Residu total gula Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis

Keterangan : A Rasio mol. A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036 B Suhu. B1=140 O C; B2=150 O C Gambar 13 Perbandingan hasil pengamatan residu gula pereduksi, residu total gula dan kejernihan dari tiap perlakuan 4.2 Tahap produksi APG 4.2.1 Proses Sintesis proses butanolisis dan proses transasetalisasi Pada proses butanolisis jumlah rasio mol katalis PTSA yaitu 0,027 mol : 1 mol pati, sedangkan perlakuan suhu yang diberikan yaitu suhu 140 O C sesuai dengan perlakuan terbaik pada tahap penentuan rasio mol katalis dan suhu proses butanolisis. Pada proses butanolisis ditambahkan butanol dengan rasio mol 8,5 : 1 mol pati dan H 2 O dengan rasio mol 8 : 1 mol pati Proses ini berlangsung selama 30 menit dengan kondisi tekanan 6-8 kgcm 2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Secara umum proses transasetalisasi merupakan proses penggantian C 4 oleh C 12 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Pada proses ini terjadi pemutusan ikatan antara sakarida dan butanol kemudian digantikan oleh alkohol lemak C12. Pada proses ini berlangsung pada suhu 115-120 O C selama dua jam dengan kecepatan pengadukan 200 rpm dan dalam keadaan vakum -15 cmHg. Selama berlangsungnya proses ini butanol dan air dikeluarkan melalui proses penguapan dan kondensasi. Setelah proses transasetalisasi didapatkan hasil berupa cairan berwarna coklat muda. Derajat keasaman larutan yang dihasilkan yaitu antara pH 2 –2,4. Rata-rata gula pereduksi yang masih terdapat dalam larutan hasil transasetalisasi 10 20 30 40 50 60 70 80 90 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2 T ra n sm is i Ko n se n tra si p p m Residu Total Gula ppm Residu Gula Pereduksi ppm Kejernihan Transmisi yaitu sebesar 563,64 ppm Lampiran 6, sedangkan menurut Lueders 2000, kandungan D-glukosa yang tersisa dalam larutan hasil transasetalisasi sebesar 450 ppm. Polidekstrosa sangat berpengaruh terhadap Pada pembentukan warna gelap karena jika dilanjutkan pada proses distilasi maka produk APG akan semakin gelap. McCurry 1994, menyatakan bahwa larutan hasil proses transasetalisasi terdiri dari dodecil poliglikosida, alkohol lemak berlebih, polidekstrosa dan sebagian kecil gula yang tidak ikut bereaksi dengan alkohol lemak. Hasil dari proses transasetalisasi dapat diihat dari Gambar 14. Gambar 14 Hasil akhir proses transasetalisasi

4.2.2 Proses Pemurnian APG

Proses pemurnian dilakukan untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan lebih jernih, karena aplikasi APG saat ini lebih banyak digunakan pada industri personal care product yang menuntut kondisi fisik APG yang lebih menarik dan memiliki kinerja yang bagus. Tahap proses pemurnian meliputi: penyaringan, netralisasi, penambahan arang aktif dan NaBH4, distilasi dan pemucatan.

4.2.2.1 Proses Penyaringan

Setelah proses transasetalisasi larutan didinginkan hingga mencapai suhu 80 O C. Di dasar larutan terdapat endapan coklat tua gelap. Jika endapan ini dipisahkan menggunakan kain saring akan diperoleh pasta yang akan mengeras pada suhu ruang. Menurut Eskuchen dan Nitsche 1997, endapan ini merupakan polidekstrosa hasil polimerisasi glukosa yang tidak bereaksi dengan alkohol lemak. Endapan ini harus dipisahkan, karena akan menyebabkan penurunan kualitas fisik dan kinerja APG yang dihasilkan. Tidak semua polidekstrosa dapat tersaring, karena ada juga yang masih larut dalam larutan. Rata-rata endapan polidektrosa yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 4,3 dari jumlah transasetalisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat McCurry 2000 bahwa kandungan polidekstrosa berkisar antara 2-13 dan kandungan by-product lainnya sebesar 1-3 dari hasil proses transasetalisasi.

4.2.2.2 Proses Netralisasi

Proses netralisasi dilakukan untuk menghentikan proses transasetalisasi. Jika tidak dilakukan netralisasi maka APG yang telah terbentuk dalam larutan hasil transasetalisasi akan mengalami kerusakan pada proses destilasi. Hal ini disebabkan karena larutan masih bersifat asam dan suhu yang digunakan 140 O C yang dapat merusak APG yang telah terbentuk. Perlakuan proses netralisasi produk dilakukan dengan penambahan NaOH 50 hingga pH larutan mencapai pH 9. Penambahan NaOH menciptakan suasana basa dalam larutan karena gugus ether yang terbentuk dari ikatan asetal antara aldehid dan alkohol lebih stabil dalam kondisi basa Noerdin 2008. Penggunaan larutan sodium hidroksida NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi terhadap alkohol ataupun produk APG Wuess et al. 1996. Pada saat penambahan NaOH untuk menetralkan larutan terjadi perubahan warna pada larutan hasil proses transasetalisasi. Mulanya larutan berwarna coklat muda kemudian setelah penambahan NaOH larutan berubah menjadi coklat tua Gambar 15. Perubahan warna ini disebabkan karena masih terdapat kandungan sakarida dalam larutan. Menurut Soeharsono 1988, jika sakarida diberikan larutan basa berkadar tinggi, maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi, D- glukosa akan berubah menjadi D-manosa atau D-fruktosa. Monosakarida akan mudah mengalami dekomposisi dan menghasilkan hidroksil metil furfural HMF selama proses pencoklatan non-enzimatis.