Tahap 2. Tahap produksi APG proses sintesis dan proses

katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,018; 0,027; dan 0,036 masing-masing berbeda nyata satu sama lain. Dari hasil uji lanjut Duncan α=0,05 perlakuan rasio mol 0,027 pada suhu 150 O C sampel A2B2 dan perlakuan rasio mol 0,036 pada suhu 140 O C sampel A3B1 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata Lampiran 2. Pengaruh dari faktor rasio mol katalis dan faktor suhu terhadap residu gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Pengaruh faktor rasio mol katalis dan faktor suhu terhadap residu gula pereduksi. Semakin tinggi residu gula pereduksi yang dihasilkan pada proses butanolisis menyebabkan kemungkinan pembentukan warna gelap semakin tinggi pada proses selanjutnya dalam pembuatan APG. Oleh karena itu diharapkan residu gula pereduksi yang dihasilkan serendah mungkin. Semakin tinggi rasio mol katalis PTSA1 mol pati yang ditambahkan selama proses butanolisis maka semakin rendah residu gula pereduksi yang dihasilkan. Demikian pula dengan perlakuan suhu, semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan maka residu gula pereduksi semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya rasio katalis maka semakin banyak ion H + yang dapat digunakan untuk membentuk asetal antara gugus aldehid glukosa dan butanol. Luders 2000, menyatakan bahwa diperlukan ion H + yang cukup dari katalis asam untuk membantu reaksi antara gula dan butanol. Panas yang cukup diperlukan untuk membantu reaksi antara glukosa dan butanol. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa semakin tinggi suhu yang 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 0.018 0.027 0.036 G u la P e re d u k si p p m Rasio Mol Katalis PTSA1 mol pati 140 150 Suhu O C digunakan maka semakin rendah pula residu gula yang dihasilkan. Perlakuan suhu 150 O C menghasilkan residu gula pereduksi yang rendah dibandingkan dengan perlakuan suhu 140 O C. Pada suhu 150 O C reaksi antara glukosa dan butanol lebih banyak terjadi karena dengan meningkatnya suhu maka semakin cepat pula reaksi yang terjadi. Dengan batasan waktu proses butanolisis selama 30 menit, perlakuan suhu 150 O C menghasilkan residu gula pereduksi yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Luders 2000, suhu yang digunakan untuk proses butanolisis adalah 140-165 O C. semakin rendah suhu maka proses reaksi akan berjalan semakin lambat. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka reaksi akan berjaan lebih cepat, namun proses harus dijaga untuk meminimalkan pembentukan by-product yang tidak diinginkan pada penggunaan suhu yang tinggi.

4.1.2 Residu total gula

Tidak semua hasil hidrolisis pati dengan menggunakan asam akan menghasilkan monosakarida, namun ada juga yang berbentuk oligosakarida atau polisakarida. Hasil hidrolisis pati ini diukur sebagai total gula. Oligosakarida juga mampu bereaksi dengan butanol, namun produk yang dihasilkan berupa butil oligoglikosida. Gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye hingga kekuningan yang stabil Winarno 2008. Residu total gula yang dihasilkan pada proses butanolisis berasal dari hasil hidrolisa asam pada tapioka. Semakin banyak residu total gula, maka semakin tidak efisien proses butanolisis yang terjadi. Kondisi proses reaksi butanolisis yang menggunakan suhu 140-150 O C dan dalam keadaan asam mendukung untuk terjadinya proses hidrolisa pati. Hasil penelitian pada perhitungan residu total gula berkisar antara 44.047,62-143.928,57 ppm, atau sekitar 28,51 – 82,4 dari total pati yang digunakan. Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata terhadap pembentukan residu total gula Lampiran 3 . Berdasarkan uji Duncan α=0,05 dari faktor rasio mol katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol