Perjanjian Perdagangan TINJAUAN PUSTAKA

cara-cara baru untuk mengekspor atau bersaing dengan impor, maka pola perdagangan bebas segera terbentuk dan akan mampu menawarkan lebih banyak peluang untuk belajar dan melakukan berbagai macam inovasi, dibandingkan dengan peluang yang diberikan oleh sistem perdagangan yang ”terkendali”, yakni dimana pemerintah mengadakan campur tangan dengan langsung mengatur secara ketat pola-pola impor dan ekspor. Argumen politik bagi perdagangan bebas mencerminkan kenyataan bahwa di kalangan tertentu terdapat suatu komitmen politik bagi dilangsungkannya hubungan perdagangan bebas. Bonilla dan Reca 2000 menyimpulkan beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat pembukaan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, namun para ekonom seringkali mengingatkan bahwa kebijakan perdagangan dalam kenyataannya lebih didominasi oleh pertimbangan politik dan kepentingan khusus daripada pertimbangan-pertimbangan cost-benefit dan manfaat ekonomi nasional. Pelaksanaan kebijakan perdagangan sebagai niat baik pemerintah untuk campur tangan dalam perekonomian selalu saja terbuka terhadap kemungkinan ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang berusaha membelokkan kebijakan pemerintah bagi redistribusi pendapatan ke sektor-sektor yang secara politik berpengaruh atau bahkan untuk melayani kepentingan-kepentingan sendiri.

2.3. Perjanjian Perdagangan

Upaya ke arah liberalisasi perdagangan yang berjalan saat ini terjadi setidaknya melalui dua mekanisme, yaitu pendekatan multilateral dan pendekatan regional. Ada yang berpendapat bahwa upaya pertama dapat terwujud melalui beberapa tahapan setelah upaya yang kedua tercapai, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa pendekatan yang kedua tidak mungkin mendukung upaya yang pertama atau bahkan mengalihkan tujuan yang pertama. Meskipun beberapa kemajuan telah dicapai selama dasawarsa 1930-an dalam usaha-usaha liberalisasi perdagangan melalui serangkaian perjanjian bilateral, namun sejak selesainya Perang Dunia kedua, koordinasi internasional terutama diupayakan lewat perjanjian-perjanjian multilateral di bawah naungan General Agreement on Tariff and Trade GATT. GATT yang terdiri dari kelembagaan birokrasi serta seperangkat aturan main, merupakan lembaga pusat dari sistem perdagangan internasional pasca perang. Seri perundingan terakhir GATT juga menyetujui pembentukan sebuah organisasi baru, yaitu World Trade Organization WTO, untuk memantau dan menegakkan kesepakatan yang ada. Seperti diketahui upaya multilateral telah berjalan dalam waktu yang sangat panjang melalui berbagai tahapan perundingan internasional. Tujuan perundingan internasional ini adalah menurunkan tarif dan hambatan bukan tarif perdagangan komoditas internasional. Terhitung sejak tahun 1945 telah terjadi delapan kali perjanjian perdagangan multilateral. Lima perjanjian pertama serupa dengan negosiasi bilateral sejajar, dimana suatu negara bernegosiasi dengan sejumlah negara mitranya sekaligus secara berpasangan Hutabarat, 2005. Misalnya, apabila Jerman menawarkan pemotongan tarif yang menguntungkan Perancis dan Italia, Jerman dapat meminta kedua negara tersebut melakukan hal yang sama. Perundingan yang keenam yang disebut Putaran Kennedy berakhir tahun 1967, menghasilkan penurunan tarif 50 persen untuk semua pos tarif bagi negara industri utama kecuali bagi negara-negara yang tarifnya tidak berubah. Penutupan putaran ini berhasil menurunkan tarif rata-rata sebesar 35 persen Krugman and Obstfeld, 2003. Putaran Tokyo, perundingan ke tujuh, yang berlangsung dalam kerangka kerja GATT diakhiri pada April 1979, menurunkan tarif dengan suatu rumus yang lebih rumit dari rumus yang digunakan dalam Putaran Kennedy berdasarkan kelompok komoditas yang luas, bukan atas dasar pertimbangan produk per produk. Pada putaran ini pemotongan tarif yang disepakati mencapai 31 persen untuk Amerika Serikat, 27 persen untuk Uni Eropa UE, 28 persen untuk Jepang dan 34 persen untuk Kanada Chacoliades, 1990. Tetapi kebanyakan pemotongan ini berlangsung delapan tahun sejak Januari 1980. Selanjutnya, putaran ini berhasil membuat suatu aturan untuk mengawasi semakin berkembangnya hambatan nontarif. Akhirnya pada tahun 1994, perundingan ke delapan yang disebut Putaran Uruguay berhasil menghasilkan beberapa perjanjian di bidang pertanian meskipun masih belum sesuai harapan karena alotnya perundingan. Pada saat ini tarif impor applied yang berlaku di Indonesia adalah besaran-besaran yang diusulkan dalam LOI Letter of Intent antara pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund IMF bagi beragam komoditas sebagai bentuk konsekuensi Indonesia terkait pinjaman yang diterima dari IMF semasa krisis moneter. Pada perundingan Komisi Pertanian di bulan Juli 2004 di Jenewa, yang menghasilkan Paket Juli 2004 telah tersurat bahwa modalitas penurunan bantuan domestik dan tarif akan mengikuti Rumus Berjenjang RB atau Tiered Formula TF dan sampai saat ini belum diketahui bagaimana bentuk pasti jenjang-jenjang tarif yang diharapkan. Tentu saja, hal ini akan mengundang perdebatan yang sangat tajam seperti perundingan modalitas pada masa-masa sebelumnya yang akhirnya untuk sementara mengesampingkan rumus-rumus yang dikembangkan sebelumnya seperti Uruguay Round Formula, Swiss Formula dan Blended Formula Hutabarat, 2005. Sampai saat ini berbagai kelompok atau koalisi negara telah mengajukan berbagai usulan, tetapi belum menuju suatu titik temu yang pasti sehingga sidang komisi pertanian akan tetap berjalan pada masa- masa yang akan datang sampai dicapai kesepakatan. Beberapa tahun belakangan ini, meskipun hampir 140 negara telah menyetujui pemberlakuan perjanjian multilateral di berbagai bidang termasuk pertanian dengan terbentuknya WTO, pertumbuhan perjanjian perdagangan bebas bilateral maupun regional dalam suatu kawasan menunjukkan dinamika dan pertumbuhan yang semakin pesat. Menurut Tweeten 1992, ada empat tipe integrasi ekonomi yaitu: 1 Free Trade Area FTA yang didefinisikan sebagai area dimana negara anggota menyepakati untuk menghilangkan hambatan perdagangan antar anggotanya, tetapi memberlakukan hambatan perdagangan negara di luar anggotanya yang berbeda diantara para anggota sesuai dengan kebijakan masing-masing negara, 2 Common Market CM, area dengan perdagangan bebas dan kebebasan penuh faktor-faktor seperti modal dan tenaga kerja berpindah diantara negara anggota, 3 Custome Union CU, area dengan perdagangan bebas diantara para anggota serta adanya kesamaan pemberlakuan hambatan perdagangan untuk negara non-anggota, dan 4 Economic Union EU, area dimana anggotanya menyatukan kebijakan ekonomi publik seperti moneter, fiskal, kesejahteraan dan kebijakan lingkungan seperti perdagangan dan migrasi faktor tetapi masing-masing negara tetap mempunyai pemerintahan sendiri. Indonesia sendiri tergabung dalam sebuah FTA, antara lain AFTA. Penetapan tarif yang berbeda antar anggota FTA selain menyebabkan terciptanya perdagangan atau trade creation dan beralihnya perdagangan atau trade divertion seringkali menyebabkan terjadinya trade deflection atau pengalihan perdagangan. Trade deflection dapat dihindari dengan membedakan secara efektif antara barang yang berasal dari anggota lain dari kelompoknya sendiri atau dari luar kelompok. AFTA mengaturnya ke dalam Rule of Origin ROO dimana suatu produk dapat diperlakukan sebagai produk asal apabila tidak kurang dari 40 persen berisi dengan produk original dan jika nilai material sebagian atau yang dihasilkan tidak lebih dari 60 persen dari nilai FOB negara penghasil. Kemudian ditambah lagi dengan adanya Cumulative ROO, yaitu apabila produk akhir tidak lebih dari 40 persen. Menurut Kenen 1989 negara yang menjalin kerjasama perdagangan umumnya mempunyai ciri: 1 yang berpendapatan tinggi dan dapat terlibat perdagangan intraindustri, 2 yang berpendapatan rendah kurang terlibat perdagangan intraindustri, dan 3 negara yang berorientasi keluar akan semakin sedikit pembatasan perdagangannya, semakin besar porsi perdagangan industrinya. Sementara itu hubungan bilateral dapat dicirikan oleh semakin dekat jarak antar negara dan semakin menyatu masyarakatnya, cenderung membuat perdagangan intraindustrinya semakin berkembang. Kerjasama bilateral seringkali menimbulkan pemikiran tersendiri karena adanya kesenjangan teknologi dan product cycle, mengingat adanya perbedaan latar belakang sosial ekonomi antara negara tersebut demikian besar seperti Indonesia-China, Indonesia-Jepang Hutabarat, 2005. Hubungan bilateral seperti itu akan menimbulkan suatu rangkaian inovasi dan imitasi yang mempengaruhi ekspor dari negara partner. Setelah produk baru berkembang dan mulai menguntungkan pasar domestik, perusahaan yang melakukan inovasi memperoleh keuntungan monopoli di pasar internasional akibat adanya entry lag. Keuntungan monopoli akan mendorong imitasi di negara lain, terutama jika inovasi telah memasyarakat. Teori ini secara implisit berkategori teori limpasan atau spillover yaitu dengan kecepatan memasyarakatnya teknologi menyebabkan perusahaan- perusahaan di sekitarnya akan dengan mudah meniru inovasi teknologi baru yang diterapkan oleh perusahaan lain sehingga perusahaan inovator tidak akan lama menikmati entry lag hasil inovasinya tersebut. Elger et al. 2006 melihat permasalahan ini dengan melakukan analisis yang berimbang mengenai dampak kesepakatan perdagangan kawasan dimana kesepakatan perdagangan kawasan tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka building block atau penghambat stumbling block menuju perdagangan bebas. Kesepakatan perdagangan kawasan tersebut bisa menjadi kerangka perdagangan bebas apabila: 1 tetap melengkapi atau sejalan dengan perjanjian multilateral sebagaimana dinyatakan dalam WTO, 2 menggalakkan kerjasama antara negara- negara mitra wilayahnya serta mendorong mereka untuk menyelaraskan berbagai undang-undang yang dibutuhkan, dan 3 menjadi tempat penyelesaian isu-isu perdagangan yang rawan dengan ketersediaan integrasi yang lebih dalam yang tidak mungkin terjadi dalam perundingan WTO. Sebaliknya kesepakatan perdagangan kawasan juga dapat menghambat perdagangan bebas apabila: 1 aturan-aturan asal barang yang ketat menyebabkan peralihan perdagangan atau menjadi alat perlindungan, 2 dorongan pengembangan kesepakatan perdagangan kawasan tidak mempunyai peluang melebur menjadi suatu Free Trade Agreement, 3 kerjasama perdagangan kawasan seringkali mendorong peningkatan tarif eksternal, sehingga menghambat liberalisasi multilateral, dan 4 kerjasama perdagangan kawasan dapat menambah kekuatan kelompok lobi perlindungan dan mengalihkan sumberdaya perundingan yang terbatas dari perundingan multilateral. Di wilayah Asia, telah semakin intensif jalinan kerjasama perdagangan dengan negara lain di kawasan yang sama maupun di luar kawasannya. Indonesia sendiri saat ini telah terlibat dalam beberapa kawasan perdagangan bebas, antara lain: 1 di lingkungan ASEAN yang disebut AFTA Asean Free Trade Area, 2 Bilateral and Regional Free Trade Agreement ASEAN dengan China atau ASEAN-China FTA, dan 3 Indonesia-China FTA dan akan muncul perjanjian- perjanjian bebas kawasan yang lain seperti Indonesia-Korea FTA, Indonesia- Jepang FTA, Indonesia-India FTA, Indonesia-Pakistan FTA, Indonesia-Australia- Selandia Baru FTA dan mungkin juga Indonesia-USA FTA atau Indonesia-Uni Eropa FTA. Khusus Indonesia-China FTA telah diratifikasi perjanjian kerjasama ekonomi dengan Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 2004 dengan menerapkan tarif bea masuk dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China menjadi 0 persen tahun 2006 untuk produk-produk tertentu. Pada pertemuan KTT ASEAN-6 di Singapura, Januari 1992 telah diputuskan mengenai perdagangan bebas AFTA yang merupakan program pengurangan tarif secara bertahap, serta penghapusan hambatan tarif pada tahun 2008. Selanjutnya, sejumlah hambatan non-tarif seperti quota dihilangkan, dilakukan harmonisasi kepabeanan serta penilaian dan prosedurnya dan membangun standarisasi sertifikasi produk. Selain itu dirancang pula Common Effective Preferential Tariff CEPT. Klasifikasi produk dalam skema CEPT dibagi ke dalam empat daftar, yaitu: 1 Inclusion List IL, yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria dapat mengikuti jadwal penurunan tarif, tidak ada pembatasan kuantitatif dan hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu lima tahun, 2 General Exception List GEL, yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan serta nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis, ketentuan mengenai GEL dalam perjanjian CEPT konsisten dengan artikel X dari General Agreement on Tariff and Trade GATT, contohnya adalah senjata amunisi, narkotika dan sebagainya, 3 Temporary Exclusions List TEL, yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT, tetapi produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari negara anggota lainnya, karena TEL tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk- produk yang tercakup dalam GEL, dan 4 Sensitive List SL, yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan Unprocessed Agricultural Product UAP. Sebagian produk pertanian dikecualikan dalam penurunan tarif sehingga waktu liberalisasi perdagangan menjadi lebih lama yaitu 2010. Adapun rincian besarnya jumlah pos tarif masing-masing negara anggota ASEAN tertera dalam Tabel 2. Menurut Pasadilla 2006, setelah pembentukan AFTA, volume perdagangan dengan negara-negara non-ASEAN pengaruhnya relatif kecil. Meskipun demikian, biaya transaksi perdagangan intra-ASEAN yang lebih rendah dengan fasilitas perdagangan tersebut dalam penyediaan input-input industri dan dengan pembentukan integrasi vertikal kerjasama multilateral tersebut tidak bisa dipandang sama pengaruhnya terhadap perdagangan dengan negara-negara di luar ASEAN. Total impor ASEAN pada tahun 2003 menurun, sementara itu ekspornya meningkat. Penurunan impor ASEAN tersebut lebih banyak karena penurunan impor dari negara-negara lain di luar ASEAN, sementara peningkatan ekspor juga memperlihatkan sebagian besar terjadi penurunan ekspor ke negara- negara di luar ASEAN. Secara parsial, hal ini menunjukkan bahwa kerjasama tersebut menciptakan adanya trade creation, seperti yang telah ditemukan oleh studi-studi terdahulu. Tabel 2. CEPT List untuk Tahun 2003 Negara Inclusion List Temporary Exclusion List General Exception List Sensitive List Total Brunei 6 337 - 155 - 6 492 Indonesia 7 217 - 68 - 7 285 Malaysia 10 124 218 53 - 10 395 Philipina 5 642 - 16 - 5 658 Singapura 5 859 - - - 5 859 Thailand 9 211 - -- - 9 211 Total ASEAN-6 44 390 218 295 - 44 900 Persentase 98.86 0.49 0.65 100 Kamboja 3 115 3 523 134 50 6 822 Laos 2 533 856 74 88 3 551 Myanmar 4 182 1 224 48 18 5 472 Vietnam 6 296 - 139 51 6 486 Total Anggota Baru 16 126 5 603 395 207 22 331 Persentase 72.21 33.02 1.77 0.93 100 Total ASEAN 60 516 5 821 687 207 67 231 Persentase 90.01 8.66 1.02 0.31 100 Sumber: Departemen Perindustrian, 2002.

2.4. Ekonomi Politik Proteksionisme