkapan data dan informasi dasar dari potensi sumberdaya pesisir
yang ada belum optimal. Penataan zonasi kawasan konservasi laut merupakan
pembagian kawasan atas berbagai zona yang mencerminkan adanya suatu
perlakuan tertentu di masing-masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan
untuk optimalisasi fungsi dan peruntukkan potensi sumberdaya alam hayati dan
ekosistem pada setiap bagian kawasan (Sriyanto, 1998).
Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku
dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak
mudah dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi
hal ini dapat ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan
dibatasi secara jelas untuk menegaskan batasnya (Laffoley, 1995).
Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud dalam PP NO.60 Tahun
2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, terdiri dari zona inti, zona
perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya sesuai dengan
keperluan. Zonasi tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut :
1.
Zona Inti
merupakan DPL yang dibentuk oleh masyarakat dan bila
dianggap masih kecil, maka dapat ditambah jumlah dan luasnya. Zona ini
diperuntukan bagi: (a) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, (b)
penelitian, dan (c) pendidikan.
2.
Zona Perikanan Berkelanjutan
merupakan zona yang memiliki nilai
konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan oleh
pengguna (nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang mempunyai
potensi untuk berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona
perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi : (a) perlindungan habitat
dan populasi ikan, (b) penangkapan ikan dengan alat dan cara yang
ramah lingkungan, (c) budidaya ramah lingkungan, (d) pariwisata dan
rekreasi, (e) penelitian dan pengembangan, dan (f) pendidikan.
3.
Zona Pemanfaatan
akan ditentukan supaya selaras dengan berbagai
pemanfaatan yang ada dalam kawasan dan sesuai dengan tujuan KKLD.
Zona Pemanfaatan diperuntukkan bagi: (a) perlindungan habitat dan
populasi ikan, (b) pariwisata dan rekreasi, (c) penelitian dan
pengembangan, dan (d) pendidikan.
(31)
4.
Zona lainnya
merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya
ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona
rehabilitasi dan sebagainya.
2.4. Penataan Ruang Kajian Marxan
Marxan (
Marine Reserve Design using Spatially Explicit Anealling
)
dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan Spexan untuk memenuhi
kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA)( Ball, I. R. and
H.P. Possingham, 2000). Ide yang mendasari pengembangan MARXAN ini
adalah permasalahan perencana konservasi dalam menentukan daerah
konservasi karena daerah perencanaan yang berpotensi cukup luas sehingga
banyak kemungkinan daerah yang akan dipilih sebagai daerah konservasi.
Perangkat lunak Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat
digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlindungan laut atau
jejaring kawasan perlindungan laut. Hal ini karena Marxan dapat memberikan
bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan skenario
perencanaan yang telah disiapkan secara otomatis (Darmawan and Darmawan,
2007). Dengan perangkat lunak ini para perencana dapat mencoba berbagai
skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan melihat hasilnya. Dari hasil
tersebut perencana dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan.
Penggunaan Marxan sangat mudah bagi pengguna pemula karena
prosesnya didesain secara otomatis sehingga pengguna dapat mencoba
berbagai scenario dan dapat melihat seperti apa hasilnya (Meerman, 2005).
Perangkat lunak ini menggunakan algoritma
simulated annealing
, yang memiliki
cara kerja terbagi menjadi 3 bagian, yaitu
iterative improvement, random
backward dan repetition
. Ketiga langkah algoritma tersebut berfungsi mencari
nilai
cost
yang paling rendah.
Penerapan Marxan telah digunakan untuk mendukung perancangan
kawasan konservasi laut dan darat di seluruh dunia. Namun Marxan lebih dikenal
untuk digunakan dalam merancang jaringan konservasi pada ekosistem terumbu
karang di daerah tropis dan subtropis (Fernandes
et. al
., 2005). Beberapa zonasi
kawasan konservasi di Indonesia telah menggunakan Marxan. Hal ini dilakukan
karena Marxan mempunyai beberapa keunggulan antara lain :
(32)
1. Software MARXAN dapat dengan mudah terintegrasi dengan program
Arcview,
dengan
tersedianya
ekstensi-ekstensi
yang memudahkan
pembuatan planning unit, file-file yang diperlukan MARXAN serta otomatisasi
pembuatan shapefile hasil perhitungannya.
2. Mempunyai skenario luas dan terbuka, berbagai skenario dapat
dikembangkan agar tercipta sebuah bentuk kawasan konservasi yang sesuai
dengan yang diinginkan.
3. Transparan, seluruh proses dilakukan secara algoritma matematis, sehingga
alurnya dapat diikuti dalam kerangka ilmiah. Selain itu juga berbagai faktor,
baik ekologi maupun sosial dapat menjadi input dalam perhitungan.
4. Bisa mengadopsi penataan zonasi menurut PP No. 60 Tahun 2007 dan
Permen No. 17 Tahun 2008
(33)
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai April 2010. Data yang
diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data
terumbu karang, ikan karang, lamun, daerah spesies tertentu dan wilayah
tangkapan nelayan. Data sekunder meliputi data sosial masyakat meliputi jumlah
penduduk, luas wilayah, dan mata pencaharian penduduk.
Penelitian dilaksanakan Kawasan Basilika (Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan
Kadatua) yang merupakan wilayah Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara
(Gambar 1). Secara administratif lokasi penelitian mencakup 4 (empat)
kecamatan yaitu Kecamatan Batauga, Siompu, Siompu Barat dan Kadatua.
3.2. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan Marxan untuk menganalisa zonasi
kawasan konservasi laut. Metode ini menggunakan 2 macam input data yaitu
data fitur konservasi dan data fitur biaya (
cost
). Fitur konservasi yang mewakili
keadaan ekologi seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove dan lain-lain
serta statusnya sedang fitur biaya adalah data sosial ekonomi dan pemanfaatan
sumberdaya.
3.2.1. Fitur Konservasi
Fitur konservasi adalah fitur yang mencakup keanekaragaman hayati
pesisir Basilika diantaranya adalah terumbu karang, ikan karang, padang lamun
dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang potensi sumberdaya tersebut,
perlu adanya data, baik berupa data primer maupun data sekunder.
a. Data Karang
Metode penelitian penilaian kondisi terumbu karang yang digunakan
yaitu dengan Metode
Line Intercept Transect
(LIT) (English
et. al
, 1994)
yang berpedoman pada bentuk pertumbuhan karang. Penelitian dilakukan
pada kedalaman tertentu yang mewakili kondisi karang di lokasi tersebut.
Pengamatan dilakukan dengan menyelam menggunakan peralatan SCUBA
mulai dari 0 – 10 m, 30 – 40 m dan 60 – 70 m.
(34)
(35)
Persentase penutupan karang merupakan perbandingan antara hasil
pengukuran karang hidup terhadap panjang total transek dengan persamaan
sebagai berikut (English,
et. al
, 1994):
X100%
L
L
N
ii
=
Dimana :
N
i= Persentase Penutupan karang
L
i= Panjang total lifeform jenis ke-i
L = Panjang total transek
b. Data Ikan
Data ikan karang diperoleh dengan metode pengamatan visual
(
Visual Census Method
) yang menggunakan transek garis yang sama untuk
pengamatan data karang, sehingga dapat diperoleh deskripsi rinci mengenai
kondisi komunitas karang tempat ikan tinggal. Pencatat data ikan karang
berenang di atas transek garis sepanjang 70 meter sambil mencatat seluruh
spesies ikan dan kelimpahannya yang ditemukan sejauh 2,5 m ke kiri dan
2,5 m ke kanan dari transek garis (English,
et. al
, 1994).
c. Data Lamun
Pengamatan lamun juga dilakukan dengan metode transek kuadrat.
Transek tersebut dilakukan tegaklurus dengan garis pantai yang dianggap
mewakili tiap stasiun. Pada setiap transek, data yang diambil dengan
menggunakan petak berukuran 1 X 1 m, dengan jarak antara petak 10 m.
Untuk mengetahui besarnya sumberdaya, dilakukan pengamatan
persentase penutupannya dengan formula sebagai berikut (Setyabudiandi
et
al
. 2009):
C
= (
∑C
i)/ N
Dimana:
C = Persen penutupan lamun
C
i= Persen penutupan lamun tiap substasiun
N = Jumlah substasiun
(36)
d. Data Pemijahan Ikan
Daerah pemijahan ikan merupakan areal yang sangat penting dalam
penentuan zonasi kawasan konservasi. Data daerah pemijahan ini
diperoleh dari wawancara dengan nelayan setempat yang mengetahui lokasi
yang sering ditemukan ikan yang matang gonad.
e. Ruaya Mamalia
Ruaya mamalia juga sangat penting dalam zonasi kawasan
konservasi. Hal ini dilakukan demi keberlanjutan hidup dari mamalia tersbut.
