17 Roesmanto 1991, hal ini terjadi karena tidak seluruhnya negara penghasil kakao
merupakan anggota ICCO. Kebijakan ini menjadi peluang bagi negara-negara yang bukan anggota ICCO untuk meningkatkan supply kakaonya.
ICCO beranggotakan kelompok negara produsen antara lain Brazil, Kamerun, Pantai Gading, Ghana, Nigeria, Ekuador, dan lain-lain. Kelompok
negara konsumen anggota ICCO adalah Kanada, Eropa, Jepang, Norwegia, Uni Soviet, Swiss, dan lain-lain.
Sampai saat ini Indonesia belum tergabung menjadi anggota ICCO. Alasan yang menjadi pertimbangan atas sikap tersebut antara lain dalam pasar bebas
kakao, Indonesia dirasa akan mampu bersaing di pasar internasional karena keunggulan komparatif yang dimilikinya. Selain itu, karena pemasaran kakao
tidak ditangani oleh ICCO tetapi ditentukan oleh pasar di London dan bursa komoditi di New York maka manfaat Indonesia untuk ikut bergabung menjadi
anggota ICCO masih belum jelas. Walaupun Indonesia bukan merupakan anggota ICCO tetapi Indonesia akan tetap aktif dalam berbagai pertemuan ICCO untuk
memantau dan mengkaji perkembangan organisasi tersebut Roesmanto 1991.
2.2. Kakao di Indonesia
Kakao di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Sulawesi, Minahasa. Indonesia mengekspor kakao diawali dari
pelabuhan Manado ke Manila dengan jumlah ekspor sekitar 92 ton pada tahun 1825-1828. Ekspor Indonesia sempat terhenti setelah tahun 1828 karena serangan
hama pada tanaman kakao. Penyebaran tanaman kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880. Percobaan penanaman kakao dilakukan di perkebunan kopi
milik orang Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini disebabkan pada saat itu tanaman kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit
karat daun. Jenis kakao yang banyak dibudidayakan adalah jenis Criollo, Forastero,
dan Trinitiaro yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jenis Criollo menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao
mulia, fine flavor cocoa, choiced cocoa, atau edel cocoa. Jenis Forastero menghasilkan biji kakao bermutu menengah dan dikenal sebagai ordinary cocoa
atau bulk cocoa. Jenis Trinitiaro yang merupakan hibrida alami dari Criollo dan
18 Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavor
cocoa atau bulk cocoa. Jenis Tritiaro yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo DR dan Uppertimazone Hybrida atau yang biasa disebut
dengan kakao lindak Bappebti 2011. Pengusahaan perkebunan kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh
perkebunan rakyat dan sisanya adalah produksi dari perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah. Pada tahun 2011 diduga luas areal perkebunan rakyat
mencapai 1,6 juta ha diikuti luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 54 ribu ha dan 50 ribu ha. Sementara itu,
produksi kakao di seluruh Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya luas areal lahan kakao. Produksi kakao diprediksi mencapai
903.092 ton pada tahun 2011. Produksi kakao Indonesia masih sangat berpeluang untuk terus ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan lahan perkebunan
kakao Indonesia yang cukup luas Ditjenbun 2011. Sebagian besar produksi kakao Indonesia sebesar 96 persen adalah biji
yang belum difermentasi unfermented beans dan umumnya di ekspor belum dalam bentuk olahan, yaitu masih dalam bentuk biji beans
2
. Padahal sebagian
besar permintaan impor dari negara Uni Eropa adalah biji kakao yang telah difermentasi untuk dijadikan produk cokelat olahan. Sedangkan ekspor kakao
unfermented dari Indonesia yang masuk ke Malaysia dan Singapura akan diolah untuk dijadikan kakao fermentasi dan menjual hasil olahan tersebut dengan harga
yang berlipat. Kondisi ini terjadi akibat keterbatasan pengetahuan yang dimiliki petani dan kebutuhan ekonomi yang seringkali memaksa petani menjual kakao
hasil panen mereka dalam bentuk biji yang tidak terfermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani sangat membutuhkan bantuan dan dukungan untuk
menghasilkan nilai tambah dengan hasil panen yang difermentasi terlebih dahulu. Upaya untuk mencegah berkurangnya keuntungan para petani misalnya dengan
cara memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis. Kebutuhan kakao untuk industri kakao nasional masih belum tercukupi
sehingga tidak heran bila Indonesia masih harus mengimpor biji kakao untuk
2
Hasil wawancara dengan Ketua Asosiasi Kakao Indonesia [02 Februari 2012]
19 kepentingan bahan baku industri. Volume dan nilai impor kakao Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 7. Tabel 7
. Volume dan Nilai Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2006-2010
Tahun IMPOR
VOLUME Ton
NILAI 000 US
1 2 3 2006
47.109 76.031 2007
43.845 83.239 2008
53.761 119.130 2009
46.929 121.390 2010
47.455 164.609
Sumber : BPS diolah Pusdatin 2011 Volume dan nilai impor biji kakao Indonesia berfluktuasi dari tahun ke
tahun. Dapat dilihat pada tabel bahwa rata-rata pertumbuhan volume impor biji kakao dari tahun 2006 hingga 2010 adalah sebesar 1,03 persen. Sedangkan untuk
rata-rata pertumbuhan nilai impor biji kakao tahun 2006-2010 adalah sebesar 22,52 persen Ditjenbun 2011.
Persaingan perdagangan kakao yang semakin ketat membuat perlu adanya suatu wadah yang berfungsi sebagai sarana pengelolaan risiko bagi komoditi
kakao. Untuk itulah pada tahun 1999 pemerintah membentuk suatu bursa komoditi Indonesia yang disebut Jakarta Future Exchange JFX di bawah
pengawasan Kementrian Perdagangan. Namun, komoditi yang diperdagangkan pada awal pendirian bursa ini hanya komoditi CPO, olein, dan kopi. Sedangkan
komoditi kakao mulai diperdagangkan pada bursa ini tahun 2011. Bursa komoditi ini mempunyai fungsi penting diantaranya adalah sebagai
sarana yang mempermudah untuk mengakses informasi pasar. Informasi yang dapat diketahui dari bursa ini antara lain informasi mengenai harga, produksi,
konsumsi, volume perdagangan, dan perkiraan pasar di masa yang akan datang. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang akan terjadi di masa depan maka dapat
dilakukan kontrak berjangka sebagai upaya perlindungan nilai. Semakin lancar informasi yang dapat diakses membuat para pelaku bisnis dapat mengantisipasi
risiko yang mungkin akan terjadi dengan harga di masa depan. Hal ini diharapkan
20 dapat membuat pembentukkan harga yang terjadi di bursa semakin transparan dan
bersaing di pasaran. Harga yang terjadi di bursa umumnya dijadikan sebagai harga acuan reference price oleh dunia usaha, termasuk petani dan
produsenpengusaha kecil untuk melakukan transaksi di pasar fisik. Menurut Ariyoso 2010, salah satu ciri barang komoditi yang
diperdagangkan di bursa adalah harga komoditi yang bersangkutan sering mengalami gejolak. Hal ini disebabkan perubahan kondisi perekonomian yang
mempengaruhi fluktuasi harga sehingga membuat para pelaku bursa ini melakukan mekanisme hedging dengan tujuan melindungi aktiva danatau
kewajiban agar posisi mereka tetap berada dikondisi Break Even Point BEP. Margin yang telah ditetapkan berlaku untuk periode waktu tertentu dan dapat
diubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Selain itu, ada biaya komisi yang dikenakan oleh pialang berjangka yang besaran minimumnya ditetapkan
oleh bursa atas persetujuan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti 2011.
Saat ini, perdagangan kakao Indonesia secara umum masih menggunakan transaksi spot dengan pusat perdagangan di pasar fisik Makassar. Hal ini terjadi
karena banyak pelaku bisnis kakao yang belum mengetahui adanya transaksi forward untuk komoditi kakao yang mulai dijalankan pada akhir Desember 2011.
Transaksi spot merupakan mekanisme perdagangan yang memperjualbelikan suatu barang dengan serah terima barang saat transaksi berlangsung dan
pembayarannya dilakukan tunai pada saat itu juga. Adapun pihak yang terkait langsung dengan perdagangan kakao di
Indonesia adalah Asosiasi Kakao Indonesia Askindo. Askindo merupakan organisasi para pelaku bisnis kakao Indonesia yang bertujuan menempatkan kakao
Indonesia pada kedudukan yang terbaik di pasar internasional. Askindo diharapkan dapat bersikap terbuka, kekeluargaan, adil, efektif dalam mencapai
tujuan, efisien dalam pelaksanaan kegiatan, dan struktur organisasinya sehingga dapat dipertahankan dan ditingkatkan iklim usaha yang sehat, terbuka, dan bebas
dari bentuk persaingan yang tidak wajar.
21
2.3. Analisis Transmisi Harga