40
2.2. Penelitian Terdahulu
Amiruddin 2002
19
mengungkapkan adanya permasalahan yang dihadapi komoditi lada, khususnya di Bangka Belitung, yaitu 1 pengelolaan usahatani di
tingkat petani belum optimal, sehingga penerapan teknologi budidaya lada masih kurang mendukung bagi peningkatan hasil yang memadai; 2 tingkat harga hasil
yang relatif rendah, sedangkan di lain pihak harga sarana produksi pupuk dan pestisida relatif tinggi atau mahal; 3 gangguan organisme tanaman lada yang
bersifat epidemik, sehingga kelayakan umur lada menjadi terbatas dan sejalan itu penerapan PHT Pengendalian Hama Terpadu masih terbatas; 4 mutu hasil
belum memenuhi standar karena sarana dan prasarana pengolahan yang memadai keberadaannya masih terbatas, sedangkan di tingkat petani dilakukan secara
konvensional; 5 informasi pemasaran hasil terbatas, rantai pemasaran atau tataniaga lada relatif panjang, dan kelembagaan petani masih lemah; 6
sumberdaya petani, baik pengetahuan, maupun permodalan masih lemah atau terbatas ketersediaannya.
Menurut Hermanto 2009
20
, ada beberapa permasalahan yang mempengaruhi produksi lada di Bangka Belitung, khususnya ke arah penurunan,
yaitu 1 tingkat produktivitas tanaman yang rendah; 2 tingkat harga lada yang relatif rendah, sementara harga sarana produksi, seperti pupuk dan pestisida,
relatif mahal; 3 tingginya kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit; 4 masih rendahnya usaha peningkatan diversifikasi produk; 5 sumberdaya petani,
baik pengetahuan, maupun permodalan masih terbatas; dan 6 semakin menurunnya luas areal pertanaman lada karena adanya persaingan dengan
pertambangan timah rakyat dan peluang usaha komoditas pertanian lainnya, seperti karet dan kelapa sawit.
Pihak pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pun telah menyadari hal tersebut. Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setda
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Bayo Dandari 2009
21
, mengemukakan hal yang sama, bahwa permasalahan yang mempengaruhi produksi lada, yaitu 1
19
Amiruddin Syam. 2002. Efisiensi produksi komoditas lada di Provinsi Bangka Belitung. http:ejournal.unud.ac.id. [Diakses tanggal 3 Desember 2009]
20
Hermanto. 13 Juni 2009. Mengembalikan Kejayaan Muntok White Pepper. Bangka Pos. http:cetak.bangkapos.com. [Diakses tanggal 16 November 2009]
21
[Diskominfo] Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.Op.cit
41 penyakit yang menyerang lada, sehingga menghalangi peningkatan produksi lada;
2 lahan yang rusak akibat aktivitas tambang timah; 3 mutu tanaman lada yang ditanam masih rendah, terutama dari sisi produktivitasnya; 4 harga jual yang
murah; 5 biaya produksi mahal; dan 6 adanya persaingan usaha perkebunan lada dengan perkebunan kelapa sawit dan tambang timah.
Masanto 2008
22
, mengatakan bahwa tanaman yang tidak bisa berproduksi optimal akibat serangan hama dan penyakit hama kepik penghisap
buah lada dan penyakit kuning dan rendahnya harga jual lada di pasaran menurunkan motivasi petani untuk memelihara kebun lada mereka yang telah ada,
apalagi membuka lahan perkebunan lada yang baru, yang artinya produksi lada juga akan menurun. Selain itu adanya penghasilan yang dirasa lebih baik, yaitu
tambang timah, juga turut berdampak pada produksi lada di Bangka Belitung. Hal tersebut semakin dipertegas melalui hasil studi lapangan Kurniawati Y
et al . 2009, yang menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah produksi
lada yang disebabkan oleh 1 menurunnya harga jual lada sekitar Rp 37.750 sampai Rp 40.000 per kg; 2 biaya yang cukup besar harus dikeluarkan petani
lada untuk mebudidayakan lada, seperti biaya pupuk kimia dan tenaga kerja untuk merawat kebun lada; dan 3 petani beralih profesi ke usaha lain seperti
penambang timah, serta berkebun kelapa sawit dan karet, dimana harga jual dan proses produksi dianggap lebih cepat dan lebih mudah.
Usaha lada pada dasarnya membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat dipanen sekitar dua sampai tiga tahun dan juga memerlukan biaya, tenaga
dan waktu dalam perawatannya, ditambah harga pupuk dan bibit yang mahal serta sulit diperoleh. Padahal, sebagai petani sederhana, petani lada perlu untuk
memperoleh keuntungan uang dalam waktu yang cepat. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar petani lada beralih profesi ke bidang lain, seperti
penambang timah, berkebun kelapa sawit, atau berkebun karet. Masuknya kelapa sawit ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan pertumbuhan luas tanam di
atas 100 persen, semakin menimbulkan kekhawatiran petani lada akan beralih menjadi petani kelapa sawit, selain beralih menjadi penambang timah. Hasil studi
ini pun menyimpulkan bahwa pertanian lada yang dikembangkan oleh petani lada
22
Masanto. 2009. Masa Depan Lada Bangka Belitung. http:bangkatengahkab.go.id. [Diakses tanggal 11 September 2009]
42 di Bangka Belitung pada umumnya menggunakan teknologi tradisional, dalam
lingkup yang kecil dan sederhana, serta hingga saat ini tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Marwoto 2003 dalam penelitiannya mengatakan bahwa usaha perkebunan lada tidak lagi efisien, sehingga banyak petani yang meninggalkan
perkebunan lada, beralih profesi, dan investasi ke sektor usaha yang lebih memberikan
kepastian dan
keuntungan, seperti
penambangan timah
inkonvensional. Padahal, tambang timah adalah sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, dimana jika terus-menerus dieksploitasi akan habis ketersediaannya.
Sementara itu, dari sisi input, petani harus membeli input produksi, terutama pupuk, obat-obatan, dan input tradable lainnya dengan harga yang jauh lebih
mahal. Sedangkan dari sisi output, petani menerima harga jual yang lebih rendah dari seharusnya. Harga lada yang rendah, membuat petani lada tidak lagi
mengandalkan lada sebagi sumber penghasilan utama, sehingga petani lada cenderung beralih profesi ke sektor lain yang memiliki tingkat uncertainty yang
lebih rendah. Berdasarkan kajian komoditi unggulan daerah Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung yang dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor PKSPL-IPB bekerjasama dengan Badan Perencana
Pembangunan Daerah dan Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2008, terdapat beberapa peluang usaha pertanian, khususnya perkebunan yang dapat
dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, diantaranya kelapa sawit dan karet, selain lada. Perbandingan hasil analisis kelayakan yang dilakukan terhadap
ketiga komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
43
Tabel 8.
Perbandingan Analisis Benefit Cost Ratio, IRR, dan Payback Period Komoditi Kelapa Sawit, Karet, dan Lada
No Komoditi
Perkebunan Benefit Cost
Ratio IRR
Internal Rate of Return Payback
Period Tahun
1. Kelapa Sawit
1,25 23,65
10,05 2.
Karet 2,6
23,9 12
3. Lada
1,99 48,99
3,08
Sumber: Badan Perencana Pembangunan Daerah dan Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor
PKSPL-IPB 2008
2.3. Perbandingan Dengan Penelitian Terdahulu