Informasi ruaya mamalia dapat dilakukan pengamatan langsung di lapangan
dan dari informasi masyarakat yang sering melihat mamalia tersebut.
f. Data DPL
DPL (
daerah perlindungan laut
) adalah daerah perlindungan yang
dibentuk masyarakat desa yang difasilitasi oleh Program Coremap. Tiap
desa wilayah binaan Coremap mempunyai satu DPL yang berfungsi
untuk
menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut.
Data DPL berupa titik koordinat dan luas DPL tiap desa binaan yang
diperoleh dari Unit Pengelola Program Coremap di Kabupaten Buton. Dalam
penentuan zonasi ini diharapkan masing-masing DPL dapat terakomodir
sebagai zona inti dalam KKLD.
3.2.2. Fitur Biaya (Cost)
Fitur biaya dalam
input
Marxan berupa data sosial tentang pemanfaatan
sumberdaya dan kawasan, yang meliputi pelabuhan, jalur kapal, daerah
penangkapan dan kegiatan lain. Data tersebut diperoleh dari pengamatan
langsung di lapangan dan berupa hasil wawancara dengan masyarakat
pengguna langsung sumberdaya tersebut.
3.3. Analisis Data
Menganalisis zonasi kawasan konservasi, diperlukan dua macam input
data, yaitu data fitur konservasi dan data fitur biaya. Fitur konservasi adalah fitur
yang mempunyai idikator yang mengharuskan daerah tersebut dikonservasi.
sedang fitur biaya yang menyebabkan biaya konservasi meningkat.
Masing-masing parameter mempunyai tingkat kepentingan dan kualitas data yang
(37)
berbeda-beda, sehingga
Data yang tela
dengan sistem
present/a
data habitat (
habitat.sh
Adapun alur tabulasi file
Gambar 2 Alur tabul
Secara umum pr
shapefile
yaitu
Plannin
(Cost.shp) seperti yang
proses pembuatan heks
units
(Pu.shp),
Abundan
heksagon dengan wujud
Pengolahan 3 b
menghasilkan 4 buah fi
Bound.dat yang menja
Conservation Land Usin
data yang akan digunaka
Pembobotan Fitur
Penentuan bobo
konservasi dengan bo
konservasi, demikian j
Basilika, bobot nilai ber
modifikasi Workshop T
dengan mempertimbang
ga penalti faktor dendanya (
penalty factor
) juga b
elah dikelompokan dimasukkan kesatuan per
nt/absent
. Data konservasi yang sudah dimasukk
.shp
) dan data fitur biaya disebut data biaya (
ile data sebagai berikut :
bulasi input file data Marxan dengan Arcview dan C
proses penyiapan data untuk Marxan terfokus pa
ning units
(Pu.shp),
Abundance
(Habitat.shp),
g tampak pada Gambar 2. File tersebut dihasilka
ksagonal lengkap dengan proses
cropping
. File
dance
(Habitat.shp), dan
Cost
(Cost.shp) adalah
jud serupa namun berbeda fungsi dan isi tabelnya
buah
shapefile
dilakukan dengan bantuan CL
file tabular yaitu Abundance.dat, Target.dat, Un
njadi
input
Marxan. CLUZ merupakan singk
sing Zoning
adalah
tools
yang digunakan untuk m
akan sebagai
input
Marxan.
bot nilai fitur konservasi dan fitur biaya sangat
bobot tinggi diperhitungkan untuk memenu
juga dengan fitur biaya. Untuk Kawasan K
berkisar antara 1–6 (Tabel 1). Nilai tersebut be
TNC CTC (2006)
in
Darmawan and Darmaw
ngkan kepentingan dan kulitas data.
berbeda.
perencanaan
kkan disebut
a (
cost.shp
).
n CLUZ.
pada 3 buah
), dan
Cost
ilkan setelah
ile
Planning
lah
shapefile
ya.
CLUZ akan
Unit.dat dan
gkatan dari
menyiapkan
at unik. Fitur
nuhi target
Konservasi
berdasarkan
awan (2007)
(38)
Tabel 1 Kriteria skor data
TingkatKepentingan Kualitas Data Nilai Skor
Tinggi Tinggi 6
Tinggi Rendah 5
Sedang Tinggi 4
Sedang Rendah 3
Rendah Tinggi 2
Rendah Rendah 1
Data masing-masing fitur dimasukan dalam satuan perencanaan. Data
konservasi dimasukan kedalam satuan perencanaan fitur konservasi, demikian
juga dengan fitur biaya, sehingga menghasilkan dua macam data yang bisa
dianalisa lebih lanjut.
Pengaturan BLM (Boundary length modifier)
BLM merupakan konstanta yang mengatur tingkat pengelompokan satuan
perencanaan yang terpilih dalam Marxan. Pada BLM yang rendah, satuan
perencanaan yang terpilih akan menyebar karena Marxan akan terkosentrasi
pada biaya yang rendah, sedang pada BLM tinggi, satuan perencanaan yang
terpilih akan mengelompok, karena Marxan akan berusaha untuk menurunkan
panjang batas dari satuan perencanaan tersebut (Steward dan Possingham,
2005).
Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain (J.A.
Ardron
et al
. 2003). Menurut Possingham (2005) nilai BLM dipilih bergantung
pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari analisis
yang dilakukan. Nilai BLM untuk map unit UTM berkisar antara 0-1, sedang map
unit degree berkisar antara 0-10000 (Darmawan and Barnawi, 2007). Nilai
kisaran BLM tersebut sudah dapat memberikan variasi pengelompokan satuan
perencanaan yang terpilih.
Berdasarkan nilai BLM yang ditetapkan dilakukan proses Marxan sehingga
menghasilkan
output
berupa lima buah file yaitu
output1_best, output1_mvbest,
output1_sen, output1_ssoln dan output1_sum
. File
output1_sum
berisi table
tentang nilai cost, pajang garis batas, dan luas area. Nilai BLM optimal diperoleh
dari file
output1_sum
dengan melihat hubungan antara biaya dengan panjang
batas tepi kawasan atau antara luas area dengan panjang batas tepi kawasan
(Stewart and Possingham, 2005).
(39)
Pengaturan Zonasi
Pengaturan kawasan konservasi dalam Marxan dapat dilakukan dengan
sistem zonasi yang mengacu pada PP No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan
berkelanjutan dan zona lain yang diatur sesuai kebutuhan dan kondisi setempat.
Pembagian zonasi tersebut, dalam Marxan dilakukan dengan membagi frekuensi
yang terdapat dalam file
output1_ssoln
kedalam empat kelas dengan interval
yang sama. Dalam file ini berisi frekuensi suatu daerah akan terpilih menjadi
kawasan konservasi berdasarkan 100 kali ulangan. Nilai frekuensi tersebut
berkisar antara 0-100 dan dibagi kedalam 4 kelas yaitu 76-100 sebagai zona inti,
51-75 sebagai zona pemanfaatan, 26-50 sebagai zona perikanan berkelanjutan
dan 0-25 sebagai zona lainnya.
Konektivitas
Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas secara
ekologi, karena Marxan mengidentifikasi wilayah hanya berdasarkan biaya
terendah. Untuk mengatasi hal tersebut,ada beberapa cara yang bisa dilakukan
(Smith
et al.
2009) yaitu meningkatkan nilai BLM secara bertahap sampai daerah
yang terpilih cukup untuk menjamin tingkat konektivitas yang tinggi, menambah
zona inti diantara zona sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap
target yang ditetapkan untuk mewakili setiap spesies.
Tingkat konektivitas dapat dinilai dengan menggunakan model biofisik
yang baik mampu memperkirakan lintasan larva dari daerah pemijahan ke
daerah pembesaran bagi beberapa spesies yang termasuk sebagai target fitur
konservasi (Van der Molen
et al
. 2007). Menurut Palumbi, (2004) bahwa
konektivitas dapat dilihat dilihat dengan mengetahui jarak lintasan yang dapat
dilalui oleh telur dan larva ikan, serta daerah jelajah biota tersebut (Tabel 2)
Tabel 2 Perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi, 2004)
Jarak (km) Dewasa Larva
> 1000 Species migrasi besar Banyak Spesies 100-1000 Ikan pelagis besar Beberapa spesies
10-100 Hampir semua ikan dasar, ikan pelagis kecil
Hampir semua ikan, dan invertebrata
1-10 Ikan dasar kecil, beberapa invertebrata dasar
Alga, plankton, beberapa ikan
<1 Species yg menetap, spesies dgn karakteristik habitat khusus
Invertebrata dasar yg berasosiasi langsung
(40)
(41)
4. KEADAAN UMUM KAWASAN BASILIKA
4.1.
Kondisi Umum
4.1.1. Keadaan Geografis
Wilayah penelitian meliputi sebagian wilayah Kabupaten Buton bagian
barat yang meliputi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Batauga, Siompu, Siompu
Barat dan Kecamatan Kadatua dengan luas wilayah 79.145 ha, yang terdiri dari
daratan seluas 21.702.ha dan lautan seluas 57.443 ha. Secara geografis terletak
antara . 5
028-5
045' LS dan 122
023-122
043' BT. Gambaran umum wilayah dapat
dilihat pada Gambar 1.
Secara adiministratif kawasan Basilika memiliki batas wilayah sebagai
berikut :
Sebelah Utara
:
Kecatan Lakudo dan Mawasangka
Sebelah selatan
:
Laut Flores
Sebelah Barat
:
Kecamatan Talaga Raya
Sebelah Timur
:
Kecamatan Sampolawa
4.1.2. Iklim
Keadaan musim di Basilika umumnya sama dengan iklim Kabupaten
Buton yaitu musim barat dan musim timur. Musim Barat berlangsung dari bulan
Nopember sampai dengan Maret, sedang musim Timur berlangsung dari bulan
Maret sampai dengan Oktober. Untuk perairan Basilika, angin kencang biasanya
terjadi dari bulan Juli sampai Oktober. Angin biasanya bertiup dari arah Barat
Laut. Pada rentan bulan tersebut nelayan yang melaut atau masyarakat yang
melakukan perjalana harus memperhatikan keadaan cuaca.
4.1.3. Topografi
Topografi wilayah Basilika sebagian besar merupakan perbukitan dengan
kemiringan 0 – 40
0. Bagian wilayah pesisir yang merupakan tebing yang sangat
curam. Struktur pantai sebagian besar didominasi pantai berbatu dan hanya
sebagian kecil pantai berpasir (Gambar 3). Karena sebagian besar topografi
pantainya curam, maka daerah intertidalnya juga sangat sempit. Topografi dasar
perairan umumnya berkisar antara 5-30
o, namun ada juga lokasi yang
drop-off
hingga kedalaman 20 meter.
(42)
Gambar 3 Topografi di wilayah pesisir Basilika. a) Pantai berbatu dan berpasir di
Pulau Siompu. b) Pantai berbatu di Pulau Kadatua. c) Pantai berpasir
yang digunakan sebagai pemukiman penduduk di Pulau Kadatua. d)
Pantai berpasir di Pulau Liwutongkidi.
4.1.4. Kondisi Fisik-Kimia Perairan
Parameter fisik kimia yang diamati dalam penelitian ini meliputi salinitas,
suhu, kecepatan arus, kecerahan dan kedalaman. Dari hasil pengamatan
(Tabel 2) menunjukkan bahwa kondisi perairan disekitar Basilika masih dalam
kisaran normal untuk menunjang kelangsungan hidup biota diperairan tersebut.
Tabel 3 Hasil pengukuran beberapa parameter Fisik-Kimia perairan
No
Parameter Fisik
Kimia
Parameter Perairan
Batauga
Siompu
Liwutongkidi Kadatua
1
Salinitas (ppt)
31-34
32-34
32-34
32-34
2
Suhu (
0C)
.28-31
27,5 -30,3
27,8 – 30,5
27,5
-29,0
3
Kec. Arus (cm/det.)
5-50
5 - 50
10 -50
10 - 50
4
Kedalaman (m)
10
10
10
10
5
Kecerahan (%)
100
100
100
100
Dari data parameter fisik-kimia di atas, keempat lokasi tersebut tidak ada
perbedaan yang mencolok. Namun dari pengamatan secara visual di lapangan,
c d
(43)
kondisi perairan di Batauga lebih keruh dibandingkan dengan tempat lain. Hal ini
karena Batauga merupakan bagian dari daratan yang besar (Pulau Buton)
dimana bila terjadi hujan selalu ada masa air dari daratan yang membawa lumpur
yang masuk ke perairan.
