12 Pada metode difusi sumur, aktivitas antimikroba dari sampel ditunjukkan dengan adanya
zona bening yang terbentuk di sekitar lubang sumur. Semakin besar zona bening yang terbentuk menandakan aktivitas antimikroba yang semakin besar. Ekstrak yang menunjukkan
penghambatan paling besar digunakan pada tahap penentuan konsentrasi hambat minimum MIC dan aplikasi pada produk bakso daging.
a. Pembuatan tepung belalang
Belalang yang akan digunakan dalam penelitian ini sebelumnya dihancurkan hingga ukurannya menjadi lebih kecil dan menjadi tepung Gambar 8. Belalang utuh yang telah
mati dibuang bagian sayap dan kakinya, kemudian dicuci untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada belalang. Setelah bersih, belalang dikeringkan dengan cara dijemur
menggunakan cahaya matahari. Setelah kering, belalang dihancurkan menggunakan blender hingga bentuknya menjadi tepung. Belalang yang telah menjadi tepung disimpan dalam
suhu ruang.
Gambar 8. Diagram alir pembuatan tepung belalang
b. Ekstraksi tepung belalang
Ekstrak dapat diperoleh dengan cara ekstraksi bubuk dengan pelarut organik, yaitu mencampur bahan yang akan diekstrak dengan pelarut organik selama waktu tertentu, diikuti
pemisahan filtrat terhadap residu bahan yang diekstrak terlebih dahulu dikeringkan atau dikurangi kandungan air dalam bahan Houghton dan Raman 1998.
Belalang yang akan diuji aktivitas antimikrobanya harus diubah terlebih dahulu menjadi bentuk cair dengan proses ekstraksi Gambar 9. Pelarut yang dipakai dalam penelitian ini
antara lain air, etanol, heksan, dan etil asetat. Tepung belalang sebanyak 25 gram dalam erlenmeyer ditambahkan dengan pelarut sebanyak 100 ml. Kemudian di-shaker
menggunakan rotary shaker selama 72 jam pada suhu ruang. Tepung belalang disaring hingga dihasilkan supernatan yang dilanjutkan dengan proses pemekatan menggunakan
Diblender Dicucidibersihkan
Dikeringkan Dibuang sayap dan kakinya
Tepung Belalang Belalang
Disimpan di suhu ruang
13 rotavapor. Suhu yang digunakan untuk memekatkan ektrak dengan pelarut etanol, etil asetat,
dan heksan adalah 40 °C, sedangkan ekstrak dengan pelarut air menggunakan suhu 45 °C. Ekstrak dihembus dengan gas N
2
untuk menghilangkan pelarut yang masih tersisa pada ekstrak. Sebelum siap untuk digunakan, ekstrak disterilisasi terlebih dahulu menggunakan
membran filter untuk mendapatkan ekstrak yang steril. Ekstrak disimpan dalam refrigerator sebelum digunakan.
Gambar 9. Diagram alir ekstraksi tepung belalang
c. Persiapan kultur uji
Setelah ekstrak yang akan diuji siap, dilakukan persiapan kultur bakteri yang akan diuji dimana bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah E. coli dan S. aureus.
Sebelum digunakan, dilakukan pewarnaan gram terhadap bakteri uji dengan tujuan untuk mengetahui keseragaman kultur bakteri uji dan juga menghitung total kultur bakteri uji
untuk mengetahui jumlah total bakteri awal dengan menggunakan media NA. Satu ose kultur bakteri uji dioleskan pada kaca objek yang telah dibersihkan kemudian
difiksasi panas sehingga terbentuk preaparat. Selanjutnya preparat tersebut diteteskan dengan zat warna kristal violet selama 1 menit, kemudian preparat dibilas dengan air
mengalir dan dikeringudarakan. Setelah kering, preparat bakteri diteteskan iodium selama dua menit, kemudian dibilas air mengalir dan dikeringkan. Preparat dicuci dengan pemucat
warna yaitu etanol 95 tetes demi tetes selama 30 detik, kemudian segera dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan. Preparat selanjutnya diteteskan safranin selama 30 detik, dibilas
dengan air mengalir, dan ditiriskan. Setelah kering, preparat diamati di bawah mikroskop. Bakteri yang termasuk dalam gram positif akan menunjukkan warna biru keunguan,
sedangkan kelompok bakteri gram negatif berwarna merah Madigan et al. 2000. Ditambah pelarut 1 : 4
Di-shaker selama 3 hari Disaring
Dipekatkan Dihembus gas N
2
Sterilisasi Tepung Belalang
Supernatan
Ekstrak
14 Tahap persiapan kultur bakteri dapat dilihat pada Gambar 10. Sebanyak satu ose bakteri
uji ditumbuhkan dalam media NB 10 ml dan diinkubasi 24 jam pada suhu 37 °C. Kultur bakteri ini digunakan sebagai kultur kerja pada pengujian. Suspensi bakteri ditumbuhkan
dengan menggunakan media NA pada seri pengenceran 10
5
– 10
8
dan diinkubasi 24 jam pada suhu 37 °C. Koloni bakteri yang tumbuh antara 25-250 dihitung dengan rumus sebagai
berikut: Jumlah koloni cfuml =
Keterangan: n = jumlah cawan d = pengenceran pada cawan pertama
Gambar 10. Diagram alir persiapan kultur uji
d. Metode difusi sumur
Ekstrak belalang dilakukan pengujian secara kualitatif terlebih dahulu dengan menggunakan metode difusi sumur. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan ada atau
tidaknya aktivitas penghambatan pada belalang. Kultur mikroba yang akan diuji harus disegarkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring
Nutrient Agar NA ke dalam medium cair Nutrient Broth NB sebanyak 10 ml secara aseptik, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C. Kultur bakteri yang diuji
sebesar 0,1 atau 200 µl suspensi bakteri dalam 200 ml media NA steril. Setelah bakteri dicampur dengan media, dituang ke dalam cawan sekitar 25 ml untuk setiap cawannya.
Setelah campuran media dan kultur uji membeku, tiap-tiap cawan dibuat dua lubang dengan diameter ± 5 mm. Setiap sumur dimasukkan 60 µl larutan ekstrak belalang. Setelah ditetesi
dengan ekstrak belalang, cawan diinkubasi dengan posisi tidak dibalik pada suhu 37 °C selama 24 jam.Aktivitas penghambatan dihitung berdasarkan diameter zona bening yang
terbentuk di sekitar sumur, yaitu selisih antara diameter zona bening dengan diameter sumur. Tahap ini dilakukan duplo dengan dua kali ulangan.
15 Zona penghambatan d = 2r yang diukur adalah diameter zona bening dikurangi dengan
diameter sumur. Semakin lebar diameter penghambatan, maka aktivitas senyawa antimikroba semakin besar. Ekstrak yang menunjukkan penghambatan paling besar akan dipilih untuk
tahap penelitian selanjutnya. Tahap pengujian dan contoh hasil pengujian aktivitas antimikroba dengan metode sumur dapat dilihat pada Gambar 11.
e. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration MIC
Setelah ekstrak belalang diketahui memiliki aktivitas antimikroba, ditentukan konsentrasi hambat minimum MIC untuk menentukan kisaran konsentrasi yang akan
digunakan dalam aplikasi. Perhitungan konsentrasi ekstrak belalang menggunkan rumus:
M
1
V
1
= M
2
V
2
Keterangan: M
1
= konsentrasi ekstrak awal 100 V
1
= volume ekstrak yang ditambahkan ml M
2
= konsentrasi ekstrak yang dikehendaki V
2
= volume total saat inkubasi 10 ml Ekstrak belalang
Pengenceran dalam pelarut hingga
konsentrasi 60
Kultur bakteri
Inokulasi 200 µl suspensi bakteri ke 200 ml media NA
Penuangan 25 ml media berisi bakteri ke dalam cawan dan tunggu hingga media membeku
Pembuatan lubang ±5 mm
Penuangan 60 µl ekstrak ke dalam lubang
Inkubasi pada 37°C selama 24 jam
Gambar 11. Diagram alir uji aktivitas antibakteri metode difusi sumur
16 Tahap pengujian aktivitas penghambatan dapat dilihat pada Gambar 12 dimana
ekstrak belalang terpilih ditambah ke dalam tabung berisi inokulum bakteri uji yang telah dicampur dengan media NB. Selanjutnya kultur diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24
jam. Subkultur ditumbuhkan pada media NA pada inkubasi 0 jam dan setelah inkubasi 24 jam dengan kisaran pengenceran antara 10
1
- 10
7
. Penurunan jumlah pertumbuhan bakteri ditentukan dengan menghitung selisih jumlah koloni yang tumbuh setelah 0 jam dengan
jumlah koloni yang tumbuh pada 24 jam, kemudian dibagi dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam. Nilai konsentrasi ekstrak belalang yang menunjukkan penurunan jumlah
bakteri sebesar 90 merupakan nilai konsentrasi hambat minimal MIC. Tahapan untuk penentuan MIC dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Diagram alir penentuan MIC Penghitungan jumlah ekstrak belalang yang diambil untuk mendapatkan konsentrasi
yang diinginkan: Contoh M
2
= 10 100 x V
1
= 10 x 10 ml V
1
= 1 ml Adapun kombinasi konsentrasi yang digunakan dalam penentuan MIC dapat dilihat pada
Tabel 2. Diinkubasi pada suhu
37 °C selama 48 jam Diambil 1 ml
NA
NA Ditumbuhkan dalam
cawan Ekstrak belalang terpilih
Ditambahkan dalam media NB
Ditumbuhkan dalam cawan
Vorteks Diinokulasi dengan bakteri uji sebanyak
1 ml tiap tabung 10
5
CFUml
Diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam
Dihitung Dihitung
Diinkubasi pada suhu 37 °C selama 48 jam
Diambil 1 ml
17 Tabel 2. Kombinasi konsentrasi penentuan MIC
Konsentrasi ekstrak
M
2
Ekstrak yang ditambahkan
ml V
1
Kultur ml
NB ml Volume total
saat inkubasi ml V
2
6 0,6
1 8,4
10 7
0,7 1
8,3 10
10 1
1 8
10 20
2 1
7 10
Keterangan: V
NB
= V
2
- V
kultur
- V
1
ml
f. Aplikasi pada bakso
Konsentrasi yang digunakan pada saat aplikasi di bakso yaitu beberapa kali dari nilai konsentrasi yang didapat dari uji dengan MIC. Pada tahap akhir, bakso kontrol
dibandingkan dengan bakso yang ditambahkan dengan ekstrak belalang. Adapun bahan- bahan yang digunakan untuk memproduksi bakso antara lain daging segar, tepung, garam,
bawang putih, merica, bumbu penyedap, dan es. Pengawet alami pada produk pangan dapat berupa bubuk, ekstrak, fraksi, dan mikrokapsul Naufalin dan Herastuti 2012.
Menurut Wibowo 2006 pembuatan bakso terdiri dari beberapa tahap antara lain: 1.
Pelumatan daging Daging segar dipisahkan dari lemak dan uratnya. Setelah itu, daging dilumatkan.
Pelumatan ini akan memudahkan pembentukan adonan, dinding sel serabut otot daging juga akan pecah sehingga aktin dan miosin yang merupakan pembentuk tekstur dapat diambil
sebanyak mungkin. Daging dimasukkan meat grinder dan ditambahkan garam sehingga diperoleh daging yang lumat.
