METODOLOGI PENELITIAN Implementasi Algoritme Enkripsi Advanced Encryption Standard secara Paralel dengan GPU NVIDIA CUDA

12 Pada metode difusi sumur, aktivitas antimikroba dari sampel ditunjukkan dengan adanya zona bening yang terbentuk di sekitar lubang sumur. Semakin besar zona bening yang terbentuk menandakan aktivitas antimikroba yang semakin besar. Ekstrak yang menunjukkan penghambatan paling besar digunakan pada tahap penentuan konsentrasi hambat minimum MIC dan aplikasi pada produk bakso daging.

a. Pembuatan tepung belalang

Belalang yang akan digunakan dalam penelitian ini sebelumnya dihancurkan hingga ukurannya menjadi lebih kecil dan menjadi tepung Gambar 8. Belalang utuh yang telah mati dibuang bagian sayap dan kakinya, kemudian dicuci untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada belalang. Setelah bersih, belalang dikeringkan dengan cara dijemur menggunakan cahaya matahari. Setelah kering, belalang dihancurkan menggunakan blender hingga bentuknya menjadi tepung. Belalang yang telah menjadi tepung disimpan dalam suhu ruang. Gambar 8. Diagram alir pembuatan tepung belalang

b. Ekstraksi tepung belalang

Ekstrak dapat diperoleh dengan cara ekstraksi bubuk dengan pelarut organik, yaitu mencampur bahan yang akan diekstrak dengan pelarut organik selama waktu tertentu, diikuti pemisahan filtrat terhadap residu bahan yang diekstrak terlebih dahulu dikeringkan atau dikurangi kandungan air dalam bahan Houghton dan Raman 1998. Belalang yang akan diuji aktivitas antimikrobanya harus diubah terlebih dahulu menjadi bentuk cair dengan proses ekstraksi Gambar 9. Pelarut yang dipakai dalam penelitian ini antara lain air, etanol, heksan, dan etil asetat. Tepung belalang sebanyak 25 gram dalam erlenmeyer ditambahkan dengan pelarut sebanyak 100 ml. Kemudian di-shaker menggunakan rotary shaker selama 72 jam pada suhu ruang. Tepung belalang disaring hingga dihasilkan supernatan yang dilanjutkan dengan proses pemekatan menggunakan Diblender Dicucidibersihkan Dikeringkan Dibuang sayap dan kakinya Tepung Belalang Belalang Disimpan di suhu ruang 13 rotavapor. Suhu yang digunakan untuk memekatkan ektrak dengan pelarut etanol, etil asetat, dan heksan adalah 40 °C, sedangkan ekstrak dengan pelarut air menggunakan suhu 45 °C. Ekstrak dihembus dengan gas N 2 untuk menghilangkan pelarut yang masih tersisa pada ekstrak. Sebelum siap untuk digunakan, ekstrak disterilisasi terlebih dahulu menggunakan membran filter untuk mendapatkan ekstrak yang steril. Ekstrak disimpan dalam refrigerator sebelum digunakan. Gambar 9. Diagram alir ekstraksi tepung belalang

c. Persiapan kultur uji

Setelah ekstrak yang akan diuji siap, dilakukan persiapan kultur bakteri yang akan diuji dimana bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah E. coli dan S. aureus. Sebelum digunakan, dilakukan pewarnaan gram terhadap bakteri uji dengan tujuan untuk mengetahui keseragaman kultur bakteri uji dan juga menghitung total kultur bakteri uji untuk mengetahui jumlah total bakteri awal dengan menggunakan media NA. Satu ose kultur bakteri uji dioleskan pada kaca objek yang telah dibersihkan kemudian difiksasi panas sehingga terbentuk preaparat. Selanjutnya preparat tersebut diteteskan dengan zat warna kristal violet selama 1 menit, kemudian preparat dibilas dengan air mengalir dan dikeringudarakan. Setelah kering, preparat bakteri diteteskan iodium selama dua menit, kemudian dibilas air mengalir dan dikeringkan. Preparat dicuci dengan pemucat warna yaitu etanol 95 tetes demi tetes selama 30 detik, kemudian segera dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan. Preparat selanjutnya diteteskan safranin selama 30 detik, dibilas dengan air mengalir, dan ditiriskan. Setelah kering, preparat diamati di bawah mikroskop. Bakteri yang termasuk dalam gram positif akan menunjukkan warna biru keunguan, sedangkan kelompok bakteri gram negatif berwarna merah Madigan et al. 2000. Ditambah pelarut 1 : 4 Di-shaker selama 3 hari Disaring Dipekatkan Dihembus gas N 2 Sterilisasi Tepung Belalang Supernatan Ekstrak 14 Tahap persiapan kultur bakteri dapat dilihat pada Gambar 10. Sebanyak satu ose bakteri uji ditumbuhkan dalam media NB 10 ml dan diinkubasi 24 jam pada suhu 37 °C. Kultur bakteri ini digunakan sebagai kultur kerja pada pengujian. Suspensi bakteri ditumbuhkan dengan menggunakan media NA pada seri pengenceran 10 5 – 10 8 dan diinkubasi 24 jam pada suhu 37 °C. Koloni bakteri yang tumbuh antara 25-250 dihitung dengan rumus sebagai berikut: Jumlah koloni cfuml = Keterangan: n = jumlah cawan d = pengenceran pada cawan pertama Gambar 10. Diagram alir persiapan kultur uji

d. Metode difusi sumur

Ekstrak belalang dilakukan pengujian secara kualitatif terlebih dahulu dengan menggunakan metode difusi sumur. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya aktivitas penghambatan pada belalang. Kultur mikroba yang akan diuji harus disegarkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring Nutrient Agar NA ke dalam medium cair Nutrient Broth NB sebanyak 10 ml secara aseptik, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C. Kultur bakteri yang diuji sebesar 0,1 atau 200 µl suspensi bakteri dalam 200 ml media NA steril. Setelah bakteri dicampur dengan media, dituang ke dalam cawan sekitar 25 ml untuk setiap cawannya. Setelah campuran media dan kultur uji membeku, tiap-tiap cawan dibuat dua lubang dengan diameter ± 5 mm. Setiap sumur dimasukkan 60 µl larutan ekstrak belalang. Setelah ditetesi dengan ekstrak belalang, cawan diinkubasi dengan posisi tidak dibalik pada suhu 37 °C selama 24 jam.Aktivitas penghambatan dihitung berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur, yaitu selisih antara diameter zona bening dengan diameter sumur. Tahap ini dilakukan duplo dengan dua kali ulangan. 15 Zona penghambatan d = 2r yang diukur adalah diameter zona bening dikurangi dengan diameter sumur. Semakin lebar diameter penghambatan, maka aktivitas senyawa antimikroba semakin besar. Ekstrak yang menunjukkan penghambatan paling besar akan dipilih untuk tahap penelitian selanjutnya. Tahap pengujian dan contoh hasil pengujian aktivitas antimikroba dengan metode sumur dapat dilihat pada Gambar 11.

e. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration MIC

Setelah ekstrak belalang diketahui memiliki aktivitas antimikroba, ditentukan konsentrasi hambat minimum MIC untuk menentukan kisaran konsentrasi yang akan digunakan dalam aplikasi. Perhitungan konsentrasi ekstrak belalang menggunkan rumus: M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan: M 1 = konsentrasi ekstrak awal 100 V 1 = volume ekstrak yang ditambahkan ml M 2 = konsentrasi ekstrak yang dikehendaki V 2 = volume total saat inkubasi 10 ml Ekstrak belalang Pengenceran dalam pelarut hingga konsentrasi 60 Kultur bakteri Inokulasi 200 µl suspensi bakteri ke 200 ml media NA Penuangan 25 ml media berisi bakteri ke dalam cawan dan tunggu hingga media membeku Pembuatan lubang ±5 mm Penuangan 60 µl ekstrak ke dalam lubang Inkubasi pada 37°C selama 24 jam Gambar 11. Diagram alir uji aktivitas antibakteri metode difusi sumur 16 Tahap pengujian aktivitas penghambatan dapat dilihat pada Gambar 12 dimana ekstrak belalang terpilih ditambah ke dalam tabung berisi inokulum bakteri uji yang telah dicampur dengan media NB. Selanjutnya kultur diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24 jam. Subkultur ditumbuhkan pada media NA pada inkubasi 0 jam dan setelah inkubasi 24 jam dengan kisaran pengenceran antara 10 1 - 10 7 . Penurunan jumlah pertumbuhan bakteri ditentukan dengan menghitung selisih jumlah koloni yang tumbuh setelah 0 jam dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 24 jam, kemudian dibagi dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam. Nilai konsentrasi ekstrak belalang yang menunjukkan penurunan jumlah bakteri sebesar 90 merupakan nilai konsentrasi hambat minimal MIC. Tahapan untuk penentuan MIC dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Diagram alir penentuan MIC Penghitungan jumlah ekstrak belalang yang diambil untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan: Contoh M 2 = 10 100 x V 1 = 10 x 10 ml V 1 = 1 ml Adapun kombinasi konsentrasi yang digunakan dalam penentuan MIC dapat dilihat pada Tabel 2. Diinkubasi pada suhu 37 °C selama 48 jam Diambil 1 ml NA NA Ditumbuhkan dalam cawan Ekstrak belalang terpilih Ditambahkan dalam media NB Ditumbuhkan dalam cawan Vorteks Diinokulasi dengan bakteri uji sebanyak 1 ml tiap tabung 10 5 CFUml Diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam Dihitung Dihitung Diinkubasi pada suhu 37 °C selama 48 jam Diambil 1 ml 17 Tabel 2. Kombinasi konsentrasi penentuan MIC Konsentrasi ekstrak M 2 Ekstrak yang ditambahkan ml V 1 Kultur ml NB ml Volume total saat inkubasi ml V 2 6 0,6 1 8,4 10 7 0,7 1 8,3 10 10 1 1 8 10 20 2 1 7 10 Keterangan: V NB = V 2 - V kultur - V 1 ml

f. Aplikasi pada bakso

Konsentrasi yang digunakan pada saat aplikasi di bakso yaitu beberapa kali dari nilai konsentrasi yang didapat dari uji dengan MIC. Pada tahap akhir, bakso kontrol dibandingkan dengan bakso yang ditambahkan dengan ekstrak belalang. Adapun bahan- bahan yang digunakan untuk memproduksi bakso antara lain daging segar, tepung, garam, bawang putih, merica, bumbu penyedap, dan es. Pengawet alami pada produk pangan dapat berupa bubuk, ekstrak, fraksi, dan mikrokapsul Naufalin dan Herastuti 2012. Menurut Wibowo 2006 pembuatan bakso terdiri dari beberapa tahap antara lain: 1. Pelumatan daging Daging segar dipisahkan dari lemak dan uratnya. Setelah itu, daging dilumatkan. Pelumatan ini akan memudahkan pembentukan adonan, dinding sel serabut otot daging juga akan pecah sehingga aktin dan miosin yang merupakan pembentuk tekstur dapat diambil sebanyak mungkin. Daging dimasukkan meat grinder dan ditambahkan garam sehingga diperoleh daging yang lumat. 2. Pembuatan adonan Setelah diperoleh daging lumat, daging lumat dibentuk menjadi adonan. Agar bakso yang dihasilkan baik, daging lumat dicampur dengan es batu dan tepung tapioka. Bumbu- bumbu kemudian ditambahkan sambil dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pembuatan adonan ini menggunakan food processor agar mudah dalam mencampur bahan- bahan dengan daging sehingga diperoleh adonan yang tercampur merata. Penggunaan es atau air es ini sangat penting dalam pembentukan tekstur bakso. Dengan adanya es ini suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Suhu ideal untuk ekstraksi protein adalah 4-5 C, tetapi selama tidak lebih dari 20 C sudah mencukupi. Penggunaan es juga berfungsi menambahkan air ke adonan sehingga adonan tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. 3. Pembentukan bola bakso Setelah adonan diperoleh kemudian dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso menggunakan tangan. Ukuran bola bakso diusahakan seragam, tidak terlalu kecil tetapi juga tidak terlalu besar. Jika tidak seragam, matangnya bakso ketika direbus tidak bersamaan dan menyulitkan dalam pengendalian proses. Selain itu keseragaman ukuran juga ikut mempengaruhi mutu bakso. 4. Perebusan dan pengemasan Bola bakso yang sudah terbentuk lalu direbus dalam air mendidih hingga matang. Jika bakso sudah mengapung di permukaan air menandakan bakso tersebut sudah matang dan 18 perebusan dapat dihentikan. Biasanya perebusan ini dilakukan sekitar 10 menit. Setelah itu, bakso diangkat, ditiriskan, dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, bakso dikemas dalam kantong plastik HDPE. Bakso kemudian siap dianalisis. Proses pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Diagram alir aplikasi ekstrak belalang pada bakso Uji mikrobiologi yang dilakukan pada tahap aplikasi ini berdasarkan SNI 01-2332.3-2006 yang bertujuan untuk mengetahui kondisi bakso selama penyimpanan. Menurut SNI, sampel secara aseptik ditimbang sebanyak 25 gram kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik steril. Ke dalamnya ditambahkan 225 ml larutan pengencer, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan alat stomacher selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengencer 10 -1 . Dengan menggunakan pipet steril, 1 ml homogenat diambil dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 9 ml larutan pengencer untuk mendapatkan pengenceran 10 -2 . Pengenceran selanjutnya 10 -3 dilakukan dengan mengambil 1 ml contoh dari pengenceran 10 -2 ke dalam 9 ml larutan pengencer. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali. Selanjutnya dapat dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10 -4 , 10 -5 , dan seterusnya sesuai dengan kondisi sampel. Setiap pengenceran 10 -1 , 10 -2 , dan seterusnya dipipet 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Setiap pengenceran dilakukan duplo. Ke dalam cawan petri tersebut ditambahkan 15-20 ml media agar yang sudah didinginkan hingga mencapai suhu +45 C pada masing-masing Garam Dihancurkan 0 Jam Digiling 6 Jam 17 Jam Jam 20 Jam 24 Jam Daging segar Es, merica, bawang putih Ditambah ekstrak belalang Dibuat bulatan Direbus Bakso Uji mikrobiologi Tepung bumbu penyedap Total Plate Count Total E. coli Total Staphylococcus sp. 19 cawan yang sudah berisi sampel. Agar sampel dan media tercampur sempurna, dilakukan pemutaran cawan dengan gerakan membentuk angka delapan. Setelah agar menjadi padat, inkubasi cawan- cawan tersebut pada posisi terbalik dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 35 C. Cawan yang mengandung jumlah 25-250 koloni dan bebas spreader dipilih untuk perhitungan. Pengenceran yang digunakan dan jumlah koloni dicatat kemudian perhitungan jumlah koloni dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut N= ∑ C [1x n 1 + 0,1 x n 2 ] x d dengan: N : jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per gram ∑ C : jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung n 1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n 1 : jumlah cawan pada pengencaran kedua yang dihitung d : pengenceran pertama yang dihitung Analisis kuantitatif E. coli BAM 2002 Media untuk pertumbuhan E. coli adalah Eosyn Methylen Blue Agar EMBA. Sebanyak 1 ml sampel dari pengenceran yang diinginkan dipipet secara aseptik lalu diinokulasikan ke dalam cawan, selanjutnya dituangkan media EMBA. Inkubasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 37 °C, koloni E. coli yang tumbuh akan berwarna hijau metalik keunguan. Analisis kuantitatif S. aureus BAM 2001 Metode yang digunakan dalam uji ini adalah cawan sebar dengan menggunakan media spesifik yaitu Baird-Parker Agar BPA. Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisis, media BPA yang sudah disterilkan dituang dalam cawan, dibiarkan memadat dan mengering. Sejumlah sampel dihancurkan kemudian diencerkan. Sebanyak 1 ml sampel dituangkan dan dibagi ke dalam 3 cawan yang berisi BPA sehingga masing-masing cawan berisi 0.3 ml, 0.3 ml, dan 0.4 ml sampel. Sampel tersebut secara aseptik disebar dalam cawan menggunakan hockey stick steril. Setelah dilakukan penyebaran sampel, kemudian cawan dibiarkan selama 10 menit agar sampel terserap dalam agar. Cawan tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 C. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung koloni pada setiap cawan. Perhitungan persentase penurunan jumlah S. aureus dilakukan dengan cara berikut: penurunan = 100 - [jumlah S. aureus saat 6 jamjumlah S. aureus saat 0 jam x 100 ] 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEMBUATAN TEPUNG BELALANG

Belalang yang diterima sudah dalam keadaan mati karena belalang tidak mampu bertahan lama jika bukan di dalam lingkungan yang sesuai. Belalang dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran yang tertinggal, kemudian ditiriskan. Untuk menghilangkan sisa air yang tertinggal di belalang dilakukan pengeringan menggunakan cahaya matahari sekitar 4-5 jam hingga kering. Belalang yang sudah kering dihancurkan dengan blender hingga berbentuk tepung yang siap untuk diekstrak dan sebelum digunakan, tepung dikemas dalam wadah dan disimpan pada suhu ruang.

B. EKSTRAKSI TEPUNG BELALANG

Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan secara kasar senyawa yang terkandung dalam tepung belalang dan mendapatkan ekstrak kasarnya. Tepung yang diekstrak, dilarutkan dalam pelarut dengan perbandingan 1:4 wv. Tepung belalang sebanyak 25 gram diekstraksi dengan 100 ml pelarut menggunakan metode maserasi pada suhu ruang dengan kecepatan putar shaker 35 rpm selama 72 jam. Pada metode maserasi, digunakan empat pelarut yang berbeda dengan berbagai tingkat kepolaran sehingga diperoleh jenis ekstrak dengan kandungan senyawa yang lebih spesifik. Tiap filtrat dipisahkan dari pelarut dengan cara dipekatkan dalam rotavapor. Pelarut etanol, etil asetat, dan heksan dipekatkan pada suhu 40 °C, sedangkan pelarut air dipekatkan pada suhu 45 °C. Sisa pelarut dihilangkan dengan cara dihembus gas nitrogen hingga pelarut yang masih tersisa dalam ekstrak belalang menguap. Setelah ekstrak diperoleh, dilanjutkan dengan sterilisasi bakteri menggunakan membran filter. Ekstrak diambil dengan menggunakan syringe, kemudian dilewatkan melalui holder membran yang berisi membran berukuran 0,2 µm ke dalam wadah steril. Proses ini dilakukan secara aseptis. Setelah itu, ekstrak disimpan dalam lemari pendingin. Ekstraksi yang dilakukan dengan maserasi menghasilkan beberapa jenis ekstrak yaitu ekstrak A pelarut air, ekstrak B pelarut etanol, ekstrak C pelarut etil asetat, dan ekstrak D pelarut heksan. Pelarut air dan etanol mewakili pelarut yang bersifat polar, sedangkan etil asetat dan heksan masing-masing mewakili dari pelarut yang bersifat semi-polar dan non-polar. Rendemen masing-masing ekstrak dihitung berdasarkan persentase bobot ekstrak belalang setelah dipekatkan dengan bobot tepung belalang 25 gram. Ekstrak air menghasilkan kadar air yang paling besar, yaitu sebesar 13,74 . Sedangkan ekstrak dari pelarut etanol, etil asetat, dan heksan masing-masing menghasilkan rendemen sebesar 12,21 , 9,88 , dan 9,79 . Semua ekstrak yang dihasilkan berwarna coklat pekat. Metode ekstraksi berdasarkan kepada prinsip like dissolve like, yaitu pelarut polar melarutkan senyawa polar dan pelarut non-polar akan melarutkan senyawa non-polar. Air merupakan pelarut yang digunakan masyarakat untuk mengambil ekstrak dari obat-obatan tradisional, sedangkan etanol merupakan pelarut yang biasa digunakan pada industri farmasi. Selain itu, alkohol merupakan pelarut serba guna yang baik digunakan untuk ekstraksi pendahuluan Harborne 1996. Ekstraksi tepung belalang dari kedua pelarut polar ini menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih tinggi dibandingkan rendemen ekstrak dari pelarut yang lain. Pelarut air menghasilkan rendemen ekstrak paling besar, yaitu 13,74 . Kemudian diikuti ekstrak dari pelarut etanol sebasar 12,21 . Hasil ini menunjukkan kandungan pada belalang kayu yang lebih didominasi oleh komponen yang bersifat polar. 21 Tepung belalang juga diekstrak menggunakan pelarut semi-polar dan non-polar. Dari ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat semi-polar didapat rendemen 9,88 , sedangkan dari pelarut heksan non-polar didapat rendemen sebesar 9,77 . Pelarut heksan sendiri pada umumnya digunakan untuk memisahkan lemak dari bahan. Durst et al. 2008 mengatakan bahwa nilai kandungan lemak pada belalang kayu sangat rendah, yaitu sekitar 1,5 bb sehingga hasil ekstraksi dengan heksan menghasilkan ekstrak yang sedikit. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh lama ektraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan komponen yang akan diekstrak, semakin sempurna proses ekstraksi Hadittama 2009.

C. PERSIAPAN KULTUR BAKTERI

S. aureus ditandai dengan morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x berwarna biru dan berbentuk kokusbulat Gambar 14. Morfologi tersebut menandakan bahwa S. aureus termasuk bakteri gram positif. Jumlah awal bakteri S. aureus pada penelitian ini sebesar 1,74 x 10 8 CFUml Lampiran 2. Gambar 14. Bentuk morofologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan gram E. coli Gambar 15 ditandai dengan morfologi yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x berwarna merah dan berbentuk batang pendek. Jumlah awal bakteri E. coli pada penelitian ini sebesar 1,74 x 10 8 CFUml Lampiran 2. Hasil pewarnaan yang dilakukan menunjukkan kultur bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini tidak terkontaminasi oleh bakteri lain. Campbell et al. 2003 menyatakan sebagian besar dinding sel bakteri gram positif terdiri dari peptidoglikan dan akan menjerap warna violet. Berbeda dengan bakteri gram negatif yang hanya memiliki sedikit peptidoglikan yang terletak di suatu gel periplasmik antara membran plasma dan suatu membran bagian luar, selnya tetap menahan zat warna merah. Gambar 15. Bentuk morfologi bakteri E. coli dengan pewarnaan gram Bakteri uji dalam penelitian ini diduga telah mencapai fase pertumbuhan stasionernya. Menurut Fardiaz 1992 pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh