digunakan maka semakin rendah pula residu gula yang dihasilkan. Perlakuan suhu 150
O
C menghasilkan residu gula pereduksi yang rendah dibandingkan dengan perlakuan suhu 140
O
C. Pada suhu 150
O
C reaksi antara glukosa dan butanol lebih banyak terjadi karena dengan meningkatnya suhu maka semakin cepat pula
reaksi yang terjadi. Dengan batasan waktu proses butanolisis selama 30 menit, perlakuan suhu 150
O
C menghasilkan residu gula pereduksi yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Luders 2000, suhu yang digunakan untuk proses
butanolisis adalah 140-165
O
C. semakin rendah suhu maka proses reaksi akan berjalan semakin lambat. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka reaksi akan
berjaan lebih cepat, namun proses harus dijaga untuk meminimalkan pembentukan by-product yang tidak diinginkan pada penggunaan suhu yang
tinggi.
4.1.2 Residu total gula
Tidak semua hasil hidrolisis pati dengan menggunakan asam akan menghasilkan monosakarida, namun ada juga yang berbentuk oligosakarida atau
polisakarida. Hasil hidrolisis pati ini diukur sebagai total gula. Oligosakarida juga mampu bereaksi dengan butanol, namun produk yang dihasilkan berupa butil
oligoglikosida. Gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye
hingga kekuningan yang stabil Winarno 2008. Residu total gula yang dihasilkan pada proses butanolisis berasal dari hasil
hidrolisa asam pada tapioka. Semakin banyak residu total gula, maka semakin tidak efisien proses butanolisis yang terjadi. Kondisi proses reaksi butanolisis
yang menggunakan suhu 140-150
O
C dan dalam keadaan asam mendukung untuk terjadinya proses hidrolisa pati. Hasil penelitian pada perhitungan residu total
gula berkisar antara 44.047,62-143.928,57 ppm, atau sekitar 28,51 – 82,4 dari
total pati yang digunakan. Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor
perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata terhadap pembentukan residu total gula Lampiran 3
. Berdasarkan uji Duncan α=0,05 dari faktor rasio mol katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol
0,018 berbeda nyata dengan perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036. Perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036
tidak berbeda nyata. Hasil u ji Duncan α=0,05 pada tiap perlakuan menunjukkan
hasil yang berbeda nyata, kecuali pada perlakuan rasio mol katalis 0,036 dan suhu 150
O
C sampel A3B1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan rasio mol katalis 0,027 pada suhu 140
O
C dan 150
O
C sampel A2B1 dan A2B2. Pengaruh dari perlakuan rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu
total gula dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Pengaruh rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu total gula
Semakin tinggi rasio mol katalis dan perlakuan suhu, maka semakin rendah residu total gula yang dihasilkan. Penambahan katalis yang semakin tinggi
memungkinkan terjadinya kondisi keasaman yang semakin tinggi selama proses butanolisis. Dengan suasana asam memungkinkan untuk terjadinya hidrolisis pati
dan ion H
+
yang diperoleh dari katalis membantu terjadinya ikatan antara gula dan butanol. Pada perlakuan suhu 150
O
C menghasilkan residu total gula yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 140
O
C. Dari data residu total gula dan residu gula sederhana dapat diperoleh data
derajat polimerisasi DP dari residu sakarida yang dihasilkan dari hasil proses butanolisis. Derajat polimerisasi merupakan hasil bagi dari jumlah residu total
gula dan jumlah residu gula pereduksi. Nilai DP dari hasil proses butanolisis berkisar antara 2-3. Dari nilai DP yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi
gula pereduksi terhadap total gula masih tinggi atau berkisar antara 55,5-34,5;
20000 40000
60000 80000
100000 120000
140000 160000
0.018 0.027
0.036
T o
ta l G
ul a
pp m
Rasio Mol Katalis PTSA1 mol pati
140 150
Suhu
O
C
sedangkan jumlah persentase total gula terhadap keseluruhan hasil butanolisis sebesar 25,1-82,4 Tabel 4. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dari
residu total gula yang terdapat pada hasil butanolisis yaitu terbentuknya polidekstrosa atau membentuk ikatan asetal dengan alkohol lemak rantai panjang
pada tahap transasetalisasi McCurry 2000.
Tabel 4 Derajat polimerisasi dan persentase residu gula dari berbagai sampel
Sampel Perlakuan
DP Residu Gula
A1B1
a
Katalis 0,018; suhu 140
O
C 2,4
82,40 A1B2
a
Katalis 0,018; suhu 150
O
C 1,9
49,75 A2B1
a
Katalis 0,027; suhu 140
O
C 1,8
39,70 A2B2
a
Katalis 0,027; suhu 150
O
C 2,2
31,35 A3B1
a
Katalis 0,036; suhu 140
O
C 2,9
38,20 A3B2
a
Katalis 0,036; suhu 150
O
C 2,4
28,51 Luders
b
Katalis 0,012; suhu 165
O
C syrup glukosa low DP
na
c
13,00
Keterangan :
a
perlakuan penelitian,
b
Luders 2000,
c
data tidak tersedia
4.1.3 Kejernihan
Luders 1991 dan Noerdin 2008 menyatakan bahwa warna produk hasil butanolisis antara kuning hingga coklat tua. Pembentukan warna ini disebabkan
oleh dehidrasi glukosa dengan kehilangan 3H
2
O hingga membentuk hidroksil metil furfural HMF Gambar 5. Perlakuan suhu tinggi hingga 150
O
C juga menjadi penyebab pembentukan warna gelap pada hasil proses butanolisis. Hasil
butanolisis yang berwarna gelap akan mempengaruhi kualitas warna produk APG selanjutnya. Semakin gelap produk butanolisis, maka produk APG yang
dihasilkan juga akan semakin gelap. Penetapan kejernihan produk dari hasil butanolisis dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer. Pada perhitungan kejernihan digunakan panjang gelombang 470 nm McCurry 1994, dengan menghitung Transmisi sampel.
Hasil dari perhitungan Transmisi kecerahan produk butanolisis berkisar antara 0,1
– 80,35 T. Semakin rendah nilai T maka semakin gelap produk. Hasil analisa ragam menunjukkan faktor rasio mol, faktor suhu dan interaksi
kedua faktor berpengaruh nyata Lampiran 4 . Berdasarkan uji Duncan α=0,05
dari faktor rasio mol katalis, penambahan katalis dengan rasio mol 0,027; dan