4.2. Kondisi Sosial
4.2.1. Kependudukan
Kawasan Basilika terdiri dari 4 kecamatan yaitu Kecamatan Batauga yang
terdiri dari 10 desa, Kecamatan Siompu 8 desa, Kecamatan Siompu Barat 6 desa
dan Kecamatan Kadatua 10 desa. Penyebaran penduduk di kawasan ini hanya
terdapat di Pulau Siompu, Kadatua dan Pesisir Barat Pulau Buton, sedangkan
Pulau Liwutongkidi tidak berpenghuni. Secara administrasi Pulau Liwutongkidi
sebagian masuk wilayah Desa Tongali Kecamatan Siompu dan selebihnya
masuk wilayah Desa Kapoa Kecamatan Kadatua. Jumlah penduduk penduduk di
kawasan ini berdasarkan BPS Kabupaten Buton 2009 adalah 44.832 jiwa yaitu:
Kecamatan Batauga (15.044 jiwa), Kecamatan Siompu (9.845 jiwa), Kecamatan
Simpu Barat (10.353 jiwa) dan Kecamatan Kadatua (9.590 jiwa). Secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 3.
Dilihat dari luas wilayah, Kacamatan Batauga mempunyai wilayah yang
paling luas yaitu 73,83 km
2dan yang paling kecil adalah wilayah Siompu Barat
yaitu 10,00 km
2. Tapi bila dilihat dari kepadatan penduduk (jumlah penduduk per
kilometer persegi), maka kecamatan Siompu Barat yang paling padat dengan
tingkat kepadatan 1.035 jiwa perkilometer persegi, sedang yang paling rendah
adalah Kecamatan Batauga dengan tingkat kepadatan 204 jiwa per kilometer
persegi.
Tabel 4 Jumlah pendudukan tiap kecamatan
No Kecamatan
Jumlah Desa/ Kelurahan
Luas Wilayah (km2)
Penduduk
Kepadatan Jumlah Persentasi
1 Batauga 10 73,83 15 044 33,56 203,77
2 Siompu 8 32,50 9 845 21,96 302,92
3 Siompu Barat 6 10,00 10 353 23,09 1 035,30
4 Kadatua 10 32,82 9 590 21,39 292,20
(1)
No
Family Spesies Ikan
Lokasi/Stasiun
Batauga Siompu Liwutongkidi Kadatua
F Sp ST1 ST2 ST3 ST1 ST2 ST3 ST4 ST1 ST2 ST3 ST4 ST1 ST2 ST3 ST4
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)
1 1 Chaetodontidae Chaetodon Vagabundus 3 2 2 2 2
2 Chaetodon auriga 2 1 1
3 Chaetodon trifascialis 2 2 2 2 1
4 Chaetodon raflesi 2 1 1
5 Chaetodon lunulatus 2 4 4 1 2 4 5 4 2
6 Chaetodon baronessa 2 4 4 1 2 3
7 Chaetodon kleinii 6 2 7 6 3 4 3 5 1 8 4 5 5 3
8 Chaetodon lunula 2 1
9 Chaetodon ephippium 2 2
10 Chaetodon ocellicaudus 2
11 Chaetodon meyeri 1
12 Forcipiger flavissimus 1 2 2 2 3 2 2 2 2
13 Heniochus chrysostomus 2 5
14 Heniochus varius 1 2 1 1 2 4
15 Heniochus acuminatus 2 25
2 16 Pomacanthidae Centropyge bicolor 5 2 7 2 3 3 2 2 2
17 Centropyge tibicen 4 1 1 1
18 Centropyge vroliki 2 1 2 2 3
19 Centropyge bispinosus 1
20 Pygoplites diacanthus 1 1 1 1 1 1 2
3 21 Ephippidae Platax pinnatus 2 3
22 Platax boersi 2
4 23 Acanthuridae Acanthurus olivaceus 2 2
24 Acanthurus blochii 4 2 8
25 Acanthurus auranticavus 3 4
26 Acanthurus pyroferus 4 25 3
27 Acanthurus nigrofuscus 2 4 3 6 4
28 Ctenochaetus tominiensis 12 2 1 1
29 Ctenochaetus hawaiiensis 3
(2)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)
31 Zebrasoma scopas 8 7 9 2 4 6 6 2 4
