37
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2012. Penelitian dilakukan di Asosiasi Kakao Indonesia Askindo. Penentuan tempat dilakukan
secara sengaja purposive karena tempat tersebut merupakan pusat informasi mengenai pergerakan harga kakao nasional dan mengetahui segala informasi
perdagangan kakao Indonesia dan internasional.
4.2. Data dan Instrumentasi
Penelitian ini
dibatasi dengan menganalisis data sekunder kuantitatif untuk mengetahui hubungan transmisi harga pada bursa komoditi yang telah ditentukan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data harga biji kakao di Indonesia yang bersumber dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi Bappebti Departemen Perdagangan Republik Indonesia dan harga biji kakao di The New York Board of Trade NYBOT bersumber dari The
International Cocoa Organization ICCO dan The London International Financial Futures Exchange LIFFE yang bersumber dari situs Reuters dengan
rentang data per hari dari tanggal 25 Agustus 2011 hingga 10 April 2012. Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh melalui studi pustaka di
Badan Pusat Statistik BPS, Direktorat Jenderal Perkebunan DitJenBun, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Departemen Pertanian Pusdatin Deptan,
Perpustakaan Nasional Perpusnas, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian PSEKP, Kementrian Perdagangan Republik Indonesia Kemendagri,
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti, Asosiasi Kakao Indonesia Askindo, dan International Cocoa Organization ICCO. Selain itu,
diperoleh juga beberapa informasi tambahan melalui wawancara dengan pihak Askindo serta instansi-instansi lain yang dapat mendukung ketersediaan data
penelitian tersebut. Penelusuran melalui situs web internet, makalah, dan jurnal penelitian juga dilakukan untuk mendapatkan teori yang mendukung penelitian.
38
4.3. Pengolahan dan Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode kuantitatif dengan pendekatan model VAR yang diperkenalkan oleh Sims pada
tahun 1980, berdasarkan pemaparan Enders 1995 dan Widarjono 2010. Tahapan pengolahan data dengan menggunakan model VAR adalah: a uji
stasioneritas data dan derajat intergrasi, b penentuan panjang lag, c uji kointegrasi, d estimasi model VAR, e fungsi respon impuls, f dekomposisi
ragam. Software yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Microsoft Exel untuk membuat tabulasi data dan Eviews 7 untuk mengolah data model VAR.
Secara garis besar, langkah-langkah untuk menggunakan metode VAR dalam sebuah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau
disebut juga stationary stochastic process. Kestasioneran diperlukan untuk menghindari adanya spurious regression regresi palsu. Suatu persamaan
dikatakan stasioner apabila memiliki mean, variance, dan covariance yang konstan pada setiap lag dan tidak mengandung unit root.
Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey-Fuller ADF pada derajat yang sama level atau different
hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya
Enders, 1995. Widarjono 2010 menjelaskan bahwa fungsi uji ADF adalah untuk
melihat ada tidaknya trend di dalam pergerakan data yang akan diuji. Uji ADF terdiri dari perhitungan regresi yang dirumuskan sebagai berikut.
ΔY
t
= Y
t-1
+
i t-i+1
+ ε
t 1
ΔY
t
= α
+ Y
t-1
+
i t-i+1
+ ε
t 2
ΔY
t
= α
+ α
1
t + Y
t-1
+
i t-i+1
+ ε
t 3
39 dimana
ΔY
t
= Selisih variabel Y
t
– Y
t-1
= ρ-1
α ,
α
1
, ,
i
= Koefisien t = Trend waktu
Y = Variabel yang diuji stasioneritasnya P = Panjang lag yang digunakan dalam model
ε = Error persamaan Perbedaan
persamaan 1
satu dengan dua regresi lainnya adalah
memasukkan konstanta dan variabel trend waktu. Persamaan 1 satu digunakan pada data observasi yang diasumsikan hanya memiliki intersep, tidak memiliki
konstanta dan trend. Persamaan 2 digunakan dengan asumsi data observasi terdapat konstanta dan intersep. Persamaan 3 digunakan apabila data observasi
diasumsikan memiliki komponen konstanta, intersep, dan trend. Hipotesis dalam uji ini adalah H
jika =0 berarti data time series mengandung unit root yang bersifat tidak stasioner dan H
1
jika 1 berarti data bersifat stasioner. Penggunaan
aplikasi program
Eviews 7 mengkategorikan data tersebut stasioner atau tidak dengan membandingkan nilai Mackinnon critical dengan nilai
mutlak ADF
statistiknya
. Jika dalam uji stasioneritas ini menunjukkan nilai ADF
statistik
yang lebih besar daripada Mackinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai
ADF
statistik
lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian,
differencing data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di first different I1 harus dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan
data periode sebelumnya Ajija et al. 2011. Jika data sudah stasioner sejak awal maka model VAR in level dapat langsung dilakukan. Jika data belum stasioner,
maka harus melalui proses differencing, kemungkinan model yang digunakan adalah model VAR in difference VARD dan Vector Error Correction Model
VECM.
40
2. Penentuan Panjang Lag
Salah satu permasalahan yang terjadi dalam uji stasioneritas adalah penentuan lag optimal. Harris 1995 menjelaskan bahwa jika lag yang digunakan
dalam uji stasioneritas terlalu sedikit, maka residual dari regresi tidak akan menampilkan proses white noise sehingga model tidak dapat mengestimasi actual
error secara tepat. Akibatnya, dan standar kesalahan tidak diestimasi secara baik. Namun demikian, jika memasukkan terlalu banyak lag, maka dapat
mengurangi kemampuan untuk menolak H karena tambahan parameter yang
terlalu banyak akan mengurangi derajat bebas. Panjangnya kelambanan variabel yang optimal diperlukan untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap
variabel lain di dalam sistem VAR. Selanjutnya, untuk mengetahui jumlah lag optimal yang digunakan dalam
uji stasioneritas, menurut Enders 1995 berikut adalah kriteria yang digunakan: Akaike Information Criterion AIC
: T log | Σ| + 2 N
Schwarz Bayesian Criterion SBC : T log |
Σ| + N log T dimana
T = Jumlah observasi |
Σ| = Determinan dari matriks varianskovarians dari sisaan N = Jumlah parameter yang diestimasi
Dalam penentuan lag optimal dengan menggunakan kriteria informasi tersebut, kriteria yang dipilih adalah kriteria yang mempunyai jumlah dari AIC
dan SBC yang paling kecil di antara berbagai lag yang dianjurkan. Bila semakin kecil nilai kriteria tersebut, maka nilai harapan yang dihasilkan oleh sebuah model
akan semakin mendekati kenyataan Ajija et al. 2011. Sedangkan jika beberapa kriteria tersebut digunakan maka ada kriteria tambahan yaitu adjusted R
2
sistem VAR. Panjang kelambanan optimal terjadi jika nilai adjusted R
2
adalah paling tinggi Widarjono, 2010.
3. Uji Kointegrasi Keberadaan variabel nonstasioner menyebabkan kemungkinan besar
adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem VAR. Oleh
41 karena itu, dilakukan uji kointegrasi untuk mengetahui keberadaan hubungan
antar variabel. Kointegrasi adalah terdapatnya kombinasi linier antara variabel yang non stasioner yang memiliki hubungan jangka panjang pada ordo yang sama.
Uji yang dilakukan adalah trace test yaitu mengukur jumlah vektor kointegrasi dalam data dengan menggunakan pengujian pangkat matriks kointegrasi yang
dinyatakan sebagai berikut Enders 1995
trace
r = –T 1-
max
r, r+1 = –T ln 1-
r+1
dimana: = Nilai dugaan akar karakteristik eigenvalues yang didapatkan dari
estimasi matriks π
T = Jumlah observasi r = Pangkat yang mengindikasikan jumlah vektor kointegrasi
Rank kointegrasi r dari vektor adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Jumlah hubungan kointegrasi r dapat dihitung dengan
menggunakan 2 uji statistik. Pada uji λ
trace
, H adalah jumlah vektor kointegrasi
yang hilang ≤ r sebagai alternatif umum. Jika λ
trace
λ
tabel
maka terima H yang
artinya kointegrasi terjadi pada rank r. Sementara pada uji λ
max
, Ho yaitu jumlah vektor kointegrasi = r adalah alternatif dari vektor kointegrasi r+1 Enders, 1995.
Jika tidak terdapat kointegrasi antar variabel maka digunakan model VARD VAR in difference dengan lag kelambanan p, sedangkan jika dalam
data yang diduga di model VAR terdapat kointegrasi maka model VAR yang digunakan adalah model VECM Vector Error Correction Model lag
kelambanan p rank r Widarjono, 2010.
4. Estimasi Model VAR
Estimasi model VAR dapat ditulis ke dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
y
t
= µ + A
1
y
t-1
+ ... + A
p
y
t-p
+ ε
t
42 dimana y
t
adalah vektor nx1 dari variabel yang terintegrasi pada orde satu, umumnya dinotasikan I1 dan
ε
t
adalah nx1 vektor inovasi Hjalmarsson dan Par 2007. Pada penelitian ini n yang diteliti berjumlah 3 variabel.
Selanjutnya, dari hasil estimasi VAR, untuk melihat apakah variabel Y memengaruhi X dan demikian pula sebaliknya, hal ini dapat diketahui dengan
cara membandingkan nilai t-statistik hasil estimasi dengan nilai t-tabel. Jika nilai t-statistik lebih besar daripada t-tabelnya, maka dapat dikatakan bahwa variabel
Y memengaruhi X. Model VAR dapat disusun setelah variabel-variabel dilihat
kestasionerannya, kointegrasi, kelambanan, dan kecocokan variabel untuk dimasukkan ke dalam model. Berdasarkan penjelasan dari model VAR yang
dilakukan oleh Widarjono 2010 dan Enders 1995, dapat diasumsikan model VAR kelambanan satu yang akan digunakan dalam peramalan harga biji kakao
adalah sebagai berikut : =
+ +
dengan: IND
= Harga kakao bursa komoditi Indonesia NYBOT = Harga kakao bursa komoditi New York
LIFFE = Harga kakao bursa komoditi London
Jika terdapat kointegrasi pada data yang dicek kestasionerannya maka model yang digunakan adalah model VECM Vector Error Correction Model lag
p rank r. Model VECM dapat dituliskan sebagai berikut Hjalmarsson dan Par 2007.
Δy
t
= µ + Π y
t-1
+ Δy
t-i
+ ε
t
Dimana Π =
– I dan Γ
i =
– Jika koefisien matriks
Π mengurangi rank r n, maka terdapat matriks nxr dimasing-masing
α dan dengan rank r sehingga Π = α dan y
t
yang stasioner. r adalah jumlah hubungan kointegrasi, maka elemen
α dikenal sebagai
43 parameter penyesuaian dalam Vector Error Correction Model VECM dan setiap
kolom adalah vektor kointegrasi.
5. Fungsi Respon Impuls Impulse Response Function
Penggunaan impulse response merupakan analisis yang penting di dalam
model VAR karena di dalam model VAR secara individual koefisien sulit diinterpretasikan. IRF dapat mengidentifikasi suatu guncangan pada variabel itu
sendiri dan variabel endogen lainnya sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan dalam variabel mempengaruhi variabel lainnya. Analisis ini dapat
melacak respon dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena adanya shock atau perubahan di dalam variabel error Widarjono 2010.
Sims 1980 menjelaskan bahwa fungsi Impulse Response Function IRF menggambarkan ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu
variabel inovasi dari variabel yang lain. Dengan demikian, lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau
kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat atau diketahui. Analisis IRF dilakukan dengan menyederhanakan bentuk SVAR ke dalam
bentuk Vector Moving Average VMA sebagai berikut: x
t
= + i e
1-i
Metode IRF digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu karena sebenarnya shock variabel tidak hanya
berpengaruh terhadap variabel itu sendiri tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur selang dalam
VAR. Dengan kata lain IRF mengukur pengaruh suatu shock pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan dimasa yang akan datang.
6. Dekomposisi Ragam Variance Decomposition
Variance Decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang akan memisahkan
variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel innovation, dengan asumsi bahwa variabel-variabel
innovation tidak saling berkorelasi. Kemudian, dekomposisi ragam akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada
44 sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode
yang akan datang. Selain
digunakan untuk
mencirikan struktur dinamis antar variabel di
dalam model VAR, pola dekomposisi ragam juga dapat mengindikasikan sifat dari kausalitas antara variabel dalam model VAR sehingga dekomposisi ragam
menjadi sangat sensitif terhadap pengurutan variabel. Variabel yang tidak memiliki nilai korelasi terhadap variabel lainnya diletakkan pada posisi paling
belakang, sedangkan variabel yang memiliki korelasi terhadap variabel lain diletakkan berdampingan satu sama lain. Hal ini serupa dengan pendapat Enders
1995 menyatakan bahwa tujuan analisis ini untuk menggambarkan tingkat kepentingan setiap variabel dalam model VAR dalam menjelaskan ragam
varians suatu variabel yang akan datang. Variance Decomposition VD digunakan untuk memberikan informasi
agar dapat mengetahui besarnya kontribusi dari masing-masing variabel inovasi terhadap variabel endogen yang diamati ketika terjadi shock. Jadi, dari hasil
analisis ini dapat diketahui seberapa besar perubahan suatu variabel berasal dari dirinya sendiri dan seberapa besar berasal dari pengaruh variabel lain sehingga
diketahui sumber variasi suatu variabel.
45
V. GAMBARAN UMUM PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA NEW YORK, DAN LONDON
5.1. Pasar Fisik Indonesia
Wilayah sentra utama produksi kakao terdapat di kawasan Indonesia bagian Timur, meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan
Sulawesi Tengah. Dari ketiga provinsi tersebut, Sulawesi Selatan merupakan sentra perkebunan kakao rakyat terbesar yang memberikan kontribusi besar
terhadap komoditi kakao Indonesia. Total luas areal perkebunan kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan tercatat sekitar 296.039
hektar dengan total produksi 282.692 ton per tahun, dan produktivitas 953,60 kilogram per hektar per tahun
BPS 2009. Di Provinsi Sulawesi Selatan, kakao merupakan komoditas unggulan
utama dibandingkan jenis tanaman perkebunan lainnya. Adapun kabupaten sentra produksi kakao meliputi Luwu Utara, Mamuju, Bone, Polmas, Luwu, dan
Pinrang. Khusus untuk kabupaten Luwu, luas arealnya tercatat 24.591 hektar, produksi 24.458 ton per hektar per tahun, dan produktivitas 994 kilogram per
hektar per tahun BPS 2009. Jenis tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah
jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan jenis
kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan wawancara dengan ketua Askindo, sekitar 96 persen produksi kakao
Indonesia diekspor, sedangkan sisanya digunakan sebagai bahan baku industri cokelat dalam negeri. Kakao umumnya diekspor dalam bentuk biji yang belum
difermentasikan. Mekanisme penjualan hasil kakao di Sulawesi Selatan umumnya dengan
cara transaksi spot. Transaksi ini dilakukan sebagai berikut, para petani di Makassar memiliki akses langsung ke pedagang pengumpul. Sebagian besar dari
petani dapat menjual hasil panen kakao secara bebas tanpa ikatan dengan pedagang dan beberapa yang lainnya melakukan penjualan kepada pedagang
langganan karena terikat pinjaman dengan pedagang yang bersangkutan. Terlepas
46 dari hal tersebut, petani setempat tidak banyak punya pilihan dalam pemasaran,
kecuali ke pedagang pengumpul tersebut Iqbal dan Azmi 2006. Mayoritas petani di Makassar relatif bebas memilih pedagang
pengumpul yang menurut mereka menawarkan harga tertinggi. Namun, dibalik itu posisi tawar mereka lemah karena harga secara dominan ditetapkan oleh
