Analisis Keberlanjutan Finansial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Agribisnis pada Koperasi Baytul Ikhtiar Bogor

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu tumpuan perekonomian Indonesia. Hingga tahun 2011, tercatat sekitar 99,99 persen usaha di Indonesia adalah UMKM, sedangkan 0,01 persen lainnya tergolong sebagai usaha besar. Tingginya angka tersebut membuat peranan UMKM Indonesia berdampak signifikan terhadap masyarakat. Jumlah UMKM yang mencapai 53,82 juta unit mampu menyerap 99,40 juta tenaga kerja Indonesia. Hal tersebut pun berpengaruh terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 57,12 persen.1

Tabel 1. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha Besar Tahun 2009-2010

Ket : ADH = Atas Dasar Harga

Sumber : Statistik UMKM Tahun 2009-2010

UMKM Indonesia juga memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian. Berdasarkan jumlah unit usaha tahun 2010, proporsi sektor ekonomi UMKM didominasi oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yaitu sebesar 49,58 persen. Sektor pertanian tersebut berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) UMKM dengan proporsi terbesar yaitu senilai 27,7 persen pada tahun 2010. Perkembangan UMKM sektor pertanian dari aspek jumlah unit       

1

Statistik UMKM Tahun 2009-2010. Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Indikator

Tahun 2009 Tahun 2010 Perkem-bangan (%) Jumlah Pangsa

(%) Jumlah

Pangsa (%)

Jumlah Unit Usaha (unit)

Usaha Mikro 52.176.795 98,99 53.207.500 98,85 1,98 Usaha Kecil 546.675 1,04 573.601 1,07 4,93 Usaha Menengah 41.133 0,08 42.631 0,08 3,64 Usaha Besar 4.677 0,01 4.838 0,01 3,43 Jumlah

Tenaga Kerja (orang)

Usaha Mikro 90.012.694 91,03 91.014.759 90,98 3,34 Usaha Kecil 3.521.073 3,56 3.627.164 3,55 3,01 Usaha Menengah 2.677.565 2,71 2.759.852 2,70 3,07 Usaha Besar 2.674.671 2,70 2.839.711 2,78 6,17 PDB ADH

Konstan 2000 (Rp Milyar)

Usaha Mikro 682.259 32,66 719.070 32,42 5,40 Usaha Kecil 224.311 10,74 239.111 10,78 6,60 Usaha Menengah 306.028 14,65 324.390 14,63 6,00 Usaha Besar 876.459 41,95 935.375 42,17 6,72


(2)

usaha dan PDB tersebut menggambarkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik UMKM Indonesia. Apabila hal tersebut dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik, tentu akan mewujudkan UMKM sektor pertanian yang tangguh. Kontribusi UMKM terhadap perekonomian negara tidak perlu diragukan lagi, karena telah terbukti di beberapa negara, termasuk Indonesia, bahwa UMKM dapat menjadi tumpuan perekonomian suatu negara. Namun, menurut Wijono (2005), secara umum usaha kecil dan menengah saat ini masih dihadapkan pada masalah-masalah mendasar yang mencakup antara lain (1) sulitnya akses usaha kecil dan menengah pada pasar atas produk-produk yang dihasilkan, (2) lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, (3) keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya perbankan. Adapun beberapa permasalahan yang dihadapi UMKM adalah berkaitan dengan keterbatasan modal, bahan baku, pemasaran (marketing), manajemen dan produksi, serta persaingan usaha. Pada industri kecil, keterbatasan modal menjadi permasalahan utama yang dihadapi UMKM sebesar 36,63 persen (BPS 2004).

Keterbatasan akses UKM terhadap sumber pembiayaan formal khususnya perbankan membuat pelaku usaha beralih kepada sumber pembiayaan lainnya, yaitu Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Lembaga Mikro ini bersifat spesifik karena mempertemukan permintaan dana penduduk miskin atas ketersediaan dana. Bagi lembaga keuangan formal, penduduk miskin tidak akan dapat terlayani karena persyaratan formal yang harus dipenuhi tidak dimiliki (Wardoyo 2004). Dengan demikian, LKM memiliki fungsi sebagai lembaga yang memberikan berbagai jasa keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta usaha mikro.

Terdapat beberapa karakteristik LKM yang mengakar kepada pelaku usaha kecil dan menengah karena sifatnya yang fleksibel, seperti kemudahan pelaku usaha dalam mengakses sumber pembiayaan. Kemudahan tersebut antara lain terdapat dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman yang tidak seketat persyaratan perbankan maupun keluwesan pada pencairan kredit. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan LKM sesuai dengan kebutuhan pelaku UKM yang umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai skala dan sifat dari usaha kecil (Wijono 2005).


(3)

Menurut Bank Indonesia, LKM dibagi menjadi dua kategori besar yaitu LKM yang berwujud bank dan non bank. Kategori LKM non bank terbagi dua menjadi formal dan non formal. Masing-masing LKM tersebut memiliki kinerja yang berbeda-beda dalam kontribusinya untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang umumnya adalah pelaku UKM.

Tabel 2. Profil Lembaga Keuangan Mikro Tahun 2007

No. Jenis LKM Jumlah (unit) Jumlah Peminjam (Orang) Jumlah Pinjaman (Rp Juta) Jumlah Penabung (Orang) Jumlah Tabungan (Rp Juta) Bank

1 BPR 2.164 2.161.000 11.639.000 5.692 10.795.000 2 BRI Unit 4.046 3.210.678 21.334.800 31.271.553 32.881.790 3 Badan Kredit

Desa (BKD)

4.518 11.667.054 3.829.209 464.812 28.464 Non Bank

A. Formal

4 KSP 1.596 684.874 1.156.692 481.152 325.341 5 USP 36.466 10.523.585 13.488.092 5.015.596 1.451.576

6 Pegadaian 827 7.768.278 9.631.772 na na

B. Non Formal

7 BMT 2.017 280.000 1.200.000 450.000 1.500.000

8 LSM 143 69.188 84.140 71.845 47.707

Total 51.777 36.084.937 36.084.937 37.311.100 47.029.878 Sumber : PINBUK dalam Kurnialestari 2007

Keterangan : na = not available (tidak dapat diketahui)

Berdasarkan Tabel 2, jenis LKM yang memiliki unit terbanyak adalah Unit Simpan Pinjam (USP), sedangkan dalam hal jumlah pinjaman didominasi oleh LKM kategori bank yaitu BRI Unit. Hal tersebut karena skim kredit yang ditawarkan oleh BRI Unit lebih besar daripada USP. Namun pada perkembangannya, koperasi dinilai lebih diminati oleh pengusaha UKM khususnya bagi pelaku usaha yang tinggal di daerah pedesaan. Sebagai LKM yang tergolong non bank, koperasi berperan sebagai lembaga keuangan formal yang melayani masyarakat terutama anggotanya dalam keperluan untuk menyimpan dan meminjam dana (Sulaeman 2004). Mengingat cukup strategisnya peran koperasi simpan pinjam dalam menyalurkan dan menampung dana anggota, Bank Indonesia (2001) menyebutkan bahwa dalam hal jumlah pembiayaan yang


(4)

disalurkan, posisi KSP dan USP termasuk peringkat dua besar setelah BRI Unit Desa. Jumlah kredit yang disalurkan masing-masing sebesar Rp 6.141.400 juta (41,87%) untuk BRI Unit Desa serta Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) pada koperasi Rp 4.159.867 juta (28,36%).

Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai lembaga keuangan mikro, koperasi dapat menggunakan model pembiayaan yang bersifat merangkul dan memberdayakan masyarakat pedesaan yaitu Grameen Bank yang dipelopori oleh Muhammad Yunus di Bangladesh. Grameen Bank merupakan bank yang diperuntukan unuk orang-orang termiskin yang tinggal di daerah pedesaan. Grameen Bank di Indonesia pertama kali direplikasi oleh Yayasan Karya Usaha Mandiri (KUM) di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada tahun 1989. Keberadaan Grameen Bank tersebut mampu membuktikan bahwa orang-orang miskin, termasuk pengusaha mikro, tergolong layak kredit. Grameen Bank juga berperan dalam meningkatkan pendapatan nasabah usaha mikro, yakni pendapatan sesudah memperoleh kredit lebih besar daripada pendapatan sebelum memperoleh kredit (Thoha 2000).

Salah satu koperasi yang menggunakan model Grameen Bank adalah Koperasi Baytul Ikhtiar (KBI) di Kota Bogor. Koperasi ini merupakan lembaga yang berdiri dibawah naungan Yayasan Pengembangan Masyarakat Mustadh’afiin (Peramu) yang bergerak dalam pelayanan simpan pinjam dengan basis pembiayaan syariah. Sasaran anggota koperasi ini adalah masyarakat pedesaan yang memiliki akses rendah terhadap lembaga keuangan karena lokasinya yang jauh dari perkotaan. Hingga tahun 2011, anggota koperasi telah mencapai 20.429 orang yang tersebar di wilayah Kodya Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi dengan total majelis yang mencapai 695 majelis. Total pembiayaan yang disalurkan pun terus meningkat, yaitu Rp 6.164.350.000,- pada tahun 2010 menjadi Rp 9.742.300.000 pada tahun 2011. Hal tersebut menunjukkan besarnya potensi yang dimiliki KBI sebagai lembaga intermediasi keuangan yang menjangkau pelaku usaha mikro.


(5)

1.2. Perumusan Masalah

Provinsi Jawa Barat menempati urutan ketiga dalam perkembangan jumlah koperasi aktif di Indonesia. Hingga tahun 2011, jumlah koperasi aktif di Jawa Barat mencapai 14.856 unit dan tercatat 769 unit diantaranya berada di Kota Bogor, Jawa Barat. Jumlah koperasi tersebut telah mengalami peningkatan sebesar 3,3 persen dari jumlah koperasi di Kota Bogor pada tahun 20092.

Koperasi Baytul Ikhtiar (KBI) merupakan salah satu koperasi di Kota Bogor, Jawa Barat yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat khususnya UMKM. Pemberdayaan ini dilakukan oleh KBI melalui pembiayaan kepada masyarakat yang tergabung dalam anggota layanan KBI. Pembiayaan dalam konteks ini merupakan penyaluran dana pinjaman yang diberikan oleh KBI kepada anggotanya. Jangkauan wilayah KBI cukup luas, mulai dari Kodya Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi yang diwakili oleh 5 kantor unit koperasi dengan jangkauan target sasaran masyarakat yang bertempat tinggal 12 km dari masing-masing kantor unit.

Seperti halnya dengan LKM lainnya, KBI tentunya dihadapkan pada kendala mendasar yaitu dalam hal operasional koperasi. Dengan batas plafon pembiayaan yang tergolong rendah, yaitu Rp 300.000,- hingga Rp 5.000.000,-, KBI membutuhkan biaya transaksi yang cukup besar pada tiap plafon pembiayaan yang disalurkan. Berbeda halnya dengan perbankan yang dapat memberikan plafon pembiayaan dengan jumlah besar dalam satu kali transaksi. Besarnya biaya operasional yang harus disediakan bagi pembiayaan usaha mikro mengharuskan KBI untuk melakukan perhitungan break-even interest secara cermat. Adapun sumber pendapatan utama bagi KBI sebagai lembaga yang menyalurkan pembiayaan adalah margin pada tiap plafon yang diberikan. Oleh karena itu, agar dalam jangka panjang sebuah pembiayaan mikro dapat berlanjut, maka pendapatan margin pembiayaan harus dapat menutupi biaya operasional koperasi. Hal tersebut berarti bahwa koperasi harus mencapai keadaan kelayakan finansial tanpa harus merugikan anggota sasaran

Berdasarkan kondisi perkembangan KBI pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa jumlah pembiayaan dan anggota koperasi meningkat dari tahun 2009 hingga tahun       


(6)

2011. Jumlah pembiayaan yang disalurkan terus meningkat dengan laju pertumbuhan sekitar 56,9 persen per tahun. Hal tersebut seiring dengan peningkatan jumlah anggota koperasi sebesar 37,35 persen tiap tahunnya.

Tabel 3.Perkembangan Pembiayaan dan Anggota KBI Tahun 2009-2011

Tahun Pertumbuhan

(%/thn) 2009 2010 2011

Pembiayaan (Milyar Rp) 3.953 6.164 9.742 56,99

Anggota (orang) 11.059 13.002 20.429 37,35 Sumber : Koperasi Baytul Ikhtiar 2012

Namun, kondisi lain menunjukkan adanya penurunan proporsi modal sendiri KBI pada tahun 2009-2011. Penurunan proporsi modal sendiri ini pada dasarnya bukan disebabkan adanya penurunan dari besarnya modal sendiri yang terdiri dari simpanan wajib, simpanan pokok, dana Latihan Wajib Kelompok (LWK), dana cadangan, hibah, sisa hasil usaha, dan sebagian dari modal penyertaan. Salah satu hal yang menyebabkan penurunan proporsi modal sendiri koperasi adalah semakin besarnya jumlah hutang yang dimiliki koperasi tiap tahunnya, sehingga proporsi modal luar koperasi semakin meningkat.

Keputusan KBI dalam meningkatkan jumlah modal luar didasari atas adanya kebutuhan dalam pengembangan unit koperasi di beberapa wilayah target. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya biaya yang dibutuhkan koperasi dalam melakukan pengembangan dan penumbuhan usaha, sedangkan modal koperasi pada tahun 2010 dan 2011 belum memenuhi besarnya kebutuhan tersebut. Modal koperasi yang belum mencukupi biaya tersebut dapat disebabkan karena KBI baru resmi berdiri pada tahun 2008 sehingga rentang waktu yang dimiliki dalam pengumpulan modal koperasi belum dirasa cukup.

Namun disisi lain, peningkatan proporsi modal luar KBI akan meningkatkan beban koperasi dalam memenuhi seluruh kewajibannya. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada kesehatan keuangan koperasi terutama pada aspek likuiditas dan solvabilitas yang secara langsung berhubungan dengan besarnya hutang atau beban yang dimiliki oleh koperasi. Pada dasarnya, hal yang perlu diperhatikan adalah koperasi memiliki posisi sebagai lembaga keuangan mikro yang bertujuan untuk mensejahterakan anggota, sehingga seharusnya modal anggota menjadi


(7)

kekuatan (1999) me dan yakin koperasi t (Suwandi Yayasan P Ummah, W produktif Syariah M Prop menunjuk modal lua 20,02 per permodala koperasi t laba kope besarnya j biaya (cos

utama dala engemukaka

terhadap po terhadap m

1985). Ada Peramu bes Wihdatul U

mustahiq, Mandiri (BSM Sumbe Gam porsi modal kkan bahwa ar koperasi. rsen dengan an KBI perl

ersebut, KB erasi tiap ta

jumlah sisa st) dan pend

Persen

 

am memban an bahwa k otensi kope modal sendir apun modal serta lembag Ummah, Ta lembaga ES M).

er : Koperasi B

mbar 1. Prop

l KBI tahun proporsi m Modal send n tingkat p

lu diperhati BI belum m

ahunnya. La a hasil usah dapatan (retu

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 2 ngun kopera koperasi har erasi tersebu ri akan lebi luar yang d ga binaanny dbiirul Um SQ dan Ge

Baytul Ikhtiar porsi Modal n 2009-201 modal sendir diri KBI ha penurunan

ikan karena enunjukkan aba kopera ha tahun ber

urn) kopera 2009 2010

asi tersebut rus dapat m ut. Oleh kar

ih baik bila diperoleh K ya (Baitul M mmah, dan B erakan Masy

r 2012 KBI Tahun 11 dapat di ri KBI mas anya memili sebesar 4 a dengan be n keberhasil asi tersebut rjalan yang asi. 0 2011 t. Widiyant memanfaatka

rena itu, pro a tidak mel KBI bersumb

Mal wat Ta BPRS Bina yarakat Ma

2009-2011 ilihat pada

ih berada d iki proporsi persen per esarnya prop lannya dalam dapat ditu diperoleh Modal Se Modal Lu

Tahun

ti dan Suni an modal se oporsi moda

lebihi 67 p ber dari ang amwil Khidm a Rahmah),

andiri, dan

Gambar 1 dibawah pro i rata-rata se

tahun. Ko porsi moda m meningk unjukkan m dari perhitu endiri  uar  ndhia endiri al luar persen ggota, matul dana Bank yang oporsi ekitar ondisi al luar katkan elalui ungan


(8)

Tabel 4. Sisa Hasil Usaha (SHU) KBI Tahun 2009-2011

Tahun Perkembangan

(Rp/Tahun) 2009 2010 2011

Pendapatan (Rp) 972,605,204 1,429,663,722

2,223,332,346 625,363,571 Biaya (Rp) 879,027,267 1,304,704,123

2,153,063,709 637,018,221 SHU (Rp) 93,577,937 124,959,599

70,268,637 (11,654,650) Sumber : Laporan Laba Rugi Koperasi Baytul Ikhtiar Tahun 2009-2011

Berdasarkan data pada Tabel 4, perkembangan laba koperasi pada tahun 2009-2011 menunjukkan rata-rata penurunan sebesar Rp 11.654.650,-. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa koperasi belum dapat meningkatkan laba atas modal luar yang dipergunakan oleh koperasi. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali bagaimana keberlanjutan finansial KBI sebagai lembaga keuangan mikro yang memiliki peran dalam hal pemberdayaan masyarakat miskin secara berkelanjutan.

Dalam upaya memperoleh kondisi yang berkelanjutan dalam hal finansial, maka KBI harus memperhatikan besarnya margin pembiayaan sebagai pendapatan utama koperasi. Oleh karena itu, KBI harus berfokus pada pemberian pembiayaan mikro yang diperuntukan untuk modal kerja dan investasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari tunggakan pembiayaan yang berujung pada kerugian koperasi. Koperasi berkeyakinan bahwa masyarakat pedesaan tergolong layak kredit dan mampu mengusahakan usaha yang dijalankan dengan adanya pembiayaan produktif.

Salah satu sektor usaha produktif yang dijalankan oleh anggota KBI adalah pertanian. Pada umumnya, pembiayaan sektor pertanian KBI diperuntukan untuk keperluan modal usaha dan investasi. Modal usaha tersebut sebagian besar digunakan anggota untuk pembelian input produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan, dan jasa tenaga kerja, sedangkan modal investasi umumnya digunakan untuk pengadaan alat-alat pertanian dan pembangunan lokasi usaha. Usaha yang dijalankan anggota pun beragam, mulai dari usahatani pertanian (padi, jagung, umbi-umbian, sayur-mayur), peternakan (kambing, sapi, ayam, ikan), dan


(9)

perdagang yaitu Dram

Sumber : Ko Ga

Nam yang ditun turut han pertumbuh proporsi s proporsi pembiayaa mengalam itu, perlu pertimban Berd adalah seb a. Bagaim interme b. Bagaim c. Faktor-Baytul ‐ 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 gan (sayur, maga, Tama operasi Baytu mbar 2. Pe

mun, perkem njukkan pad nya mencap han senilai sektor usah sebesar 53 an senilai 3 mi peningka ditinjau ke ngan KBI da dasarkan ur bagai beriku mana kinerj ediasi keuan mana keberla -faktor apa Ikhtiar? ‐ 0  0  0  0  0  0  Industri  daging aya an Sari, dan

l Ikhtiar 2012 embiayaan K

mbangan pe da Gambar pai 4,8 pe

0,61 persen ha lainnya, 3 persen d

5 persen. P atan dalam embali men alam menya raian di ata ut :

rja keuanga ngan mikro? anjutan fina saja yang m

Jasa am). Usaha n Rumpin. 2 KBI Berdas embiayaan 2 masih di rsen, 6,77 n per tahun

seperti sek an sektor Padahal, apa hal perkem ngenai apa alurkan pem as, maka p

an Kopera ?

ansial dari p mempengaru

Konsumtif

a tersebut t

arkan Sekto

pertanian K ibawah rata

persen, d n. Angka te ktor usaha usaha perd abila menga mbangan jum saja yang mbiayaan ag

erumusan m

asi Baytul

pembiayaan uhi pembia

Perdagangan

tersebar di

or Usaha Ta

KBI pada t a-rata, yaitu dan 6 pers ersebut mas konsumtif dagangan d acu pada Ta

mlah anggo sebenarnya ribisnis kep masalah da Ikhtiar se Koperasi B ayaan agribi Pertanian tiga kecam ahun 2009-2 ahun 2009-u secara bert en dengan sih jauh dib yang men dengan pro abel 3, KBI ota. Oleh k a menjadi b pada anggot ari penelitia

ebagai lem

Baytul Ikhtia isnis di Kop

20 20 20 matan, 2011 -2011 turut-n laju bawah ncapai oporsi terus karena bahan tanya. an ini mbaga ar? perasi 009 010 011


(10)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Menganalisis kinerja keuangan Koperasi Baytul Ikhtiar sebagai lembaga intermediasi keuangan mikro

b. Menganalisis keberlanjutan keuangan dari pembiayaan Koperasi Baytul Ikhtiar c. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besar pembiayaan yang

disalurkan Koperasi Baytul Ikhtiar kepada kelompok mitra

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi Koperasi Baytul Ikhtiar untuk mengetahui posisi lembaga dari aspek finansial, baik mengenai permodalan koperasi maupun keberlanjutan finansial sehingga KBI mampu meningkatkan kualitasnya sebagai LKM dengan basis syariah yang berupaya melayani kebutuhan masyarakat miskin khususnya pelaku UMKM. Manfaat lainnya adalah KBI dapat mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi KBI dalam menyalurkan pembiayaan agribisnis sehingga faktor-faktor tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan utama bagi KBI dalam pembiayaan selanjutnya. Selain itu, hasil penelitian ini pun diharapkan dapat dijadikan bahan kajian atau referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah melakukan kajian finansial KBI dengan menggunakan laporan keuangan (neraca) dan laba rugi KBI tahun 2009-2011. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan agribisnis dibatasi pada anggota koperasi yang sedang memanfaatkan fasilitas pembiayaan KBI dengan peruntukan sektor agribisnis, baik on-farm maupun off-farm. Secara keseluruhan, data diperoleh berdasarkan informasi secara langsung dari pengurus KBI dan petani sebagai anggota KBI.


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Implikasi Grameen Bank di Indonesia

Grameen Bank pertama kali direplikasikan di Indonesia pada tahun 1989 di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat oleh Yayasan Karya Usaha Mandiri (KUM). Selanjutnya model pembiayaan ini dikembangkan di Jawa Timur oleh LSM Yayasan Mitra Karya (YMK) pada tahun 1993 (Thoha 2000). Berdasarkan hasil penelitian Thoha (2000) mengenai peranan dan efektivitas model Grameen Bank dan model Kukesra di Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar, dapat ditunjukkan bahwa (1) Grameen Bank mempunyai daya tarik yang lebih kuat daripada Kukesra dalam hal kemudahan prosedur peminjaman dan angsuran, tingkat bunga yang relatif rendah, tidak diperlukannya agunan, serta kenyamanan anggota dalam memperoleh perhatian, bimbingan usaha, dan bantuan pemasaran, (2) Grameen Bank terbukti lebih efektif sebagai sarana peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial rumah tangga miskin di pedesaan bila dibandingkan dengan Kukesra. Keberhasilan tersebut dapat diukur dari peningkatan pendapatan nasabah Grameen Bank yang mencapai 90 persen per tahun, dan (3) manfaat yang diterima nasabah Grameen Bank bernilai lebih tinggi daripada Kukesra, yaitu dalam hal kemampuan menabung nasabah, hidup yang lebih hemat, jaringan usaha yang semakin luas, meningkatnya pengetahuan tentang bisnis, dan menurunnya tingkat ketergantungan nasabah terhadap renternir.

2.2.Koperasi Sebagai Lembaga Keuangan Mikro

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga yang memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal, semi formal, dan informal (Tohari 2002). Ibrahim (2002) menyebutkan bahwa secara umum LKM di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat formal dan informal. LKM formal dalam bentuk bank adalah BKD, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BRI Unit. LKM formal bukan bank adalah LDKP, koperasi (Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam) dan pegadaian, sedangkan LKM informal terdiri dari KSM, LSM, BMT, LPEM,


(12)

UED-SP dan sejenisnya. Sebagai lembaga keuangan, LKM dapat melakukan kegiatan operasinya dengan model konvensional maupun syariah.

Koperasi khususnya yang bergerak dalam usaha simpan pinjam, baik Koperasi Simpan Pinjam (KPS) maupun Unit Simpan Pinjam (UPS) adalah LKM yang dapat melayani masyarakat terutama anggotanya, yaitu dalam hal menyimpan dan meminjam dana. Berdasarkan data Bank Indonesia (2001), koperasi termasuk LKM yang banyak membantu penyediaan dana bagi mendukung permodalan kegiatan Usaha Kecil Menengah (UKM) pada masa krisis. Ditinjau dari besarnya pembiayaan yang disalurkan, posisi KSP dan USP termasuk dua besar setelah BRI Unit Desa. Jumlah kredit yang disalurkan masing-masing sebesar Rp 6.141.400 (41,87 persen) untuk BRI Unit Desa serta KSP dan USP sebesar Rp 4.159.867 juta (28,36 persen). Jumlah lembaga KSP dan USP pun berada pada posisi terbanyak dan tersebar di Indonesia. Oleh karena itu, usaha simpan pinjam pada koperasi yang dilakukan olek KSP dan USP mempunyai peluang yang cukup baik untuk membantu mengembangkan LKM.

2.3. Kinerja Keuangan Koperasi

Kinerja keuangan adalah suatu penilaian terhadap laporan keuangan perusahaan yang menyangkut posisi keuangan perusahaan serta perubahan terhadap posisi keuangan tersebut (Ikatan Akuntansi Indonesia 1996). Menurut Jumingan (2005), prosedur analisis kinerja keuangan menyangkut review data laporan yaitu aktivitas penyesuaian data laporan keuangan terhadap sifat atau jenis perusahaan yang melaporkan sistem akuntansi yang berlaku. Munawir (1997) menyatakan bahwa mempelajari data secara menyeluruh diperlukan untuk meyakinkan pada penganalisis bahwa laporan sudah cukup jelas menggambarkan semua data keuangan secara relevan, sehingga penganalisis dapat menghitung, mengukur, menginterpretasi dan memberi solusi terhadap keuangan badan usaha pada periode tertentu. Oleh karena itu, penilaian kinerja keuangan yang berlandaskan pada data dan informasi keuangan merupakan suatu tolak ukur yang sering digunakan dalam memperoleh informasi tentang posisi keuangan suatu badan usaha.


(13)

Hasil penelitian Kurnialestari (2007) menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang terdiri dari rasio-rasio keuangan yang digeneralisasikan untuk mengetahui tingkat kesehatan KBMT Ibbadurrahman menggambarkan hasil yang kurang memuaskan. Hal tersebut dikarenakan tidak ada satu periode pun dari 6 periode penelitian yang menunjukkan kinerja keuangan KBMT berada pada predikat sehat. Pengukuran kinerja keuangan Koperasi Unit Desa Sumber Alam yang dilakukan oleh Jakiyah (2011) dengan menggunakan analisis rasio menunjukkan bahwa aset dan nilai rasio solvabilitas yang dimiliki koperasi tergolong dalam standar yang baik. Namun, rasio aktivitas koperasi, Return On Investment (ROI), return on net worth ratio, dan operating margin ratio masih berada dibawah standar yang baik.

Penelitian Lismawati (2009) yang menggunakan alat analisis tren, analisis persentase per komponen, dan analisis ratio dalam meneliti kinerja keuangan KUD Sumber Alam tahun 2003-2008 menunjukkan bahwa keadaan rasio solvabilitas dalam keadaan yang cukup baik karena memenuhi standar, sedangkan hasil perhitungan rasio likuiditas, rentabilitas, dan aktivitas usaha berada dalam keadaan yang tidak baik. Hal tersebut disebabkan oleh penurunan nilai penjualan yang terus menerus sehingga SHU yang diperoleh koperasi menurun. Adapun hasil penelitian Purba (2011) terhadap kinerja keuangan Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari menunjukkan bahwa likuiditas KKT Lisung Kiwari 2005-2009 sesuai angka rasio lancar dan rasio cair berada dalam kondisi baik, sedangkan rasio kas berada pada kondisi yang tidak baik karena kemampuan membayar kewajiban lancarnya atas kas sangat rendah. Solvabilitas KKT sesuai angka rasio kewajiban jangka panjang atas harga dan kapitalisasi berada pada kondisi baik, sedangkan rasio kewajiban jangka panjang atas modal mengalami keadaan yang tidak baik karena kemampuan modal untuk menjamin kewajiban jangka panjang semakin rendah. Profitabilitas KKT Lisung Kiwari sesuai angka rasio SHU terhadap penjualan berada dalam kondisi baik tetapi pada rasio SHU terhadap modal berada kondisi tidak baik karena modal belum dapat meningkatkan SHU. Efektifitas KKT Lisung Kiwari sesuai angka rasio HPP atas penjualan dan HPP dijumlahkan operasi atas penjualan berada dalam kondisi baik. Kinerja keuangan masih cenderung bergantung kepada modal dari pihak luar.


(14)

Berdasarkan keempat hasil penelitian mengenai rasio keuangan tersebut, terdapat tiga hasil penelitian yang menunjukkan kinerja koperasi yang tergolong tidak sehat. Adapun jenis koperasi yang diteliti pada penelitian tersebut merupakan koperasi yang bergerak dalam bidang penjualan barang ataupun jasa, sedangkan koperasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koperasi simpan pinjam yang berfokus pada penyaluran pembiayaan, sehingga terdapat perhitungan rasio yang tidak dapat digunakan dalam penelitian ini, seperti rasio perputaran persediaan. Perbedaan lainnya terletak pada jangka waktu penelitian karena penelitian ini menganalisis kinerja keuangan Koperasi Baytul Ikhtiar dalam jangka waktu tiga tahun terakhir, yaitu 2009-2011 karena koperasi ini baru berdiri pada tahun 2008. Sedangkan penelitian yang telah dipaparkan di atas umumnya menganalisis rasio keuangan dalam lima hingga enam tahun terakhir.

2.4. Analisis Keberlanjutan Finansial

Berdasarkan hasil penelitian Syukur (2002) mengenai keberlanjutan finansial, dapat diketahui bahwa selama periode 1993-1999 skim kredit Karya Usaha Mandiri (KUM) hanya dapat mencapai tingkat viabilitas finansial selama dua tahun, yaitu tahun 1993-1994. Faktor yang menjadi penyebab tidak tercapainya viabilitas finansial tersebut adalah jumlah peserta yang dilayani oleh setiap petugas masih tergolong rendah. Faktor lainnya adalah tingkat pelayanan relatif tetap sehingga menyebabkan KUM sulit untuk meningkatkan tingkat viabilitas finansial. Kelebihan dari penelitian Syukur (2002) adalah terdapat rekomendasi besarnya pembiayaan yang harus dicapai KUM pada periode selanjutnya hingga mencapai tingkat keberlanjutan finansial. Kelebihan lainnya adalah model keberlanjutan yang dianalisis mencakup berbagai aspek, mulai dari keberlanjutan finansial, lembaga, dan peserta. Sedangkan kelebihan penelitian pada Koperasi Baytul Ikhtiar ini adalah dilakukannya analisis rasio keuangan (likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, aktivitas usaha) pada awal penelitian sehingga diketahui tingkat kesehatan koperasi sebagai pendukung dalam analisis keberlanjutan finansial.


(15)

2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Agribisnis

Kurnia (2009) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis di KBMT Tadbiirul Ummah. Adapun yang termasuk faktor-faktor tersebut adalah pengalaman usaha, profit usaha, frekuensi pembiayaan, nisbah bagi hasil, tahun pendidikan, komposisi modal usaha, dan sektor usaha. Berdasarkan uji statistik-t, variabel bebas yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata lima persen realisasi permintaan pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis pada KBMT Tadbiirul Ummah adalah variabel nisbah bagi hasil. Sedangkan untuk faktor-faktor yang lain seperti pengalaman usaha, profit usaha, frekuensi pembiayaan, komposisi modal, tingkat pendidikan dan sektor usaha tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penyaluran pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis.

Hasil penelitian Kurnialestari (2007) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi besar pembiayaan mitra KBMT Ibbadurrahman dipengaruhi secara signifikan dan positif oleh variabel pendapatan bersih, lama menjadi mitra, dan dummy usaha lain. Sedangkan, secara negatif oleh dummy pinjaman lain dan dummy jenis kelamin. Adapun variabel yang memberikan pengaruh tidak signifikan terhadap besar pembiayaan adalah variabel jumlah tanggungan.

Selain itu, penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi pembiayaan juga dilakukan oleh Mahliza (2011). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap jumlah realisasi pembiayaan murabahah di KBMT Bil Barkah adalah lama pendidikan, lama usaha, pendapatan bersih usaha per bulan, dan agunan. Keempat faktor tersebut memiliki pengaruh positif terhadap realisasi pembiayaan murabahah tersebut.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terdapat dalam hal penentuan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pembiayaan, yaitu dengan melakukan penurunan variabel dari prinsip 5C pembiayaan. Adapun kelebihan dari penelitian ini adalah melakukan integrasi pemikiran dari dua sisi, yaitu sisi lembaga keuangan dari aspek rasio keuangan dan keberlanjutan finansial, serta sisi penerima manfaat yaitu anggota layanan koperasi. Oleh karena itu, analisis mengenai faktor-faktor yang


(16)

mempengaruhi pembiayaan ini merupakan salah satu bagian dari penelitian yang dilakukan dari sisi penerima manfaat. Perbedaan lain dari penelitian ini adalah menggunakan lembaga keuangan mikro dengan model pembiayaan Grameen Bank yang menggabungkan sistem perbankan dengan pendekatan kelompok.


(17)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Peranan Kredit Sebagai Barang Ekonomi

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Berdasarkan UU No. 10 tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kasmir (2004) mengemukakan unsur-unsur kredit, yaitu :

a. Kepercayaan merupakan keyakinan pemberi kredit bahwa penerima kredit akan mengembalikan kredit sesuai jangka waktu kredit

b. Kesepakatan merupakan perjanjian antara pemberi dan penerima kredit yang ditandatangani oleh kedua belah pihak

c. Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua pihak

d. Risiko merupakan adanya risiko tidak tertagihnya kredit e. Balas jasa merupakan pendapatan bank dari pemberian kredit

Kredit merupakan sumber penting untuk menjaga likuiditas dan sekaligus merupakan suatu kekayaan (asset) yang dapat dikelola untuk kegiatan produksi suatu usaha (Kuntjoro 1983). Kredit bagi kegiatan usaha merupakan kredit yang menjadi sumber modal dari luar usaha dan sekaligus sebagai barang ekonomi bagi kegiatan usaha. Peranan kredit yang semakin luas menunjukkan bahwa kredit sangat dibutuhkan oleh semua pengusaha dalam menjalankan aktivitas usahanya. Aktivitas usaha ini membutuhkan keberadaan lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi antara dari pihak yang memiliki kelebihan dana kepada pihak yang kekurangan dana. Peranan lembaga keuangan mikro sebagai pemberi kredit dan pelaku usaha mikro sebagai penerima kredit juga menunjukkan pengertian bahwa kredit merupakan barang ekonomi.


(18)

3.1.2 Teori Keseimbangan Kredit

Keseimbangan harga pada pasar barang dan jasa terbentuk adanya permintaan dan penawaran dalam pasar yang menghubungkan komponen harga dan kuantitas barang atau jasa. Hal yang sama terjadi pada pembentukan keseimbangan kredit pada pasar kredit dari perpotongan dua kurva, yaitu kurva penawaran (S0) dan kurva permintaan (D0). Keseimbangan tersebut akan menghasilkan tingkat suku bunga sebagai harga sebesar r0 dan kuantitas kredit sebesar L0 yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Sumber : Hyman (1991)

Gambar 3. Kurva Keseimbangan Kredit

Pada kedua kurva tersebut dapat terjadi adanya pergerakan dan pergeseran kurva. Pada kurva permintaan kredit, gerakan sepanjang kurva berlaku apabila terdapat perubahan suku bunga kredit yang diminta pada suatu tingkat tertentu, sedangkan pergeseran kurva permintaan ke kanan atau ke kiri dapat terjadi apabila terdapat perubahan terhadap permintaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor selain suku bunga. Adapun faktor-faktor permintaan kredit pada pelaku usaha kecil selain suku bunga tersebut antara lain skala usaha, tingkat upah, pengeluaran untuk riset, proporsi lahan, tingkat pendidikan, ukuran keluarga, umur kepala keluarga, dan transitory income (Iqbal 1981).

L0 L2 L1

Suku Bunga

Kuantitas Kredit S0

D0 r0

S2 S1

r1 r2


(19)

Pada kurva penawaran kredit, gerakan sepanjang kurva juga terjadi apabila terdapat perubahan suku bunga kredit yang ditawarkan pada suatu tingkat tertentu, sedangkan pergeseran kurva penawaran dapat terjadi apabila terdapat perubahan terhadap penawaran yang ditimbulkan oleh faktor-faktor selain suku bunga. Apabila faktor selain suku bunga meningkat, maka kurva penawaran akan bergeser ke kiri atas (S1). Sedangkan apabila faktor selain suku bunga mengalami penurunan, maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan bawah (S0).

Faktor-faktor penawaran kredit pada lembaga keuangan selain suku bunga tersebut secara sederhana dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Warjio (2004), faktor yang mempengaruhi penawaran kredit pada perbankan adalah permodalan (CAR), jumlah kredit macet (NPL), dan loan to deposit ratio yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai faktor internal lembaga. Selain itu, diutarakan pula faktor persepsi lembaga terhadap prospek usaha debitur yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal lembaga. Prospek usaha debitur ini dapat dideskripsikan sebagai faktor yang berkaitan dengan omset usaha, pendapatan bersih, aset debitur dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan prinsip pembiayaan yang dimiliki oleh lembaga keuangan, yaitu prinsip pembiayaan 5C.

Dalam menyalurkan pembiayaan tersebut terdapat penilaian yang dilakukan lembaga keuangan terhadap permohonan pembiayaan dan harus memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan anggota. Adapun prinsip pembiayaan 5C ini antara lain:

a. Character, yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian debitur dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa anggota tersebut dapat memenuhi kewajibannya. Character dalam penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai faktor yang berkaitan dengan lama keanggotaan dan frekuensi pembiayaan. Kedua faktor tersebut dinilai dapat mewakili karakter atau kepribadian yang dimiliki debitur.

b. Capacity, yaitu penilaian secara subjektif tentang kemampuan debitur untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi debitur di masa lalu yang didukung dengan pengamatan atas sarana usaha yang dijalankan. Dalam hal ini, capacity dapat dideskripsikan sebagai faktor yang


(20)

berkaitan dengan omset usaha dan pendapatan bersih debitur. Selain itu, berdasarkan kemampuan usaha debitur tersebut dapat diperoleh pula faktor jumlah pengajuan debitur yang dapat menggambarkan kapasitas usaha yang akan dijalankan.

c. Capital, yaitu penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh debitur yang diukur dengan posisi usaha secara keseluruhan yang ditunjukkan pada penekanan komposisi modalnya. Capital dapat dideskripsikan sebagai faktor yang berkaitan dengan besarnya aset yang dimiliki debitur. Faktor ini dinilai dapat mewakili kondisi kemampuan modal debitur.

d. Collateral, yaitu jaminan yang dimiliki debitur. Penilaian ini bertujuan untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu risiko kegagalan pembayaran terjadi, maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajibannya. Namun, dalam penelitian ini collateral tidak dijadikan faktor yang berkaitan dengan agunan karena pada prinsipnya Grameen Bank tidak memerlukan jaminan dari nasabahnya.

e. Conditions, yaitu pihak pemberi dana harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat dan secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh anggota. Hal tersebut dilakukan karena kondisi eksternal berperan besar dalam proses berjalannya usaha debitur.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditunjukkan bahwa penelitian ini berfokus pada pembahasan faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit berdasarkan kondisi penawaran (supply) dari sisi eksternal (debitur).

3.1.3 Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Lembaga Intermediasi

Pembahasan mengenai fungsi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sebagai lembaga perantara keuangan penting dilakukan agar dapat mengetahui posisi dan peran LKM dalam keseluruhan sistem keuangan yang ada dan pada gilirannya dapat mempengaruhi keberlanjutan LKM. Ghate (1992) menemukan dua keunggulan komparatif LKM dalam melayani masyarakat berpenghasilan rendah di daerah pedesaan negara yang sedang berkembang, yaitu kemudahan prosedur kredit dan penyediaan pinjaman kecil berjangka pendek. Kemudahan LKM dalam persoalan agunan membuat LKM dapat membiayai sejumlah kegiatan jasa tanpa


(21)

harus menyediakan agunan. Begitu juga halnya dengan Koperasi Baytul Ikhtiar (KBI) sebagai lembaga intermediasi keuangan mikro yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat miskin dengan pembiayaan berjangka pendek tanpa menggunakan agunan. Dengan kemudahan tersebut, KBI mampu menjangkau masyarakat khususnya bagi pelaku UMKM dari berbagai sektor usaha yang salah satunya adalah pertanian. Ghate (1992) menyatakan bahwa LKM dapat memberikan keunggulan komparatif dalam menyediakan pinjaman kecil dan jangka pendek sebagai pinjaman modal kerja pada bidang pertanian, seperti pinjaman produksi pertanian dan industri skala kecil. Berdasarkan hal tersebut, LKM memiliki peran penting sebagai perantara keuangan, seperti halnya yang dilakukan oleh KBI dalam menyalurkan pembiayaan yang berbasis syariah.

3.1.4 Pembiayaan pada Koperasi Syariah

Sesuai dengan sifat dan fungsi koperasi simpan pinjam, dana yang diperoleh harus terus digulirkan dalam bentuk pembiayaan kepada anggota koperasi. Adapun produk pembiayaan tersebut dapat berupa bagi hasil (mudharabah atau musyarakah), jual beli (murabahah, salam, istsihna’), dan jasa umum (hawalah, ijarah, atau pemberian manfaat). Adapun jenis-jenis akad adalah sebagai berikut:

1. Prinsip jual beli dengan marjin (murabahah)

Murabahah adalah transaksi jual beli antara bank yang bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Harga jual yang ditetapkan adalah harga beli bank dari pemasok dana ditambah dengan keuntungan tertentu. Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual tersebut dicantumkan dalam akad jual beli dan apabila telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Istilah murabahah umumnya dilakukan dengan cara membayar cicilan dan barang akan diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara mengangsur, misalnya pembiayaan pembelian alat-alat pertanian.

2. Prinsip jual beli dengan pembayaran dimuka (salam)

Salam adalah transaksi jual beli dengan kondisi barang yang diperjualbelikan belum tersedia, tetapi kualitas, kuantitas, harga dan waktu


(22)

penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Bank akan membayar secara tunai kepada supplier dan barang akan diserahkan kepada bank. Setelah itu, bank akan menjualnya kepada nasabah secara tunai atau secara angsuran, misalnya pembiayaan untuk pembelian hasil pertanian.

3. Prinsip jual beli dengan pesanan (istishna’)

Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi perbedaannya terdapat pada sistem pembayaran, yaitu pembayaran istishna’ dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Produk istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan padapembiayaan manufaktur dan konstruksi.

4. Prinsip sewa (ijarah)

Ijarah adalah transaksi dengan posisi bank yang menyewakan suatu objek sewa kepada nasabah dan bank memperoleh ongkos sewa atas manfaat yang diterima oleh nasabah atas pengunaan objek sewa tersebut. Pada akhir masa sewa, bank dapat mengalihkan kepemilikan barang yang disewakan kepada nasabah, yaitu dikenal dengan istilah ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindah tanggannya kepemilikan).

5. Prinsip kemitraan (musyarakah)

Kemitraan (musyarakah) merupakan bentuk umum dari usaha bagi hasil. Transaksi musyarakah dilakukan pada usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih yang secara bersama-sama menggunakan sumberdaya, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Secara spesifik, bentukkontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang dagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

6. Prinsip penyertaan modal (mudharabah)

Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih dan salah satu pihak mempercayakan sejumlah modal kepada pihak lain yang bertindak sebagai pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Dalam akad mudharabah tidak dipersyaratkan adanya wakil


(23)

pemilik modal (shohibul maal) dalam manajemen proyek, misalnya pembiayaan modal kerja ternak kambing.

7. Prinsip pengalihan piutang (hawalah)

Hawalah merupakan produk pembiayaan yang timbul karena adanya peralihan kewajiban dari seseorang anggota terhadap pihak lain. Kewajibannya tersebut dapat dialihkan kepada koperasi sebagai lembaga pembiayaan.

8. Prinsip pinjaman lunak (qardh)

Pembiayaan dengan bentuk qardh ini tergolong sebagai pinjaman lunak karena pembiayaan yang diberikan harus dikembalikan oleh anggota sejumlah dana yang diterima tanpa adanya tambahan. Pengecualian berlaku apabila anggota yang bersangkutan mengembalikan lebih tanpa persyaratan dimuka, maka kelebihan dana tersebut diperbolehkan diterima oleh koperasi dan dimasukkan ke dalam kelompok dana qardh.

Sebagai LKM syariah, akad yang telah diaplikasikan oleh Koperasi Baytul Ikhtiar antara lain jual beli (murabahah), sewa (ijarah), pengalihan piutang (hiwalah), dan qard hasan. Adapun akad lainnya seperti kemitraan (musyarakah) maupun bagi hasil (mudharabah) belum diaplikasikan dalam pembiayaan syariah KBI. Namun, hingga saat ini KBI tetap berusaha agar produk-produk tersebut dapat diaplikasikan di KBI. Hal tersebut dilakukan dengan cara mempelajari lebih jauh prosedur dan risiko usaha dari kedua produk, serta menambah sumberdaya manusia KBI yang ahli dalam mengelola pendampingan usaha dari kedua produk tersebut.

Hal tersebut tidak terlepas dari usia lembaga KBI yang masih tergolong muda. Dalam masa perkembangan yang memasuki tahun kelima, KBI harus mampu membenahi dan meningkatkan kualitasnya sebagai lembaga keuangan mikro. Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis keberlanjutan finansial KBI yang diawali dengan analisis rasio keuangan dari aspek likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan aktivitas usaha koperasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui keadaan finansial koperasi agar dapat menjalankan aktivitas usahanya secara berkelanjutan


(24)

3.1.5 Analisis Rasio Keuangan

Analisis keuangan dilakukan dengan menggunakan laporan keuangan (neraca) suatu lembaga atau perusahaan. Pada penelitian ini dilakukan analisis keuangan dengan pendekatan analisis horizontal dan vertikal. Munawir (1995) menyatakan bahwa analisis keuangan horizontal merupakan analisis yang membandingkan pos-pos laporan keuangan untuk beberapa periode akuntansi dengan menggunakan tahun dasar. Oleh karena itu, dengan analisis horizontal dapat diketahui perbandingan kondisi keuangan untuk beberapa periode sehingga dapat dilihat perkembangannya. Sedangkan analisis keuangan vertikal merupakan analisis proporsi item laporan keuangan terhadap sesuatu nilai dalam laporan keuangan yang hanya meliputi satu periode keuangan.

Adapun dua komponen utama dalam suatu laporan keuangan (neraca) adalah aktiva dan pasiva. Menurut Munawir (2002), aktiva merupakan sarana atau sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh suatu kesatuan usaha atau perusahaan yang harga perolehannya harus diukur secara objektif. Adapun definisi dari pasiva adalah pengorbanan ekonomis yang harus dilakukan oleh suatu perusahaan pada masa yang akan datang akibat dari adanya kegiatan usaha. Rumus persamaan akuntansi antara kedua komponen tersebut adalah sebagai berikut :

Persamaan di atas menunjukkan bahwa aktiva dan pasiva suatu badan usaha dan perusahaan harus bernilai sama atau dalam keadaan yang seimbang (balance). Komponen aktiva terdiri dari aktiva lancar dan aktiva tetap, sedangkan pasiva terdiri dari kewajiban (modal luar) dan ekuitas (modal sendiri). Kewajiban tersebut juga dapat digolongkan menjadi dua hal, yaitu kewajiban jangka pendek dan jangka panjang.

Adapun tujuan dari analisis rasio finansial ini adalah untuk menilai dan mengevaluasi tujuan koperasi secara ekonomi. Analisis rasio akan memudahkan lembaga untuk mengetahui hal-hal kritis apa saja yang sedang dihadapi koperasi, sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk mencegah semakin buruknya kondisi lembaga. Selain itu, analisis rasio berguna untuk mengetahui kinerja keuangan koperasi secara keseluruhan. Adapun analisis rasio yang sering digunakan oleh


(25)

pihak-pihak yang berkepentingan adalah rasio likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas (Munawir 2002), sedangkan rasio lain yang sering digunakan dalam menganalisis efektivitas usaha adalah rasio aktivitas usaha.

1. Likuiditas

Kuswandi (2006) menyatakan bahwa rasio likuiditas bertujuan untuk mengetahui kemampuan koperasi dalam membayar kewajiban-kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu. Rasio likuiditas sangat penting bagi KBI mengingat koperasi ini merupakan LKM yang membutuhkan pasokan pembiayaan dari pihak ketiga sebagai modal dalam menyalurkan pembiayaan. Nilai rasio likuiditas ini adalah angka yang dapat meyakinkan pihak ketiga selaku pemasok dana untuk memberikan pinjaman pembiayaan, seperti halnya KBI terhadap Bank Syariah Mandiri, BMT, dan BPRS dibawah naungan Yayasan Peramu. Pada umumnya, rasio yang digunakan dalam likuiditas antara lain rasio lancar (quick ratio), rasio kas (cash ratio), dan rasio modal kerja dan total aset (working capital to total asset). Rasio lancar berguna untuk mengukur kemampuan KBI dalam membayar kewajiban-kewajiban jangka pendeknya, sedangkan rasio kas dapat menghasilkan analisa yang lebih tajam karena hanya membandingkan aktiva yang sangat likuid.

2. Solvabilitas

Solvabilitas merupakan kemampuan koperasi untuk membayar hutang jangka panjang, baik hutang pokok maupun bunganya (Sartono 2001). Perhitungan ini diperlukan bagi KBI karena koperasi tersebut juga memiliki hutang jangka panjang terhadap Yayasan Peramu, Lembaga ESQ, dan Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM). Rasio-rasio yang digunakan dalam solvabilitas adalah rasio modal sendiri dengan total aktiva (equity to total asset ratio), rasio modal sendiri dengan aktiva tetap (equity to fixed asset ratio), rasio aktiva tetap dengan hutang jangka panjang (fixed asset to long term debt ratio), rasio total hutang dengan total aktiva (debt ratio) dan rasio total hutang dengan total modal sendiri (debt equity ratio). Semakin rendah angka rasio, maka semakin tinggi solvabilitas koperasi dan menggambarkan bahwa beban hutang tidak terlalu berat.


(26)

Modal sendiri terhadap total aktiva menunjukkan semua total aktiva akan dapat direalisir sesuai dengan yang dilaporkan dalam neraca dan sangat penting untuk menunjukkan tingkat keamanan dan sumber permodalan yang dimiliki KBI. Hal tersebut disebabkan oleh modal sendiri koperasi yang tergolong rendah, yaitu hanya memiliki proporsi rata-rata 20,02 persen terhadap modal luar. Rasio modal sendiri terhadap aktiva tetap menunjukkan proporsi aktiva tetap yang dibiayai oleh modal sendiri. Modal sendiri yang lebih besar dari pada aktiva tetap keadaannya akan lebih baik karena dapat mempertahankan likuiditas koperasi saat terjadi pembayaran hutang saat itu, sebaliknya jika modal sendiri lebih kecil daripada aktiva tetap karena over investment dalam aktiva tetap atau kurangnya modal koperasi. Sedangkan rasio aktiva tetap dengan hutang jangka panjang menunjukkan kemampuan koperasi untuk memperoleh pinjaman baru dengan jaminan aktiva tetap. Nilai rasio tersebut dapat menunjukkan seberapa besar KBI dapat memenuhi kewajibannya atas aktiva tetap yang dimiliki, seperti tanah dan bagunan.

Debt ratio merupakan rasio yang menunjukkan jumlah total aktiva yang digunakan untuk menjamin total hutang, sedangkan debt equity ratio merupakan rasio yang menunjukkan jumlah total hutang yang dijamin oleh total modal sendiri. Hal ini sangat penting karena proporsi modal sendiri koperasi KBI masih tergolong rendah, yaitu sekitar 20,02 persen.

3. Rentabilitas

Penggunaan aktiva secara produktif oleh koperasi merupakan gambaran profitabilitas yang diperoleh koperasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Munawir (2002) bahwa rasio rentabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Walaupun KBI bukan sebagai perusahaan yang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi keadaan mengenai laba rugi lembaga perlu untuk diketahui. Hal tersebut disebabkan berkembangnya suatu koperasi juga ditentukan oleh besarnya keuntungan yang diperoleh. Semakin besarnya keuntungan bersih koperasi yang dikenal sebagai sisa hasil usaha (SHU), maka anggota koperasi yang tergabung didalamnya akan menjadi lebih sejahtera. Kemampuan koperasi dalam menghasilkan SHU tersebut, dapat dilihat dari rasio rentabilitas dengan menggunakan beberapa rasio seperti rasio


(27)

laba bersih (net profit margin), rasio operasional (operating margin ratio), rasio pengembalian modal sendiri (return on equity), dan tingkat pengembalian investasi (return on investment).

4. Aktivitas Usaha

Efektivitas penggunaan dana dapat dilihat dari bagaimana dana tersebut digunakan dalam bentuk beban atau biaya yang dikeluarkan oleh koperasi (Kuswandi 2006). Sebagai koperasi simpan pinjam, aktivitas usaha yang dijalankan oleh KBI adalah penyaluran pembiayaan tanpa adanya penjualan produk. Oleh karena itu, rasio yang dapat dipergunakan dalam perhitungan ini adalah rasio perputaran total aktiva (total asset turn-over ratio) dan rasio perputaran piutang (account receivable turn-over ratio). Dengan dilakukannya perhitungan tersebut, KBI dapat mengetahui sejauh mana efisiensi koperasi dalam menggunakan aset untuk menyalurkan pembiayaan karena KBI harus dapat memanfaatkan sumberdaya secara efektif dan efisien agar memperoleh laba yang diinginkan.

3.1.6. Viabilitas Finansial

Keberlanjutan finansial (viabilitas finansial) adalah kemampuan sebuah lembaga pembiayaan yang melayani tabungan untuk mempertahankan atau meningkatkan aliran manfaat (benefit), serta menyalurkan melalui dana-dana yang diciptakan secara internal. Menurut Consultative Group to Assist the Poor (CGAP), berkelanjutan adalah kemampuan penyedia keuangan mikro untuk menutupi seluruh biaya yang diperlukan. Kemampuan tersebut memungkinkan keberlanjutan operasional penyedia keuangan mikro dan penyediaan jasa keuangan yang terus menerus bagi masyarakat miskin. Mencapai keberlanjutan keuangan artinya mengurangi biaya-biaya transaksi, menawarkan produk dan jasa lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, dan menemukan cara-cara baru untuk menjangkau masyarakat miskin yang belum mendapatkan pelayanan dari bank. Oleh karena itu, sebagai lembaga penyalur pembiayaan dan pelayanan tabungan anggota, maka penting bagi KBI untuk memperhatikan masalah keberlanjutan finansial lembaganya.


(28)

3.1.7 Grameen Bank pada Koperasi Baytul Ikhtiar

Terdapat beberapa peraturan yang telah ditetapkan oleh KBI dalam menjalankan aktivitas usahanya dengan menggunakan model pembiayaan Grameen Bank, yaitu :

1. Majelis

a. Majelis merupakan kelompok anggota layanan koperasi yang berjumlah sekitar 15-25 anggota. Majelis ini dibentuk berdasarkan wilayah tempat tinggal anggota layanan.

b. Setiap kelompok memiliki ketua majelis yang telah disepakati oleh seluruh anggota majelis dan bertanggung jawab terhadap anggotanya. Adapun ikrar yang dipimpin oleh ketua majelis untuk mengawali setiap pertemuan adalah sebagai berikut :

“Ikrar Anggota Majelis Ikhtiar”

- Adalah menjadi tanggung jawab kami untuk berusaha menambah pendapatan keluarga.

- Membantu anggota kelompok atau majelis apabila mereka dalam kesulitan.

- Menggunakan pinjaman dari majelis ikhtiar Koperasi Baytul Ikhtiar untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

- Mendorong anak-anak untuk terus bersekolah.

- Membayar kembali pembiayaan dan menabung setiap minggu atau sesuai ketentuan.

- Allah SWT menjadi saksi atas apa yang kami ucapkan dan kami lakukan.

2. Pengajuan Pembiayaan

a. Pengajuan pembiayaan oleh anggota dilakukan dalam pertemuan mingguan majelis dan harus mendapat persetujuan anggota lainnya. Hal ini merupakan salah satu prasyarat yang harus dilakukan anggota karena apabila dalam pembayaran angsuran anggota tersebut mengalami kesulitan, maka anggota lainnya wajib untuk membantu anggota yang bersangkutan.

b. Tenaga pendamping lapang (TPL) akan mengisi formulir pengajuan pembiayaan anggota (MAP) yang berisikan mengenai data diri, kondisi finansial anggota, peruntukan dan alokasi pembiayaan yang diajukan.

c. Pengajuan pembiayaan tersebut akan diproses dalam komite uji kelayakan yang terdiri dari supervisi, manager unit koperasi, dan staf senior


(29)

penumbuhan (asisten supervisi). Komite tersebut akan menentukan besarnya pembiayaan yang dapat diberikan kepada anggota.

3. Penyaluran atau Pencairan Pembiayaan

a. Apabila komite uji kelayakan telah menetapkan hasil, maka pencairan pembiayaan akan dilakukan pada pertemuan majelis minggu berikutnya. b. Transaksi pembiayaan antara TPL dengan anggota akan dilakukan dengan

pembacaan akad oleh kedua belah pihak yang disaksikan oleh seluruh anggota majelis. Setelah kedua pihak sepakat mengenai besarnya jumlah yang harus diangsur tiap minggunya, maka kedua belah pihak akan menandatangani lembar persetujuan pembiayaan.

4. Angsuran Pembiayaan

a. Angsuran pembiayaan dibayarkan setiap minggu pada saat pertemuan majelis dalam jangka waktu 50 minggu.

b. Angsuran tersebut terdiri dari angsuran pokok, angsuran margin, tabungan wajib, tabungan cadangan, dan tabungan kelompok. Angsuran pokok berasal dari jumlah pokok pembiayaan yang besarnya berkisar antara Rp 6.000,- hingga Rp 100.000,-, sedangkan angsuran margin berasal dari jumlah margin pembiayaan yang besarnya telah disepakati pada akad sebelumnya. Tabungan wajib, cadangan, dan kelompok besarnya akan semakin meningkat sesuai dengan plafon pembiayaan yang diterima anggota, sebagai contoh pada plafon pembiayaan Rp 500.000,- akan ditetapkan tabungan wajib sebesar Rp 200,-, tabungan cadangan Rp 500,-, dan tabungan kelompok senilai Rp 300,-.

c. Tabungan wajib dan tabungan kelompok akan dikembalikan kepada anggota apabila anggota tersebut menyatakan keluar dari keanggotaan koperasi, sedangkan tabungan cadangan akan dikembalikan kepada anggota setelah anggota tersebut telah memenuhi kewajiban angsurannya.

Ketentuan yang ditetapkan oleh KBI tersebut dibentuk atas dasar prinsip Grameen Bank. Djumilah Zain dalam Thoha (2000) menyatakan bahwa Grameen Bank dibangun atas dasar empat prinsip, yaitu sebagai berikut:

a. Bantuan kredit diberikan dengan tidak ada jaminan (agunan) dan atau penjamin.


(30)

b. Tidak ada sangsi hukum bila anggota tidak bisa mengembalikan pinjaman dan kredit tersebut dihibahkan bila anggota meninggal dunia.

c. Anggota tidak perlu datang ke kantor untuk mengurus pinjamannya, tetapi justru petugas yang mendatangi mereka dalam pertemuan rembug pusat. d. Prosedur perkreditan dibuat sesederhana mungkin dengan tidak

menggunakan banyak formulir yang tidak dimengerti oleh anggota.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Koperasi Baytul Ikhtiar (KBI) berperan sebagai lembaga keuangan mikro berbasis syariah. Dengan model pembiayaan Grameen Bank, KBI berfokus dalam menyalurkan pembiayaan masyarakat miskin, khususnya pengusaha mikro. KBI pada dasarnya memiliki potensi yang besar dalam menjangkau lapisan masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan terhadap akses pembiayaan. Hal ini dapat dilihat dari wilayah jangkauan pembiayaan KBI yang semakin luas, yakni Kodya Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi. Dengan jangkauan luas tersebut, KBI harus mampu menjadi lembaga keuangan mikro yang dapat menyalurkan pembiayaan secara berkelanjutan.

Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji mengenai keberlanjutan finansial KBI yang diawali dengan analisis kinerja keuangan KBI yang meliputi likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan aktivitas usaha. Hasil pengukuran likuiditas dapat menunjukkan kemampuan koperasi dalam membayar kewajiban jangka pendek, sedangkan hasil pengukuran solvabilitas dapat menunjukkan kemampuan koperasi dalam memenuhi seluruh kewajibannya sehingga koperasi dapat mengetahui seberapa besar batasan dalam meminjam uang. Hasil pengukuran profitabilitas dapat menunjukkan besarnya laba yang dapat dihasilkan koperasi dalam periode tertentu. Adapun hasil pengukuran aktivitas usaha dapat menggambarkan kondisi perputaran aktiva dan piutang yang dilakukan oleh koperasi. Pengukuran rasio tersebut penting dilakukan bagi KBI mengingat lembaga tersebut juga memiliki hutang jangka pendek dan jangka yang cukup besar, sehingga proporsi modal sendiri KBI tergolong rendah, yaitu rata-rata hanya sekitar 20,02 persen. Hasil pengukuran dengan suatu standar tertentu dapat memperlihatkan tingkat kinerja koperasi dalam keadaan yang baik atau tidak baik.


(31)

Sebagai kelanjutan dari analisis rasio keuangan, penelitian ini akan menganalisis keberlanjutan KBI dari aspek finansial. Keberlanjutan finansial tersebut akan membandingkan komponen pendapatan koperasi dengan biaya operasional yang dibutuhkan. Sebagai lembaga keuangan, KBI berhadapan langsung dengan dua pihak, yaitu anggota layanan koperasi yang diberi pembiayaan dan lembaga lain sebagai pihak ketiga sebagai pemasok sumber dana pembiayaan. Keterkaitan tersebut membuat KBI harus mencapai kondisi yang berkelanjutan (viable) agar KBI dapat menutupi biaya pokok pinjaman kepada pihak ketiga dengan menggunakan pendapatan dari margin pembiayaan anggota. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Khandker (1998) bahwa indikator suatu pembiayaan mencapai tingkat viabilitas finansial adalah pendapatan yang diterima dari peminjam harus lebih besar dari biaya operasional yang dikeluarkan.

Selain itu, penelitian ini akan mengkaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pembiayaan KBI pada sektor agribisnis. Dalam penelitian ini, terdapat tujuh variabel yang diduga berpengaruh terhadap pembiayaan anggota sektor agribinis. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat pembiayaan dari sisi lembaga penyalur (KBI) yaitu sisi penawaran pembiayaan. Variabel yang digunakan merupakan turunan dari prinsip pembiayaan 5C, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan conditions. Adapun ketujuh variabel tersebut adalah lama keanggotaan , aset anggota, omset usaha per tahun, pendapatan bersih per tahun, frekuensi pembiayaan, jumlah pengajuan pembiayaan, dan jenis usaha anggota.

Variabel lama keanggotaan merupakan turunan dari prinsip pembiayaan character. Lama keanggotan dinilai dapat menggambarkan karakteristik anggota, termasuk sikap dan kepribadian didalamnya. Selain itu, karakter anggota dapat pula dilihat dari frekuensi pembiayaan anggota. Tidak hanya banyaknya frekuensi pembiayaan, tetapi juga dapat dilihat dalam hal kelancaran pembayaran, pengalaman pengembalian pembiayaan dan kehadiran anggota dalam melakukan angsuran pembiayaan. SehinggaKBI dapat mengetahui sifat atau karakter dari masing-masing anggota. Oleh karena itu, lama keanggotaan dan frekuensi pembiayaan diduga berpengaruh positif terhadap besarnya pembiayaan agribisnis, yaitu semakin lama keanggotaan dan atau frekuensi pembiayaan anggota, maka


(32)

KBI akan lebih mengetahui karakteristik anggota dan anggota tersebut akan lebih memahami penggunaan pembiayaan yang diberikan, sehingga diduga koperasi memiliki kepercayaan untuk memberikan pembiayaan yang lebih besar.

Variabel aset anggota merupakan turunan dari prinsip pembiayaan capital karena variabel tersebut dapat mewakili kemampuan modal yang dimiliki anggota. Adapun aset yang digunakan dalam penelitian ini meliputi aset usaha dan aset rumah tangga. Variabel aset anggota pun diduga memiliki pengaruh yang positif terhadap besarnya pembiayaan agribisnis pada KBI . Semakin besar jumlah aset yang dimiliki anggota, maka diduga KBI akan lebih berani untuk memberikan jumlah pembiayaan atas besarnya kekayaan atau harta yang dimiliki anggota.

Variabel hasil turunan dari prinsip pembiayaan capacity adalah omset usaha per tahun, pendapatan bersih per tahun, dan jumlah pembiayaan yang diajukan. Variabel omset usaha dan pendapatan bersih anggota dapat digunakan KBI untuk melihat kelancaran usaha dan kemampuan anggota dalam memenuhi kewajiban angsuran. Secara sederhana, kemampuan anggota tersebut dapat dilihat dari besarnya saving power anggota. Sedangkan variabel jumlah pembiayaan yang diajukan dapat menunjukkan seberapa besar kapasitas usaha yang akan dijalankan anggota. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut diduga berpengaruh positif terhadap besarnya pembiayaan agribisnis yang diberikan KBI. Semakin besar omset usaha, pendapatan bersih anggota, dan jumlah pembiayaan yang diajukan maka diduga akan meningkatkan besarnya pembiayaan yang diterima anggota.

Adapun variabel yang diluar dari turunan prinsip pembiayaan adalah jenis usaha anggota. Variabel jenis usaha, dengan dummy jenis usaha on-farm diduga berpengaruh positif terhadap besarnya pembiayaan yang diterima anggota. Hal tersebut berarti anggota dengan usaha on-farm diduga akan memperoleh pembiayaan yang lebih besar daripada anggota berjenis usaha off-farm.

Hasil penelitian dari ketiga analisis tersebut akan menggambarkan performa KBI, baik dari segi lembaga maupun dari segi penerima manfaat, yaitu anggota layanan koperasi. Analisis mengenai kinerja keuangan dan keberlanjutan finansial dari sisi lembaga dapat memberikan gambaran akan posisi keuangan KBI, sehingga KBI dapat segera membenahi dan meningkatkan kekurangan yang ada.


(33)

Sedangkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan agribisnis yang dilihat dari sisi anggota dapat menjadi evaluasi dan bahan pertimbangan bagi KBI untuk menetapkan besarnya pembiayaan agribisnis terhadap anggota yang tergolong sebagai usaha produktif. Pada intinya, keseluruhan hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan kualitas KBI sebagai lembaga intermediasi keuangan mikro yang memiliki jangkauan pembiayaan yang luas dan berkelanjutan.


(34)

Gambar 4. Kerangka Operasional

Keterangan :

: Ruang Lingkup Analisis Kinerja Keuangan BAIK : Ruang Lingkup Analisis Uji Viabilitas

: Ruang Lingkup Analisis Model Regresi Linear Berganda : Garis dipengaruhi langsung

Kinerja Keuangan dan Keberlanjutan Finansial KBI serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Agribisnis

Pengembangan Kualitas KBI sebagai Lembaga Keuangan Mikro yang Melayani UMKM

Koperasi Baytul Ikhtiar (KBI)

Kinerja Keuangan KBI

Likuiditas Solvabilitas Rentabilitas Aktivitas Usaha

Pembiayaan Agribisnis Berdasarkan Karakteristik

Anggota 1. Lama Keanggotaan

2. Aset Anggota

3. Omset Usaha per Tahun 4. Pendapatan Bersih per Tahun 5. Frekuensi Pembiayaan

6. Jumlah Pengajuan Pembiayaan 7. Jenis Usaha Anggota


(35)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Koperasi Baytul Ikhtiar (KBI) yang bertempat di Komplek Pertanian Jalan Siaga No. 25 RT 02 RW 10, Kelurahan Loji, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa KBI merupakan salah satu koperasi yang menerapkan sistem grameen bank dan presentase pembiayaan sektor agribisnis masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan jumlah pembiayaan sektor lainnya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 hingga April 2011, sedangkan upaya persiapan (prapenelitian) dilakukan pada bulan Januari 2011.

4.2. Metode Penentuan Sample

Metode penentuan sample yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan mitra sektor agribisnis adalah metode proportionated simple random sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah anggota KBI yang memperoleh pembiayaan sektor agribisnis. Berdasarkan data tahun 2011, total anggota KBI yang memperoleh pembiayaan sektor agribisnis berjumlah 74 orang. Sample yang digunakan berjumlah 40 orang, yaitu sebesar 52,6 persen dari total populasi. Jumlah sample tersebut telah memenuhi persyaratan yang dikemukakan oleh Bailey (1999) bahwa ukuran minimum sampel yang diterima dalam suatu penelitian dengan analisis data statistik adalah 30 sampel. Penentuan sample diawali dengan perhitungan proporsi anggota menurut sebaran wilayah. Adapun populasi pada penelitian ini tersebar di tiga wilayah, yaitu Kecamatan Dramaga, Rumpin, dan Taman Sari. Perhitungan proporsi sampel dapat dilihat pada Tabel 5.


(36)

Tabel 5. Perhitungan Proporsi Sampel Penelitian KBI Tahun 2012 Wilayah Jumlah Anggota

(orang)

Proporsi Sampel (%)

Sampel (orang)

Kec. Dramaga 26 14,05 14

Kec. Taman Sari 25 13,51 14

Kec. Rumpin 23 12,43 12

Total 74 100 40

Berdasarkan hasil perhitungan proporsi di atas, sampel yang diperoleh lebih representatif daripada sampel yang diambil dalam jumlah yang sama dari setiap wilayah. Selain itu, sampling dengan cara ini akan lebih menggambarkan keadaan populasi yang sesungguhnya sehingga kesalahan sampling dapat dikurangi

4.3. Data dan Instrumentasi

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa sejarah dan perkembangan Koperasi Baytul Ikhtiar dalam hal pembiayaan mikro, khususnya sektor agribisnis. Data primer mengenai mitra KBI meliputi data karakteristik mitra, kegiatan usaha, pendapatan usaha, dan hal yang mengenai pengajuan pembiayaan. Adapun data sekunder yang digunakan berupa laporan keuangan (neraca) dan laba rugi KBI tahun 2009-2011. Data sekunder lainnya berasal dari instansi terkait seperti Kementerian Koperasi dan UMKM Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik, perpustakaan, jurnal-jurnal, penelitian terdahulu, dan penelusuran internet.

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, daftar pertanyaan, alat pencatat, dan alat perekam dokumentasi. Kuesioner digunakan untuk melakukan tinjauan lapang terkait dengan mitra KBI sektor agribisnis, sedangkan alat lainnya digunakan dalam penelusuran informasi yang terkait dengan penelitian.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari 2012 hingga April 2012 yang berlokasi di daerah Bogor dan Jakarta. Teknik pengumpulan data yang


(37)

digunakan meliputi wawancara langsung terhadap key informan yaitu pengurus inti KBI mengenai kondisi internal koperasi, perkembangan, dan pembiayaan mikro khususnya sektor agribisnis. Pengurus inti tersebut terdiri dari manajer utama, manajer operasional, dan kepala unit koperasi. Wawancara langsung juga akan dilakukan dengan responden KBI yaitu penerima pembiayaan sektor agribisnis yang tersebar dibeberapa wilayah Kabupaten Bogor, yaitu Kecamatan Dramaga, Taman Sari, dan Rumpin. Wawancara responden diawali dengan pendekatan kelompok (majelis) yang telah dibentuk oleh KBI. Adapun pengumpulan data sekunder dapat dilakukan dengan penelusuran dokumen instansi terkait, literatur maupun internet.

4.5. Metode Pengolahan Data

Nazir (2003) mendefinisikan analisis data sebagai bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah. Dengan adanya analisis, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Data hasil tinjauan lapangan akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.

4.5.1. Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, kondisi, pemikiran, ataupun peristiwa pada masa sekarang. Analisis ini akan diuraikan peneliti secara deskriptif. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode analisis kualitatif pada penelitian ini akan digunakan untuk menjelaskan gambaran umum KBI dan prosedur yang diterapkan KBI kepada mitra untuk memperoleh pembiayaan.

4.5.2. Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tiga model, yaitu analisis rasio keuangan, viabilitas finansial, dan regresi linear berganda. Analisis rasio keuangan digunakan untuk mengetahui kinerja keuangan


(38)

koperasi yang mencakup rasio likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan aktivitas usaha. Analisis viabilitas finansial digunakan untuk mengetahui keberlanjutan koperasi dari aspek keuangan, sedangkan analisis regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pembiayaan KBI. Dengan menggunakan analisis regresi linier berganda tersebut, dapat diketahui variabel-variabel independent yang secara nyata berpengaruh atau tidak terhadap besarnya pembiayaan sebagai variabel dependent. Variabel independent tersebut terdiri dari lama keanggotaan, aset anggota, omset usaha per tahun, pendapatan bersih per tahun, frekuensi pembiayaan, jumlah pengajuan pembiayaan, dan jenis usaha anggota. Data yang terkumpul akan diolah menggunakan aplikasi program Microsoft Office Excel 2007 dan Eviews 7 for windows.

4.5.2.1. Analisis Rasio Keuangan

Analisis rasio digunakan untuk melihat perkembangan kinerja keuangan koperasi. Analisis rasio yang digunakan terdiri dari rasio likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan aktivitas usaha (Munawir 2002).

1. Rasio Likuiditas

Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan koperasi untuk membayar kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi. Likuiditas diukur dengan menggunakan rasio di bawah ini :

a. Rasio lancar (Current Ratio)

Rasio lancar menunjukkan kemampuan koperasi untuk memenuhi hutang lancar dengan aktiva lancar yang dimiliki. Standar yang baik adalah minimal 200 persen (Munawir 2002). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

%

b. Rasio Kas (Cash Ratio)

Rasio kas digunakan untuk mengukur jumlah kas tersedia yang dibandingkan dengan hutang lancar. Pengertian kas pada umumnya diperluas sehingga setara dengan surat berharga yang mudah diperjualbelikan.


(39)

Rasio kas tersebut dirumuskan sebagai berikut :

%

c. Rasio Modal Kerja dengan Total Aset (Working Capital to Total Asset)

Rasio ini menunjukkan besarnya perbandingan antara modal kerja koperasi dengan total harta yang dimiliki. Adapun besarnya modal kerja diperoleh dari pengurangan aktiva lancar dengan hutang lancar. Standar umum yang baik untuk rasio ini adalah minimal 50 persen. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

%

2. Rasio Solvabilitas

Rasio ini menunjukkan kemampuan koperasi untuk memenuhi seluruh kewajiban keuangannya baik jangka pendek maupun jangka panjang. Rasio solvabilitas diukur dengan menggunakan rasio di bawah ini :

a. Rasio Modal Sendiri dengan Total Aktiva (Equity to Total Asset Ratio)

Rasio ini menunjukkan tingkat solvabilitas koperasi dengan anggapan bahwa semua aktiva akan dapat direalisir sesuai dengan yang dilaporkan dalam neraca. Standar yang baik untuk rasio ini adalah minimal 50 persen (Suwandi 1985). Semakin tinggi rasio ini berarti semakin kecil jumlah pinjaman yang digunakan untuk membiayai aktiva koperasi. rasio ini dirumuskan :

%

b. Rasio Modal Sendiri dengan Aktiva Tetap (Equity to Fixed Asset Ratio) Rasio ini menunjukkan proporsi aktiva tetap yang dibiayai oleh modal sendiri. Standar yang baik untuk rasio ini adalah minimal 150 persen (Suwandi 1985), dengan rumus :


(40)

c. Rasio Aktiva Tetap dengan Hutang Jangka Panjang (Fixed Asset tTo Long Term Debt Ratio)

Rasio ini menunjukkan kemampuan koperasi untuk memperoleh pinjaman baru dengan jaminan aktiva tetap. Standar yang baik untuk rasio ini adalah minimal 150 persen (Suwandi 1985). Semakin tinggi rasio semakin besar jaminan, kreditur jangka panjang semakin aman atau terjamin, dan semakin besar kemampuan koperasi untuk mencari pinjaman. Rumus rasio ini adalah :

% d. Rasio Total Hutang dengan Total Aktiva (Debt Ratio)

Rasio ini menunjukkan berapa bagian dari keseluruhan dana yang dibiayai dari hutangnya. Standar yang baik untuk rasio ini adalah maksimum 50 persen (Suwandi 1985). Semakin kecil rasio ini maka semakin kecil resiko yang akan ditanggung oleh koperasi, yaitu dengan rumus :

%

e. Rasio Total Hutang dengan Total Modal Sendiri (Debt Equity Ratio)

Rasio ini menunjukkan proporsi hutang yang dijamin oleh modal sendiri. Standar yang baik untuk rasio ini adalah maksimum 67 persen (Suwandi 1985). Jika nilai rasio ini lebih dari satu berarti kemampuan modal sendiri untuk menjamin hutang semakin rendah. Namun jika rasio lebih kecil dari satu maka kemampuan modal sendiri untuk menjamin selutuh hutangnya lebih besar. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

% 3. Rasio Rentabilitas

Rasio rentabilitas menunjukkan kemampuan koperasi dalam menghasilkan laba dalam periode tertentu. Rentabilitas dapat diukur dengan beberapa rasio, antara lain:


(41)

a. Rasio Laba Bersih (Net Profit Margin Ratio)

Rasio ini menunjukkan besarnya laba bersih yang dapat dihasilkan koperasi setiap satu satuan penjualan. Standar yang baik untuk rasio ini adalah minimal empat persen (Suwandi 1985). Semakin besar nilai rasio ini maka semakin besar kemampuan koperasi dalam memperoleh laba. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

% b. Rasio Operasional (Operating Margin Ratio)

Rasio operasional menunjukkan tingkat efisiensi koperasi dalam menjalankan usahanya. Standar yang baik untuk rasio ini adalah minimal dua persen (Suwandi 1985). Semakin besar rasio ini maka semakin besar kemampuan koperasi dalam memperoleh laba operasi, yaitu dengan rumus :

%

c. Ratio Tingkat Pengembalian Modal Sendiri (Return on Net Worth Ratio) Rasio ini menunjukkan tingkat produktivitas modal yang digunakan koperasi merupakan suatu pengukuran penghasilan yang tersedia bagi koperasi atas modal yang diinvestasikan. Standar yang baik untuk rasio ini adalah minimal 15 persen. Semakin besar rasio ini maka modal sendiri semakin produktif dalam menyumbangkan laba bersih bagi koperasi. rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

% d. Ratio Tingkat Pengembalian Investasi (Return on Investment)

ROI menunjukkan kemampuan koperasi dalam menghasilkan pendapatan dan mengindikasikan koperasi menggunakan seluruh asset yang tersedia dengan baik. Rasio ini digunakan untuk mengevaluasi aktivitas keseluruhan koperasi. Analisis ROI merupakan hubungan antara pendapatan dengan investasi pada aktiva yang ditanamkan koperasi. Standar yang baik adalah minimal 4 persen. Perhitungan ROI dapat dilakukan dengan rumus :


(42)

e. Rentabilitas Ekonomi (Return on Equity)

Rentabilitas ekonomi menunjukkan kemampuan koperasi dalam menghasilkan laba bersih dari keseluruhan modal yang digunakan. Adapun rumus dari rentabilitas ekonomi adalah sebagai berikut :

%

4. Rasio Aktivitas Usaha

Rasio aktivitas usaha atau efektivitas menunjukkan sejauh mana koperasi menggunakan aset secara efisien untuk mencapai penjualan atau dalam penelitian ini disebut sebagai penyaluran pembiayaan. Rasio-rasio yang digunakan dalam rasio aktivitas usaha ini sebagai berikut :

a. Rasio Perputaran Total Aktiva (Total Assets Turn-Over Ratio)

Rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi dari operasi koperasi tersebut. Standar yang baik untuk rasio ini adalah minimal 5 kali (Suwandi 1985). Semakin besar rasio perputaran total aktiva, maka akan semakin besar tingkat efisiensi penggunaan harta dari suatu koperasi. Perhitungan dapat dilakukan dengan rumus :

%

b. Rasio Perputaran Piutang ( Account Receivable Turn-Over Ratio)

Rasio ini menunjukkan besarnya modal kerja yang ditanamkan sebagai piutang. Standar yang baik rasio ini adalah minimal 6 kali. Semakin besar nilai rasio ini maka modal kerja yang ditanamkan untuk piutang rendah atau sebaliknya. Semakin rendah rasio ini berarti terjadi over investment dalam piutang (Munawir 2002). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

%

4.5.2.2 Viabilitas Finansial

Perhitungan untuk memperoleh kondisi viabilitas finansial atau kondisi break-even point (BEP) dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan manfaat biaya (perhitungan laba-rugi). Apabila total penerimaan adalah TR (Total


(43)

Revenue) dan total biaya adalah TC (Total Cost), maka kondisi BEP dapat dicapai pada saat TR=TC. Dalam kondisi tersebut, perusahaan akan berada pada titik impas, yaitu kondisi tidak memperoleh laba dan tidak menderita rugi. Adapun kondisi TR ≥ TC menunjukkan bahwa perusahaan memperoleh keuntungan. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi lembaga perkreditan yang harus memperoleh pendapatan yang lebih besar daripada biaya peminjaman yang dikeluarkan. Khandker (1998) menyatakan bahwa viabilitas finansial adalah kondisi suatu skim kredit dapat menutupi seluruh biaya operasional dari pendapatan yang dibayar oleh peminjam (bunga), dengan persyaratan sebagai berikut :

Keterangan :

r = tingkat bunga per unit pinjaman

i = biaya untuk mendapatkan pokok pinjaman

α = biaya administrasi dan supervise ρ = financial loss per unit pinjaman

Persamaan tersebut dapat diuji untuk setiap periode waktu (per tahun). Dengan melakukan analisis dengan persamaan tersebut, maka akan diperoleh informasi kapan suatu skim kredit dapat mencapai viabilitas finansial.

4.5.2.3 Analisis Model Regresi Linear Berganda

Model regresi linear berganda merupakan suatu model analisis untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel independent yang berskala metrik terhadap variabel dependent yang juga berskala metrik. Adapun variabel yang belum berskala metrik, maka diubah menjadi dummy. Model ini merupakan model terbaik untuk memprediksi arah, besar koefisien, dan sensitifitas perubahan variabel dependent atas perubahan variabel-variabel independent.

Variabel dependent pada penelitian ini adalah besarnya pembiayaan yang diterima oleh anggota KBI sektor agribisnis. Variabel independent terdiri dari lama keanggotaan, aset anggota, omset usaha per tahun, pendapatan bersih per tahun, frekuensi pembiayaan, jumlah pengajuan pembiayaan, dan jenis usaha


(1)

II. KARAKTERISTIK USAHA (Responden Usahatani)

1. Aset Lahan

a. Luas lahan milik : ……… Ha

b. Luas lahan non milik : ……… Ha *(sewa/sakap/gadai/garap)

2. Aset Non Lahan

No. Jenis Aset Saat ini (Maret 2011) Tujuan Pemanfaatan

Unit Nilai (Rp)

1 Traktor kecil/besar

2 Handsprayer/sprayer 3 Mesin……… 4 Cangkul

5 Sekop 6 Sabit/kored

7 Pompa air

8 Terpal 9 Gudang

10 Lainnya ………..

3. Penggunaan Sarana Produksi No Jenis

Komoditi I ………. Komoditi II ………. Unit Satuan Harga

(Rp/sat) Total

Unit Satuan Harga

(Rp/sat) Total

Total Biaya : Keterangan :

4. Produksi Usahatani : Orientasi Pasar / Konsumsi *) Jumlah yang dikonsumsi : ……….


(2)

5. Pemasaran Hasil (berdasarkan jumlah yang dijual)

Komoditas Jumlah (kg) Harga (Rp/sat) Total penjualan

(Rp)

Biaya jual (Rp/sat)

1.

2.

3.

4.

Total Omset : Rp Keterangan :

6. Total pendapatan yang diterima (Total hasil penjualan – total biaya pembelian input – biaya pemasaran): Rp ……….

III. KARAKTERISTIK PEMBIAYAAN 1. Struktur Permodalan (satu tahun terakhir)

No Uraian Keterangan

1 Total kebutuhan modal ustan untuk

semua lahan yang diusahakan (Rp Juta)

2 Komposisi sumber modal ustan

a. Modal sendiri (Rp) b. Modal luar/pinjaman (Rp)

3 Sumber modal sendiri

a. Arisan b. Tabungan c. Warisan/hibah

4 Sumber modal pinjaman (Rp)

a. Bank umum/syariah/BPR b. Koperasi/BMT

c. Keluarga/kerabat

d. Rentenir/Lainnya……….. 3. Pembiayaan di Koperasi Baytul Ikhtiar (BAIK)

a. Alasan memilih BAIK : ………..

b. Lama keanggotan : ………./ Frekuensi pembiayaan : ………. .kali

c. Akad pembiayaan yang diambil : ……….

d. Jumlah pembiayaan yang diajukan : Rp ………

e. Jumlah pembiayaan yang diterima : Rp ………...

f. Margin yang disepakati : Rp ………

g. Alokasi fasilitas pembiayaan

Penggunaan Pembiayaan Alokasi (Rp)


(3)

II. KARAKTERISTIK USAHA (Responden Non-Usahatani)

1. Aset Usaha ………

No. Jenis Aset Saat ini (Maret 2011) Tujuan Pemanfaatan

Unit Nilai (Rp)

2. Biaya Pengadaan Input Usaha No Jenis

Usaha I ………. Usaha II ……….

Unit Satuan Harga

(Rp/sat) Total

Unit Satuan Harga

(Rp/sat) Total

Total Biaya : Keterangan :

3. Penjualan Produk

Komoditas Jumlah (kg) Harga (Rp/sat) Total penjualan

(Rp)

Biaya jual (Rp/sat)

1.

2.

3.

4.

Total Omset : Rp Keterangan :

6. Total pendapatan yang diterima (Total hasil penjualan – total biaya pengadaan input – biaya pemasaran): Rp ……….


(4)

(5)

RINGKASAN

SEPTIANNISA RAHMI. Analisis Keberlanjutan Finansial dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembiayaan Agribisnis pada Koperasi Baytul Ikhtiar

Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,

Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan DWI RACHMINA)

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu tumpuan perekonomian Indonesia. Tercatat sekitar 99,99 persen usaha di Indonesia adalah UMKM, sedangkan 0,01 persen lainnya tergolong sebagai usaha besar. UMKM di Indonesia memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian. Berdasarkan jumlah unit usaha tahun 2010, proporsi sektor ekonomi UMKM didominasi oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yaitu sebesar 49,58 persen. Adapun kontribusi UMKM sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki proporsi terbesar yaitu senilai 27,7 persen pada tahun 2010. Hal tersebut menggambarkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik UMKM Indonesia.

Namun, pada umumnya UMKM menghadapi masalah mendasar yaitu keterbatasan akses terhadap sumber pembiayaan. Adapun sumber pembiayaan yang dinilai sesuai dengan karakteristik UMKM adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Koperasi Baytul Ikhtiar (KBI) merupakan salah satu LKM yang

bergerak dalam pelayanan jasa simpan pinjam berbasis pembiayaan syariah

dengan model pembiayaan Grameen Bank.

Sebagai lembaga intermediasi keuangan mikro yang menjangkau masyarakat pedesaan, KBI harus mampu memberikan pelayanan pembiayaan secara berkelanjutan. Kondisi tersebut dapat dicapai apabila pendapatan margin pembiayaan KBI dapat menutupi biaya operasional koperasi. Berdasarkan data KBI tahun 2009-2011, total pembiayaan yang disalurkan meningkat dengan laju pertumbuhan 56,9 persen per tahun yang diiringi dengan peningkatan jumlah anggota sebesar 37,35 persen tiap tahunnya. Namun, terdapat indikasi bahwa modal sendiri KBI hanya memiliki proporsi rata-rata sekitar 20,02 persen dengan tingkat penurunan sebesar 4 persen per tahun. Selain itu, perkembangan proporsi pembiayaan pertanian KBI pada tahun 2009-2011 masih dibawah rata-rata, yaitu secara berturut-turut hanya mencapai 4,8 persen, 6,77 persen, dan 6 persen dengan laju pertumbuhan senilai 0,61 persen per tahun.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis kinerja keuangan koperasi dari aspek likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan aktivitas usaha KBI, (2) menganalisis keberlanjutan finansial KBI, dan (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan agribisnis KBI. Penelitian ini dilakukan pada anggota KBI yang sedang memperoleh pembiayaan agribisnis dengan jumlah responden sebanyak 40 orang. Metode penarikan sample yang

digunakan adalah proportioned simple random sampling dengan responden yang

tersebar di tiga wilayah, yaitu Kecamatan Dramaga, Taman Sari, dan Rumpin. Metode pengolahan data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif yang terdiri dari analisis rasio keuangan, viabilitas finansial, dan model regresi linier berganda. Berdasarkan prinsip pembiayaan 5C, terdapat tujuh faktor


(6)

yang diduga berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan yang diterima anggota adalah lama keanggotan, aset anggota, omset usaha per tahun, pendapatan bersih per tahun, frekuensi pembiayaan, jumlah pengajuan pembiayaan, dan jenis usaha anggota.

Dalam perhitungan analisis rasio keuangan, digunakan data sekunder berupa laporan keuangan (neraca) dan laba rugi KBI tahun 2009-2011. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa likuiditas dan solvabilitas koperasi berada pada kondisi yang menurun akibat proporsi modal luar koperasi yang semakin meningkat. Hal ini menujukkan beban hutang yang ditanggung KBI semakin berat. Dalam hal pencapaian laba, KBI dinilai belum optimal dalam menghasilkan sisa hasil usaha (SHU). Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai rentabilitas yang cenderung bernilai negatif, sedangkan dalam hal aktivitas usaha, koperasi telah menunjukkan hasil pertumbuhan yang positif tetapi belum mencapai standar minimal yang dianjurkan.

Hasil perhitungan viabilitas finansial menunjukkan bahwa KBI mencapai

kondisi viable pada tahun 2010, sedangkan pada tahun 2009 dan 2011 koperasi

berada pada kondisi tidak viable. Hal ini disebabkan oleh besarnya komponen

biaya operasional KBI sehingga bernilai lebih besar daripada pendapatan atas margin pembiayaan KBI.

Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan anggota sektor agribisnis KBI adalah frekuensi pembiayaan dan jumlah pengajuan pembiayaan pada taraf nyata 10 persen serta omset usaha per tahun yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata 20 persen. Walaupun demikian, ketiga faktor tersebut memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah pembiayaan yang diterima anggota.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan KBI dapat meningkatkan proporsi modal sendiri agar dapat memperbaiki kondisi likuiditas dan solvabilitas koperasi. Dalam upaya pencapaian kondisi keberlanjutan finansial, KBI sebaiknya mengoptimalkan efisiensi tenaga pendamping lapang untuk meningkatkan jumlah anggota koperasi yang akan berdampak pada peningkatan total pembiayaan per tenaga kerja tanpa meningkatkan biaya operasional. Selain itu, KBI disarankan untuk lebih mempertimbangkan frekuensi pembiayaan, jumlah pembiayaan yang diajukan, dan omset usaha per tahun yang dimiliki anggota untuk menetapkan besarnya pembiayaan yang disalurkan kepada anggota.