32 Ctenochaetus striatus 2 2
33 Naso thynnoides 200 18 24 23 36
34 Naso nigrofuscus 16
5 35 Zanclidae Zanclus cornutus 1 4 2 3 9 6 2 2 2 5 3 6
36 Zanclus scopas 2
6 37 Siganidae Siganus puellus 2 2 2
38 Siganus guttatus 8 17 12
39 Siganus doliatus 2
40 Siganus vulpinus 2 3 2 3 2
7 41 Pomacentridae Abudefduf vaigiensis 7 2
42 Amblyglyphidodon aureus 2
43 Amblyglyphidodon curacao 11 15 6 6 6 10 6 8
44 Amblyglyphidodon leucogaster 20 13 4 4 5 4 4 9 3 4
45 Amblyglyphidodon ternatensis 3 5 6 12
46 Amphiprion clarkii 3 3 4 4 3 2 2
47 Amphiprion ocellaris 4 3
48 Amphiprion percula 4
49 Amphiprion perideraion 2 4
50 Amphiprion sandaricinos 2 2
51 Chromis amboinensis 50 4 9 12 27 24 4
52 Chromis atripectoralis 7
53 Chromis margaritifer 6 8 4 3 2 1
54 Chromis retrofasciata 11 12 30 9 10 10 9 4 7
55 Chromis sp 4
56 Chromis ternatensis 28 15 16 4
57 Chromis viridis 12 12 7 9 5 36
58 Chrysiptera hemicyanea 2
59 Chrysiptera rollandi 6 2 3
60 Chrysiptera springeri 7
61 Chrysiptera talboti 5 3
(3)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)
63 Dascyllus reticulatus 7 15 15 13 6 5 18 24 3 15 5 8 13
64 Dascyllus trimaculatus 21 8 9 4 6 6 6 23
65 Dischistodus perspicillatus 3 2 1 1
66 Neoglyphidodon crossi 4
67 Neoglyphidodon nigroris 3 20 2 3 2
68 Neoglyphidodon thoracotaeniatus 2 2 2 2
69 Pomacentrus alexanderae 4 4 1 3 2 2 2 3 70 Pomacentrus amboinensis 4 5 7 3 3
71 Pomacentrus bangkanensis 1 2 4 72 Pomacentrus cauruleus 15
73 Pomacentrus littoralis 8 3 3
74 Pomacentrus muluccensis 53 16 4 3 5 15 9 11 5 75 Pomacentrus valuli 20
76 Premnas biaculeatus 2 2 3
8 77 Lutjanidae Lutjanus bohar 5 8
78 Lutjanus decussatus 2 2 3 2 3 2 2 79 Lutjanus fulviflama 7 3
80 Lutjanus gibbus 30
81 Lutjanus kasmira 12 4 5 82 Macolor niger 1 1 1 9 83 Nemipteridae Scolopsis bilineatus 3 7 5 3 4 4 1 5 5 1 2 84 Scolopsis lineatus 2 1
10 85 Lethrinidae Gnonathodentex aureolineatus 6 12
86 Monotaxis heterodon 2 9 1 2
87 Lethrinus amboninensis 1 2 1 11 88 Carangidae Caranx melampygus 1
12 89 Sphyraenidae Sphyraena barracuda 1
13 90 Scombridae Scomberomurus commerson 2
91 Gymnosarda unicolor 2 1
14 92 Anthiinae Pseudanthias huchti 14 12 12 19 14 8 7 8 93 Pseudanthias bicolor 3
(4)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)
15 94 Caesionidae Pterocaesio tile 20 22 15 12 35 50 30 30 34 12
95 Pterocaesio pisang 8 24 21 4 7
96 Pterocaesio trilineata 7 6 12
97 Cassio cuning 30
16 98 Serranidae Cephalopholis argus 1
99 Cephalopholis urodeta 1 1
100 Cephalopholis miniata 1 2 1 2 2
101 Epinephelus polyphekadion 1 1
102 Epinephelus merra 6 1 3 4 6 2 2 3 3 1
103 Plectropomus oligocanthus 1
104 Variola louti 1 1 2 1 1 1 1
105 Epinephelus fasciatus 2 3
106 Aethaloperca rogaa 1
107 Pseudoanthias huchtii 26 1
17 108 Cirrhitidae Cirrhitichthys falco 2 4 1
109 Paracirrhites forsteri 2 1 1
18 110 Haemullidae Plectorhinchus vittatus 2 2
111
Plectorhinchus
chaetodonnoides 1 2 1 1
19 112 Scaridae Chlorurus bleekeri 4 8 1
113 Chlorurus sordidus 1 2 2 2 4 3 1
114 Cetosscarus bicolor 1 1 2 2
20 115 Labridae Bodianus mesothorax 2
116 Cheilinus chlorourus 1
117 Cheilinus fasciatus 1 1 1
118 Cheilio inermis 1
119 Choerodon anchorago 1 1 1
120 Cirrhilabrus solorensis 50 23 9 14 35 41 24 4 18 6 6
121 Halichoeres chloropterus 1 1 2
122 Halichoeres chrysus 1 2 5
123 Halichoeres hortulanus 1 1 1 2
124 Halichoeres leucurus 1 1
(5)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)
126 Halichoeres negrescens 8
127 Hemigymnus melapterus 1 1 2
128 Labroides bicolor 1 1 1 1
129 Labroides dimidiatus 2 9 3 2 5 3 3 3 3 5 2
130 Labroides pectoralis 1
131 Oxcheilinus celebicus 2
132 Pseudocheilinus hexataenia 1 2 2
133 Thalassoma hardwicke 1 1 2 1 1
134 Thalassoma lunare 2 2 4 2 3 1 3 2 4 1
21 135 Holocentridae Myripristis murdjan 2
136 Sargocentron spiniferum 2 3 2 1 2 2
137 Neoniphon sammara 2 1
22 138 Apogonidae Apogon aureus 2 12 12 12 12
139 Apogon compressus 6 6 4 6 3
140 Apogon fleurieu 30
141 Cheilodipterus macrodon 7 3
23 142 Pseudochromidae Pseudochromis paranox 2
24 143 Ptereleotridae Nemateleotris magnifica 4 4 2 2 2 5
25 144 Callionymidae Synchiropus splendidus 1
26 145 Pinguipedidae Parapercis sp 2 2 3 2 2 3 2
146 Parapercis clathrata 2 2 1
147 Parapercis hexophthalma 2
27 148 Synodontidae Synodus dermatogenys 2 2 2 3
28 149 Gobiidae Valenciennea strigata 2
150 Amblyeleotris guttata 1 2
151 Amblyeleotris sp 1 2 1 3
152 Amblyeleotris steinitzi 1 2
29 153 Blenniidae Meiacanthus grammistes 1
30 154 Scorpaenidae Pterois volitans 2 2 1 4
155 Scorpaenopsis sp 1
(6)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)
32 157 Ostraciidae Ostracion cubicus 1 1 1 1
158 Ostracion solorensis 1
33 159 Mullidae Parupeneus crassilabris 3 2
160 Parupeneus multifasciatus 1 3 2 2 4 2
161 Parupeneus vanicolensis 24
162 Parupeneus barbarinus 7 2 2 2 3 2
163 Parupeneus bifasciatus 1
164 Mulloidichthys vanicolensis 7
34 165 Aulostomidae Aulostomus chenensis 1 1 2 2 1
35 166 Centriscidae Aeoliscus strigatus 5 9
36 167 Pempheridae Pempheris vanicolensis 4
37 168 Balistidae Balistoides conspicillum 1 1
169 Sufflamen chrysopterus 2 1 1 1
170 Balistapus undulatus 3 1 1 1
171 Odonus niger 50 6 36 12 19 100 32 8 8 21 26 6
38 172 Tetraodontidae Canthigaster bennetti 2 1 12
173 Canthigaster papua 3 1
174 Arothron nigropunctatus 1 1 1 1 1
175 Canthigaster valentini 1 1 3 2 1 2 2 1 3 2
39 176 Muraenidae Gymnothorax javanicus 5
177 Rhinomuraena quaesita 1 1 3 3
178 Heteroconger hassi 23
40 179 Carcharhinidae Carcharinus melanopterus 1 2 2
41 180 Desyatidae Taeniura lymma 2 1
42 181 Diodontidae Diodon sp 1
43 182 Plotosidae Plotosus lineatus 65
JUMLAH
Individu 255 95 522 395 178 127 202 336 312 263 220 311 416 219 265
Species 24 17 31 77 29 15 42 42 45 53 46 58 101 53 43