22 sama dengan jumlah sel yang mati. Bakteri S. aureus mencapai fase pertumbuhan akhir setelah
inkubasi 16 jam Parhusip 2006. Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh pada sensitivitas bakteri terhadap senyawa bakteri.
D. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK AIR, ETANOL,
ETIL ASETAT DAN HEKSAN BELALANG KAYU
Ekstrak belalang yang diperoleh ekstrak A, B, C, dan D diuji aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri E. coli dan S. aureus dengan metode difusi sumur Branen dan Davidson 1993.
Aktivitas antimikroba ekstrak belalang dapat diketahui melalui pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur pada media NA yang diisikan ekstrak sampel. Zona
bening yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong. Adanya zona bening menunjukkan bakteri tidak tumbuh pada zona tersebut. Zona hambat diukur dari selisih diameter
zona bening yang terbentuk dengan diameter sumur seperti yang terlihat pada Gambar 16. Nilai zona hambat ekstrak belalang dapat dilihat pada Tabel 3, Gambar 17 dan Lampiran 3.
Gambar 16. Zona bening ekstrak belalang pada bakteri uji Tabel 3. Zona hambat ekstrak belalang konsentrasi 60 terhadap bakteri uji
Bakteri Zona Hambat Ekstrak mm
A B
C D
S. aureus 7,1
9,4 E. coli
6,8 9,1
Keterangan: A: ekstrak air belalang; B: ekstrak etanol belalang; C; ekstrak etil asetat belalang; D: ekstrak heksan belalang
Gambar 17. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak belalang konsentrasi 60 7.1
9.4
6.8 9.1
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
A B
C D
D iam
e te
r Pe n
g h
am b
atan m
m
Ekstrak
S. aureus E. coli
A B
D C
23 Secara umum terlihat bahwa ekstrak dari etil asetat menunjukkan adanya penghambatan
terbesar yaitu sekitar 9,4 mm terhadap bakteri S. aureus dan 9,1 mm terhadap bakteri E. coli. Ekstrak dengan pelarut etanol menunjukkan penghambatan yang lebih rendah, yaitu 7,1 mm
terhadap bakteri S. aureus dan 6,8 mm terhadap bakteri E. coli. Sedangkan ekstrak belalang dengan pelarut air dan pelarut heksan tidak menunjukkan adanya penghambatan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona bening clear zone. Sagdic et al. 2005 menyatakan bahwa aktivitas penghambatan bakteri tergolong sangat
kuat bila menghasilkan zona penghambatan 20 mm, tergolong sedang bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 16
– 20 mm, tergolong tipis bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 10
– 15 mm, dan tergolong lemah bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 6 – 9 mm. Dari hasil di atas, dapat dikatakan bahwa ekstrak belalang yang dihasilkan memiliki
aktivitas penghambatan yang lemah. Penghambatan ekstrak belalang terhadap bakteri S. aureus lebih besar daripada
penghambatan terhadap bakteri E. coli. Hal tersebut dapat dilihat pada ekstrak etanol belalang yang membentuk zona bening 7,1 mm terhadap bakteri S. aureus, lebih besar 0,3 mm dari
bakteri E. coli yang membentuk zona bening sebesar 6,8 mm. Hal yang sama juga terjadi pada ekstrak etil asetat belalang dimana zona penghambatan bakteri E. coli lebih kecil 0,3 mm dari
zona penghambatan S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri E. coli lebih tahan terhadap senyawa antimikroba dari ekstrak belalang yang diperoleh dengan metode maserasi.
Perbedaan struktur dinding sel menentukan penetrasi, ikatan, dan aktivitas antibakteri Jawetz et al. 2005. Perbedaan respon ini terjadi akibat perbedaan permukaan luar dinding sel
yaitu lapisan lipopolisakarida LPS antara bakteri gram negatif dan bekteri gram positif. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana dengan jumlah peptidoglikan yang lebih
banyak. Dinding sel bakteri gram negatif memiliki peptidoglikan yang lebih sedikit dan secara struktural lebih kompleks. Membran bagian luar pada dinding sel gram negatif mengandung
lipopolisakarida, yaitu karbohidrat yang terikat dengan lipid. Lapisan lipopolisakarida ini bersifat toksik beracun dan membran bagian luar membantu melindungi bakteri dalam
melawan sistem pertahanan sel inangnya Campbell et al. 2003. Adanya lapisan lipopolisakarida dan membran luar pada bakteri E. coli ini menyebabkan struktur bakteri
menjadi lebih kokoh sehingga sulit ditembus oleh senyawa antimikroba dari ekstrak belalang yang diperoleh dari metode maserasi.
Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa ekstrak dari pelarut etil asetat lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan ekstrak pelarut etanol, baik terhadap bakteri S.
aureus ataupun bakteri E. coli. Pelarut etil asetat termasuk dalam kelas tiga berdasarkan toksisitasnya yang rendah toksik dan penggunaannya dalam bahan pangan dibatasi oleh cara
produksi yang baik GMP atau Good Manufacturing Practices. Kuatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat belalang disebabkan karena pelarut etil asetat yang bersifat semi-polar
sehingga senyawa yang terkandung di dalam ekstrak belalang merupakan senyawa-senyawa yang bersifat semi-polar.
Senyawa antimikroba yang bersifat semi-polar memiliki aktivitas antimikroba yang baik karena senyawa antimikroba membutuhkan keseimbangan sifat hidrofilik-lipofilik untuk
mendapatkan aktivitas antimikroba yang optimal. Sifat hidrofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat larut di dalam senyawa polar air tempat bakteri biasa tumbuh, sedangkan
sifat lipofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat berikatan dengan membran bakteri Branen dan Davidson 1993. Hal tersebut menyebabkan komponen aktif bersifat lipofilik yang
terdapat dalam ekstrak etil asetat belalang dapat berikatan dengan membran sel bakteri S. aureus