Ekonomi Politik Proteksionisme TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Ekonomi Politik Proteksionisme

Tarif merupakan kebijakan perdagangan yang paling umum, yaitu sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor maupun diekspor. Dalam kasus impor, tarif spesifik spesific tariffs dikenakan sebagai pajak atau beban tetap tiap unit barang yang diimpor. Sedangkan tarif ad valorem ad valorem tariff adalah pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Tujuan utama pengenaan tarif biasanya tidak semata-mata untuk memperoleh pendapatan pemerintah sebagai bentuk fiscal policy , melainkan juga sebagai bentuk perlindungan sektor-sektor tertentu di dalam negeri. Sebagian besar perangkat tarif, quota impor dan kebijakan perdagangan lainnya pada dasarnya dipilih dan diterapkan untuk melindungi kepentingan produsen atau konsumen meskipun hal ini ternyata seringkali untuk melindungi arus pendapatan dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu dalam negara yang bersangkutan. Sekalipun para ekonom seringkali mengatakan bahwa setiap bentuk penyimpangan dari kaidah-kaidah perdagangan bebas akan menurunkan kesejahteraan nasional, dalam kenyataannya memang terdapat sejumlah landasan teoritis untuk meyakini bahwa aktivitas kebijakan perdagangan terkadang dapat meningkatkan kesejahteraan suatu negara secara keseluruhan. Terdapat sejumlah kasus atau argumen-argumen tertentu yang tidak membenarkan hubungan perdagangan bebas, mulai dari yang sangat ekstrem sampai yang mengandung logika ekonomi yang secara intelektual cukup baik dan masuk akal. Salah satu argumen yang paling ekstrem adalah proteksi dianggap perlu untuk melindungi tenaga kerja domestik dari tekanan persaingan produk impor yang menggunakan tenaga kerja murah. Argumen ini masih lemah karena yang mempengaruhi biaya produksi bukan hanya upah tenaga kerja yang rendah tetapi juga produktivitas tenaga kerjanya. Bahkan jika produktivitasnya lebih rendah, perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat terselenggara atas dasar keunggulan komparatif. Artinya, negara yang mempunyai tenaga kerja murah dapat melakukan spesialisasi produksi dan ekspor atas komoditas yang padat karya dan sebaliknya negara lain dapat melakukan spesialisasi dengan mengandalkan faktor produksi lainnya. Argumen lain yang patut dipertanyakan validasinya adalah argumen ketenagakerjaan yang mengatakan proteksi diperlukan untuk mengurangi pengangguran dalam negeri dan argumen neraca pembayaran dimana proteksi diperlukan untuk mengurangi defisit neraca pembayaran Salvatore, 1997. Kedua argumen ini menyatakan bahwa jika impor dibatasi maka devisa dapat dihemat sehingga defisit neraca pembayaran dapat diatasi dan akan tercipta sejumlah lapangan kerja baru yang akan mengurangi pengangguran. Tindakan ini ternyata dapat memacu negara lain melakukan tindakan yang sama karena setiap negara memiliki kecenderungan untuk mengambil keuntungan atas pengorbanan negara lain beggar-thy-neighbor Salvatore, 1997. Argumen selanjutnya pada prinsipnya mengatakan bahwa negara-negara dapat memperbaiki nilai tukar perdagangan melalui penerapan tarif impor optimum dan pajak ekspor. Namun apa yang ditonjolkan oleh argumen ini, yakni nilai tukar perdagangan, justru tidak terlalu penting dalam prakteknya karena small country memang tidak berdaya untuk mempengaruhi harga-harga produk impor dan ekspor mereka sehingga mereka tidak dapat menerapkan tarif atau kebijakan-kebijakan lain demi meningkatkan nilai tukar perdagangannya. Di lain pihak, negara-negara besar dapat mempengaruhi nilai tukar mereka, tetapi dengan mengenakan tarif, mereka akan menghadapi tekanan yang lebih besar sehubungan dengan adanya perjanjian-perjanjian perdagangan yang tidak mengijinkan hal itu. Argumen yang memang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang cukup jelas dan logis adalah argumen industri bayi infant industry. Pada dasarnya argumen ini menyatakan bahwa proteksi diperlukan untuk melindungi industri yang baru tumbuh karena jika tidak diberikan proteksi akan tertindas oleh tekanan kompetisi produk-produk impor yang industrinya sudah jauh lebih mapan. Argumen industri bayi menyatakan bahwa setiap negara memiliki potensi keunggulan komparatif dalam komoditi tertentu, namun karena keterbatasan teknologi dan tingkat output pertamanya, maka akan sulit bersaing jika masih baru berkembang sehingga perlu mendapat proteksi perdagangan secara temporer sampai cukup mapan. Penelitian yang dilakukan setelah Putaran Uruguay menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan agroindustri di negara-negara berkembang dapat meningkatkan kesejahteraannya jika proteksi di negara-negara maju dikurangi Bonilla and Reca, 2000. Sebaliknya, kebijakan perdagangan strategis menyatakan bahwa sebuah negara dapat menciptakan keuntungan komparatif melalui pemberlakuan proteksi dagang untuk sementara sampai cukup mapan dan mampu bersaing dengan produk-produk impor, pemberian subsidi, keringanan pajak dan pengadaan program-program kerjasama dalam bidang-bidang industri berteknologi tinggi yang paling berpotensi menjadi andalan perekonomian secara keseluruhan atau memberikan imbas teknologi technological spillover. Alasan lain bagi ditinggalkannya perdagangan bebas mengacu pada kegagalan pasar domestik domestic market failure, dimana suatu pasar dalam suatu negara tidak mampu melakukan fungsi-fungsinya sebagaimana mestinya seperti adanya ketidaksempurnaan pasar modal dan tenaga kerja yang menghalangi pengalihan sumberdaya secepat mungkin ke sektor-sektor yang memberikan imbalan relatif lebih tinggi dan adanya kemungkinan-kemungkinan kelebihan-kelebihan teknologi dari sejumlah sektor industri baru, khususnya yang bersifat inovatif. Sebagai contoh umpamakan bahwa produksi suatu barang bisa menghasilkan keuntungan atau manfaat khusus berupa terobosan baru yang akan menyempurnakan teknologi produksi di suatu perekonomian secara keseluruhan, akan tetapi perusahaan inovator tersebut ternyata tidak dapat memanfaatkan keuntungan tersebut secara penuh sehingga tidak memperhitungkannya dalam pengambilan keputusan produksi. Hal ini berarti terdapat keuntungan sosial marginal marginal social benefit bagi diadakannya produksi tambahan yang tidak tercakup dalam pengukuran surplus produsen. Keuntungan sosial marginal ini dapat dijadikan sebagai pembenaran bagi pemberlakuan tarif atau kebijakan perdagangan lainnya dengan adanya eksternalities tersebut, yaitu keuntungan yang jatuh ke pihak-pihak luar Krugman and Obstfeld, 2003. Kemunculan argumen domestic market failure yang menentang dilangsungkannya perdagangan bebas ini sesungguhnya merupakan sebuah kasus khusus dari perkembangan konsep yang lebih umum yang dikenal dengan Theory of the second best . Pada intinya, teori ini menyebutkan bahwa kebijakan hands- off , artinya pemerintah sama sekali tidak mengadakan campur tangan dan semua kegiatan ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar memang cocok dan diperlukan oleh suatu pasar asalkan pasar-pasar lainnya dapat bekerja dengan baik dan bersih dari segala macam kegagalan. Dalam menerapkan teori ini para ekonom berdalih bahwa ketidaksempurnaan dalam fungsionalisasi internal dari suatu perekonomian bisa membenarkan tindakan campur tangan pemerintah dalam menata hubungan-hubungan ekonomi eksternalnya. Dengan demikian argumen ini mengakui bahwa perdagangan internasional bukan merupakan sumber persoalan, akan tetapi mereka tetap meyakini kegunaan kebijakan perdagangan Krugman and Obstfeld, 2003. Masing-masing kebijakan mencakup berbagai macam dan langkah atau tindakan yang berbeda-beda. Tindakan- tindakan tersebut meliputi antara lain pengenaan pajak terhadap beberapa macam transaksi internasional, pemberian subsidi oleh pemerintah, pembatasan resmi terhadap nilai atau volume impor dan berbagai bentuk pengaturan lainnya. Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan oleh Erwidodo et al. 2003 dalam kasus perdagangan jagung, terintegrasinya pasar jagung Indonesia dengan pasar global dimana harga jagung di pasar domestik secara langsung dipengaruhi oleh harga jagung dunia, maka pengenaan tarif lima persen terhadap dampak makro yang ditimbulkan dipandang sudah cukup untuk memberikan perlindungan dan menjamin keuntungan petani pada kisaran 27 sampai 34 persen. Jika harga impor CIF menurun sampai tingkat US 110 per ton dan nilai tukar rupiah Rp 8 600US, maka diperlukan tarif impor sebesar 20 persen Rp 110 per kg untuk meningkatkan keuntungan bersih menjadi 20 sampai 28 persen. Malian 2004 mengemukakan bahwa Indonesia juga mengalami peningkatan impor jagung sebesar 20 persen sejak liberalisasi radikal yang dilakukan pemerintah pada tahun 1998 atas tekanan dari International Monetary Fund IMF, padahal jagung telah menyerap sembilan juta petani sehingga diperlukan proteksi terhadap komoditas jagung. Sementara itu berdasarkan hasil penelitian Yusdja dan Agustian 2003 memberikan hasil yang berbeda, dimana pada saat itu nilai tukar mendekati Rp 9 000US dan harga jagung 122 USton, biaya pokok usahatani jagung hibrida di tiga provinsi berkisar antara Rp 712 sampai Rp 871 per kg, berarti dengan asumsi pada tingkat harga dunia berlaku di dalam negeri maka keuntungan petani berkisar antara 26 sampai 54 persen. Pada saat itu maka tidak cukup alasan menerapkan tarif impor jagung. Pembatasan impor jagung yang pernah dilakukan oleh pemerintah pada masa 1980 sampai 1990 mengakibatkan 200 pabrik pakan rakyat dan 40 000 peternak rakyat bangkrut karena industri pakan dan peternak skala besar menguasai jagung yang tersedia di dalam negeri. Keterkaitan kebijakan-kebijakan tersebut dengan perdagangan jagung adalah ternyata kita tidak bisa hanya melihat dari sisi petani jagung saja tetapi juga kepada konsumen jagung karena ada para peternak unggas yang perlu dipertimbangkan juga keberadaannya. Peranan pemerintah dalam perdagangan jagung sangat dilematis, karena jika pemerintah menetapkan tarif impor yang terlalu tinggi dengan alasan perlindungan terhadap petani jagung, maka akan menyebabkan harga pakan ternak meningkat karena komposisi pakan ternak sebagian besar adalah jagung. Hal ini menyebabkan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah terkait perdagangan jagung karena alasan harus memperhatikan kedua belah pihak tersebut. Kebijakan impor jagung telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1974 sampai 1978, impor jagung dikenakan tarif lima persen, kemudian ditingkatkan menjadi 10 persen selama kurun waktu 1980 sampai 1993. BULOG Badan Urusan Logistik merupakan lembaga pemerintah pemegang ijin tunggal bagi pelaksanaan impor jagung pada tahun 1982 dengan SK Menteri Perdagangan No.165KpXII82 tanggal 27 Desember 1982 dan pada tahun 1988 Menteri Perdagangan RI melalui SSK. No. 3751988 tanggal 21 November 1988 telah membebaskan ketentuan tataniaga impor untuk beberapa barang hasil pertanian antara lain jagung. Selanjutnya pada tahun 1994, tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 5 persen, namun pada tahun 1995 dihapuskan. Kemudian pada tahun 2005 tarif impor jagung dinaikkan kembali menjadi lima persen Imron, 2007. Sementara itu, terdapat pengecualian dimana Gabungan Pengusaha Makanan Ternak GPMK dibebaskan dari bea masuk impor 90 000 ton melalui Surat Keputusan SK Menteri Keuangan No.114KMK.001991 yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 1991. Dikeluarkannya SK tersebut dibentuk Pokja Perunggasan yang diharapkan dapat mengatasi masalah pemenuhan bahan baku pakan ternak dan gejolak harga jagung pada saat itu. Kebijakan terkait ekspor jagung Indonesia yang pernah dilakukan adalah SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 269MXI78 tanggal 14 Nopember 1978, dimana komoditas jagung termasuk ke dalam barang yang diawasi sehingga ekspornya hanya dapat dilakukan dengan ijin dari Departemen Perdagangan dan Koperasi. Hal ini dilakukan pemerintah untuk menjaga kestabilan harga jagung akibat ketidakseimbangan antara penyediaan dan permintaan jagung di Indonesia. Di sisi lain hal ini menyebabkan terbatasnya gerak pengusaha swasta di bidang perdagangan jagung internasional. Kebijakan pemerintah ini berlanjut dengan memberlakukan pajak ekspor pada tahun 1980 dan dihapuskan kembali pada tahun 1984 meskipun ijin ekspor tetap diberlakukan. Selanjutnya pada tanggal 23 Desember 1987, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dikenal dengan ‘Pakdes 1987’ melalui SK Menteri Perdagangan No. 331KpXII87 dimana salah satu isinya menyebutkan bahwa perlu dilakukan deregulasi terhadap tataniaga ekspor jagung yang menyatakan bahwa pengawasan terhadap tataniaga jagung dihilangkan. Sementara itu kebijakan yang dilakukan guna melindungi petani tidak hanya mengenai perdagangan saja tapi juga subsistem yang lain. Sebelum merumuskan kebijakan, perlu dilakukan tinjauan terhadap kebijakan apa saja yang telah dilakukan pemerintah selama ini di sektor tanaman pangan. Tinjauan terhadap kebijakan pemerintah untuk pemberdayaan dan peningkatan pendapatan petani dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel tersebut memperlihatkan rangkaian kebijakan terakhir yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk sektor pertanian dan pemerintah sudah melaksanakan konsep yang baik dalam melindungi petani tetapi tetap terkait erat dengan kegiatan dan instansi penanggungjawab kegiatan tersebut. Selain mengetahui kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam melindungi sektor pertanian, ada baiknya Indonesia mengetahui kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara lain sebagai perbandingan. Kebijakan proteksi di bidang pertanian sesuai ketentuan tiga pilar perdagangan dilakukan oleh beberapa negara lain. Berdasarkan Tabel 4 terlihat kebijakan tarif dan quota impor merupakan kebijakan akses pasar market access yang paling umum dilakukan. Sedangkan untuk subsidi domestik domestic support, kebijakan yang paling banyak dilakukan adalah kebijakan yang mendukung investasi dan riset. Sementara itu kebijakan yang umum dilakukan untuk subsidi ekspor export subsidies adalah kebijakan larangan ekspor dan subsidi untuk mengurangi biaya pemasaran. Tabel 3. Matrik Kebijakan Pemerintah di Sektor Pertanian Tanaman Pangan Komponen Utama Kegiatan Instansi Penanggung Jawab Peningkatan Kapasitas Produksi 1. Perumusan pengaturan guna pengendalian alih fungsi lahan sawah, pemanfaatan lahan tidur, pengendalian fragmentasi lahan dengan sistem insentifdisinsentif moneter atau perpajakan 2. Melaksanakan rehabilitasi dan pengembangan jaringan irigasi 3. Mendorong optimalisasi pemanfaatan sumberdaya air 4. Mendorong intensitas pemanfaatan lahan 5. Mendorong pengambangan jasa alsintan pengolahan lahan Depdagri, Otda, Depkeu Depkimpraswil Depkimpraswil, Deptan Deptan Deptan Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi Usaha 1. Menumbuhkembangkan usaha penangkaran benih bermutu di tingkat lokal 2. Meningkatkan aksesibilitas petani terhadap pupuk 3. Meningkatkan pengawasan perdagangan saprodi pupuk, benih, pestisida dari pemalsuan 4. Meningkatkan kemampuan petani mengadopsi teknologi baru dengan teknologi tepat dan spesifik lokasi 5. Mendorong rasionalisasi pemanfaatan air dan input 6. Meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas petani atas sumber pembiayaan usahatani 7. Melaksanakan pengkajian teknologi pertanian spesifik lokasi untuk peningkatan efisiensi, produktivitas dan kualitas Deptan Deperindag Deperindag, Deptan Deptan Deptan Depkeu, Perbankan Deptan Perlindungan Petani Atas Gejolak Harga Output Pada Masa Panen Raya Menetapkan kebijakan pendukung bagi efektivitas kebijakan harga perlindungan petani: a. Pembelian oleh pemerintah saat panen raya sesuai outlet yang tersedia pada tingkat harga sama dengan harga perlindungan petani atau lebih besar sesuai harga pasar b. Penetapan tarif impor dengan memperhatikan disparitas harga domestik dan internasional dengan memperhatikan ketentuan WTO c. Pengaturan impor yang diimplementasikan oleh Bulog sebagai state trading enterprise Bulog Depkeu Deperindag, Bulog Sumber: Suryana et al. 2001 Tabel 4. Perbandingan Kebijakan Market Access, Domestic Support dan Export Subsidies di Berbagai Negara Negara Market Acces Domestic Support Export Subsidies China Tarif, non tarif, tarif quota, TRQ Bantuan khusus untuk beberapa produk dan non produk tertentu yang berhubungan dengan pertanian Korea Tarif, quota tarif, non tarif, coutervailing duty , anti dumping, safeguards Riset dan pengembangan daerah, subsidi impor Subsidi ekspor reserve for export loses, pengurangan pajak, pengeculian untuk perusahaan asing, voluntrary export resistent Jepang Tarif, larangan dan lisensi impor, batasan impor, coutervailing, anti dumping, safeguards Tax break dan interest loan Skema keuangan ekspor, asuransi, jaminan dan duty drawback Thailand Tarif, safeguards, quota tarif Price support, paddy pledging scheme, soft loan, green box , bantuan input dan pinjaman lunak untuk investasi Subsidi transportasi internal, biaya pemasaran, external freight cost , larangan ekspor, pajak produk pertanian Vietnam Bound tariff , izin impor, quota dan quota tarif, phytosanitary dan safeguards Subsidi pertanian, perlindungan hak cipta, iklim yang mendukung investasi Larangan atau hambatan impor, pemberian ijin terbatas, pajak internal, pembatasan subsidi Brazil Tarif, quota tarif Pelayanan umum, riset kontrol saniatas, penyuluhan, infrastruktur, jaminan kredit, subsidi suku bunga Pengurangan pajak ekspor dan quota ekspor Sumber: Siregar dan Lubis, 2003 Mengamati kebijakan proteksi yang dilakukan negara lain, terlihat bahwa mereka menerapkan variasi kebijakan akses pasar, subsidi domestik dan subsidi ekspor yang saling mendukung. Contoh tersebut menunjukkan betapa negara tersebut menganggap proteksi terhadap petani sangat penting dilakukan. Berdasarkan penjelasan di atas terlihat betapa perlunya informasi dan data tentang dampak penurunan tarif tersebut terhadap komoditas jagung, komoditas yang rentan terhadap penurunan tarif, pihak yang mendapat manfaat lebih besar atau malah merugikan dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas kawasan dan multilateral. Hal ini dapat dinilai juga pihak di Indonesia yang mendapat manfaat lebih besar dari kebijakan dan kerjasama ekonomi tersebut, yaitu apakah akan mengutamakan produsen, konsumen, penerimaan negara atau meminimalkan kerugian sosial. Berbagai alternatif pilihan strategi terutama dari segi penentuan besarnya tarif ini akan sangat berguna bagi pengambil kebijakan.

III. KERANGKA TEORI