PENENTUAN MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION MIC

25 asetat belalang juga diujikan pada bakteri E. coli pada konsentrasi 10 dan 20 . Pada konsentrasi 10 ekstrak mampu menurunkan jumlah bakteri sebesar 55,68 , sedangkan pada konsentrasi 20 bakteri E. coli mengalami penurunan jumlah bakteri sebesar 98,09 . Konsentrasi ekstrak etil asetat belalang 6 yang diperoleh dengan metode maserasi dengan suhu pemekatan 40 °C menunjukkan adanya penurunan lebih dari 90 jumlah bakteri uji setelah inkubasi 24 jam dibandingkan dengan jumlah bakteri awal sehingga nilai konsentrasi hambat minimal MIC diperoleh. Nilai tersebut nantinya akan digunakan sebagai dasar penggunaan pada uji selanjutnya yaitu aplikasinya sebagai pengawet pada bakso. Uji MIC merupakan uji yang bersifat tidak konstan, bergantung dari ukuran inokulum bakteri uji, kuantitas bakteri target, komposisi kultur medium, pertumbuhan isolat yang berbeda dan kondisi inkubasi seperti temperatur, pH, dan aerasi Tokayasa 2010.

F. APLIKASI EKSTRAK SEBAGAI PENGAWET PADA BAKSO

Tahap selanjutnya setelah didapatkan nilai konsentrasi hambat minimal MIC yaitu pengujian sebagai pengawet pada produk bakso daging. Uji aplikasi ekstrak belalang dengan pelarut etil asetat ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak dalam memperlambat laju kerusakan bakso. Pengujian terhadap bakso daging ini difokuskan pada aspek mikrobiologi. Batasan aman yang dipergunakan berdasarkan SNI 7388:2009 yang tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Syarat mutu mikrobiologi bakso No Kriteria uji Satuan Persyaratan 1 Angka lempeng total Kolonig Maks. 1 x 10 5 2 E. coli Kolonig Maks. 1 x 10 3 3 S. aureus Kolonig Maks. 1 x 10 2 Sumber: SNI 7388:2009 Bakso yang ditambahkan dengan pengawet ekstrak belalang dibandingkan dengan bakso kontrol yang tidak ditambahkan dengan ekstrak. Bakso dikatakan rusak apabila telah melampaui batas maksimal dari standar SNI. Konsentrasi ekstrak yang ditambahkan adalah 10 berdasarkan hasil yang didapat dari metode sebelumnya. Konsentrasi ini dipilih karena pada aplikasi di bahan pangan, harus lebih besar dari konsentrasi hambat minimum MIC. Hal ini dikarenakan bahan pangan hasil olahan daging terutama bakso memiliki matriks yang lebih kompleks dengan kandungan protein dan karbohidrat yang tinggi merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan beberapa mikroba perusak pangan. Daging mempunyai nilai nutrisi yang sangat tinggi, dimana nutrisi tersebut merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme baik perusak makanan ataupun patogen makanan Jay 2000. Pengujian dilakukan dengan menggunakan tiga media, yaitu PCA Plate Count Agar untuk menghitung angka lempeng total, EMBA Eosin Methylene Blue Agar untuk menghitung jumlah bakteri E. coli, dan BPA Baird Parker Agar untuk menganalisis bakteri kelompok Staphlococcus sp.. Pengujian dilakukan pada jam ke-0, jam ke-6, jam ke-7, jam ke-21, dan jam ke-24. Jika hasil yang didapat masih lebih kecil dari nilai maksimal persyaratan pada SNI, menandakan bakso daging tersebut belum rusak. Sebaliknya, jika hasil pengujiannya lebih besar dari nilai maskimal persyaratan SNI menandakan bakso tidak layak untuk dikonsumsi. Hasil analisis dari tiga media tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. 26 Tabel 6. Hasil pengujian ekstrak belalang sebagai pengawet Bakso Jam Analisa Kondisi bakso Total Plate Count kolonig E. coli kolonig Staphylococcus sp. kolonig Ekstrak 2,5 x 10 3 2,5 x 10 2 2,5 x 10 2 Baik Etil 6 2,5 x 10 3 2,5 x 10 2 2,5 x 10 2 Baik Asetat 17 2,5 x 10 3 6,3 x 10 2 2,5 x 10 2 Baik 20 6 x 10 4 9,3 x 10 2 6,3 x 10 2 Rusak 24 1,65 x 10 5 7,8 x 10 3 4,6 x 10 3 Rusak Kontrol 2,5 x 10 4 2,5 x 10 2 2,5 x 10 2 Baik 6 1,8 x 10 4 2,5 x 10 4 2,5 x 10 3 Rusak 17 2,5 x 10 6 2,5 x 10 4 2,5 x 10 3 Rusak 20 2,5 x 10 6 2,5 x 10 4 2,5 x 10 3 Rusak 24 2,5 x 10 6 2,5 x 10 4 2,5 x 10 3 Rusak Keterangan: angka yang dicetak tebal telah melebihi batas maksimal syarat mutu bakso Uji TPC angka lempeng total bertujuan mengetahui jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Jumlah TPC yang tinggi merupakan indikasi adanya kerusakan bakso oleh mikroba dalam jumlah besar. Dari Tabel 6 terlihat bahwa bakso kontrol belum rusak hingga jam ke-6 berdasarkan nilai TPC, dimana nilainya masih berkisar 1,8 x 10 4 kolonigram. Sedangkan pada jam ke-17 dan seterusnya bakso dapat dikatakan sudah dalam keadaan rusak karena melebihi batas maksimum TPC dengan jumlah bakteri lebih dari 2,5 x 10 6 kolonigram. Pada bakso daging lainnya yang diberi perlakuan penambahan ekstrak etil asetat belalang sebesar 10 , mampu bertahan hingga jam ke-20 dimana pada jam tersebut jumlah bakteri masih lebih kecil dari 6 x 10 4 kolonigram. Namun pada pengujian lebih lanjut hingga jam ke-20, bakso yang ditambahkan ekstrak tidak layak lagi untuk dikonsumsi karena sudah melebihi batas maksimal dari SNI 2009. Dari perhitungan jumlah bakteri E. coli, ternyata pada 6 jam penyimpanan bakso kontrol jumlahnya sudah melebihi standar. Sedangkan pada bakso yang ditambahkan dengan ekstrak belalang sebesar 10 , pada 20 jam penyimpanan, jumlah E. coli 9,3 x 10 2 kolonigram atau masih lebih kecil dari standar SNI. Demikian juga dengan kandungan bakteri staphylococcus sp. yang jumlahnya masih lebih kecil dari standar SNI. Dengan demikian dapat dikatakan ekstrak etil asetat belalang mampu berfungsi sebagai pengawet pada produk bakso daging karena mampu memperpanjang masa simpannya hingga 17 jam. Bakso daging normal atau tanpa penambahan ekstrak belalang hanya bertahan sampai dengan penyimpanan 6 jam.