kebijakan perdagangan dan moneter internasional yang bisa diterima oleh setiap negara tanpa perlu membentuk suatu pemerintahan dunia yang berwenang
mengatur semua negara mengenai apa yang harus dilakukan.
2.2. Perdagangan Bebas
Sejak masa Adam Smith, para ekonom memandang perdagangan bebas sebagai sesuatu yang ideal sehingga kebijakan perdagangan bebas harus selalu
diupayakan. Integrasi pasar dunia dengan pasar domestik lama kelamaan tidak bisa dihindarkan lagi, namun sebenarnya alasan yang melatarbelakangi pandangan
bahwa perdagangan bebas tidaklah sederhana seperti gagasannya sendiri. Sebenarnya, sangat sedikit negara yang melaksanakan perdagangan secara benar-
benar bebas. Hongkong mungkin merupakan satu-satunya negara modern yang sama sekali tidak mengenakan tarif atau pembatasan impor Krugman and
Obstfeld, 2003. Awalnya, model-model teoritis perdagangan menegaskan bahwa perdagangan bebas akan menghindarkan terjadinya inefisiensi yang seringkali
diakibatkan oleh adanya proteksi. Kasus efisiensi bagi perdagangan bebas merupakan kebalikan dari analisis
cost benefit dari tarif. Banyak ekonom meyakini bahwa perdagangan bebas
mampu menciptakan keuntungan tambahan yang tidak dapat diperoleh jika terjadi distorsi produksi dan konsumsi akibat pengenaan tarif. Bagi perekonomian
atau negara-negara kecil pada umumnya dan negara berkembang khususnya, banyak ekonom yang menganjurkan dilaksanakannya suatu perdagangan secara
bebas sehubungan dengan terdapatnya berbagai keuntungan tambahan yang sangat penting yang selama ini belum diperhitungkan dalam analisis cost-benefit
konvensional. Salah satu bentuk keuntungan tambahan tersebut adalah tercapainya
skala ekonomi economies of scale sehubungan dengan meluasnya pasar. Sebuah negara yang memiliki hubungan dagang yang intensif dengan negara-negara lain
mempunyai kesempatan untuk memperbesar skala ekonominya. Adanya
perdagangan mendorong terjadinya spesialisasi produksi sehingga meningkatkan skala produksi dan meningkatkan penggunaan input-input produksi seperti tenaga
kerja sehingga memacu investasi, tabungan dan pertumbuhan pendapatan nasional. Pasar yang diproteksi tidak saja akan memecah-mecah kegiatan produksi
secara internasional, melainkan juga mengurangi daya saing dan potensi meningkatkan laba serta cenderung mendorong berbagai perusahaan untuk
memasuki industri yang diproteksi tersebut sehingga semuanya akan terjebak dalam pola produksi yang tidak efisien. Hasil simulasi Hutabarat et al. 2007
juga menunjukkan bahwa dampak penurunan tarif terhadap produksi, ekspor bersih, PDB dan kesejahteraan menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu,
jika sarana dan prasarana yang mendukung terciptanya kondisi liberalisasi perdagangan di Indonesia dapat bersifat kondusif tidak perlu ada kekuatiran
terjadinya dampak negatif akibat liberalisasi perdagangan. Argumen lain yang pro perdagangan bebas mengatakan bahwa
keuntungan dinamis perdagangan bebas adalah meningkatnya kompetisi ekonomi yang selanjutnya akan mendorong negara-negara untuk berproduksi serta
melakukan berbagai kegiatan ekonomi lainnya secara lebih efisien karena tidak lagi mengandalkan keuntungan dari proteksi yang diberikan pemerintah berupa
hambatan-hambatan perdagangan yang menyulitkan masuknya produk-produk pesaing, khususnya mereka yang berada di dalam pasar-pasar monopolistik dan
oligopolistik. Pemberian insentif kepada para pengusaha untuk mengupayakan
cara-cara baru untuk mengekspor atau bersaing dengan impor, maka pola perdagangan bebas segera terbentuk dan akan mampu menawarkan lebih banyak
peluang untuk belajar dan melakukan berbagai macam inovasi, dibandingkan dengan peluang yang diberikan oleh sistem perdagangan yang ”terkendali”, yakni
dimana pemerintah mengadakan campur tangan dengan langsung mengatur secara ketat pola-pola impor dan ekspor.
Argumen politik bagi perdagangan bebas mencerminkan kenyataan bahwa di kalangan tertentu terdapat suatu komitmen politik bagi dilangsungkannya
hubungan perdagangan bebas. Bonilla dan Reca 2000 menyimpulkan beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat
pembukaan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, namun para ekonom seringkali mengingatkan bahwa kebijakan perdagangan dalam kenyataannya lebih
didominasi oleh pertimbangan politik dan kepentingan khusus daripada pertimbangan-pertimbangan
cost-benefit dan manfaat ekonomi nasional.
Pelaksanaan kebijakan perdagangan sebagai niat baik pemerintah untuk campur tangan dalam perekonomian selalu saja terbuka terhadap kemungkinan
ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang berusaha membelokkan kebijakan pemerintah bagi redistribusi pendapatan ke sektor-sektor yang secara politik
berpengaruh atau bahkan untuk melayani kepentingan-kepentingan sendiri.
2.3. Perjanjian Perdagangan