2. Pembuatan adonan
Setelah diperoleh daging lumat, daging lumat dibentuk menjadi adonan. Agar bakso yang dihasilkan baik, daging lumat dicampur dengan es batu dan tepung tapioka. Bumbu-
bumbu kemudian ditambahkan sambil dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pembuatan adonan ini menggunakan food processor agar mudah dalam mencampur bahan-
bahan dengan daging sehingga diperoleh adonan yang tercampur merata. Penggunaan es atau air es ini sangat penting dalam pembentukan tekstur bakso. Dengan adanya es ini suhu dapat
dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Suhu ideal untuk ekstraksi protein
adalah 4-5 C, tetapi selama tidak lebih dari 20
C sudah mencukupi. Penggunaan es juga berfungsi menambahkan air ke adonan sehingga adonan tidak kering selama pembentukan
adonan maupun selama perebusan. 3.
Pembentukan bola bakso Setelah adonan diperoleh kemudian dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus.
Pembentukan adonan menjadi bola bakso menggunakan tangan. Ukuran bola bakso diusahakan seragam, tidak terlalu kecil tetapi juga tidak terlalu besar. Jika tidak seragam,
matangnya bakso ketika direbus tidak bersamaan dan menyulitkan dalam pengendalian proses. Selain itu keseragaman ukuran juga ikut mempengaruhi mutu bakso.
4. Perebusan dan pengemasan Bola bakso yang sudah terbentuk lalu direbus dalam air mendidih hingga matang. Jika
bakso sudah mengapung di permukaan air menandakan bakso tersebut sudah matang dan
18 perebusan dapat dihentikan. Biasanya perebusan ini dilakukan sekitar 10 menit. Setelah itu,
bakso diangkat, ditiriskan, dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, bakso dikemas dalam kantong plastik HDPE. Bakso kemudian siap dianalisis. Proses pembuatan bakso
dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Diagram alir aplikasi ekstrak belalang pada bakso Uji mikrobiologi yang dilakukan pada tahap aplikasi ini berdasarkan SNI 01-2332.3-2006
yang bertujuan untuk mengetahui kondisi bakso selama penyimpanan. Menurut SNI, sampel secara aseptik ditimbang sebanyak 25 gram kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik steril. Ke
dalamnya ditambahkan 225 ml larutan pengencer, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan alat stomacher selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengencer 10
-1
. Dengan menggunakan pipet steril, 1 ml homogenat diambil dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 9
ml larutan pengencer untuk mendapatkan pengenceran 10
-2
. Pengenceran selanjutnya 10
-3
dilakukan dengan mengambil 1 ml contoh dari pengenceran 10
-2
ke dalam 9 ml larutan pengencer. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali. Selanjutnya dapat dilakukan hal
yang sama untuk pengenceran 10
-4
, 10
-5
, dan seterusnya sesuai dengan kondisi sampel. Setiap pengenceran 10
-1
, 10
-2
, dan seterusnya dipipet 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Setiap pengenceran dilakukan duplo. Ke dalam cawan petri tersebut ditambahkan
15-20 ml media agar yang sudah didinginkan hingga mencapai suhu +45 C pada masing-masing
Garam Dihancurkan
0 Jam Digiling
6 Jam 17 Jam
Jam 20 Jam
24 Jam Daging segar
Es, merica, bawang putih
Ditambah ekstrak belalang
Dibuat bulatan Direbus
Bakso Uji mikrobiologi
Tepung bumbu penyedap
Total Plate Count Total E. coli
Total Staphylococcus sp.
19 cawan yang sudah berisi sampel. Agar sampel dan media tercampur sempurna, dilakukan pemutaran
cawan dengan gerakan membentuk angka delapan. Setelah agar menjadi padat, inkubasi cawan- cawan tersebut pada posisi terbalik dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 35
C. Cawan yang mengandung jumlah 25-250 koloni dan bebas spreader dipilih untuk
perhitungan. Pengenceran yang digunakan dan jumlah koloni dicatat kemudian perhitungan jumlah koloni dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
N= ∑ C [1x n
1
+ 0,1 x n
2
] x d dengan:
N : jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per gram
∑ C : jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung n
1
: jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n
1
: jumlah cawan pada pengencaran kedua yang dihitung d
: pengenceran pertama yang dihitung
Analisis kuantitatif E. coli BAM 2002
Media untuk pertumbuhan E. coli adalah Eosyn Methylen Blue Agar EMBA. Sebanyak 1 ml sampel dari pengenceran yang diinginkan dipipet secara aseptik lalu diinokulasikan ke dalam cawan,
selanjutnya dituangkan media EMBA. Inkubasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 37 °C, koloni E. coli yang tumbuh akan berwarna hijau metalik keunguan.
Analisis kuantitatif S. aureus BAM 2001
Metode yang digunakan dalam uji ini adalah cawan sebar dengan menggunakan media spesifik yaitu Baird-Parker Agar BPA. Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisis, media BPA
yang sudah disterilkan dituang dalam cawan, dibiarkan memadat dan mengering. Sejumlah sampel dihancurkan kemudian diencerkan. Sebanyak 1 ml sampel dituangkan dan dibagi ke dalam 3 cawan
yang berisi BPA sehingga masing-masing cawan berisi 0.3 ml, 0.3 ml, dan 0.4 ml sampel. Sampel tersebut secara aseptik disebar dalam cawan menggunakan hockey stick steril. Setelah dilakukan
penyebaran sampel, kemudian cawan dibiarkan selama 10 menit agar sampel terserap dalam agar. Cawan tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35
C. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung koloni pada setiap cawan. Perhitungan persentase penurunan jumlah S. aureus dilakukan
dengan cara berikut: penurunan = 100 - [jumlah S. aureus saat 6 jamjumlah S. aureus saat 0 jam x 100 ]
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMBUATAN TEPUNG BELALANG
Belalang yang diterima sudah dalam keadaan mati karena belalang tidak mampu bertahan lama jika bukan di dalam lingkungan yang sesuai. Belalang dicuci bersih untuk menghilangkan
kotoran yang tertinggal, kemudian ditiriskan. Untuk menghilangkan sisa air yang tertinggal di belalang dilakukan pengeringan menggunakan cahaya matahari sekitar 4-5 jam hingga kering.
Belalang yang sudah kering dihancurkan dengan blender hingga berbentuk tepung yang siap untuk diekstrak dan sebelum digunakan, tepung dikemas dalam wadah dan disimpan pada suhu
ruang.
B. EKSTRAKSI TEPUNG BELALANG
Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan secara kasar senyawa yang terkandung dalam tepung belalang dan mendapatkan ekstrak kasarnya. Tepung yang diekstrak, dilarutkan dalam
pelarut dengan perbandingan 1:4 wv. Tepung belalang sebanyak 25 gram diekstraksi dengan 100 ml pelarut menggunakan metode maserasi pada suhu ruang dengan kecepatan putar shaker
35 rpm selama 72 jam. Pada metode maserasi, digunakan empat pelarut yang berbeda dengan berbagai tingkat kepolaran sehingga diperoleh jenis ekstrak dengan kandungan senyawa yang
lebih spesifik. Tiap filtrat dipisahkan dari pelarut dengan cara dipekatkan dalam rotavapor. Pelarut etanol,
etil asetat, dan heksan dipekatkan pada suhu 40 °C, sedangkan pelarut air dipekatkan pada suhu 45 °C. Sisa pelarut dihilangkan dengan cara dihembus gas nitrogen hingga pelarut yang masih
tersisa dalam ekstrak belalang menguap. Setelah ekstrak diperoleh, dilanjutkan dengan sterilisasi bakteri menggunakan membran filter. Ekstrak diambil dengan menggunakan syringe, kemudian
dilewatkan melalui holder membran yang berisi membran berukuran 0,2 µm ke dalam wadah steril. Proses ini dilakukan secara aseptis. Setelah itu, ekstrak disimpan dalam lemari pendingin.
Ekstraksi yang dilakukan dengan maserasi menghasilkan beberapa jenis ekstrak yaitu ekstrak A pelarut air, ekstrak B pelarut etanol, ekstrak C pelarut etil asetat, dan ekstrak D
pelarut heksan. Pelarut air dan etanol mewakili pelarut yang bersifat polar, sedangkan etil asetat dan heksan masing-masing mewakili dari pelarut yang bersifat semi-polar dan non-polar.
Rendemen masing-masing ekstrak dihitung berdasarkan persentase bobot ekstrak belalang setelah dipekatkan dengan bobot tepung belalang 25 gram. Ekstrak air menghasilkan kadar air
yang paling besar, yaitu sebesar 13,74 . Sedangkan ekstrak dari pelarut etanol, etil asetat, dan heksan masing-masing menghasilkan rendemen sebesar 12,21 , 9,88 , dan 9,79 . Semua
ekstrak yang dihasilkan berwarna coklat pekat. Metode ekstraksi berdasarkan kepada prinsip like dissolve like, yaitu pelarut polar
melarutkan senyawa polar dan pelarut non-polar akan melarutkan senyawa non-polar. Air merupakan pelarut yang digunakan masyarakat untuk mengambil ekstrak dari obat-obatan
tradisional, sedangkan etanol merupakan pelarut yang biasa digunakan pada industri farmasi. Selain itu, alkohol merupakan pelarut serba guna yang baik digunakan untuk ekstraksi
pendahuluan Harborne 1996. Ekstraksi tepung belalang dari kedua pelarut polar ini menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih tinggi dibandingkan rendemen ekstrak dari pelarut
yang lain. Pelarut air menghasilkan rendemen ekstrak paling besar, yaitu 13,74 . Kemudian diikuti ekstrak dari pelarut etanol sebasar 12,21 . Hasil ini menunjukkan kandungan pada
belalang kayu yang lebih didominasi oleh komponen yang bersifat polar.
21 Tepung belalang juga diekstrak menggunakan pelarut semi-polar dan non-polar. Dari
ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat semi-polar didapat rendemen 9,88 , sedangkan dari pelarut heksan non-polar didapat rendemen sebesar 9,77 . Pelarut heksan sendiri pada
umumnya digunakan untuk memisahkan lemak dari bahan. Durst et al. 2008 mengatakan bahwa nilai kandungan lemak pada belalang kayu sangat rendah, yaitu sekitar 1,5 bb
sehingga hasil ekstraksi dengan heksan menghasilkan ekstrak yang sedikit. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh lama ektraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin dekat tingkat
kepolaran pelarut dengan komponen yang akan diekstrak, semakin sempurna proses ekstraksi Hadittama 2009.
C. PERSIAPAN KULTUR BAKTERI
S. aureus ditandai dengan morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x berwarna biru dan berbentuk kokusbulat Gambar 14. Morfologi tersebut
menandakan bahwa S. aureus termasuk bakteri gram positif. Jumlah awal bakteri S. aureus pada penelitian ini sebesar 1,74 x 10
8
CFUml Lampiran 2.
Gambar 14. Bentuk morofologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan gram E. coli Gambar 15 ditandai dengan morfologi yang terlihat di bawah mikroskop dengan
perbesaran 1000x berwarna merah dan berbentuk batang pendek. Jumlah awal bakteri E. coli pada penelitian ini sebesar 1,74 x 10
8
CFUml Lampiran 2. Hasil pewarnaan yang dilakukan menunjukkan kultur bakteri uji yang digunakan dalam
penelitian ini tidak terkontaminasi oleh bakteri lain. Campbell et al. 2003 menyatakan sebagian besar dinding sel bakteri gram positif terdiri dari peptidoglikan dan akan menjerap
warna violet. Berbeda dengan bakteri gram negatif yang hanya memiliki sedikit peptidoglikan yang terletak di suatu gel periplasmik antara membran plasma dan suatu membran bagian luar,
selnya tetap menahan zat warna merah.
Gambar 15. Bentuk morfologi bakteri E. coli dengan pewarnaan gram Bakteri uji dalam penelitian ini diduga telah mencapai fase pertumbuhan stasionernya.
Menurut Fardiaz 1992 pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh