PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK AIR, ETANOL,

23 Secara umum terlihat bahwa ekstrak dari etil asetat menunjukkan adanya penghambatan terbesar yaitu sekitar 9,4 mm terhadap bakteri S. aureus dan 9,1 mm terhadap bakteri E. coli. Ekstrak dengan pelarut etanol menunjukkan penghambatan yang lebih rendah, yaitu 7,1 mm terhadap bakteri S. aureus dan 6,8 mm terhadap bakteri E. coli. Sedangkan ekstrak belalang dengan pelarut air dan pelarut heksan tidak menunjukkan adanya penghambatan. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona bening clear zone. Sagdic et al. 2005 menyatakan bahwa aktivitas penghambatan bakteri tergolong sangat kuat bila menghasilkan zona penghambatan 20 mm, tergolong sedang bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 16 – 20 mm, tergolong tipis bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 10 – 15 mm, dan tergolong lemah bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 6 – 9 mm. Dari hasil di atas, dapat dikatakan bahwa ekstrak belalang yang dihasilkan memiliki aktivitas penghambatan yang lemah. Penghambatan ekstrak belalang terhadap bakteri S. aureus lebih besar daripada penghambatan terhadap bakteri E. coli. Hal tersebut dapat dilihat pada ekstrak etanol belalang yang membentuk zona bening 7,1 mm terhadap bakteri S. aureus, lebih besar 0,3 mm dari bakteri E. coli yang membentuk zona bening sebesar 6,8 mm. Hal yang sama juga terjadi pada ekstrak etil asetat belalang dimana zona penghambatan bakteri E. coli lebih kecil 0,3 mm dari zona penghambatan S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri E. coli lebih tahan terhadap senyawa antimikroba dari ekstrak belalang yang diperoleh dengan metode maserasi. Perbedaan struktur dinding sel menentukan penetrasi, ikatan, dan aktivitas antibakteri Jawetz et al. 2005. Perbedaan respon ini terjadi akibat perbedaan permukaan luar dinding sel yaitu lapisan lipopolisakarida LPS antara bakteri gram negatif dan bekteri gram positif. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana dengan jumlah peptidoglikan yang lebih banyak. Dinding sel bakteri gram negatif memiliki peptidoglikan yang lebih sedikit dan secara struktural lebih kompleks. Membran bagian luar pada dinding sel gram negatif mengandung lipopolisakarida, yaitu karbohidrat yang terikat dengan lipid. Lapisan lipopolisakarida ini bersifat toksik beracun dan membran bagian luar membantu melindungi bakteri dalam melawan sistem pertahanan sel inangnya Campbell et al. 2003. Adanya lapisan lipopolisakarida dan membran luar pada bakteri E. coli ini menyebabkan struktur bakteri menjadi lebih kokoh sehingga sulit ditembus oleh senyawa antimikroba dari ekstrak belalang yang diperoleh dari metode maserasi. Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa ekstrak dari pelarut etil asetat lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan ekstrak pelarut etanol, baik terhadap bakteri S. aureus ataupun bakteri E. coli. Pelarut etil asetat termasuk dalam kelas tiga berdasarkan toksisitasnya yang rendah toksik dan penggunaannya dalam bahan pangan dibatasi oleh cara produksi yang baik GMP atau Good Manufacturing Practices. Kuatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat belalang disebabkan karena pelarut etil asetat yang bersifat semi-polar sehingga senyawa yang terkandung di dalam ekstrak belalang merupakan senyawa-senyawa yang bersifat semi-polar. Senyawa antimikroba yang bersifat semi-polar memiliki aktivitas antimikroba yang baik karena senyawa antimikroba membutuhkan keseimbangan sifat hidrofilik-lipofilik untuk mendapatkan aktivitas antimikroba yang optimal. Sifat hidrofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat larut di dalam senyawa polar air tempat bakteri biasa tumbuh, sedangkan sifat lipofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat berikatan dengan membran bakteri Branen dan Davidson 1993. Hal tersebut menyebabkan komponen aktif bersifat lipofilik yang terdapat dalam ekstrak etil asetat belalang dapat berikatan dengan membran sel bakteri S. aureus 24 dan E. coli, sedangkan komponen hidrofilik menyeimbangkan dengan lingkungan sekitar sehingga membran sel mengalami peningkatan permeabilitas membran yang kemudian dapat menyebabkan kandungan mineral dalam sitoplasma keluar sehingga menyebabkan sel lisis. Pelarut etanol merupakan pelarut selanjutnya yang digunakan pada ekstraksi belalang dengan maserasi. Senyawa tannin yang bersifat polar diduga terlarut dalam fraksi ekstrak etanol belalang. Senyawa tannin yang berada dalam fraksi ekstrak etanol belalang dapat berperan sebagai senyawa antimikroba. Senyawa tannin merupakan salah satu subklas dari senyawa fenolik polimer. Senyawa tannin yang memiliki mekanisme penghambatan terhadap bakteri dengan cara membentuk kompleks dengan protein sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim sel bakteri Cowan 1999. Limit residu pelarut dalam bahan makanan dapat ditoleransi untuk keberadaan pelarut etanol cukup besar yaitu 1000 ppm Handa 2008. Oleh karena, itu dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat belalang yang diperoleh dari metode maserasi memiliki aktivitas antimikroba yang tertinggi terhadap bakteri S. aureus dan E. coli. Aktivitas yang dihasilkan dengan menggunakan difusi sumur bersifat kualitatif Branen dan Davidson 1993. Berdasarkan hasil penelitian ini, ekstrak etil asetat yang diperoleh dari metode maserasi dijadikan sebagai ekstrak terpilih untuk tahap selanjutnya yaitu penentuan konsentrasi hambat minimum MIC.

E. PENENTUAN MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION MIC

Tahap selanjutnya yaitu menentukan konsentrasi hambat minimum MIC pada ekstrak terpilih. Metode tersebut direkomendasikan oleh Gutierrez et al. 2009 sebagai metode yang baik untuk mengetahui konsentrasi terkecil yang dapat menghambat bakteri uji. Pengujian aktivitas antimikroba secara kuantitatif dilakukan pada ekstrak terpilih, yaitu ekstrak C etil asetat belalang yang diperoleh dengan metode maserasi pada suhu pemekatan 40 °C terhadap bakteri uji yang menunjukkan aktivitas penghambatan. Penurunan jumlah bakteri dihitung berdasarkan persentase selisih dari jumlah koloni yang tumbuh setelah 24 jam dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam dibagi jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam. Nilai konsentrasi hambat minimal MIC ditentukan jika pada konsentrasi ekstrak belalang terendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau terjadi penurunan jumlah bakteri sebesar 90 dari jumlah bakteri awal. Hasil pengujian aktivitas penghambatan secara kuantitatif dapat dilihat pada Tabel 4, Lampiran 4, dan Lampiran 5. Tabel 4. Hasil pengujian aktivitas penghambatan ekstrak C Jenis Bakteri Konsentrasi ekstrak C mgml Jumlah bakteri CFUml Penurunan jumlah bakteri Inkubasi 0 jam Inkubasi 24 jam S. aureus 6 5,1 x 10 5 4,4 x 10 4 91,32 7 4,2 x 10 5 9,0 x 10 3 98,11 10 1,4 x 10 5 7,6 x 10 2 98,89 E. coli 10 1,3 x 10 5 5,7 x 10 4 55,86 20 8 x 10 4 1,5 x 10 3 98,09 Nilai penghambatan seperti yang ditunjukkan Tabel 4 menunjukkan hingga konsentrasi 5 ekstrak etil asetat belalang tidak menunjukkan adanya penurunan jumlah bakteri S. aureus. Pada konsentrasi 6 , terdapat penurunan sebesar 91,32 , sedangkan konsentrasi 7 mampu menurunkan jumlah bakteri sebesar 98,11 . Pada konsentrasi 10 ekstrak etil asetat, bakteri S. aureus mengalami penurunan jumlah bakteri masing-masing sebesar 98,89 . Ekstrak etil 25 asetat belalang juga diujikan pada bakteri E. coli pada konsentrasi 10 dan 20 . Pada konsentrasi 10 ekstrak mampu menurunkan jumlah bakteri sebesar 55,68 , sedangkan pada konsentrasi 20 bakteri E. coli mengalami penurunan jumlah bakteri sebesar 98,09 . Konsentrasi ekstrak etil asetat belalang 6 yang diperoleh dengan metode maserasi dengan suhu pemekatan 40 °C menunjukkan adanya penurunan lebih dari 90 jumlah bakteri uji setelah inkubasi 24 jam dibandingkan dengan jumlah bakteri awal sehingga nilai konsentrasi hambat minimal MIC diperoleh. Nilai tersebut nantinya akan digunakan sebagai dasar penggunaan pada uji selanjutnya yaitu aplikasinya sebagai pengawet pada bakso. Uji MIC merupakan uji yang bersifat tidak konstan, bergantung dari ukuran inokulum bakteri uji, kuantitas bakteri target, komposisi kultur medium, pertumbuhan isolat yang berbeda dan kondisi inkubasi seperti temperatur, pH, dan aerasi Tokayasa 2010.

F. APLIKASI EKSTRAK SEBAGAI PENGAWET PADA BAKSO

Tahap selanjutnya setelah didapatkan nilai konsentrasi hambat minimal MIC yaitu pengujian sebagai pengawet pada produk bakso daging. Uji aplikasi ekstrak belalang dengan pelarut etil asetat ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak dalam memperlambat laju kerusakan bakso. Pengujian terhadap bakso daging ini difokuskan pada aspek mikrobiologi. Batasan aman yang dipergunakan berdasarkan SNI 7388:2009 yang tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Syarat mutu mikrobiologi bakso No Kriteria uji Satuan Persyaratan 1 Angka lempeng total Kolonig Maks. 1 x 10 5 2 E. coli Kolonig Maks. 1 x 10 3 3 S. aureus Kolonig Maks. 1 x 10 2 Sumber: SNI 7388:2009 Bakso yang ditambahkan dengan pengawet ekstrak belalang dibandingkan dengan bakso kontrol yang tidak ditambahkan dengan ekstrak. Bakso dikatakan rusak apabila telah melampaui batas maksimal dari standar SNI. Konsentrasi ekstrak yang ditambahkan adalah 10 berdasarkan hasil yang didapat dari metode sebelumnya. Konsentrasi ini dipilih karena pada aplikasi di bahan pangan, harus lebih besar dari konsentrasi hambat minimum MIC. Hal ini dikarenakan bahan pangan hasil olahan daging terutama bakso memiliki matriks yang lebih kompleks dengan kandungan protein dan karbohidrat yang tinggi merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan beberapa mikroba perusak pangan. Daging mempunyai nilai nutrisi yang sangat tinggi, dimana nutrisi tersebut merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme baik perusak makanan ataupun patogen makanan Jay 2000. Pengujian dilakukan dengan menggunakan tiga media, yaitu PCA Plate Count Agar untuk menghitung angka lempeng total, EMBA Eosin Methylene Blue Agar untuk menghitung jumlah bakteri E. coli, dan BPA Baird Parker Agar untuk menganalisis bakteri kelompok Staphlococcus sp.. Pengujian dilakukan pada jam ke-0, jam ke-6, jam ke-7, jam ke-21, dan jam ke-24. Jika hasil yang didapat masih lebih kecil dari nilai maksimal persyaratan pada SNI, menandakan bakso daging tersebut belum rusak. Sebaliknya, jika hasil pengujiannya lebih besar dari nilai maskimal persyaratan SNI menandakan bakso tidak layak untuk dikonsumsi. Hasil analisis dari tiga media tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.