145 atau kelapa sawit tersebut tidak dapat lagi ditanami lada, karena tanaman lada
akan kalah bersaing dengan tanaman karet dan kelapa sawit tersebut. Selain itu, petani lada juga tidak akan mau mengorbankan tanaman karet dan kelapa sawit
dewasa mereka yang bahkan sudah dapat menghasilkan. Akhirnya, dalam jangka panjang, areal lada responden akan berkurang secara permanen.
6.2.4. Analisis Deskriptif Variabel Teknologi Budidaya Lada Petani
Variabel teknologi budidaya lada petani mencerminkan perilaku petani lada dalam melaksanakan teknis atau cara teknologi membudidayakan tanaman
lada, yang meliputi persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan panjatan junjung, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama dan
penyakit tanaman, serta panen. Tingkat penerapan teknologi budidaya lada responden per dimensi dan secara keseluruhan tahun 2009 dapat dilihat pada
Lampiran 4. Penerapan teknologi budidaya lada oleh setiap responden memiliki perbedaan dan juga kesamaan. Deskripsi mengenai variabel teknologi budidaya
lada secara lebih ringkas dapat dilihat pada Tabel 44.
Tabel 44. Deskripsi Variabel Teknologi Budidaya Lada Responden Tahun 2009
Deskripsi Selang
Skor Modus
Rata- rata
SkorIndeks Maksimum
Dimensi Terboboti
Persiapan Lahan 0,04-0,08
0,06 0,06
0,2 Penyediaan Bibit
0,05-0,32 0,05
0,17 0,32
Persiapan Panjatan 0,07-0,13
0,10 0,10
0,2 Penanaman
0,03-0,05 0,03
0,03 0,14
Pemupukan 0,10-0,20
0,15 0,16
0,4 Pemeliharaan
0,06-0,12 0,09
0,10 0,24
Pengendalian Hama-Penyakit 0,08-0,15
0,15 0,13
0,3 Panen
0,10-0,20 0,15
0,15 0,2
Indeks Variabel Terboboti 0,70-1,08
0,78 0,90
2
Keterangan: Pembulatan dua desimal
Hampir seluruh skor dari dimensi teknologi budidaya lada responden, baik dari selang skor minimum sampai maksimum responden per dimensi, modus
skor yang paling banyak pada responden, maupun rata-rata, berada dibawah skor maksimumnya. Hanya pada dimensi penyediaan bibit dan panen saja terdapat
responden yang mencapai skor penerapan maksimum, yaitu 0,32 dan 0,20,
146 walaupun jika dilihat dari modus ataupun skor rata-rata dimensi penyediaan bibit
dan panen tersebut, skornya masih tetap berada dibawah skor maksimum. Indeks variabel teknologi budidaya lada responden baik untuk selang skor, modus,
maupun rata-ratanya, juga masih berada di bawah skor indeks maksimumnya. Skor variabel teknologi budidaya reponden berkisar antara 0,7 sampai 1,08
atau hanya mencapai 35 sampai 54 persen di bawah 60 persen dari skor maksimumnya skor 2. Oleh sebab itu, teknologi budidaya yang dilakukan oleh
responden dikatakan rendah. Selain itu, rendahnya penerapan teknologi juga terlihat dari masih rendahnya produktivitas kg per batang tanaman lada
responden Tabel 38. Menurut Departemen Pertanian Deptan 1985 produksi lada di
Indonesia rata-rata masih rendah, yaitu antara 500 kgha sampai 2.400 kgha. Ketika teknologi budidaya lada dilakukan dengan baik, maka hasilnya dapat
meningkat sampai 4.000 kgha. Jika digunakan asumsi bahwa satu hektar lahan dapat ditanami 2.500 batang lada, dengan jarak tanam 2 m x 2 m, maka
produktivitas lada di Indonesia rata-rata adalah 0,20 sampai 0,96 kgbatang, sedangkan
jika penerapan
teknologi dilakukan
dengan baik,
maka produktivitasnya dapat mencapai 1,6 kgbatang.
Selang produktivitas lada responden adalah 0,226 sampai 0,454 kgbatang dan rata-ratanya adalah 0,3299 kgbatang. Selang dan rata-rata produktivitas
tanaman lada responden tersebut masih berada di bahwah rata-rata produktivitas dengan teknologi budidaya yang ideal, bahkan dibawah rata-rata produktivitas
tertinggi tanaman lada di Indonesia yang dikategorikan oleh Deptan masih rendah. Oleh sebab itu secara umum dapat disimpulkan bahwa penerapan teknologi
budidaya lada pada responden di tahun 2009 masih tergolong rendah atau belum dilakukan dengan optimal.
Rendahnya penerapan teknologi budidaya lada responden antara lain disebabkan karena pengetahuan mengenai teknologi budidaya lada tersebut hanya
diperoleh secara turun-temurun dari anggota keluarga ataupun melalui informasi dari sesama petani yang menanam lada. Selain itu, permasalahan dalam teknologi
budidaya lada juga diakibatkan oleh terbatasnya kemampuan petani untuk mengakses sarana produksi, seperti pupuk, karena biayanya yang tinggi, sehingga
147 petani cenderung mengurangi penggunaan sarana produksi tersebut; rendahnya
mutu bibit yang ditanam, sehingga produktivitas tanaman pun rendah; serta tingginya serangan hama dan penyakit akibat ketidaktahuan dan kurangnya
pengendalian, yang berakibat banyaknya tanaman yang mati dan pada akhirnya mengurangi produksi.
6.3. Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda