Keragaan Regresi Faktor-Faktor Pembiayaan Sektor Agribisnis Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Agribisnis

70

7.3. Keragaan Regresi Faktor-Faktor Pembiayaan Sektor Agribisnis

Dalam membuat suatu persamaan regresi linear berganda diperlukan beberapa asumsi mendasar yang perlu diperhatikan, yaitu normalitas, autokorelasi, multikolinieritas, dan heterokedastisitas. 1. Normalitas ditunjukkan dengan hasil plot garis dari standarized residual cummulative probability . Berdasarkan hasil uji tersebut, sebaran data tidak berada pada garis normal yaitu P-value 0,000 α 0,1. Oleh karena itu, salah satu cara agar sisaan menjadi normal dapat dilakukan dengan Transformasi Box- Cox Lampiran 1. Dengan dilakukannya transformasi tersebut, data berada pada garis normal dan nilai P-Value 0,977 α 0,1 sehingga dapat disimpulkan bahwa asumsi normalitas terpenuhi Lampiran 1. 2. Heteroskedastisitas ditunjukkan melalui plot antara standardized residual dengan variabel terikat yang memperlihatkan bahwa tidak terdapat suatu pola dalam plot tersebut sehingga data tersebut homogeni atau komponen error tidak heteroskedastisitas. Hal ini juga dapat diperjelas dengan hasil White Test yang menunjukkan nilai P-Value α sehingga data tersebut homogen atau komponen error tidak heteroskedastisitas Lampiran 2. 3. Autokorelasi dapat ditunjukkan melalui uji Durbin-Watson dan diperoleh nilai d=1,44 yang mendekati nilai d=2. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi pada komponen error sehingga hasil uji T dan uji F adalah valid Lampiran 3. 4. Multikolinieritas ditunjukkan melalui hasil VIF Variance Inflation Factors. Diketahui bahwa nilai VIF dari seluruh variabel bebas adalah lebih kecil dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada multikolinier pada variabel bebas atau tidak terdapat hubungan yang kuat antar variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini Lampiran 4.

7.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Agribisnis

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan sektor agribisnis di Koperasi Baytul Ikhtiar, dapat dilakukan melalui pengujian dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Pada penelitian ini diduga terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi pembiayaan sektor agribisnis. Faktor-faktor 71 tersebut terdiri dari yaitu lama keanggotaan X 1 , aset anggota X 2 , omset usaha per tahun X 3 , pendapatan bersih per tahun X 4 , frekuensi pembiayaan X 5 , jumlah pengajuan pembiayaan X 6 , dan jenis usaha D 1 . Pengujian ini menggunakan tingkat kepercayaan 90 persen atau taraf nyata α 10 persen. Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda dari pengolahan 40 anggota responden pada Tabel 17, diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = 2.34E-07 + 1.98E-09X 1 - 3.31E-11X 2 -1.33E-10X 3 + 2.59E-10X 4 - 2.15E-08X 5 - 4.93E-11X 6 - 2.73E-08X 7 Tabel 17. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Agribisnis di KBI Tahun 2012 Variabel Koefisien T-hitung P-value VIF Lama Keanggotaan 1.98E-09 0.2504 0.8039 7.385195 Aset Anggota -3.31E-11 -0.6293 0.5336 1.304202 Omset Usaha per Tahun -1.33E-10 -1.3866 0.1751 2.857057 Pendapatan Bersih per Tahun 2.59E-10 0.3660 0.7167 3.707163 Frekuensi Pembiayaan -2.15E-08 -1.9844 0.0558 9.235893 Jumlah Pengajuan Pembiayaan -4.93E-11 -2.7609 0.0095 3.697151 Jenis Usaha -2.73E-08 -1.2714 0.2127 1.872862 Konstanta 2.34E-07 11.207 0.0000 R 2 = 78,10 R 2 adj = 73,31 F-hitung = 16.30316 P-value = 0,000 Durbin Watson = 1.44151 Tabel 17 merupakan rangkuman hasil regresi model faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan sektor agribisnis. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat beberapa hasil uji statistik yaitu uji T, uji F, dan koefisiensi determinasi R 2 sebagai uji ketepatan model. Nilai P-value dari statistik F lebih kecil dari taraf nyata 10 persen, yaitu P-value 0,000 α 0,1 sehingga terdapat minimal satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Selain itu, hasil koefisien determinasi dapat menunjukkan akurasi model dugaan goodness of fit . Pada penelitian ini koefisien determinasi R 2 memiliki nilai 78,1 persen yang menandakan bahwa sebesar 78,1 persen variasi variabel terikat jumlah pembiayaan yang diterima dapat dijelaskan secara nyata oleh variabel-variabel 72 bebas dalam model, sedangkan sisanya sebesar 21,9 persen dapat dijelaskan oleh variabel error, yaitu variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Pengujian terhadap pengaruh nyata masing-masing variabel bebas secara parsial dilakukan dengan uji T. Berdasarkan hasil uji, variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap jumlah pembiayaan yang diterima anggota koperasi sektor agribisnis berjumlah tiga dari tujuh variabel yang diduga. Variabel-variabel tersebut antara lain frekuensi pembiayaan dan jumlah pengajuan pembiayaan pada tingkat kepercayaan 90 persen dan variabel omset usaha per tahun pada tingkat kepercayaan 80 persen. Adapun variabel lainnya seperti lama keanggotaan, aset anggota, pendapatan bersih per tahun, dan jenis usaha tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya pembiayaan yang diterima anggota koperasi sektor agribinis.