pedagang. Kakao di tingkat petani umumnya dibeli oleh pedagang pengumpul, pedagang antar kota, atau pedagang perantara. Para pedagang ini berfungsi
sebagai perantara petani dengan pabrik cokelat atau eksportir coklat. Di Sulawesi Selatan secara umum tataniaga kakao dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 5
. Tataniaga Kakao Indonesia Sumber: Askindo
Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang secara langsung terkait dengan perdagangan internasional yang sifatnya kompetitif. Pada
umumnya kakao dari Sulawesi Selatan memiliki keunggulan spesifik, yaitu P E T A N I
Pedagang Pengumpul
Pedagang Antarkota
Pedagang Perantara
Pedagang Pengumpul
Usaha Dagang
Eksportir Industri
Biji Kakao Hasil Olahan Biji
Kakao
Konsumen Luar Negeri
Konsumen DalamLuar Negeri
47 kandungan lemaknya tidak mencair bila disimpan pada suhu kamar dan
mempunyai titik leleh yang tinggi sehingga cocok untuk blending. Akan tetapi keterbatasan teknologi yang dimiliki petani dapat menyebabkan kalah bersaingnya
komoditas ini dalam liberalisasi globalisasi ekonomi. 5.2. Asosiasi Kakao Indonesia Askindo
Askindo dibentuk pada tanggal 18 Februari 1989 melalui Kongres Pembentukan Asosiasi Kakao Indonesia di Jakarta. Kongres dihadiri sekitar 172
peserta yang terdiri dari produsen, pengolah, pabrikan, dan pedagang. Selain itu, sekitar 25 orang peninjau yang terdiri atas pejabat berbagai instansi, peneliti, dan
perorangan juga hadir dalam kongres ini. Kongres ini juga berhasil menyusun Dewan Pengurus Pusat Askindo untuk masa bakti 1989-1992.
Pada awalnya, gagasan untuk mendirikan asosiasi dicetuskan dalam Pekan Dagang dan Pengembangan Kakao II yang diadakan tanggal 26-28 November
1984 di Surabaya. Kemudian setelah sekian lama terbentuklah Panitia Persiapan Pembentukan Asosiasi Kakao Indonesia pada tanggal 11 April 1988 di Jakarta.
Askindo beranggotakan pengusaha kakao dari tingkat hulu hingga hilir sekitar 150 perusahaan. Askindo memiliki 6 cabang di seluruh Indonesia
diantaranya adalah 1 Cabang Sumatera Utara meliputi: Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat, 2 Cabang Lampung meliputi: Lampung, Sumatera
Selatan, Bengkulu, dan Jambi, 3 Cabang Jakarta meliputi: Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, 4 Cabang Jawa Timur meliputi: Jawa Timur,
Bali, NTT, NTB, dan Timor Timur, 5 Cabang Sulawesi meliputi seluruh provinsi di Sulawesi, 6 Cabang Maluku meliputi: Maluku dan Irian Jaya.
Sedangkan kepentingan kakao di Kalimantan ditangani langsung oleh DPP Askindo.
Program kerja Askindo antara lain menyangkut usaha menempatkan kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik di pasaran dunia dan mengembangkan
iklim usaha kakao yang sehat termasuk mengembangkan hubungan kerja antar perusahaan kakao yang serasi serta membantu meningkatkan usaha petani kakao.
Kegiatan yang dilakukan oleh Askindo antara lain sebagai wadah komunikasi, konsultasi, dan koordinasi antar pengusaha kakao dan dengan pemerintah,
menyebarluaskan informasi mengenai hal yang terkait dengan komoditi kakao
48 Indonesia, memperluas hubungan kerjasama internasional, memperjuangkan
kepentingan kakao Indonesia dalam forum perdagangan internasional, membantu usaha peningkatan mutu kakao Indonesia, memberikan masukan kepada
pemerintah dalam hal peraturan perundangan yang berkaitan dengan produksi dan tataniaga cokelat, membantu pelaksanaan kepastian hukum dan kepastian usaha
dari pengusaha kakao, membantu penyelesaian perbedaan pendapat antar pengusaha kakao dengan pihak lain, menyelenggarakan pendidikan, penyuluhan,
latihan, seminar, kunjungan kerja, dan penerbitan serta kegiatan lain yang bermanfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan anggota,
melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan pengusaha kakao.
5.3. Pasar Berjangka New York