7.4.1. Lama Keanggotan X

1 Lama keanggotaan menjadi faktor penduga untuk mengetahui pengaruh besarnya pembiayaan yang diterima anggota sektor agribisnis karena semakin lama keanggotaan seseorang maka pihak koperasi akan lebih mengenal karakter anggota dan mengetahui sejauh mana perkembangan usaha anggota, sehingga pembiayaan yang diterima dapat lebih besar. Hal ini sesuai dengan hasil uji statistik yang menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara lama keanggotan dengan jumlah pembiayaan yang diterima anggota, yakni apabila lama keanggotaan meningkat satu satuan, maka pembiayaan yang diterima anggota akan meningkat sebesar Rp 3.029,24, ceteris paribus. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa KBI tetap mempertimbangkan lama keanggotaan dalam menentukan besarnya pembiayaan yang diberikan kepada anggota sektor agribisnis. Walaupun demikian, hasil uji statistik menunjukkan hasil bahwa nilai p-value untuk lama keanggotaan X 1 bernilai 0,803 yakni lebih besar dari nilai α 0,1, maka p-value α dan hal ini menunjukkan bahwa lama keanggotaan tidak signifikan mempengaruhi besarnya pembiayaan untuk sektor agribisnis. 73 Tabel 18. Lama Keanggotan Responden KBI Sektor Agribisnis Tahun 2012 Data di atas menunjukkan bahwa responden sektor pertanian sebagian besar resmi tercatat sebagai anggota KBI kurang dari tiga tahun, yaitu mencapai 55 persen responden. Selain itu, terdapat 12 responden 30 persen yang telah menjadi anggota selama 3-5 tahun dan hanya 6 responden 15 persen yang telah menjadi anggota selama lebih dari 5 tahun. Hal ini sesuai dengan keadaan lapang yang menunjukkan bahwa responden dengan lama keanggotaan yang semakin tinggi akan memperoleh pembiayaan yang lebih besar.

7.4.2. Aset Anggota X

2 Aset anggota pada penelitian ini diukur dari nilai aset usaha dan aset rumah tangga responden. Hal tersebut didasari dari model Grameen Bank pada KBI yang menggunakan pendekatan rumah tangga anggota. Nilai aset anggota menjadi faktor penduga terhadap besarnya pembiayaan yang diterima responden karena dapat menggambarkan kepemilikan harta responden, sehingga apabila aset anggota semakin besar maka diduga pihak KBI berani untuk memberikan jumlah pembiayaan yang lebih tinggi. Namun, berdasarkan uji statistik diperoleh hasil bahwa variabel anggota memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah pembiayaan yang diterima anggota, yaitu apabila nilai aset anggota meningkat satu satuan, maka jumlah pembiayaan yang diterima anggota akan menurun sebesar Rp 15.562,- ceteris paribus. Hasil perhitungan tersebut tidak sesuai dengan dugaan sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan karena KBI pada dasarnya tidak memperhitungkan besar aset yang dimiliki anggota. KBI menilai bahwa jaminan kepercayaan dari anggota jauh lebih penting dari aset yang dimiliki. Penentuan wilayah sasaran KBI pun diawali dengan melakukan pemetaan blok-blok pemukiman masyarakat miskin yang didukung dengan data sekunder wilayah setempat. Hal ini sesuai dengan misi KBI Lama Keanggotan Tahun Jumlah Orang Proporsi 3 22 55,00 3-5 12 30,00 5 6 15,00 Total 40 100,00 74 untuk memprioritaskan pembiayaan bagi masyarakat miskin yang berlokasi sangat jauh dari perkotaan dan memiliki keterbatasan akses terhadap pembiayaan. Selain itu, berdasarkan hasil uji statistik, p-value bagi aset anggota bernilai 0,593 dan nilai tersebut lebih tinggi dari pada nilai α 0,1, maka p-value α. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa aset anggota tidak signifikan mempengaruhi pembiayaan sektor agribisnis di KBI. Tabel 19. Aset Anggota Responden KBI Sektor Agribisnis Tahun 2012 Aset Anggota Juta Rp Jumlah Responden Orang Proporsi 50 16 40,0 50-100 14 35,0 101-245 6 15,0 245 4 10,0 Total 40 100,0 Berdasarkan data pada Tabel 19, dapat ditunjukkan bahwa sebanyak 40 persen atau 16 responden memiliki aset yang bernilai kurang dari Rp 50.000.000, sedangkan responden yang memiliki aset dikisaran lebih dari atau sama dengan Rp 50.000.000,- hingga Rp 100.000.000,- berjumlah 14 orang 35 persen. Responden yang memiliki nilai aset yang lebih tinggi, yaitu antara Rp 100.000.000,- sampai dengan Rp 245.000.000,- , berjumlah 6 orang dan sisanya sebanyak 4 orang memiliki aset yang bernilai lebih dari Rp 245.000.000,-. Nilai aset ini didominasi oleh nilai kepemilikan lahan yang dijabarkan pada Tabel 16 dan nilai bangunan tempat tinggal. Lahan dan bangunan tempat tinggal tersebut umumnya berasal dari warisan orang tua yang saat ini telah menjadi milik responden. Besarnya nilai aset yang dimiliki responden tidak menjamin besarnya pembiayaan yang diterima. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya responden dengan kepemilikan aset dibawah Rp 50.000.000,- yang menerima pembiayaan lebih besar daripada responden yang memiliki aset di atas Rp 200.000.000,-. Oleh karena itu, nilai aset tidak menjadi pertimbangan pihak koperasi dalam memberikan pembiayaan karena yang terpenting bagi koperasi adalah dapat menjangkau lapisan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap pembiayaan mikro. 75

7.4.3. Omset Usaha per Tahun X

3 Omset usaha per tahun merupakan total penjualan yang diterima responden sehingga dapat menggambarkan aktivitas dan perkembangan usaha yang dijalankan. Omset usaha menjadi faktor penduga yang mempengaruhi pembiayaan KBI karena semakin besar omset usaha maka tingkat kemampuan usaha dalam menghasilkan penjualan produk semakin besar, sehingga koperasi dapat memberikan pembiayaan yang besar pula. Namun, tidak demikian dengan hasil uji statistik yang menunjukkan variabel omset usaha per tahun yang berhubungan negatif terhadap besarnya pembiayaan yang diterima anggota, yakni apabila omset usaha anggota naik satu satuan, maka jumlah pembiayaan yang diterima anggota menurun sebesar Rp 8.921,- ceteris paribus. Bahkan nilai tersebut berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan sektor agribisnis dengan hasil p-value variabel omset usaha lebih kecil dari taraf nyata 20 persen, yaitu p- value 0,175 α 0,2. Tabel 20. Omset Usaha per Tahun Responden KBI Sektor Agribisnis Tahun 2012 Omset Usaha per Tahun Juta Rp Jumlah Responden Orang Proporsi 45 33 82,5 45 – 155 4 10,0 156 3 7,5 Total 40 100,0 Berdasarkan data pada Tabel 20, dapat ditunjukkan bahwa omset per tahun yang diperoleh responden sektor agribisnis cukup beragam. Responden yang memiliki omset usaha per tahun kurang dari Rp 45.000.000,- merupakan jumlah responden dengan proporsi tertinggi yaitu 82,5 persen. Dalam memberikan pembiayaannya, KBI justru memprioritaskan bagi pembiayaan dengan omset usaha yang kecil. KBI menganggap bahwa usaha mikro dengan omset usaha yang rendah lebih membutuhkan pembiayaan daripada usaha yang telah lama berdiri dan memiliki omset yang besar. Dalam hal ini, konsep pemberdayaan masyarakat miskin bagi KBI sangat jelas nampaknya. 76

7.4.4. Pendapatan Bersih per Tahun X

4 Pendapatan bersih per tahun merupakan hasil dari perhitungan total pendapatan yang dikurangi dengan besarnya pengeluaran rumah tangga. Pendapatan bersih per tahun menjadi faktor penduga yang mempengaruhi besarnya pembiayaan sektor agribisnis. Semakin besar pendapatan bersih anggota maka diduga akan semakin besar pula kemampuan responden dalam melunasi angsuran tiap minggunya, sehingga dapat memberikan gambaran bagi koperasi bahwa usaha yang dijalankan memiliki prospek untuk dibiayai lebih besar. Hal ini sesuai dengan hasil uji stastistik yang menunjukkan bahwa variabel pendapatan bersih ini memiliki hubungan yang positif dengan jumlah pembiayaan yang diterima anggota, yakni apabila pendapatan bersih anggota naik satu satuan, maka jumlah pembiayaan yang diterima akan meningkat sebesar Rp 6.834,- ceteris paribus . Namun, nilai p-value untuk pendapatan bersih per tahun adalah 0,71 yang bernilai lebih besar dari taraf nyata 10 persen. Oleh karena itu, p-value α 0,1 dan dapat disimpulkan bahwa faktor pendapatan bersih per tahun tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan sektor agribisnis. Tabel 21. Pendapatan Bersih per Tahun Responden KBI Sektor Agribisnis Tahun 2012 Pendapatan Bersih per Tahun Juta Rp Jumlah Responden Orang Proporsi 8 35 87,5 8 – 25 2 5,0 25 3 7,5 Total 40 100,0 Pendapatan bersih per tahun responden koperasi didominasi oleh responden yang memiliki pendapatan bersih kurang dari Rp 8.000.000,- per tahun, yaitu mencapai 87,50 persen atau sebanyak 35 orang. Adapun responden dengan kisaran pendapatan bersih Rp 8.000.000,- hingga Rp 25.000.000,- per tahun hanya berjumlah 2 orang 5 persen. Nilai pendapatan bersih ini dapat dijadikan sebagai tolak ukur kekuatan menabung para responden per tahun saving power. Oleh karena itu, semakin tinggi pendapatan bersih responden maka akan semakin tinggi pula saving power responden tersebut, sehingga kemampuan responden dalam 77 memenuhi kewajibannya semakin besar. Hal ini yang menyebabkan KBI cenderung memberikan pembiayaan yang lebih besar kepada responden yang memiliki pendapatan bersih besar. Oleh karena itu, faktor ini dinilai tepat untuk digunakan KBI sebagai penentu jumlah pembiayaan yang diberikan kepadaanggota.

7.4.5. Frekuensi Pembiayaan X

5 Frekuensi pembiayaan dapat diartikan sebagai ukuran pengalaman dalam mengambil pembiayaan. Frekuensi pembiayaan menjadi faktor penduga yang mempengaruhi pembiayaan koperasi sektor agribisnis. Semakin sering anggota melakukan pinjaman, maka anggota tersebut diduga lebih memahami tentang pembiayaan yang diberikan dan bagaimana mengalokasikan pembiayaan tersebut dengan baik, sehingga hasil nya pun diduga sesuai dengan yang diharapkan dan pengembalian pembiayaan dapat berjalan lancar. Namun, dugaan tersebut tidak sesuai dengan hasil uji yang menunjukkan bahwa variabel frekuensi pembiayaan memiliki hubungan yang negatif dengan besarnya pembiayaan yang diterima anggota, yakni apabila frekuensi pembiayaan meningkat satu satuan, maka pembiayaan yang diterima anggota akan turun sebesar Rp 1.166,- ceteris pasribus. Bahkan, p-value untuk frekuensi pembiayaan bernilai 0,057 yang artinya lebih kecil daripada taraf nyata 10 persen, sehingga faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan pada sektor agribisnis KBI. Tabel 22. Frekuensi Pembiayaan Responden KBI Sektor Agribisnis Tahun 2012 Frekuensi Pembiayaan Kali Jumlah Orang Proporsi 3 20 50,00 3 – 5 17 42,50 5 3 7,50 Total 40 100,00 Proporsi terbesar dimiliki oleh responden sektor agribisnis dengan frekuensi pembiayaan kurang dari 3 kali, yaitu sebesar 50 persen atau sebanyak 20 orang responden. Selanjutnya, frekuensi pembiayaan sebanyak 3 sampai dengan 5 kali dimiliki oleh 17 orang 42,50 persen dan responden yang telah melakukan 78 pembiayaan lebih dari 5 kali hanya berjumlah 3 orang 7,5 persen. KBI dalam hal ini lebih berfokus pada penyaluran pembiayaan anggota-anggota baru pada sektor agribisnis. Kondisi ini dapat dilihat dari proses koperasi dalam melakukan penumbuhan wilayah baru yang didominasi oleh sektor pertanian, yaitu di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Di sisi lain, koperasi yang cenderung memberikan pembiayaan kepada anggota baru tersebut juga didasari dari adanya prinsip pemerataan pembiayaan bagi anggota, jadi dengan kata lain koperasi berfokus untuk dapat menjangkau anggota baru sebanyak-banyaknya dalam rangka misi perluasan jangkauan wilayah sasaran KBI.

7.4.6. Jumlah Pengajuan Pembiayaan X

6 Jumlah pengajuan pembiayaan merupakan faktor penduga yang mempengaruhi pembiayaan sektor agrbisnis yang diberikan oleh KBI. Jumlah pengajuan pembiayaan harus rasional dan sesuai dengan kebutuhan tiap anggota sehingga koperasi dapat melihat sejauh mana pengajuan tersebut akan dialokasikan terhadap usahanya. Diduga bahwa semakin besar jumlah pengajuan pembiayaan, maka diduga koperasi akan meningkatkan jumlah pembiayaan yang diberikan. Namun, hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel jumlah pengajuan pembiayaan memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah pembiayaan yang diterima anggota, yakni apabila jumlah pengajuan meningkat satu satuan, maka jumlah pembiayaan yang diberikan koperasi akan menurun sebesar Rp 13.269,- ceteris paribus. Bahkan, p-value variabel ini bernilai 0,0095 yang lebih kecil dari taraf nyata 10 persen, yaitu p-value α sehingga faktor penduga ini berpengaruh signifikan terhadap besarnya pembiayaan sektor agribisnis. Tabel 23. Jumlah Pengajuan Pembiayaan Responden KBI Sektor Agribisnis Tahun 2012 Jumlah Pengajuan Pembiayaan Rp Jumlah Orang Proporsi 500000 – 1000000 28 70,00 1000001 – 2000000 10 25,00 2000000 2 5,00 Total 40 100,00 79 Berdasarkan data pada Tabel 23, sebanyak 28 orang atau 70 persen responden mengajukan pembiayaan antara Rp 500.000,- hingga Rp 1.000.000,- sedangkan responden yang mengajukan pembiayaan Rp 1.000.001,- hingga Rp 2.000.000,- berjumlah 10 orang 25 persen. Adapun responden yang mengajukan pembiayaan diatas Rp 2.000.000 hanya berjumlah 2 orang. Pada dasarnya, KBI tidak hanya mempertimbangkan besarnya pembiayaan yang diberikan berdasarkan jumlah pengajuan pembiayaan saja, tetapi juga mempertimbangkan dari segi pengalokasian pembiayaan yang akan diterima oleh anggota. Selain itu, hubungan negatif antara variabel ini dengan jumlah pembiayaan yang diberikan menunjukkan pula bahwa KBI lebih berfokus pada pembiayaan usaha mikro yang cenderung mengajukan pembiayaan yang lebih rendah daripada usaha skala yang lebih besar.

7.4.7. Jenis Usaha D

1 Jenis usaha merupakan penggolongan responden yang menjalankan jenis usaha pertanian atau peternakan pada sistem on-farm atau jenis usaha perdagangan maupun industri rumah tangga pada sistem off-farm. Dengan adanya penggolongan ini, diduga bahwa responden yang memiliki usaha on-farm akan menerima pembiayaan yang lebih besar dari pada jenis usaha off-farm. Hal tersebut diduga karena umumnya siklus perputaran modal responden dengan usaha on-farm lebih lambat daripada usaha off-farm, sehingga kebutuhan pembiayaan dari responden usaha on-farm diduga bernilai lebih tinggi. Namun, uji statistik menunjukkan nilai koefisien yang negatif yang berarti bahwa jenis usaha on-farm memiliki hubungan negatif dengan jumlah pembiayaan yang diterimanya, yakni apabila pengajuan pembiayaan dilakukan oleh responden dengan jenis usaha on-farm, maka jumlah pembiayaan yang diterima akan menurun sebesar Rp 1.060,- ceteris paribus. Tabel 24. Jenis Usaha Responden KBI Sektor Agribisnis Tahun 2012 Jenis Usaha Jumlah Responden Orang Proporsi On-farm 32 80,00 Off-farm 8 20,00 Total 40 100,00 80 Berdasarkan data pada Tabel 24, dapat dilihat bahwa jenis usaha responden didominasi oleh jenis usaha on-farm, yaitu sebanyak 32 orang dengan proporsi sebesar 80 persen. Dengan hasil yang menunjukkan hubungan yang negatif antara jenis usaha on-farm dengan jumlah pembiayaan yang diterima anggota, maka dapat dikatakan bahwa KBI memperhitungkan risiko usaha on-farm yang dianggap lebih besar daripada risiko usaha off-farm. Hal tersebut menjadikan pembiayaan yang diberikan koperasi terhadap jenis usaha on-farm cenderung lebih kecil dari jenis usaha off-farm. 81

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN